Jam dinding di ruang makan menunjuk pukul 6.05 ketika kudengar suara mobil berhenti di depan pagar. Ayah lebih dulu keluar menyambut tamu, sementara aku membuat kopi di dapur.
Dari cerita Ayah semalam, rencananya pagi ini Om Wigyo dan Ayah akan meninjau progres pembangunan perumahan di Kabupaten Malang. Lalu setelahnya melakukan peninjauan lokasi baru bersama Pak Agam sebagai pemilik tanah.
Karena loksinya lebih dekat dari rumah, maka Ayah mengundang mereka untuk kumpul di sini sekalian sarapan. Untung ada warung nasi pecel langganankup yang buka sejak jam lima pagi, sehingga tidak perlu repot menyiapkan sarapan.
"Mari, masuk-masuk," kata Ayah pada tamunya.
Tidak lama berselang, mereka bertiga sudah asyik ngobrol di ruang tamu. Sebelum mempersilakan mereka makan, kuperiksa kembali sajian di meja makan. Empat piring nasi pecel, sendok, garpu, toples berisi kerupuk, lauk pauk tempe dan ayam goreng.Tak ketinggalan pula empat gelas berisi air putih sudah tertata sedemikian rupa.
Perfect!
Lalu aku berjalan ke ruang tamu membawa nampan berisi tiga cangkir kopi. Juga untuk memberi tahu Ayah kalau sarapan sudah siap.
"Monggo, lebih baik sarapan dulu," kata Ayah mempersilakan.
"Waduh, jadi ngerepotin ini," sahut Om Wigyo sambil ikut berdiri.
“Cuma pecel kok," imbuhku sambil tersenyum sopan pada Om Wigyo. Kuletakkan tiga cangkir kopi itu di meja.
Satu tamu tidak segera berdiri mengikuti Ayah. Dia masih saja duduk sampai aku selesai meletakkan ketiga cangkir itu.
"Hallo, Serena. Selamat pagi," sapanya.
“Pagi, Pak. Eh, Mas Fian,” balasku kikuk. "Silakan ke dalam, sudah ditunggu Ayah," pintaku sopan.
"Baiklah, aku di belakangmu," ujarnya sambil berdiri.
Ayah dan Om Wigyo sudah duduk berhadapan di meja makan. Mereka sedang ngobrol seru ketika kami berdua sampai di ruang makan. Tak ayal lagi, aku harus duduk berhadapan dengan Pak Agam.
"Monggo silakan," kataku mempersilakan.
"Iya sampai lupa keasyikan ngobrol. Ayo, monggo-monggo," timpal Ayah.
Untuk beberapa waktu kami berempat berkonsentrasi pada makanan masing-masing. Hingga suara Om Wigyo memecah kesunyian. "Nada kapan lulus, katanya habis ujian, ya?"
“Masih lama, Om. Baru juga selesai semester satu,” jawabku sopan.
“Hemmm, tapi gak harus nunggu lulus juga sih buat nikah. Iya, nggak Fian?,” lanjut beliau.
Aku hampir tersedak mendengarnya, sementara Ayah tertawa renyah. Konspirasi mereka rupanya semakin terang-terangan.
"Terserah Nada saja, Om. Dia siap atau belum,” jawab Pak Agam santai sambil tersenyum padaku.
Buru-buru kuambil gelas berisi air putih dan menyesapnya untuk menenangkan diri.
"Kamu belum punya calon, kan?” tanya Om Wigyo sambil menunjuk padaku dengan sendoknya.
"Belum kok," sahut Ayah sambil tertawa.
“Nah, berarti tidak ada masalah. Fian juga sampai sekarang masih single. Terlalu sibuk ngajar dan kuliah terus, hahahha."
I hate this situation. Lagi-lagi tiga orang laki-laki ini bahas masalah nikah. Hal sensitif yang paling aku hindari. Apa nggak ada bahan obrolan lain? Ujung-ujungnya menjodohkan ku dengan Pak Agam.
Bimbang antara ingin menolak dan takut nilai resumeku jelek, aku diam beberapa saat. Semoga mereka segera membahas hal lain.
"Aku sih sangat setuju kalau Nada bersedia. Tinggal kita tentukan tanggalnya saja," ujar Ayah, seolah aku tidak ada di sana.
Ini sudah terlalu jauh, tidak bisa dibiarkan! Aku mendongak menatap Ayah. "Maaf, Yah. Saya punya pilihan sendiri. Sekarang Nada sedang dekat dengan seseorang." Kutahan emosi dan berusaha sesopan mungkin mengatakan hal itu.
“Oh, ya? Waduh kita telat, Fian,” sahut Om Wigyo.
"Kok kamu nggak pernah cerita."Wajah Ayah yang semula riang berubah serius seketika.
"Iya, maaf. Dia teman sekelas," jawabku tegas. Kulirik Pak Agam yang tiba-tiba menghentikan makannya. "Nanti Nada perkenalkan pada Ayah.”
"Ya, sudah. Kapan-kapan ajak kemari, mumpung Ayah di Malang," timpal Ayah dan kembali makan seperti tidak terjadi apa-apa.
Aku tersenyum penuh arti pada Pak Agam. Rasakan! batinku.
Pak Agam balas menatapku seperti sedang memikirkan sesuatu. Kubalas tatapannya dengan berani. This is my life, my teritory.
Tidak ada yang berkata-kata lagi setelah perbincangan tadi. Sampai Ayah dan Om Wigyo selesai makan. Mereka kembali ke ruang tamu untuk berdiskusi sambil ditemani kopi masing-masing. Hanya tertinggal aku dan Pak Agam di meja makan. Padahal dia juga sudah selesai, tapi tidak buru-buru ikut ke ruang tamu.
Tanpa bicara kuambil piring-piring dan alat makan yang kotor. Dia ikut berdiri ketika aku membereskan meja makan.
"Sini aku bantuin," katanya sambil mengangkat piring yang kutumpuk di sisi meja makan.
"Nggak usah, biar saya beresin sendiri. Mas Fian ke depan saja, sudah ditunggu," kataku kikuk mengambil tumpukan piring di tangannya.
Sayangnya dia tidak mau melepaskan piring itu begitu saja. "I insist," katanya memaksa.
"Nggak usah!" Kutarik agak keras. "Kamu, apa-apaan sih. Lepasin, nggak?"
"Aku bukan orang yang mudah melepaskan sesuatu. Ingat itu, Serena." Suaranya penuh dengan nada ancaman.
"Ya udah, kalau gitu taruh sana," jawabku kesal sambil berlalu ke dapur.
Dia mengikutiku ke dapur, meletakkan piring itu di wastafel. Tanpa kuduga, ia mengambil spons cuci dan hendak mencuci tumpukan piring tersebut.
"Sudah, biar aku saja." Kurebut spons cuci piring dari tangannya.
Dia melepaskan spons itu tapi tidak beranjak dari sana. Hanya bergeser mundur ke arah dinding sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Bersandar di dinding, ia mengamatiku yang sedang mencuci piring.
"Ini tamu nggak sopan banget," kataku bersungut-sungut.
"Kamu tambah cantik kalau marah." Tidak kugubris perkataannya barusan. "Ayahmu dan Om Wigyo setuju jika kita segera menikah."
Aku tertawa mendengarnya.
"Jangan konyol, itu hanya obrolan basa-basi antara dua sahabat. Kukira Anda lebih cerdas Bapak A-gam Al-fi-an-syah pe-ha-de," kuberikan penekanan pada gelarnya.
"Tapi kelihatannya mereka tidak main-main. Jadi, kapan kamu siap dilamar?"
Aku mendadak menghentikan semua aktivitas. Seluruh piring sudah selesai kucuci. Sekarang saatnya meladeni Dosen killer yang kurang kerjaan ini.
Aku membalikan badan, menghadapnya langsung. Belum sempat aku mengatakan sesuatu, Pak Agam berjalan mendekat. Otomatis aku mundur, tapi punggungku tertahan oleh wastafel.
Mau apa dia? Kenapa situasinya jadi seperti di komik-komik? Tanganku terkepal di sisi tubuh, memasang kuda-kuda. Jika dia berani macam-macam aku sudah siap.
Jarak di antara kami kurang dari satu langkah. Ini terlalu dekat, bisa kucium wangi after shave-nya yang segar. Pak Agam tersenyum padaku sementara satu tangannya terulur ke sisi tubuhku.
"Jangan tinggalkan kran mengalir. Matikan jika tidak digunakan," ucapnya santai di dekat telingaku. Kudengar suara kran air diputar sampai berhenti.
Betapa bodohnya aku, sampai lupa mematikan kran air. Ini semua gara-gara dia bertanya tentang lamaran.
Aku tidak berani mendongak. Semua kata umpatan dan bantahan yang ingin kuucapkan, tertelan kembali. Kami sama-sama bergeming dalam keadaan itu untuk beberapa saat.
"Fiaaaan! Kamu di mana?" teriakan Om Wigyo menyelamatkanku dari situasi ini. Dia berbalik dan meninggalkanku tanpa berkata apa-apa lagi.
Tubuhku terasa lunglai, masih bersandar pada pinggiran wastafel sambil menarik nafas lega. Rasa benciku semakin naik ke ubun-ubun. Memangnya siapa dia, berani-beraninya mengatur hidupku dan mengintimidasi seperti itu. Dasar! Nggak di kampus nggak di sini, kerjaannya bikin orang keki saja.
Kubasuh muka sambil menenangkan diri. Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus segera memperkenalkan Rendra pada Ayah. Sehingga si Fian itu tidak akan berani menggunakan Ayah untuk mendekatiku lagi. Aku melangkah keluar dengan tersenyum mendapat ide itu.
Rupanya Ayah dan Om Wignyo sudah selesai berdiakusi. Sementara itu Pak Agam sedang memindahkan peralatan untuk mengukur tanah ke dalam mobil. Di belakangnya, Ayah menenteng berkas yang sudah disiapkan semalam.
Akhirnya mereka akan pergi juga. Yeeeees!
"Kayaknya pulangnya agak sore," kata Ayah.
"Iya Ayah, hati-hati." Kucium tangan beliau sebelum naik ke mobil Pak Agam.
"Makasih banyak sarapannya, Serena" kata Om Wigyo dari kursi penumpang depan.
"Sama-sama Om, hati-hati," jawabku sopan.
Pak Agam tersenyum padaku dari kursi sopir dan kubalas dengan anggukan sopan. Dia menyalakan mesin lalu mengklakson sekali.
“Assalamualaikum,” ucapnya.
“Waalaikum salam,” jawabku.
*
Tiga puluh menit kemudian aku sudah tenggelam dalam dunia fantasi. Namun pertanyaan Pak Agam membuatku tak bisa membaca satu kalimat pun tanpa mengulang.
Capek juga harus berkali-kali membolak balik halaman karena otakku tidak bisa mengikuti jalan cerita. Meskipun berusaha fokus, tapi pikiranku benar-benar tidak bisa diajak bekerja sama.
Aaaarrrggg!
Kuhempaskan tubuh di atas kasur bersama novel yang terlempar agak jauh dari tangan. Pikiranku melayang kembali pada rencana untuk mengenalkan Rendra.
Aku bangkit dari tidur dan duduk di sisi kasur hendak meraih ponsel bercasing biru di atas meja. Rasa ragu mulai menjalar, tapi aku harus melakukannya.
Hampir saja aku berteriak gara-gara kaget mendengar ringtone Ed Sheran berbunyi. Biasanya lagu itu akan membuatku tenang, tapi sekarang terdengar seperti background film thriller.
Setelah menepuk dada beruang kali untuk menenangkan diri, buru-buru kuambil ponsel itu. Panggilan dari nomor tidak dikenal.
Terima atau tolak? Aku masih berpikir dan panggilan itu terhenti. Biar saja, mungkin orang iseng. Tidak lama berselang panggilan itu berbunyi lagi dari nomor yang sama. Akhirnya, kugeser tombol terima.
"Hallo, Serena."
Suara berat itu seperti bisikan mesra di telinga. Kujauhkan ponsel dari telinga untuk melihat layarnya. Nomor siapa ya? Agar tidak terlalu mengerikan, kutekan tombol loudspeaker.
"Hallo, Nada. Kamu di sana?" Suara itu tidak asing.
“Ini siapa ya?"
"Agam." Hampir saja ponselku terlepas dari genggaman.
"Mau apa kamu?" Gara-gara kaget, aku kasar banget. "Ma-maksud saya, ada apa ya Pak, eh Mas?" Kutepuk dahiku sendiri.
"Hape Om Guntur ketinggalan. Dia minta tolong aku buat telepon kamu. Tolong cek, apa benar tertinggal di rumah?" katanya serius.
"Oh, iya-iya. Maaf ya, Pak-eh-Mas. Saya kira siapa tadi, nomornya belum tersimpan," jawabku gugup.
"Nada," suaranya menghentikan langkahku ke luar kamar.
"Iya?"
"Simpan nomor saya. Dan jangan lupa perjanjian kita tentang resume itu masih berlaku." Suaranya sedikit direndahkan. Tapi tegas dan tak terbantah.
"Em, eh. Iya, Mas."
Dengan sedikit frustasi aku berjalan ke ruang tamu. Kosong, tidak ada hape Ayah di sana. Lalu aku ke kamar Ayah, ternyata hapenya tertinggal di meja.
"Hallo, ada orang di sana?" tanyaku ke seberang.
"Gimana? Ada?"
"Ada, Mas. Di kamar Ayah."
Kudengar Pak Agam berbicara pada Ayah di kejauhan.
"Hallo, Nad." Suara Pak Agam terdengar kembali, kali ini lebih pelan. "Om Guntur sudah kukasih tahu. Makasih, ya."
"Iya, Mas. Sama-sama."
"Betewe, nanti malam temani aku ke festival Malang Tempo Doeloe, ya?" lanjutnya.
Gawat! Dia berani ngajak keluar, dan aku yakin Ayah pasti tidak keberatan.
"Kamu pasti belum pernah ke sana ’kan?" tanyanya lagi.
"Maaf, tapi saya sudah ada janji dengan orang lain."
"Menurut perjanjian bukankah kamu harus menuruti permintaanku?" Sebuah kalimat retorika untuk memaksa.
Karena aku hanya diam, akhirnya dia berkata,"Oke. Sudah dulu ya, nanti kita bicara lagi lagi. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam." Langsung kututup telepon seketika.
Aku merapatkan punggung ke dinding untuk mencari sandaran. Ini tidak bisa ditunda lagi. Ayah harus segera bertemu Rendra.
Masih dengan berdiri, kucari nomor kontak Rendra dan meneleponnya. Terdengar nada sambung, kutunggu. Sampai terdengar suara mbak-mbak mesin penjawab, dia tidak mengangkat panggilanku.
Kemana dia ya?
Coba kutelepon sekali lagi. Masih sama, tidak diangkat. Akhirnya aku menyerah. Lebih baik ku-chat WA saja dia.
me: aku telepon, nggak diangkat √√
me: sibuk ta? √√
me: lagi ngapain sih? √√
me: kalau nanti malam, sibuk gak? √√
me: bisa nggak kita ketemuan? √√
me: aku pengen ngomong √√
me: penting √√
Semoga saja dia segera menjawab.
Masih duduk dilantai, kupandangi layar gawai dari chat WA ke aplikasi Mangatoon bergantian. Penantianku akan jawaban Rendra berakhir ketika rasa lapar menyerang.
Aku bergegas meninggalkan kamar Ayah menuju kulkas, mencari sesuatu untuk pengganjal lapar. Lumayan, masih ada roti dan dua butir apel. Sambil mengunyah, kuperiksa ponsel. Masih tidak ada jawaban dari Rendra. Yah sudahlah. Lebih baik setelah ini aku salat lalu berusaha tidur.
*
Aku baru saja keluar dari kamar mandi ketika terdengar deru mobil berhenti di depan rumah. Buru-buru kusambar jilbab ungu lalu berlari ke ruang tamu untuk membuka pintu.
"Assalamualaikum," kata Ayah begitu masuk halaman.
"Waalaikum salam," jawabku sambil mencium tangan beliau.
Ayah masuk ke rumah sambil menenteng tas. "Bantuin Fian masukin alat ke bagasi mobil Ayah," perintahnya padaku.
Aku mengangguk dan bergegas masuk ke kamar Ayah untuk mengambil kunci mobil. Pak Agam sedang mengeluarkan beberapa barang dari mobilnya ketika aku berhasil membuka bagasi mobil Ayah. Setelah itu, aku menghampirinya.
“Kata Ayah, langsung dipindah ke mobil sini," ujarku padanya.
"Oke," jawab Pak Agam singkat.
Aku hendak mengangkat kaki tiga, tapi dicegahnya.
"Sudah, biar aku saja. Tolong bikin kopi saja, ya," pintanya padaku dengan tersenyum.
Seketika perutku terasa mulas. Kenapa senyumnya membuatku grogi? Pak Agam melewatiku yang masih terpaku di belakang mobilnya.
Oh, iya bikin minum.
Aku bergegas masuk ke dalam rumah tanpa menoleh lagi. Laju detak jantungku rasanya berpacu, nervous!
Sesampainya di dapur, aku menghela napas, inhale, exhale, inhale, exhale. Kupanaskan air dalam teko sambil mengintip ke luar. Rupanya Pak Agam sudah duduk di ruang tamu. Ayah keluar dari kamar sudah berganti pakaian dan memakai sarung, seperti hendak salat. Beliau pergi ke ruang tamu.
"Kamu mandi dan salat di sini saja sekalian, baru pulang," kudengar kata Ayah pada Pak Agam.
Ayah masuk ke ruang tengah diikuti Pak Agam.
"Pakai saja kamarku untuk salat, itu ada sarung di atas kasur," kata Ayah lagi.
"Makasih Om," jawab Pak Agam lalu masuk ke kamar Ayah. Setelahnya, Ayah masuk ke kamarku untuk salat.
Air di dalam teko sudah mendidih. Segera kuseduh dua cangkir kopi. Setelah selesai mengaduknya kuletakkan di atas nampan dan membawanya keluar.
Aku berjalan santai ke ruang tamu melewati kamarku lalu melewati kamar Ayah yang pintunya terbuka. Kulihat Pak Agam sedang salat. Di meja ruang tamu kuletakkan kopi lalu duduk.
Aku bingung juga mau kemana setelah ini, di kamarku ada Ayah. Mau ke dapur juga tidak ada yang bisa kulakukan. Mau duduk di ruang makan nanti ketemu Pak Agam pas keluar kamar. Ya sudah aku duduk di sini saja sambil manyun.
"Ehem," suaranya mengagetkanku.
Dia tampak sangat segar, rambutnya yang ikal sedikit basah dan tampak tersisir ke belakang. Sambil tersenyum dia duduk di hadapanku.
Ayah ke mana sih? Mau kutinggal tapi nggak sopan juga.
"Gimana, nanti malam? Mau kan jalan-jalan ke Malang Tempo Doeloe? Nggak harus pakai baju jadul kok," katanya.
"Waduuh, saya nggak punya. Eh, maksud saya. Sudah ada janji sama teman," elakku.
Satu alisnya terangkat. Entahlah, meskipun dia menyadari kebohonganku aku tidak peduli. Lagian Rendra sudah ku-WA.
"Om Wigyo mana?" tanyaku berusaha mengalihkan perhatian.
"Dia tadi langsung minta di antar ke rumah adiknya di Kepanjen. Besok ada acara lamaran keponakan katanya," jawab Pak Agam.
"Ooo," timpalku sambil manggut-manggut.
"Om Guntur mana ya, aku mau pamit," katanya tiba-tiba.
"Biar aku panggilkan. Silakan diminum dulu," jawabku sambil beranjak.
"Serena?"
"Ya?" Aku berhenti berjalan dan menoleh padanya.
"Makasih ya, kopinya," katanya sambil mengangkat cangkir. Senyumnya mengembang sebelum bibirnya menyentuh cangkir. Tapi kedua manik mata berwarna biru kelam itu tidak melepaskan pandangannya dariku.
Aku menelan ludah dengan kikuk. Segera kutundukkan pandangan dan setengah berlari masuk ke dalam.
Pintu kamarku terbuka. Melihat kedatanganku, Ayah yang sedang berbaring santai di kasur menoleh. Sebuah novel yang tidak selesai kubaca ada di tangannya.
"Ayah, tamunya mau pulang tuh," kataku.
"Kamu masih sempet baca novel, ya," kata beliau sambil beranjak bangun.
Aku hanya garuk-garuk kepala sambil menghampiri tempat tidurku yang berantakan oleh novel.
"Kupikir kalian mau ngobrol dulu. Makanya Ayah nggak mau nggangu," kata Ayah sambil berjalan melewatiku dan tersenyum penuh arti.
Tidaaaaaaaak! Ayah ikut mendukung dosen itu.
Begitu terdengar suara Ayah dan Pak Agam sedang ngobrol di ruang tamu, kututup pintu kamar. Aku tidak keluar lagi sampai Pak Agam pulang. Sibuk menata tempat tidur dan menyusun sepuluh novel yang belum habis kubaca. Saat tanganku bekerja, penanda pesan WA berbunyi. Sebuah balasan yang mengecewakan dari Rendra.
Rendra: [Maaf gak bisa keluar, malam ini. Aku sedang persiapan, besok ada acara keluarga]
Rendra: [see u soon]
me: [ok ]
me: [oh iya ransel dan lepimu masih di aku]
Rendra: [bawain ya Senin]
Rendra: [makasih.]
Apakah artinya aku harus keluar dengan Pak Agam malam ini?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 319 Episodes
Comments
Indah Lestary
Kepanjen asalku Thor😉
2020-05-04
0
Iwin Soviyatiningsih
jangan2 Rendra keponakannya om wignyo???
2020-04-09
0