“Sudah jelas ini adalah konspirasi!” rutukku dalam hati.
Maksudku pengaturan tempat duduk ini, aku berada di antara Ayah dan Pak Agam. Sehingga ketika ngobrol, mereka pasti memandang ke arahku. Sangat tidak nyaman bukan, ketika kau sedang makan dan ada yang melihat ke arahmu terus-menerus?
Apalagi menunya kepiting asam manis, yang pasti membutuhkan banyak effort. Benar-benar sangat menyusahkan ketika harus mengigit daging di capit kepiting dan di saat bersamaan harus beramah tamah pada Pak Agam. Seharusnya tadi aku mengambil udang tepung atau ikan bakar saja seperti Ayah, lebih simpel. Cumi-cumi yang diambil pak Agam juga kelihatan lezat. Tapi aku tidak bisa menolak godaan makanan yang satu ini, my lovely Mister Crab.
Pak Agam tersenyum seraya menggelengkan kepala. Mungkin dia berpikir aku adalah anak kos yang kelaparan. Tidak sepenuhnya salah, karena aku memang belum makan berat siang tadi. Sepulangnya dari jalan-jalan bersama Rendra, aku langsung tertidur karena capek. Baru terbangun ketika Ayah datang habis Ashar.
“Alhamdulillah.”
Pak Agam mengakhiri sesi makannya. Dia memundurkan kursi lantas berdiri. Lewat ekor mata kuamati dia, rupanya berjalan menuju wastafel yang berada di ujung ruangan.
Kulirik piringnya yang juga berisi cangkang Mr. Crab, tapi tidak sebanyak punyaku. Aku sebenarnya masih ingin makan lagi tapi sepertinya harus berakhir sampai di sini. Akan sangat memalukan, jika Om Wignyo atau Pak Agam melihatku seperti orang yang tidak pernah makan kepiting saja.
Memang benar sih, sejak kuliah ini aku tidak pernah lagi makan kepiting. Menu makanku di Malang kebanyakan lalapan ayam, ikan, lele, dan bakso tentunya. Sempat terpikir berburu seafood, tapi tidak ada waktu. Nanti saja, kuajak Rendra jika kuliah sudah longgar.
“Ayo tambah lagi, Nad. Nggak usah diet,” kata Om Wignyo yang disambut Ayah dengan tawa tertahan. Rupanya dia memergokiku memandang piring Pak Agam.
“Makasih, Om. Sudah kenyang.” Aku nyengir lalu ngacir ke arah wastafel juga.
Pak Agam yang kembali dari cuci tangan mendekat dari arah berlawanan.
Aku sengaja mengambil jalur agak ke kiri agar tidak berpapasan dengannya. Tidak kusangka dia malah menghadang jalanku. Jantungku seperti berhenti berdetak. Kini kami berdiri saling berhadapan.
Kenapa Dosen killer ini jadi sangat iseng? Dia kelihatan sengaja banget menggodaku.
“Emm, maaf Nad. Aku mau ke toilet, tolong minggir sedikit,” katanya.
“Eh, oh, anu, i-iya, silakan-silakan.” Aku baru menyadari bahwa sedang berada di depan jalur masuk menuju toilet setelah menoleh ke arah kiri. Ada tanda panah besar yang bertuliskan ‘REST ROOM’ menempel di dinding.
Setengah berlari aku menuju wastafel untuk menyelamatkan muka. Eh bukan, maksudku untuk cuci tangan. Walaupun rasanya ingin cuci muka juga, wajahku panas.
Sebelum kembali ke meja, aku mampir ke toilet wanita untuk sekedar memperbaiki penampilanku. Pasti nggak lucu kalau ada sisa saus asam manis yang belepotan di pipi atau bagian lain. Jujur saja aku tidak bisa makan kepiting dengan cantik, pastilah sedikit brutal.
Setelah memakai handwash dan mengeringkan tangan, aku mematut diri di cermin besar. Jilbabku agak miring dan terlihat juga beberapa cipratan saus. Coba kubersihkan beberapa noda dengan tisu yang dibasahi air, setidaknya untuk memudarkannya. Untungnya aku pakai jilbab square, jadi bagian dalam bisa dibalik menjadi di luar. Bahan shiffon-nya juga sangat membantu, sehingga bilasan tisu basah pada noda menjadi lebih cepat kering. Kutambahkan lagi bedak tipis dan memulas bibir dengan lipgloss orange sebelum keluar dan kembali ke meja.
Pak Agam telah menempati kursiku sesampainya aku di sana. Dia tampak serius berdiskusi dengan Ayah dan Om Wignyo. Dari beberapa percakapan yang sempat kutangkap, mereka sedang merencanakan teknis survey lapangan esok hari, apa saja yang perlu di bawa, serta surat-surat apa saja. Karena tidak ingin mengganggu aku mengambil duduk di seberang meja.
Sebenarnya aku ingin segera pulang, karena jam di hape sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Itu artinya kami di sini sudah dua jam. Sambil scrolling IG dan bersandar malas di kursi, pikiranku kembali melayang pada ujian besok. Semoga aku tidak mengantuk malam ini, sehingga bisa belajar dengan tuntas. Walaupun SKS alias sistem kebut semalam, paling tidak ada materi yang nyantol untuk bekal menjawab.
“Nada.” Aku menoleh ke arah Ayah. Rupanya diskusi mereka sudah selesai.
“Ya,” sahutku. Buru-buru menegakkan badan begitu melihat tiga orang pria yang sedang berdiskusi tadi memandang ke arahku.
“Kamu bareng Fian, ya. Dia sekalian pulang,” kata Ayah sambil melemparkan pandangannya pada Pak Agam.
Aku mengangguk karena bingung harus menjawab apa. Setelah itu Pak Agam berdiri sambil memasukkan sebelah tangannya ke saku celana. Rupanya dia mengambil kunci mobil. Aku buru-buru berdiri dan menghampiri ayah untuk mencium tangannya.
“Kami pulang dulu, Om,” kata Pak Agam berpamitan pada Ayah dan Om Wignyo. Dia menunggu di belakangku.
“Ati-ati, ya Fian. Bawa anak orang, dijaga baik-baik,” sahut Om Wignyo penuh arti. Aku tersenyum ke arah Om Wignyo setelah salaman dan Ayah mencium keningku.
“Nada Pulang, Ayah. Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam,” jawab mereka berbarengan.
Pak Agam menjajari langkahku selama perjalanan ke tempat parkir.
“Lewat sini Ren,” katanya sambil meletakkan tangan di punggungku. Ternyata ia membawaku keluar lewat lobi langsung ke parkiran depan.
Di belakang sebuah Fortuner hitam, Pak Agam berhenti. Setelah menekan remote dan membuka kunci, dia masuk ke tempat sopir dan membukakan pintu penumpang depan untukku.
“Terima kasih, Pak. Maaf saya merepotkan,” kataku setelah masuk di kabin depan.
Dia hanya tersenyum tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Tangannya sibuk menarik seatbelt dan memasangnya di sisi kursi. Buru-buru kumasukkan hape ke dalam tas, lalu segera memasang seatbelt juga. Pak Agam menstarter mobilnya, lampu mobil sudah menyala. Kemudian dimatikannya lampu kabin depan, membuat kami berdua dalam keremangan cahaya.
Tangan Pak Agam meraih sandaran kursiku, seketika aku terlonjak. Pak Agam tersenyum melihatku dan aku buru-buru menunduk. Ternyata dia hendak memundurkan mobilnya. Aduuuh, pikiranku sudah macam-macam saja.
Setelah keluar dari halaman hotel, kami melaju di jalan malam kota Malang. Bersama dengan Pak Agam di satu mobil tak urung membuatku merasa canggung. Bagaimanapun juga dia adalah dosenku. Apalagi aku punya catatan buruk di kelasnya. Beruntung Pak Agam tidak mengatakan pada Ayah dan Om Wignyo jika aku adalah mahasiswanya yang badung. Tapi sepertinya tidak akan lama lagi mereka juga akan tahu.
Pak Agam berkonsentrasi ke jalan, sementara aku memilih untuk memokuskan pandangan ke jendela. Lalu terdengar alunan lagu Perfect by Ed Sheran dari speaker mobil. Tidak kusangka Pak Agam juga penggemar Ed Sheran, padahal dia cukup sangar saat mengajar. Lagu itu membuatku cukup rileks. Tanpa sadar aku ikut bernyanyi dalam hati.
…
Baby, I'm dancing in the dark with you between my arms
Barefoot on the grass, listening to our favorite song
When you said you looked a mess, I whispered underneath my breath
But you heard it, darling, you look perfect tonight
….
Laju mobil perlahan melambat dan akhirnya berhenti. Mulanya aku heran, ternyata lampu lalu lintas sedang merah.
“Suka?” tanya Pak Agam tiba-tiba.
Aku menoleh ke arahnya tidak mengerti.
“Lagunya Ed Sheran,” lanjutnya.
Aku tersenyum dan mengangguk. Entah bagaimana awalnya hingga aku membayangkan bersama Pak Agam dalam lagu tersebut seperti video klip.
“Mikir apa?” Video klip tadi buyar seketika.
“Emmmm, anu. Mikir ujian besok.” Tiba-tiba terucap begitu saja. Pak Agam tersenyum.
“Belum belajar ya?” tanyanya lagi.
“Emmm, sudah sedikit.” Berikutnya mobil kembali melaju dengan pelan. Aku melemparkan pandangan lagi ke luar jendela.
“Kamu tinggal di mana?” tanyanya lagi. Rupanya Ayah belum memberitahukan alamatku.
“Perumahan dekat Lavalette.” jawabku.
Pak Agam manggut-manggut. Setelah dia kembali menatap jalanan, aku pun kembali melihat jendela. Tapi pandanganku tidak fokus pada pemandangan di luar sana, aku memperhatikan pantulan Pak Agam yang sebentar-sebentar menoleh ke arahku.
Ekspresinya berubah-ubah ketika sedang serius menyetir. Memang tidak terlalu jelas, tapi wajahnya yang tampan benar-benar terlihat mengagumkan dalam suasana remang seperti ini. Apalagi diiringi Lagu Ed Sheran yang cukup nge-beat, Shape Of You. Ah, ini terlalu kebetulan rasanya.
Apa aku sedang mengagumi dosenku sendiri? Pikiran warasku mengingatkan bahwa dia adalah orang yang telah mengusirku keluar dari kelasnya dengan kejam. Membuat teman-teman memusuhiku karena membuatnya mengajar dengan tegang. Apakah ini yang namanya sial?
“Serenade.”
Aku terlonjak lagi. Kupegangi dadaku yang rasanya mau copot. Aku tidak suka dia tiba-tiba dia memanggilku seperti itu. Keberadaannya di dekatku mengakibatkan seluruh inderaku waspada. Bahkan berulang kali membuatku terkejut dan tidak bisa rileks sedetik pun. Dia terlalu mengiritasi dan mendominasi.
“Apa kamu selalu terkaget-kaget kalau dipanggil?” dia menahan tawa “kamu nervous, ya?” Beberapa detik kemudian dia tertawa lepas.
Tanpa sadar aku mengerucutkan mulut dan memandangnya dengan kesal. Untungnya aku buru-buru sadar.
“Dia bapak dosenmu, Serena, yang menentukan nasibmu di kampus,” dalam hati mengingatkan diriku sendiri.
Ia masih saja terkekeh, ”Dari sini terus ke mana?”
“Belok kanan di tikungan pertama, setelah RS Lavalette.”
Pak Agam menyalakan lampu sein serta merapatkan mobilnya ke dekat marka garis putus-putus. Tepat di depan tikungan kami berhenti. Setelah arus yang berlawanan mulai sepi, mobil menyeberang jalan dan masuk ke jalan menuju perumahanku.
“Perempatan depan belok kiri, Pak,” kataku. Kenapa seperti ngomong dengan sopir Grab, ya? Aku terkikik dalam hati.
Tak lama, terlihat pos satpam dan portal perumahan sudah tertutup. Memang setelah jam sembilan malam, portal ditutup. Jadi kendaraan yang keluar masuk akan diperiksa lebih ketat. Pak Agam membuka kaca samping dan menghentikan mobil tepat di depan portal. Lampu kabin depan dinyalakannya.
“Malam, Mas,” sapa Pak Wahyono. Dia adalah salah satu satpam di kompleks kami. Aku melongok agar kelihatan olehnya. “Oh, Mbak Serena, toh,” sapanya padaku.
“Iya Pak, saya pulang kemaleman. Jadi dianterin,” jawabku ramah. Pak Wahyono manggut-manggut.
“Masnya kalau mau nginep harus setor KTP,” lanjut Pak Wahyono.
Belum sempat kujawab kalau dia tidak menginap, Pak Agam buru-buru mengambil dompet dan menyerahkan KTP.
“Terimakasih, Mas Agam, Mbak Rena.” Pak Wahyono lantas kembali ke pos jaga, portal dibuka.
Pak Agam menjalankan mobil sambil membunyikan klakson. Dua tikungan kemudian kami sampai di depan rumah. Mobil berhenti.
“Nad, tunggu,” kata Pak Agam ketika melihatku melepas seatbelt.
Sejenak aku menoleh padanya dengan bingung. Lalu kusandarkan punggung seraya memandangi kompleks perumahan yang sudah sepi. Terdengar helaan napas dari pria di sebelahku.
“Maaf kalau aku keterlaluan waktu di kelas.”
Aku tak tahu dia sedang melihat ke arahku atau tidak saat mengatakan itu. Suaranya yang berat lagi-lagi mampu membuat bulu kudukku merinding.
“Nada,” panggilnya.
Aku menoleh.
Pandangan matanya mengunciku lekat-lekat. Mengirimkan gelombang aneh yang mengalir dalam tubuhku.
”Soal perjodohan kita, aku serius,” lanjutnya.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Perasaanku campur aduk, tidak percaya, bingung, kaget, marah, kesal, entahlah. Apakah ini artinya aku harus memberikan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ sekarang juga? Zaman apakah ini? Setelah Rendra yang dijodohkan, lalu kenapa nasibku jadi ikut-ikutan?
Aku menghela napas sebelum mengatakan,”Maaf saya tidak tertarik dengan perjodohan atau apapun itu.”
Rahang Pak Agam tampak menegang beberapa saat, lalu kembali normal.
“Karena Rendra, ya?”
Aku kembali terkejut. Bagaimana bisa dia menyimpulkan seperti itu? Apa selama ini diam-diam dia mengamati kami? Apa haknya mencampuri urusan pribadiku? Kali ini Pak Agam sudah melewati batas.
“Maaf, itu bukan urusan Bapak. Selamat malam, terimakasih tumpangannya,” tandasku.
Sambil menahan emosi, aku keluar mobil. Rasanya ingin kubanting saja pintu ini, tapi aku masih sadar sedang berhadapan dengan siapa. Kukerahkan seluruh tenaga untuk menahan diri dan menutupnya perlahan. Tanpa menoleh lagi, segera kuambil kunci dari dalam tas untuk membuka pagar. Tanpa disangka, Pak Agam sudah berdiri di sampingku.
Tanganku berhenti mengobok-obok isi tas.
“Ada apa lagi?” tanyaku ketus. Kenapa dia tidak langsung pergi saja? Sangat menyebalkan!
“Hanya ingin memastikanmu masuk rumah,” jawabnya enteng.
Aku menjulingkan mata sambil kembali mengambil kunci. Aha! ketemu. Kumasukkan anak kunci ke gembok, lalu membuka pintu pagar. Embusan angin malam semakin membuat bulu kudukku meremang. Namun, pria di sebelahku ini seolah mengeluarkan radiasi panas yang tidak kasat mata. Buktinya, tiba-tiba telapak tanganku sedikit licin.
"Emmm, Nada.” Langkahku terhenti ketika hendak masuk.
“Ya?” tanyaku tak sabar, memandangnya jengah.
“I-will-get-you.”
Pak Agam mengucapkan kalimat itu dengan penekanan pada tiap kata. Sementara pandangan matanya terhujam padaku. Setelah beberapa waktu, ia memutuskan kontak mata sambil tersenyum, lantas masuk mobil.
Sikapnya tadi, benar-benar membuatku seperti orang bodoh, mematung selama beberapa saat. Klakson yang dibunyikan Pak Agam membuatku sadar. Dosen kece dalam mobil hitam itu telah menghilang di tikungan.
***
Thanks for reading this story' 🤗🤗🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 319 Episodes
Comments
mam Cahya
bagus ceritanya Thor ...👍
2021-07-11
0
Arum
say yes nada
2020-12-22
0
Murtini Sazaki
good story
2020-03-09
1