Semester dua telah berjalan hampir tiga bulan. Selama itulah hubunganku dan Narendra berjalan tanpa diketahui orang banyak. Hanya Ayah saja yang tahu, walau pun belum pernah bertemu dengan beruang madu itu.
Di kampus pun, seringnya kami sembunyi-sembunyi jika keluar hanya berdua. Semuanya kulakukan untuk menjaga hati Neva. Gadis yang sudah berjilbab itu, makin baik padaku belakangan ini, walau kadang-kadang masih menyebalkan juga sih kalau nyinyirnya kumat. Kasihan juga sebenarnya, dia seperti orang yang kurang perhatian. Apa mungkin karena belum menemukan pasangan hidup, ya?
Apa barusan kubilang, pasangan hidup? Ah, sepertinya otakku terlalu jauh berkhayal. Walau jalan sama Rendra, belum tentu juga dia menjadi pasangan hidupku kelak. Tapi paling tidak, ada seseorang yang bisa kuharapkan. Sejauh ini, semuanya berjalan lancar.
Kuliah juga tidak banyak kendala sampai saat ini. Meskipun sempat kesal gara-gara masih ada kuliah yang diampu Pak Agam untuk semester ini. Yang artinya, perjanjian kami masih berlaku, aku harus berakrab-akrab dengannya di luar kampus, dan memenuhi permintaanya jika ingin nilaiku tidak jatuh. Namun, aku harus berterima kasih padanya karena mata kuliah yang resumenya bermasalah di semester satu lalu mendapat nilai A-.
Hal lain yang patut kusyukuri adalah, dosen itu sepertinya mulai mundur karena tidak terlalu mendapat respon positif dariku. Kami jarang bertemu di luar kampus juga, jadi aman. Namun entah kenapa di kampus judesnya makin menjadi. Ampun dah pokoknya. Lama kelamaan dia seperti cenayang, bisa mengetahui mahasiswanya konsentrasi atau tidak. Sedikit meleng, bakal kena tegur.
Korban pun berjatuhan, hampir semua mahasiswa di kelasku kena. Mario dapat teguran plus dikeluarkan oleh Pak Agam karena tidak konsentrasi. Demikian juga dengan Neva, yang juga dapat giliran dikeluarkan dari kelas gara-gara ketahuan membuka ponsel di dalam kelas. Bahkan Rendra juga dikeluarkan untuk kali kedua karena bersikap acuh tak acuh pada pertanyaanya. Aku sebenarnya tidak suka dengan sikapnya yang seperti itu. Terkesan arogan. Pokoknya ketegangan kuliah semester ini, makin terasa horor kalau masuk kuliah Pak Agam.
Over all, my life is perfect.
Minggu depan tiba waktunya presentasi karena materi sudah habis, sebulan ini kami berkutat dengan tugas makalah dan riset. Lucky us, karena jumlah mahasiswa di kelasku hanya dua belas orang maka kemungkinan untuk satu kelompok dengan Rendra sangat besar. Sudah tiga tugas makalah aku selalu mendapat nomor undian yang sama dengannya sehingga kami punya alasan untuk sering mengerjakan tugas bersama.
Hari ini kami sedang melakukan undian untuk menentukan tugas terakhir kelompok presentasi. Jadi ketika kulihat nomor yang tertera di kertasku sama dengan Rendra, kukembalikan kertas itu dan mengambil kertas lainnya. Akhirnya aku satu kelompok dengan Mario dan Mbak Dina, sementara Rendra bersungut-sungut karena sekelompok dengan Neva dan Mas Agus.
“Pisah sementara ya Beb,” ujarku dalam hati.
Aku sedang di perpustakaan bersama Rio untuk mencari referensi sepulang kuliah. Mbak Dina tidak ikut dan pasrah pada kami karena memang kondisinya sedang hamil.
Ketika aku sedang membuat catatan, tiba-tiba Rio bertanya,"Kamu jalan sama Rendra, ta?"
Aku tersenyum menanggapinya. "Menurutmu?" tanyaku.
"Serius, Nad? Semua orang di kelas sudah kasak-kusuk. Cuma aku ndak percaya aja kalau ndak denger dari kamu sendiri," jelasnya.
"Keep secret ya, Bro. Please," pintaku. Mungkin sudah saatnya kami membiarkan orang lain tahu. Lagi pula, suatu saat pasti tidak bisa lagi menyembunyikan fakta ini.
Mario membuat gerakan menutup mulut lalu mengunci dengan tangannya. "Tapi, kamu 'kan tahu kalau Rendra sudah punya tunangan? Aku dua kali ketemu mereka jalan bareng di mall, loh." Penjelasan Mario sedikit membuatku terkejut.
"Ah, kamu salah lihat mungkin. Rendra gak nerusin pertunangan itu kok," elakku, "mungkin saudaranya kali." Walau sebenarnya muncul rasa tidak yakin. "Tapi waktu itu kamu negur dia kan?" selidikku.
"Ndak lah. Aku ndak berani. Takut dia marah atau gimana. Kamu tau ‘kan gimana Rendra," jawabnya.
"Emang kamu ketemu dia sama cewek di mana, Yo?"
"Di Malang Olympic Garden. Lagi makan di sana kemarin malam," jawabnya.
Obrolan dengan Rio lumayan membuatku berpikir. Jika memang Rendra sedang jalan dengan cewek lain, maka aku tidak akan memaafkannya. I hate a liar.
Kutepis kemungkinan terburuk harus putus dengan Rendra gara-gara ini. Ah, itu urusan nanti, sekarang lebih baik fokus sama tugas.
Belum selesai aku menyalin kutipan, kudengar suara langkah tergesa mendekati meja kami. Aku menoleh, Pak Agam sudah berdiri di sisi meja. "Serenada, ikut saya," pintanya.
Aduh, ada masalah apa lagi ini? "Ada apa ya, Pak?" tanyaku sesopan mungkin.
"Saya ada perlu dengan kamu." Pak Agam berbalik meninggalkanku yang sedang bengong.
"Sudah sana, cepetan ikuti Pak Agam! Dari pada kena masalah sama orang sangar itu. Biar aku yang lanjutin," kata Mario menyadarkanku.
"Oh, oke-oke. Sorry ya." Aku buru-buru membereskan meja dan setengah berlari menyusul Pak Agam keluar dari perpustakaan.
Menuju gedung Fakultas, kami berpapasan dengan beberapa dosen di lorong lantai satu, sampai akhirnya masuk ke ruang dosen. Tidak ada orang di ruangan besar ini, mungkin para dosen sedang mengajar atau bahkan sudah pulang. Tatanan meja kursi serta lemari buku dan loker berlabel nama masing-masing dosen berderet rapi.
Aku berjalan mengikuti Pak Agam menuju mejanya. Sampai di depan meja, kuatur napas yang agak ngos-ngosan.
"Silakan duduk."
Kuikuti perintahnya. Kami sekarang duduk berhadapan dipisahkan sebuah meja persegi panjang. Sambil melepas lelah, aku penasaran dengan tujuannya memanggilku.
Pak Agam mengeluarkan file holder berwarna hijau dari dalam tas lalu diserahkan padaku.
"Saya cuma mau menitipkan berkas pengajuan ijin ini pada Om Guntur. Katanya beliau mau balik ke Surabaya besok, ya? Aku nggak bisa ke rumahmu, masih banyak kerjaan di kampus," terangnya.
Ayah datang dua hari lalu untuk mengurus proyek dan tentu saja menginap di rumah. Entah hari ini atau besok, beliau balik ke Surabaya untuk mengurus beberapa berkas, katanya.
"Iya Pak. Nanti akan saya sampaikan pada Ayah," jawabku.
Ada kesunyian yang tercipta sejenak, sampai seseorang masuk ke ruang dosen dengan langkah tergesa-gesa. Kami berdua spontan menoleh ke arah suara tersebut. Kulihat Rendra berdiri di ambang pintu dengan napas terengah-engah.
"Rendra?" Aku heran, apa yang dilakukannya di sini?
Pak Agam menegakkan punggung, terlihat waspada, namun tidak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Ketegangan terlukis jelas di wajahnya, ekspresi horor seperti ketika mengajar di kelas.
"Aku cari kamu dari tadi. Ayo pulang," kata Rendra dengan nada memerintah.
Aku merasa tidak enak dengan Pak Agam. Sikap Rendra sungguh keterlaluan, tidak menunjukkan rasa hormat pada dosen.
"Maaf, Pak. Kalau tidak ada hal lain, bolehkah saya mohon diri?" pamitku pada Pak Agam.
"Oh iya. Sampaikan salamku pada Ayahmu. Kapan-kapan aku ke Surabaya," kata Pak Agam dengan senyum ramah.
"Baik, Pak. Selamat Sore." Aku tersenyum padanya sebelum meninggalkan meja. Pak Agam membalas dengan anggukan.
Berbalik menuju pintu, pandanganku terpaut pada Rendra yang berkacak pinggang di sana. Ngapain juga sikapnya kayak gitu? Buat apa juga dia datang ke sini mencariku? Dia kan bisa WA.
Menenteng file holder, aku berjalan santai keluar ruangan. Dengan sengaja melewatinya tanpa menoleh.
"Nad, Nadaaa. Woeei!"
Aku pura-pura tuli.
Derap langkah kaki beradu dengan lantai, membuktikan dia tergesa mengejarku.
"Kamu kenapa sih?"
Pertanyaannya tidak kugubris. Aku tetap berjalan menyusuri lorong lantai satu menuju pintu keluar gedung Fakultas. Tiba-tiba satu lengan direntangkannya untuk menghalangi jalanku. Mau tidak mau aku terpaksa berhenti.
"Minggir," kataku tegas.
"Nggak! Buat apa si brengsek itu manggil kamu lagi? Apa masalah kemarin belum kelar?"
Jika tidak ingat bahwa sedang berada di kampus, mungkin sudah kupelintir tangan Rendra dan menjatuhkannya dengan sekali gerakan. Dia benar-benar menyebalkan. Lagi pula dari mana dia tahu kalau Pak Agam memanggilku?
"Siapa yang ngasih tahu kalau aku dipanggil Pak Agam?"
"Kamu belum jawab pertanyaanku, Nad." Nada suaranya mulai tenang.
"Jawab dulu pertanyaanku," tantangku tak mau mengalah. Kutatap matanya tanpa berkedip.
"Aku dan Neva nyamperin kalian di perpus. Tapi cuma Mario yang ada di sana. Dia bilang kalau Si Agam tiba-tiba dateng manggil kamu," jawab Rendra.
"Iya memang bener. Tapi nggak usah nyamperin macam tadi. Kamu beneran nggak punya sopan santun ya? Mikir dong, dia itu dosenmu. Kasih dia rasa hormat dong, biar ilmu kamu berkah. Sekarang singkirkan tanganmu, sebelum kupatahkan!" Aku melotot ke arah Rendra. Dia bergeser dan menurunkan lengannya.
Aku melangkah pergi ke parkiran, mau pulang.
"Nad, tunggu! Aku kan cuma khawatir sama kamu," Rendra berlari mengejarku dan menghadang jalanku dengan tubuhnya yang besar.
"Nggak usah lebay deh. Minggir!"
"Sebenernya dia minta kamu ngelakuin apa sih Nad?" Rendra bertanya seperti itu dengan nada mengejek.
"Apa maksudmu nanya begitu, Ndra?" Emosiku tersulut, aku yakin dia berpikir macam-macam tentang aku dan Pak Agam. Kupandang lurus-lurus kedua matanya.
"Yah, kali aja dia minta kamu ngapain gitu. Biasalah, kan ada dosen yang minta 'servis khusus' buat dongkrak nilai."
Cerita Mario seketika berkelebat di pikiranku.
"Kamu pikir dia kayak kamu suka mainan cewek! Lalu kamu anggap aku cewek murahan!" teriakku dengan tangan terkepal.
Aku tidak peduli semua orang melihat ke arah kami. Rendra benar-benar keterlaluan. Dengan sekuat tenaga kutahan tangan yang hendak menonjok muka resenya.
Kulangkahkan kaki menghentak tanah saat melangkah pergi, dia tidak mengejarku lagi. Baru beberapa langkah meninggalkan Rendra, kulihat Neva berdiri memandangku dengan wajah terkejut. Entah sejak kapan dia di situ. Kuberikan tatapan mematikan padanya ketika ia terlihat membuka mulut, yang buru-buru diurungkannya.
Setelah keluar parkiran bersama si Matik, aku melaju pulang di bawah naungan langit sore yang cerah. Suasana tenang dan pemandangan yang sejuk, mampu menentramkan hatiku yang beberapa saat lalu mendidih gara-gara ulah Rendra. Pikiranku mulai tenang dan bisa melihat situasi dengan jernih.
Mungkin memang benar kata orang, sangkaan seseorang akan tepat seperti kebiasaan yang sering dilakukannya. Rendra selama ini sering main cewek, maka dia berpikir Pak Agam juga seperti itu. Dasar beruang nggak punya otak! Aku masih kesel sama dia.
Wait, tapi ngapain juga aku membela Pak Agam. Haduuhh, gimana sih!
Si Matik kuparkir di depan teras. Setelah mengunci pagar, aku masuk ke rumah mencari Ayah.
"Assalamualaikum," salamku.
"Waalaikum salam," jawab Ayah dari dalam. Ternyata beliau sedang packing di kamarnya.
"Jadi balik malam ini atau besok, Yah?" tanyaku. Tas punggung kuturunkan ke lantai untuk mengambil berkas titipan Pak Agam.
Ayah menghentikan aktivitasnya dan melihat ke arahku. "Eh kamu sudah pulang. Ayah balik malam ini saja Nad. Biar bisa istirahat dulu, besok pagi langsung ke kantor perijinan."
"Ini ada titipan berkas dari Pak Agam," kataku sambil menyerahkan file holder hijau itu.
"Pak Agam siapa?"
Waduh aku lupa! "Eh, maksudku titipan dari Mas Fian. Nada ketemu dia di kampus," elakku.
Ayah memandangku sesaat, lalu membuka isi file itu. "Ambilkan kacamata Ayah," pintanya sambil menunjuk meja.
Kuraih kacamata yang ada di sisi meja, lalu menyerahkannya pada Ayah. Beliau memakai kacamata, kemudian duduk di tepi tempat tidur seraya membuka file holder di tangannya. Memeriksa kertas pada halaman pertama, Ayah memandangku dengan tersenyum.
"Oh, iya-iya, berkas lahan ini yang belum."
"Yaudah, Nada ganti baju dulu," pamitku.
"Makasih ya."
"Sama-sama," jawabku.
Baru saja masuk kamar, ringtone Secret Love Song dari ponsel berbunyi. Kuletakkan tas ransel di meja, lalu merebahkan diri di kasur sambil melihat layar ponsel. WhatsApp Voice Call dari Mbak Milla, teman sekantorku yang juga juragan olshop. Dia sering minta aku jadi modelnya dengan imbalan baju gratis, heheheh.
Kugeser tombol terima.
“Assalamualaikum," sapanya dari seberang.
"Waalaikum salam, tumben sore-sore telepon. Kangen ya?" godaku.
"Hahahahaha, nggak!" jawabnya ketus.
"Yaudah, kututup," balasku.
"Eh, jangan. Ngambekan deh. Mau minta alamatmu di Malang, ada gamis bagus nih," katanya lagi.
"What? Ogah. Aku nggak mau pake gamis kayak emak-emak," gerutuku.
Selama ini baju feminin yang aku punya hanyalah sebiji rok A-line berwana hitam untuk KKL dan prajabatan karena wajib. Selebihnya koleksi bajuku kebanyakan celana panjang, kulot, jeans, tunik, kaos dan jumper. Beberapa juga kudapat dari endorse produk Mbak Milla. Bahkan baju dinasku saja setelan celana panjang dan blazer.
"Udah, jangan banyak protes, coba dulu. Nggak kayak emak-emak kok model gamisnya, lucu. Lagian kamu masa gak punya gamis sebiji pun. Ntar bisa dipakai buat wisuda kalo gitu. Jangan lupa kirim foto-fotonya, ya."
Tidak ada gunanya berdebat dengan Kamilla Cahya Wulandari. Dia juara debat tingkat kantor, dalam arti yang sebenarnya. Jarang ada orang yang bisa ngalahin rekan kantorku yang satu itu, kalau sudah ngeyel hehehhe.
"Iya-iya, ntar ku-chat aja alamatnya," sungutku.
"Nah, gitu dong! Tengkyuu, Nada. Udah dulu ya, mo balesin chat orderan nih,” ujarnya kenes.
“Sama-sama Mbak,” jawabku.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 319 Episodes
Comments
Eka Widya
kayaknya rendra terobsesi sm nada
2022-09-21
0
Bella Rosa
bagus kak
2020-03-12
1