Aku keluar kelas tanpa berkata apa-apa lagi, melewati Rendra yang kemudian membuntutiku ke arah lift. Kami berhenti di depan pintu lift yang masih tertutup dalam diam.
Kukepalkan tangan di kedua sisi tubuh demi menahan perasaan jengkel yang mendera. Ini semua pasti kerjaan Neva. Rasanya sangat tidak masuk akal ketika beberapa saat tadi Neva kembali ke kelas, lantas kemudian tiba-tiba Rendra sudah ada di depan pintu. Sudah jelas mereka sengaja berkomplot untuk memata-mataiku.
"Nada," suara Rendra terdengar lebih lembut dari biasanya.
"Ya?"
"Ikut gue bentar yuk," tanpa menunggu persetujuanku Rendra menarik tanganku ke arah tangga. Kami turun satu lantai lantas dia mengajakku berbelok ke arah balkon lantai tiga.
Suasana sore hari terlihat indah dari atas sini. Pepohonan rimbun menahan sinar matahari sore, tapi beberapa berkas cahaya lolos dari sela-sela dedaunan. Tidak banyak orang yang berlalu lalang di bawah, tapi tidak terlalu sepi juga.
Kupenuhi paru-paruku dengan oksigen sebanyak-banyaknya, rasa sebal di hatiku mulai berkurang. Rendra pandai sekali mencari spot-spot menawan seperti ini, dia benar-benar mengerti kelemahanku.
Sementara aku memuaskan mata dengan memandang sekeliling, Rendra justru menyandarkan punggungnya di pegangan balkon sebelahku.
"Maafin gue, ya Nad," katanya penuh penyesalan. Seolah dia benar-benar menyesal atas perbuatannya padaku. Tapi masa iya, seorang Rendra menyesal gara-gara masalah sepele?
"Emang kamu salah apa? Kayaknya kemarin aku deh yang salah," balasku.
Rendra mendongakkan kepala, kedua tangannya masuk ke saku. Ia bernapas dengan lambat lalu mengembuskannya seperti hendak melepas beban. Pandangannya menerawang jauh.
"Aku yang salah, Ndra," batinku.
Rendra masih diam, perasaan bersalah menderaku. Diakui atau tidak aku telah memanfaatkannya untuk menjauhkan Pak Agam. Tapi mungkin dengan menceritakan sedikit tentang kolega Ayah itu, bisa mengurangi rasa bersalahku.
"Pak Agam itu, teman bisnis Ayah," kuembuskan napas perlahan, "dia kemarin minta tolong untuk menyerahkan berkas proyek ke Ayah."
Rendra menoleh. Aku tersenyum padanya, lalu ikut bersandar di balkon. Kini kami sama-sama memandang langit.
"Maaf kalau aku harua menemui Pak Agam berdua saja. Tapi itu memang bukan urusan kuliah, seperti yang dituduhkan Neva," lanjutku.
"Jadi kamu sering ketemu dia di luar kampus?"
"Beberapa kali dia ke rumah bertemu Ayah. Itu saja."
Tiba-tiba aku teringat pada cerita Mario tempo hari, "Emang kenapa? Lagian kamu juga ngajak jalan cewek lain ’kan, ke mall."
Rendra tersentak, tubuhnya menegang. "Dari mana kamu tahu? Maksudku kata siapa aku keluar sama cewek lain?" Dia terlihat panik.
Aku tersenyum dan menoleh padanya. "Siapa dia, Ndra?"
Wajah Rendra yang tegang, berubah melunak, pasrah.
"Mirna, dia calon yang kuceritakan dulu. Dia anak teman mama, kamu paham kan, posisiku?"
Mendengar penjelasan Rendra aku merasa posisi kami sama. Dijodohkan dengan teman dari orang tua, yang secara sopan santun harus selalu kami terima kehadirannya.
"Kok kita sama, ya," celetukku, "tapi beneran ya, kamu sama Mirna sudah nggak ada apa-apa?"
Rendra kembali memandang langit. "Kamu sama Si Agam bagaimana? Jujur saja, aku gak suka kamu deket-deket sama dia," kata Rendra.
Kutarik napas dalam-dalam. Aku sendiri bingung dengan perasaanku dan hubungan kami. Pak Agam jelas terang-terangan mendekatiku meskipun sudah kukatakan aku punya pacar. Sementara Ayah juga sepertinya mendukung Pak Agam.
"Aku juga nggak mau deket sama dia, Ndra. Tapi Ayahku sepertinya punya pendapat lain. Karena itu aku ingin segera mengenalkan kamu sama Ayah."
"Belum, Nad. Belum saatnya. Masih ada yang harus aku lakukan terlebih dulu. Yang penting, kamu harus ingat. Agam itu tidak sebaik kelihatannya," ujar Rendra dengan nada tegang.
Baru saja hendak kutanyakan alasannya, Rendra buru-buru mengajakku turun. "Udah sore, mendung lagi. Kita pulang, yuk," ajaknya.
Benar saja, langit biru yang tadinya cerah kini hampir hitam. Sinar matahari sudah tidak tampak lagi. Angin dingin berhembus agak kencang di atas sini. Akhirnya kami meninggalkan balkon itu dengan tergesa-gesa menuju parkiran.
Keluar dari lift di lantai dasar, kami melewati lobi menuju pintu keluar. Angin dingin berembus memberikan kesejukan. Aroma tanah basah yang menyegarkan memenuhi penciumanku.
Masih berdiri di teras, kupandang langit yang sekelam lautan. Titik-titik air hujan mulai deras, seperti pembasuh luka, mengalirkan kehidupan di bumi. Rasanya aku tergoda untuk berada di bawah langit dan membiarkan tubuhku basah tersiram hujan.
"Kita terobos saja atau tunggu hujan reda?" tanyaku.
"Kamu nggak apa-apa kehujanan? Aku diminta Mama pulang ke Kepanjen sore ini. Tapi kalau kamu mau nunggu silakan," jawabnya.
Kutatap wajah Rendra yang serius. Entah apa yang ada di pikirannya, tiba-tiba ia melepas jaketnya.
"Kamu bawa mantel jas hujan?" tanyanya dan kubalas dengan anggukan. "Aku pinjem ya, sama sekalian titip ransel. Kita ke rumahmu dulu, pakai saja jas hujannya. Ntar dari sana gue pinjem, oke?" katanya meminta persetujuanku.
Rendra merentangkan jaket dengan kedua tangan untuk menutupi kepala kami. Karena dia lebih tinggi dariku, maka aku seperti dalam dekapannya. Langkah kami beriringan menuju tempat parkir, menjejak tanah yang basah dan menyipratkan air ke segala arah. Sampai di parkiran motor, kami berteduh sejenak.
Rendra menurunkan jaketnya yang menaungi kami selayaknya payung. Jilbab dan bajuku kering, hanya sedikit basah di ujung celana panjangku. Sementara Rendra ranselnya basah, juga celana bagian bawahnya. Saat berdua berpayung jaket menembus hujan tadi, aku merasa terlindungi dan nyaman dalam naungannya. Memori yang sama seperti saat pertama ia memayungiku dengan jaketnya, selalu terekam dalam ingatanku.
Tanpa membuang waktu aku menghampiri motor, mengambil jas hujan yang ada di dalam jok lalu memakainya. Sudah itu kupakai helm biruku. Rendra sudah siap di atas motornya dengan helm dan jaket yang tadi basah untuk menaungi kami. Untungnya jaket itu parasit anti air, jadi bagian dalamnya sama sekali kering. Rendra membuntutiku keluar parkiran, lalu kami berdua melesat menerobos hujan yang tidak terlalu lebat ini.
Kami tiba di rumah dengan suasana masih sedikit gerimis. Kubuka pagar rumah dan memarkir si matik di teras. Rendra mengikutiku ke teras dan memarkir motornya di halaman.
"Gue langsung saja, ya," katanya. Diserahkannya ransel hitam yang basah kepadaku. Lalu ia mengambil jas hujan yang baru saja kulepas.
Sesaat kemudian dia sudah kembali duduk di motornya. Melambaikan tangan padaku, mengklakson sekali lalu pergi.
"Hati-hati, Ndra," bisikku sambi menutup pintu pagar.
Aku masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri. Meninggalkan ransel Rendra di teras.
Setelah menunaikan salat Ashar aku kembali ke depan. Lebih dari dua kali ransel hitam itu menginap di sini, kali ini dalam keadaan setengah basah.
Mau tidak mau harus kukeluarkan isinya agar tidak rusak. Seperti yang sudah kuduga, binder, pensil, diktat kuliah bercampur dengan kertas-kertas struk belanjaan. Dasar cowok, rata-rata memang susah rapi.
Di meja teras kupilah-pilah bukunya serta mengumpulkan semua kertas tak berguna.
Tanpa kusadari, sebuah amplop berwarna merah jambu jatuh dari salah satu buku diktat kuliah. Amplop yang unik, dihiasi gambar Teddy Bear yang sedang duduk di sudutnya. Di bagian muka terdapat tulisan tangan: "To: Mas Rendra" dengan tinta hitam tapi tanpa nama pengirim.
Aku tergoda untuk mengintip. Apalagi amplop itu tidak tertutup, sudah terbuka pada bagian belakang. Sepertinya Rendra sudah membaca isinya.
Sedikit terselip rasa tidak enak, was-was, sebal, sebut saja semua. Bisa jadi itu adalah surat cinta untuk Rendra. Tapi, satu hal yang paling membuatku jengkel adalah dia tidak membuangnya.
Padahal kami kan sudah resmi jalan bareng. Apa Rendra membohongiku ya? Mungkin saja cewek yang diceritakan Mario itu bukan sekedar teman, ah entahlah. Biar kubuka saja, toh amplop itu sudah terbuka sebelumnya.
Kukeluarkan isi amplop yang berwarna senada, terbuat dari kertas yang agak kaku dengan gambar beruang timbul di permukaannya. Rupanya itu adalah sebuah kartu ucapan.
Lipatannya kubuka, terdapat tulisan tangan dengan tinta hitam yang sama seperti pada amplop, membentuk kalimat "Terimakasih untuk hadiahnya, Sayang."
Mataku tercekat pada bagian bawah tulisan itu. Ada stempel berbentuk bibir dengan tinta lipstik merah. Di tengah stempel sensual itu terdapat nama yang tadi disebut oleh Rendra, Mirna.
Perutku jadi mulas. Tanpa sadar kucengkeram kertas itu hingga tertekuk tak tentu arah. Apakah Rendra membohongiku, diam-diam masih jalan sama Mirna? Sayangnya kartu itu tanpa tanggal, tidak dapat kupastikan kapan kartu sialan itu dibuat.
Segera kukembalikan kartu ucapan itu ke dalam amplop dan mencampakkannya di atas buku diktat milik Rendra.
Aku merebahkan diri di sandaran kursi teras, mengutuki kebodohanku sendiri. Bisa-bisanya aku mau saja menuruti semua perkataannya. Bisa-bisanya aku merasa romantis ketika kami tadi hujan-hujan berdua. Mau-maunya aku mengurus ransel busuk ini, apalagi meminjamkan jas hujan.
Mengapa aku bisa sebodoh ini?
Belum sempat melanjutkan daftar penyesalan dan kebodohan yang kubuat, terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Seseorang yang masih memakai mantel jas hujan turun dengan membawa bungkusan.
"Paket untuk Serenada Senja," katanya.
"Saya Serenade," jawabku.
Kuhampiri gerbang depan yang juga masih basah oleh gerimis, lalu membuka pintunya. Aku menerima paket itu dan menandatangani kertas yang disodorkan pak kurir bersama ballpoint.
"Terima kasih, Pak," ucapku.
Pak kurir tersenyum dan mengangguk sopan lalu pergi melanjutkan tugasnya. Sungguh orang yang berdedikasi, hujan-hujan tetap melakukan pengiriman.
Kubaca nama pengirim, dari Mbak Milla. Sambil menduga-duga apa isinya, aku kembali ke tempat dudukku di teras.
Harus segera kuselesaikan urusan ransel ini. Dengan sedikit kesal semua isi ransel Rendra kutaruh di atas meja dengan rapi. Lalu ransel basah yang sudah kosong tadi kubawa ke garasi dan meletakkannya pada jemuran portable dari aluminium. Aku jadi malas mau mencucinya.
Garasi ini sebenarnya adalah bagian halaman depan rumah yang sedikit menjorok ke dapur. Di atasnya terpasang kanopi dengan struktur melengkung dari bahan fiber berwarna hitam.
Hujan sudah reda, tapi meninggalkan titik air di kanopi yang masih tampak basah. Daun-daun di pohon depan rumah tampak segar, bau petrichor memenuhi udara. Aroma khas itu menenangkan, menyingkirkan segala perasaan rumit gara-gara amplop pink sialan tadi.
Mungkin sebaiknya kutanyakan saja langsung pada Rendra perihal surat itu, dari pada menduga-duga yang belum tentu benar.
Kubawa tumpukan isi tas Rendra dan paket dari Mbak Mira ke dalam rumah. Kuletakkan semuanya di atas meja belajar. Selanjutnya aku mengambil hape dan mengirim pesan singkat pada Rendra.
me: Ndra, udah sampe rumah?
me: Ranselmu basah. jadi kukeluarkan isinya
me: aku nemu surat cantik nih warna pink, dari Mirna.
me: ada kiss-kissnya lagi
Belum ada balasan dari Rendra. Mungkin dia belum sampai rumah. Lalu iseng saja aku mengetik.
me: Betewe Sabtu depan ikut pulang ke Surabaya, yuk.
me: Kukenalkan pada Ayah.
Hape masih dalam genggamanku, lalu aku menghela napas dengan berat. Kurebahkan tubuh di atas kasur sambil menoleh ke arah tumpukan novel di meja. Sebaiknya malam ini kuhabiskan saja novel itu unuk mengalihkan pikiranku.
Belum lama aku berbaring, hapeku berbunyi. Ayah is calling, tertulis di layar. Ku-swip ke atas untuk menerimanya.
"Hallo, assalamualaikum," sapa Ayah dari seberang.
"Waalaikum salam."
"Nad, besok hari Sabtu minta tolong ya. Kamu temani Fian ke lokasi, bantuin dia ambil foto. Trus, jangan lupa bilang sama Fian untuk mengisi formulir HO (pernyataan gangguan dari tetangga). Kemarin dia sudah kukasih tahu, takutnya lupa."
Oh God. Aku lupa, besok ada janjian sama si Agam.
"Iya Ayah, Nada sudah dikasih tahu sama Pak Agam tadi di kampus," jawabku.
"Oh, baguslah kalau begitu. Mmmm, bagaimana kuliahmu, lancar?"
"Alhamdulillah." Tumben Ayah bertanya.
"Kamu nggak pulang ta ke Surabaya? Rumah sepi banget."
"Minggu depan saja, Yah. Kuliah sudah agak longgar."
"Ya sudah, kalau begitu. Besok hati-hati perjalananya sama Fian. Wassalamualaikum," kata Ayah mengakhiri pembicaraan.
"Waalaikum salam."
Tidak lama kemudian hening, Ayah sudah memutuskan telepon. Kulirik layar yang sudah kembali ke chat Rendra tadi, masih centang satu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 319 Episodes
Comments