Dua hari telah berlalu dan waktu yang disebutkan telah datang. Selasa kemarin Pak Agam memintaku menemuinya di ruang dekanat, sore ini setelah ujian jam terakhir.
Usai ujian matakuliah Ekonomi dan Bisnis Indonesia, aku bergegas menuju tempat yang disebutkan Dosen mikroekonomi itu. Rendra tidak jadi mengantar karena mamanya menelepon, ia diminta segera pulang.
Alhamdulillah ujian hari ini cukup sukses. Benar-benar di luar ekspektasi, Pak Syamsul memperbolehkan open book. Meskipun begitu, hatiku masih tidak bisa tenang jika semua belum beres. Jumat besok jam dua siang, masih ada ujian satu mata kuliah terakhir.
Di lorong lantai satu, kakiku melangkah keluar dari lift, bergegas menuju ruang dekanat yang bersebelahan dengan ruang seminar. Doa terucap dalam hati tanpa putus.
Seperti biasanya lampu-lampu di koridor sudah dinyalakan meskipun di luar belum gelap. Ruang seminar yang biasanya gelap jika tidak digunakan juga sudah menyala terang.
Berhenti tepat di depan pintu ruang dekanat, napas mulai memburu. Dua kali ketukan di daun pintu cukup menjadi penanda bahwa aku akan masuk. Setelah memutar kenop, pelan-pelan kudorong daun pintu dengan hati berdebar.
Kosong, tidak ada seorang pun di dalam ruangan yang cukup luas ini. Keraguan menyelimuti hatiku untuk menunggu Pak Agam di dalam. Sedikit creepy meskipun jam digital ponsel baru menunjuk angka 17:16.
Kututup kembali pintu itu, lalu berdiri menyandarkan punggung di dinding. Lebih baik aku menunggu di lorong sambil membaca Mangatoon untuk mengusir rasa gugup.
Usai membaca satu episode, kututup Mangatoon dan hendak beralih membuka WA. Perasaaanku semakin tidak enak.
“Maaf, saya terlambat.” Sapaan Pak Agam membuatku hampir melompat dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Degup jantungku berlari dengan ritme yang tidak beraturan.
“Ikut saya!” lanjutnya.
Pria dengan rambut sedikit gondrong itu tidak menuju ruang dekanat, tapi berbelok ke ruang seminar. Aku membuntutinya.
Setelah masuk, pintu kayu menutup otomatis di belakangku. Empat AC masih menyala, artinya ruang ini baru saja dipakai. Anehnya, keringat masih saja mengalir seperti orang kepanasan. Spontan aku mengelapkan kedua telapak tangan yang sedikit basah ke sisi jeans.
Dosen berkemeja hijau botol itu mengambil satu kursi di barisan depan dan meletakkannya berhadapan dengan satu kursi lain. Ia duduk lebih dulu, lantas mempersilakanku mengambil tempat di hadapannya.
Berada di ruangan sebesar ini hanya bersama Pak Agam, rasanya benar-benar seperti seorang terdakwa. Aku sama sekali tidak berani memandang lurus-lurus, fokus pada kakinya yang terbalut sepatu pantovel hitam.
“Saudara Serenade," panggilnya formal," saya sudah membaca tugas-tugas Anda sebelumnya. Kurang lebih tiga sampai empat paper."
Aku tidak berani menatap wajahnya yang tidak menampakkan emosi apa pun. Kuarahkan pandangan pada bibirnya yang bergerak teratur. Entah kenapa napasku rasanya tertahan.
"Tapi pada tugas terakhir yang saya baca di kelas kemarin, terlihat gaya penulisannya berbeda. Saya jadi penasaran dan ingin menanyakan hal itu,” lanjutnya.
Aku memilin ujung jilbab yang menjuntai di pangkuan.
“Satu lagi. Ada beberapa kemiripan dengan tugas yang dibuat oleh saudara Narendra Hadi Wijaya,” tandasnya pelan.
I am dead now! Jantungku mungkin berhenti berdetak. Aku pasrah, memang salah.
“Saya menunggu penjelasan Anda, saudari Serenade.”
“Maaf, Pak,” dadaku rasanya sesak, “re-resume i-itu, memang bu-bukan buatan saya sendiri,” kataku dengan gemetar. Mataku terasa panas dan mulai berair.
“Sa-saya siap menerima kon-konsekuensinya. Tapi, mohon berikan kesempatan me-menebusnya.” Sebutir bening runtuh ke pangkuan.
Tidak ada sahutan dari Pak Agam, membuat desing mesin AC terdengar keras.
Bayangan wajah Ayah yang kecewa berkelebat. Penyesalan mendalam yang kurasakan membuat dadaku semakin sesak. Seharusnya tidak kuterima tawaran itu, seharusnya juga aku tidak menyontek, seharusnya tidak main-main dengan fasilitas beasiswa yang sudah dipercayakan padaku.
“Saya ingin mengingatkan, bahwa karya ilmiah seperti makalah, essay, jurnal ilmiah, thesis, dan sebagainya adalah kekayaan intelektual seseorang. Sudah selayaknya kita menghargainya dengan tidak melakukan plagiasi atau pun mengakui karya orang lain."
"I-iya Pak."
"Tugas-tugasmu sudah cukup baik selama ini, dan saya sangat menghargai kerja kerasmu dalam mengerjakannya.”
Semakin banyak air mata menetes membasahi jilbab. Ceramah Pak Agam dengan nada yang menenangkan, semakin membuatku merasa bersalah.
“Jangan dikira saya tidak membaca satu per satu. Setiap tugas dari mahasiswa selalu saya pertimbangkan sebagai bahan penilaian. Dari tugas tersebut akan terlihat sejauh mana pemahaman kalian tentang materi yang sudah dipelajari, juga kemampuan masing-masing mahasiwa dalam penerapan yang berbeda-beda."
Kepalaku semakin menunduk menahan isakan agar tidak terdengar jelas. Pasti hidungku merah seperti badut, wajahku kacau. Seraya mengusap air mata di pipi, aku pasrah. Ini adalah konsekuensi akibat kecerobohanku sendiri.
"Saya harap, ini adalah kejadian pertama dan terakhir,” lanjutnya.
Aku masih diam, berusaha menghirup napas untuk menenangkan diri. Setelah beberapa saat Pak Agam tidak bersuara lagi. Aku mendongak.
"Te-terima ka-kasih banyak Pak atas te-tegurannya. Sekali lagi sa-saya mohon maaf.”
Kutatap sepasang mata biru kelam yang tampak terkejut. Aku yakin ada kekecewaan mendalam di sana.
Sejurus kemudian pandangannya berangsur-angsur melembut. Jujur saja, melihat reaksi beliau, rasa sesak di dadaku mulai berkurang.
“A-apakah saya bisa me-memperbaiki tugas sa-saya? Tolong beri saya kesempatan, Pak,” tanyaku mengiba.
Tanpa mengalihkan pandangan dariku, Pak Agam bangkit dari duduknya. Dengan kedua bertumpu pada lengan kursiku, ia mencondongkan tubuh.
Aku bergeming menatap satu sudut bibirnya yang melengkung ke atas. Lalu sedetik kemudian aoma tubuhnya juga melingkupi indera penciuman, membuatku semakin susah bernapas. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk menambah jarak, ini terlalu dekat. Aku menempelkan punggung pada sandaran kursi berusaha menjauh.
“Jika kamu bersedia melakukan beberapa hal," ia mengangkat sebelah alis, "mungkin aku bisa mempertimbangkan untuk mengubah nilaimu menjadi lebih baik.” Pak Agam mengatakannya dengan pelan dan jelas.
Kurasakan gelombang intimidasi yang dikirimkannya. Tubuhku menegang seketika. Sementara tanganku mencengkeram ujung jilbab.
“A-a-apa yang ha-harus saya lakukan, Pak?” tanyaku gugup. Tanpa sadar aku menggigit bibir bawah, setelahnya.
Tidak menjawab, dia malah memandangku dengan intens. Jakunnya terlihat naik turun. Setelah menembuskan satu napas berat, ditundukkannya kepala. Rambutnya yang hitam legam terpampang di hadapanku, sepertinya sangat halus jika disentuh.
Apa! Kenapa aku malah berpikir yang tidak-tidak?
Ujung jilbab yang kuremas telah basah. Mungkin juga bagian jilbab yang menempel di pipi dan pelipis, karena keringat semakin mengalir deras.
Rasanya seperti setahun kami terdiam dalam posisi seperti ini, sampai dia mendongak dan tersenyum. Sebagian rambut di atas dahinya terlihat berantakan. Gelombang embusan udara panas yang keluar dari napasnya, membuatku semakin sulit berpikir jernih.
Sebelum aku benar-benar pingsan, segera kuulangi pertanyaan tadi, “Apa yang harus saya lakukan, Pak?”
Pak Agam masih saja bergeming, tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Untunglah kemudian ia melepas pegangan tangan di lengan kursi, seraya berdiri.
Mendapat ruang bebas, hidungku menghirup udara banyak-banyak.
Pak Agam melihat jam tangan sejenak, “Hampir magrib," ujarnya, kemudian kembali menatapku.
"Untuk sekarang, cukup. Kamu pulang saja dulu. Nanti kuhubungi untuk kompensasi tugas tambahannya.” Dia kembali memasang wajahnya yang sangar dan dingin.
Orang ini benar-benar creepy. Sekilas aku merasa sedikit aneh, dia menggunakan kata aku-kamu, bukan saya-Anda. Menepis semua isi otak yang berkabut, aku tidak berani protes.
Pak Agam berjalan menuju ke pintu lalu membukanya. “Selamat malam, Serenada," pamitnya sebelum keluar ruangan.
“Malam, Pak,” jawabku singkat.
Aku masih mematung di tempat, memikirkan yang baru saja terjadi. Desing suara AC menyadarkanku yang kini sendirian di ruangan ini. Entah apa yang ada di dalam pikiran orang itu.
Mungkinkah dia meminta konsekuensi yang aneh-aneh? Ah tidak mungkin, kode etik Dosen pasti tidak akan dilanggarnya. Apalagi menyalahi norma demi keuntungan pribadi. Tapi, siapa yang tahu?
Haduuuhhhh! Bagaimana bisa aku selalu terjebak dalam situasi yang genting seperti ini? Dulu diusir dari kelas, sekarang ketahuan copas tugas teman. Kapok rasanya!
Mendadak pintu kembali terbuka. "Nada, kamu masih di sini?" Pak Agam kembali masuk ruangan.
Aku spontan berdiri. "Eh iya, Pak."
"Saya tadi lupa matikan AC-nya." Dia meraih remote AC yang tergeletak di meja depan lalu mematikan keempat pendingin ruangan itu.
"Ayo pulang!" ujar sambil Pak Agam menahan pintu untukku. Namun setelah aku di dekatnya, "Nanti malam aku jemput sehabis magrib untuk membicarakan kompensasi tugas tambahannya."
"Eh, maksudnya bagaimana Pak?"
"Yah, bisa kita bicarakan urusan ini di luar kampus. Di kedai bakso sebelah misalnya," jawabnya masih memegangi pintu.
"Kita ketemu di sana saja, Pak. Tidak usah dijemput." Tidak ada pilihan lain untuk menolak. Setidaknya dia tidak perlu ke rumah.
"Oke sampai ketemu jam tujuh."
Pak Agam menutup pintu setelah kami berdua keluar ruangan. Aku berjalan di belakangnya demi kesopanan. Tumben juga kali ini ia tidak protes.
Di persimpangan menuju lift, seseorang datang dari arah seberang. Ia menganggukkan kepala pada Pak Agam yang hendak masuk ruang dekanat.
Waduh, sial!
“Hei, Nad!" sapa cewek centil itu setelah Pak Agam berlalu. Ia berjalan mendekatiku.
“Hai, Nev,” jawabku salah tingkah, “kamu ngapain di sini?"
“Hapeku ketinggalan di kelas tadi.” Neva mengangkat hape yang ada di tangan kirinya. ”Kamu habis ketemu Pak Agam, ya?” selidiknya.
Miss Nevariana tidak akan melepaskan buruannya begitu saja. Maka aku hanya tersenyum, biar dia menyimpulkan sendiri.
“Eh, Nad. Kamu nangis, ya,” ucapnya sedikit terkejut melihatku dari dekat.
Buru-buru kuusap mata dan pipiku. “Ooooh ini, tadi kelilipan. Ruang seminarnya berdebu. Aku alergi,” jawabku ngaco. “Udah ya aku pulang duluan, keburu magrib. Baaaaay,” tukasku meninggalkan Neva yang masih penasaran.
Sambil setengah berlari, aku me-replay adegan di ruang seminar tadi. Rasanya ingin segera berbaring di kasur. Benar-benar sore yang sangat melelahkan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 319 Episodes
Comments
Soenaryati Atiek
pak Agam mengambil kesempatan
2021-06-21
0