“Will you marry me?"
Eh bukan!
Pertanyaan Rendra siang tadi malah bikin pikiranku suntuk. Padahal, harusnya jalan-jalan ke Batu bisa membuat suasana hati membaik. Bukan itu saja, ingatanku pun melayang pada bendelan kertas yang diberikan si Panda itu tadi pagi.
Biar saja kukumpulkan paper kebijakan fiskal, itu. Tinggal memberi nama dan NIM—Nomor Induk Mahasiswa—di halaman depan. Meskipun sebenarnya terbersit perasaan tidak enak untuk mengumpulkan tugas itu atas namaku. Lagi pula aku masih juga harus belajar untuk ujian besok.
“Rendra,” bisikku lirih.
Beruang madu itu mendadak so sweet akhir-akhir ini. Setelah mengetahui track record-nya sebagai playboy dengan banyak mantan yang cantik-cantik, membuatku semakin ragu. Belum lagi ada Mirna, gadis yang dipilihkan mamanya sebagai calon istri. Juga Neva, si centil yang kelihatan banget naksir dia sejak hari pertama.
Sebenarnya tadi aku masih ingin berlama-lama di sana bersamanya, tapi bagaimana lagi? Untung saja sudah ada di rumah saat Ayah datang tadi sore. Seandainya Ayah datang ketika aku masih di Batu bersama Rendra, bisa panjang ceritanya nanti.
Sedang apa dia sekarang ya? Apakah Rendra benar-benar serius dengan ucapannya?
“Nad, Nada,,” panggil Ayah.
Senyum di bibirku yang terbentuk tanpa sadar karena memikirkan Rendra, menghilang seketika. "Eh, i-iya, Yah,” sahutku gelagapan.
Ternyata mobil yang kami tumpangi sudah berada halaman parkir Hotel Perdana, salah satu hotel kenamaan di Kota Malang. Bahkan aku tidak menyadari jika mesin mobil sudah mati. Seatbelt Ayah sudah terlepas dan tangannya berada di handle pintu.
“Ayok turun. Ngelamun saja kamu dari tadi,” perintah Ayah sambil keluar.
Sebenarnya aku tidak ingin ikut kemari, tapi Ayah memaksa. Beliau menyuruhku menemaninya makan malam bersama kolega baru. Tidak biasanya Ayah melibatkanku dalam bisnisnya. Tahu apa aku tentang tanah dan bangunan? Tidak ada! Jadi kesimpulannya adalah Ayah hanya ingin mengajakku makan bersama, mumpung gratis.
Meskipun begitu, sempat pula aku bingung menentukan outfit malam ini. Karena acaranya nonformal, jadi kupakai saja kulot hitam polos dipadu turtleneck biru muda dan cardigan bahan rajut selutut berwarna navy. Tidak ketinggalan jilbab motif abstrak serta sematan bros dagu yang simpel. Untuk alas kaki kupilih selop wedges bertali agar terlihat sedikit formal.
Sekilas kutatap riasanku di spion. Bedak tipis dan lipgloss orange memberi kesan fresh dan natural. Segera saja kucangklong sling bag rajut berwarna biru dongker sebelum keluar mobil.
Aku mengekor Ayah menuju restoran hotel. Kami disambut oleh seorang petugas berbaju batik yang membukakan pintu dan mengucapkan selamat datang. Restoran yang berada di lantai dasar hotel ini, memiliki dua akses masuk. Pintu yang kulewati tadi adalah pintu samping, khusus akses dari luar hotel. Satu lagi ada pintu utama yang harus melewati lobi terlebih dahulu.
Ruangan resto ini cukup luas dengan tatanan meja kursi kayu dan bernuansa klasik. Mataku terpaut pada lukisan dan foto-foto Malang Tempo Doeloe yang ada di dinding. Terlihat beberapa tamu sudah duduk di meja masing-masing sedang menikmati hidangan. Beberapa tamu baru datang, masuk lewat pintu dari seberang yang langsung ke lobi.
“Selamat malam, Pak. Meja untuk berapa orang?” tanya seorang pelayan pada Ayah.
“Teman saya sudah reservasi sore tadi. Atas nama Bapak Suwignyo,” jawab Ayah.
“Oh, sebelah sini, Pak. Silakan ikuti saya” kata orang itu.
Kami berjalan ke arah kiri menuju ruangan lain. Ruangan ini lebih luas dibandingkan yang pertama. Masih memiliki tema senada, dindingnya dilapisi wallpaper motif kayu berwarna dasar kuning cream. Lampu-lampu kristal menggantung dari langit-langit yang tinggi.
Sepertinya ruangan ini lebih ekslusif, karena pengunjung tidak seramai di ruang sebelumnya. Terdapat pembatas kaca tebal berlukis untuk memisahkan antara meja satu dengan lainnya, sehingga memberikan privasi pada masing-masing kompartemen. Setelah melewati dua kompartemen kosong, pria itu berhenti dan menunjukkan meja kami.
“Terima kasih,” kata Ayah sambil mengangguk padanya.
Di satu meja oval besar berkapasitas enam orang itu duduk seorang pria sebaya ayah. Dia menoleh mendengar kedatangan kami.
“Wah, kalian sudah datang,” kata pria itu sambil berdiri dan menyalami Ayah.
“Ini Serenada, putriku” kata Ayah sambil menepuk punggungku. “Nah Nada, ini Om Suwignyo, teman lama sekaligus rekan Ayah.” lanjutnya.
Aku mengangguk sopan pada pria yang sebagian besar rambutnya beruban itu. Dia tersenyum lebar sambil memandang kami bergantian.
“Kok nggak mirip kamu, Gun? Cantik,” katanya.
Ayah spontan tertawa mendengar pujian Om Wignyo. Aku hanya meringis melihat tingkah mereka berdua. Jika saja Om Wignyo bertemu denganku tujuh tahun lalu mungkin dia tidak akan memujiku seperti ini. Saat kuliah aku sangat berantakan dan tomboy. Setelah diterima kerja, barulah berubah rapi dan lebih feminin.
“Ayo, duduk. Mau makan langsung juga boleh,” kata Om Wignyo menunjuk meja makan.
Di sana sudah tersedia berbagai hidangan Sea Food, nasi, juga beberapa jenis minuman. Ayah mengambil tempat di sebelah kanan Om Wignyo, sementara aku duduk di sebelah kanan Ayah.
Pada pinggiran meja di hadapan kami masing-masing, sudah tertata rapi satu set piring beserta kelengkapannya. Aneh, ada satu set lagi di sebelah kananku. Kami 'kan cuma bertiga.
“Fian belum datang, mungkin sebentar lagi” kata Om Wignyo seperti bisa membaca rasa penasaranku.
Ayah hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum. Melihat mimik kedua pria ini, aku merasa ada yang tidak beres.
“Jadi, kamu S2 jurusan apa, Nada?” tanya Om Wignyo berbasa basi.
“Ilmu ekonomi, Om.”
“Oh, ya? Kebetulan banget. Fian juga ngajar ekonomi atau bisnis, gitu.” lanjutnya.
Aku hanya mengangguk sopan. Mungkin orang yang bernama Fian itu dosen di kampus lain. Jika dia dosen pasca sarjana di kampus, sudah pasti aku pernah bertemu.
Sambil menunggu pria misterius itu, Om Wignyo dan Ayah berdiskusi tentang tanah dan persyaratan izin bangunan. Pembicaran mereka membuatku bosan. Akhirnya aku mengambil hape dan memeriksanya, tidak ada notifikasi apapun. Dari pada bengong, jariku langsung menuju aplikasi MANGATOON.
Namun pikiranku kembali kepada diktat kuliah yang belum tersentuh. Bagaimana tidak? Besok ujian akhir semester satu dan aku belum belajar sama sekali. Setelah pulang jalan-jalan bersama Rendra tadi, aku langsung tertidur karena capek. Baru bangun ketika Ayah datang sore harinya.
Kukira Ayah akan menginap di rumah malam ini, ternyata tidak. Beliau check in di hotel sejak siang tadi bersama Om Wignyo agar mudah berkoordinasi. Kata Ayah, malam ini sekalian mereka akan merencakan survei lapangan ke daerah Batu untuk besok pagi. Jadi Ayah ke rumah hanya ingin bertemu dan mengajakku untuk ikut makan bersama. Aku sempat menolak karena harus belajar malam ini, tapi Ayah bilang acaranya hanya sebentar saja.
“Assalamualaikum.” Suara bariton yang mengucap salam itu membuatku terlonjak.
Hampir saja hape-ku terlempar. Jantungku seperti mau copot rasanya, iramanya tidak beraturan dan lebih cepat. Tanganku spontan menepuk dada berkali-kali sambil berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam. Pemilik suara itu kini berdiri di belakang punggungku. Jika saja bukan teman Ayah, mungkin sudah kutinju orang itu.
“Waalaikum salam,” jawab Om Wignyo dan Ayah hampir bersamaan. “Naaah, akhirnya kamu datang juga, Fian” kata Om Wignyo.
Sosok tinggi itu berpindah ke sebelah kiri untuk menyalami Ayah dan Om Wignyo. Spontan aku menoleh ke arah yang bersangkutan.
Oh-my….
Aku terpaku melihat orang itu. Jadi, ini pemilik suara berat yang membuatku kaget tadi. Pantas saja suaranya terdengar familier. Apa aku berhalusinasi, ya? Kukerjapkan mata meyakinkan diri bahwa ini cuma kesalahan visual semata. Tidak berubah! ‘Dia’ yang namanya tak boleh disebut, benar-benar ada di sini. Oh-my-god!
Segera menundukkan kepala dalam-dalam, berharap orang itu tidak melihatku. Tapi sia-sia saja, dia mengambil tempat duduk yang telah disediakan, tepat di sebelah kananku. Perfect! Meskipun tidak melihat ke arahnya, aku tahu dia sedang memperhatikanku.
“Maaf saya terlambat, Om.”
Suaranya yang berat mengirimkan vibrasi aneh ke telingaku. Mungkin karena biasanya tidak pernah mendengar dia berbicara dari jarak sedekat ini. Telapak tanganku berkeringat semakin banyak sehingga hape yang ada di tanganku terasa licin.
“Nggak apa-apa, Alfian. Om Guntur dan Serenade baru saja nyampe, kok,” kata Om Wignyo.
Alfian … ? Bukankah cowok bersuara berat yang sedang duduk di sebelahku ini adalah Pak Agam? Dosen killer nomor satu yang telah mengusirku keluar kelas? It’s not make a sense!
“Jadi, Gun. Ini Alfian, anak sahabatku yang punya tanah itu. Fian ini juga dosen di kampusmu, loh Rena. Masih single pula.” Penjelasan Om Wignyo terpapar jelas dan terang.
Aku hanya diam mematung, tidak tahu bagaimana harus bereaksi dalam situasi seperti ini. Otakku yang mendadak beku masih berusaha memproses informasi tentang kejadian barusan. Agam … Alfian … Ya Allah, bodohnya aku. Nama lengkap Pak Agam ‘kan memang Agam Alfiansyah.
“Selamat malam, Serenade,” sapa Pak Agam.
Tak urung pula aku berjingkat. Kali ini, hapeku tidak beruntung. Benda malang itu lepas dari tanganku yang licin dan terjatuh tepat di antara kaki Mister Agam. Great! Tatapanku masih terpaku pada gawai yang tergeletak manja itu. Layarnya masih menyala.
“Tenang saja, biar kuambilkan.”
Kuikuti gerakan pria itu dengan kedua mata. Pak Agam meraih smartphone kesayanganku dengan satu tangannya. Kemudian dia memandangi layar yang masih menayangkan komik Pharaoh Concubine saat adegan si Firaun kehilangan Nevertari yang berpindah alam.
Pak Agam tersenyum. “Masih suka kartun, ya?” tanyanya sambil menyerahkan hape itu padaku.
Tubuhku membeku saat bertatapan langsung dengannya. Mata biru sedalam lautan itu mengunciku hingga tidak mampu bergerak. Wajahnya yang tampan membiusku sehingga tak mampu mengeluarkan suara. Bibirnya yang tersenyum membuatku lupa jika dia adalah dosenku.
Aku menunduk, dan terbeliak seketika. Pipiku semakin memanas, entah malu karena dia melihat adegan di hape, atau karena aku melempar hape tadi. I don’t know. Irama detak jantungku yang dari tadi belum sempat tenang, kini tambah berdentun-dentum.
“Ehem-ehem.” Suara batuk Ayah yang dibuat-buat membawaku kembali ke dunia nyata.
“Apa aku bilang? Mereka berdua bakalan cocok deh, Gun,” sahut Om Wignyo.
“Bener juga kamu, Yo. Bisa dicoba, siapa tahu jodoh,” timpal Ayah.
What? Aku tidak menyangka Ayah akan membuatku malu seperti ini. Bukannya tadi Ayah bilang cuma makan malam dengan koleganya? Kenapa berubah jadi acara perjodohan begini?
“Saya sih, tidak keberatan sama sekali. Entah Rena, mau atau tidak,” ucap Pak Agam.
“Menyebalkaaaaaaaaaan!” Ingin rasanya kuteriakkan itu keras-keras.
“Siapa juga yang mau sama orang sangar macam dia. Berdekatan dengannya seperti ini saja membuatku panas dingin teriritasi.”
Sayangnya aku tidak punya keberanian untuk mengatakan hal itu. Aku benar-benar terjebak dan mati gaya.
“Diam itu, berarti mau,” katanya lagi.
Mendengar ucapan Pak Agam, Om Wignyo dan Ayah malah tertawa bersama.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 319 Episodes
Comments
sa_
semangat kak.. aku baca smpe sini dulu.. bsk aku cicil lagi
2020-06-16
0
Ernawati
masih seru ceritanya
2020-05-30
0
Eny Suriyani Lestari
semoga Nada dan pak Agam ya thor
2020-02-21
0