Hari ini adalah tatap muka kedua dengan dosen—yang kabarnya—killer itu. Seabrek resume yang diminta Pak Agam tentang konsep ekonomi mikro menurut ahli seperti Smith, Ricardo, Marshal dan Piqou, juga Mankiw pada awal minggu lalu memang cukup menguras energi. Apalagi kalau mengerjakannya dengan sistem kebut semalam. Maklumlah, sifat suka menunda-nunda memang belum bisa hilang sampai sekarang.
"Gimana tugasmu, udah kelar?” tanya Neva sambil menghempaskan tubuh di sebelah kananku.
Aku mengangguk.
“Gila, semalam aku tidur jam tiga pagi.” Rasa kantuk itu masih ada meskipun mencuri waktu tidur sehabis subuh tadi. Tidak lupa sarapan kilat dua potong roti dan susu kopi sebagai pengganjal perut agar tidak protes sampai jam makan siang nanti.
Tiba-tiba aku kebelet pipis. “Nev, aku ke toilet dulu ya. Tadi berangkat buru-buru soalnya,” pamitku pada Neva.
“Ya udah, kalo gitu gue ke atas duluan,” jawabnya sambil beranjak dari bangku besi yang biasa kami tempati.
“Okeh.”
Setelah menyelesaikan hajat dan sekilas menatap cermin, aku bergegas menuju lift. Ruang kuliah pagi ini ada di lantai lima. Mendekati jam masuk, antrean lift sudah cukup ramai. Angkutan terakhir penuh dan aku tidak terangkut. Menunggu giliran berikutnya, aku memeriksa notifikasi hape. Begitu pintu lift terbuka aku masuk sendirian. Saat akan memencet tombol nomor 5, terdengar seseorang berteriak, “Tunggu, tahan liftnya!”
Seperti suara khas Pak Agam. Nah, benar! Dosen yang cukup disegani itu setengah berlari menuju arahku.
“Terimakasih,” ucapnya formal ketika masuk lift. Seketika aroma pinus dan mint dari tubuh Pak Agam memenuhi indera penciumanku. Bukannya menjadi tenang, malah membuatku sedikit mabuk.
Ia menekan tombol lantai lima, dan otomatis pintu lift menutup kembali. Setelah sentakan perlahan, lift mulai bergerak. Rasanya pelan sekali.
Aku tidak bersuara, sibuk mengamati pantulan kami di pintu logam. Dalam keadaan berdiri, puncak kepalaku hanya setinggi dadanya. Kemeja warna biru tua membalut tubuhnya yang atletis dengan satu kancing teratas dibiarkan terbuka. Jika keadaannya berbeda, tentu aku merasa beruntung hanya berdua dengan cowok kece seperti ini. Sayangnya dia dosen, killer lagi.
Keringat dingin terasa meleleh di dahi. Telapak tanganku lembab, membuat hape yang kupegang di tangan kiri hampir jatuh karena licin. Buru-buru kulepas ransel dan memasukkannya ke dalam tas.
Pak Agam menoleh ke arahku.
Aku tersenyum kikuk.
Ia hendak berkata sesuatu, tapi gerakan lift tiba-tiba berhenti. Lampu tombol lantai 5 menyala dan pintunya terbuka. Layaknya seorang gentelman, ia mempersilakan aku keluar terlebih dahulu.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan, buru-buru kulangkahkan kaki menuju kelas yang berada di ujung koridor. Herannya dosen pria itu berhasil menjajariku. Beberapa mahasiswa yang masih di luar kelas, memberikan salam pada beliau.
Merasa turut jadi pusat perhatian, sengaja kulambatkan langkah dan berjalan di belakangnya. Tanpa kusadari ia mendadak berhenti. Tak ayal lagi aku menabrak punggungnya.
Dia seketika berbalik. “Kenapa berjalan di belakangku?”
Aku terdiam dan menunduk di hadapannya. Jarak di antara kami yang begitu dekat membuat jantungku berdetak tak beraturan.
“Ayo, cepat. Sebentar lagi bel. Jika terlambat, nanti kamu saya skors!”
Aku menelan ludah lantas mengangguk. Kembali berjalan tanpa berani mendonggakkan kepala. Dia sengaja memperlambat ritme menjajari langkahku hingga di depan kelas. Dibukanya pintu dan mempersilakan aku masuk lebih dulu.
Tanpa memandang seisi kelas, aku bergegas menuju kursi yang biasa kutempati.
“Pagi semua!” Suara Pak Agam membuat teman-teman segera kembali ke tempat masing-masing.
Kulirik bangku di sebelah yang sudah seminggu kosong. Rendra tidak masuk akibat terserempet mobil beberapa waktu lalu. Aku, Mario, dan Neva sempat menjenguknya di rumah. Kuharap ia segera pulih. Meskipun sering menggodaku dengan candaan yang agak keterlaluan, rasanya sepi kalau dia tidak masuk.
Aku masih sibuk mengeluarkan diktat dan buku catatan ketika suara ketukan di pintu menggema.
“Masuk,” jawab Pak Agam tanpa melihat ke asal suara.
Rendra datang dengan sedikit pincang. Setelah menutup pintu, bel kuliah jam pertama berbunyi. Untung saja ada lift di gedung ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana Rendra naik tangga ke lantai lima dengan kondisi seperti itu.
“Akhirnya kamu datang juga, Bro,” ucap Rio begitu Rendra duduk di kursinya.
“Gimana kabarmu, masih sakit?” tanyaku.
"Udah nggak apa-apa, kok Say. Jangan khawatir,” ucapnya dibuat-buat. Wajahnya yang tadinya usil menggodaku seketika terkejut melihat dosen di depan.
“Kenapa, Ndra?” tanyaku sambil berbisik.
“Nggak apa-apa kok, Nada Sayang,” jawabnya seraya tersenyum padaku.
Dasar aneh! Kuabaikan dia dan kembali menata perlengkapan perang eh perlengkapan kuliah di meja.
Jika pertemuan yang lalu Pak Agam masih menjelaskan dengan Bahasa Indonesia dan Inggris bergantian, tapi sekarang full english. Catatan penting di pojokan diktat sudah tidak karuan bentuknya. Meskipun begitu sangat berharga untuk kupelajari kembali nanti.
Sebaiknya aku berlangganan jurnal internasional online habis ini. Lagi-lagi penjelasan mikro ekonomi terapan cukup menguras konsentrasi. Apalagi penampilan dosennya kece seperti itu.
“Eh, sadar Nada!” sergahku pada otak yang mulai ngaco.
Aku masih terbuai pada pemandangan di depan—cowok kece yang sedang menulis keterangan tentang kebijakan fiskal di whiteboard. Tangan kanan lincah bergerak memegang boardmarker, sementara tangan kirinya memegang diktat. Jam tangan sporty yang melingkar di pergelangan tangan kiri, ter-ekspose jelas akibat lengan kemeja dilipat hingga siku.
"Psst, psstt! Nad, Nadaa!" Panggilan Rendra membuyarkan pengamatanku. Menoleh tanpa bersuara, kuberikan tatapan sebal.
Rendra memonyongkan bibir.
“Pssssst!”Jari telunjuk kuletakkan di bibir, menyuruhnya diam.
“Naaaad, Nadaa,” panggilnya lagi. Kali ini aku tidak menoleh.
Tiba-tiba kertas yang sudah diremas-remas berbentuk bola terlempar ke mejaku. Benar-benar usil nih orang. Kubuka bola kertas itu. Ada kalimat I miss You tertulis di sana. Tingkahnya sangat kekanakan.
Aku memberinya tatapan kesal. “Apa-apaan kamu?”
Rendra tidak menjawab dan malah membuat gerakan kiss bye. Spontan saja kulempar mukanya dengan kertas tadi.
"Saudari Serenada, ada yang kurang jelas?"
Terhenyak mendengar suara Pak Agam yang menggelegar, seluruh mata di kelas menatap padaku.
Mengumpulkan keping keberanian, aku melihat ke arah beliau. Manik matanya yang biru kelam memandang balik tanpa berkedip.
“Maaf, Pak," ucapku gugup.“Rendra sialan!”rutukku dalam hati.
"Jika masih ada urusan lain yang belum selesai, silakan ke luar. Saat kuliah berlangsung, saya minta perhatian penuh pada materi. Ini berlaku untuk semuanya." Tidak main-main Pak Agam mengatakan hal itu.
"Tapi, Paaak." Aku berusaha protes.
"Saudari Serenada, silakan tutup pintunya dari luar!" perintahnya tegas dan tak terbantahkan.
Wajahku memanas dan mataku berair, tatkala mengemas diktat kuliah ke dalam tas. Ingin rasanya menghilang saat itu juga. Sambil menahan sesak dalam dada, aku berjalan lunglai menuju pintu kelas. Kubuka pintu dan melangkah ke luar kelas.
Mengembuskan napas berat, perlahan aku menutup pintu. Namun sebelum tertutup sempurna, terdengar kegaduhan dari dalam.
"Saya juga mau keluar!" teriak Rendra.
Tak lama berselang, cowok berwajah oriental itu sudah berdiri di ambang pintu. Ia menatapku dengan penuh penyesalan. "Ayo kita ke kantin bareng, kutraktir kamu," hiburnya lembut.
Usai mengatakan itu, ia menoleh pada Pak Agam yang masih membatu. Kedua lengannya terlipat di depan dada. Aku pun terpaku menatap beliau. Raut muka dosen yang sudah mengusirku itu terlihat kaget untuk sesaat. Pandangan kami terputus ketika Rendra menutup pintu dengan sempurna.
Rendra setengah menyeretku menuju lift. Kejadian barusan benar-benar seperti mimpi. Kesadaranku kembali setelah kami berdua sampai di depan lift. Dengan jengah kutarik tanganku dari genggamannya, lalu bersedekap.
"Eh maaf," katanya sambil cengengesan.
Pintu lift terbuka, kosong. Tidak ada seorang pun di sana. Selama jam kuliah berlangsung tentu saja tidak ada yang naik turun. Rendra masuk lebih dulu lalu kususul di belakangnya.
“Nada sayang, maafin aku, ya” rayunya ketika pintu lift tertutup.
Aku tidak menyahut. Rasa kesal padanya masih cukup tinggi. Jika saja tidak cidera, mungkin saat ini sudah kutendang kakinya.
“Dosen tua bangka itu memang brengsek," kata Rendra. Terlihat jelas rasa tidak suka Rendra pada Pak Agam.
Aku menoleh, menatapnya tak percaya.
“Semua ini terjadi gara-gara kamu, kan?” tanyaku sinis.
“Jangan gitu dong, Nad. Aku ‘kan cuma bercanda tadi. Nggak nyangka kalo dosen brengsek itu bertindak seperti ini,” elaknya.
Aku mendengus kesal. Sudah tahu salah malah ngeles.
“Maafin aku ya, Say. Pliiisss.”
Aku buru-buru keluar ketika pintu lift terbuka.
“Nad, Nadaaaa. Tungguuuu!”
Kuacuhkan panggilan Rendra, kesal. Langkah kakiku semakin cepat menuju kantin. Hanya itu satu-satunya tempat tujuan yang paling tepat saat ini. Apalagi masih sekitar satu jam lagi waktunya istirahat.
Sampai di gazebo, kuhempaskan ransel di salah satu meja bundar. Aku menyesal melakukan itu, mengingat hape masih ada di dalam. Buru-buru kuambil smartphone kesayanganku itu sambil duduk.
Tidak lama Rendra menyusul. Dia kini duduk di seberang meja.
“Nad, jangan marah gitu dong. Kamu mau makan apa? Aku traktir deh,” bujuknya.
Aku tidak berminat bicara dengannya, pura-pura sibuk membuka hape.
“Kamu makin cantik deh kalo marah gitu. Mau nggak jadi pacarku?”
Mendengar gombalannya barusan, aku memicingkan mata.
“Males banget tau nggak?” sergahku kesal. Hellowww, memangnya kita anak SMA apa?
“Mau pesan apa, Mbak, Mas?” tanya seorang laki-laki menghampiri kami. Dia pasti pelayan kantin yang kurang kerjaan.
"Saya bakso aja mas, ama es teh. Kalau pacar saya nanti dulu, dia masih ngambek,” ujar Rendra.
Aku melotot ke arah Rendra.
“Langsung bayar di kasir ya, Mas.” kata laki-laki itu sambil ngeloyor pergi.
Kali ini Rendra benar-benar membuatku kesal. Buru-buru aku berdiri dan membawa tas ransel hendak pergi.
“Nad, Nada. Aduuuhhhh!” Rintihan Rendra membuatku mengurungkan niat untuk cabut dari situ. Ia meringis memegangi kakinya.
“Kamu nggak apa-apa, Ndra?” tanyaku khawatir sambil duduk kembali.
“Kaki gue nyeri banget. Kayaknya gara-gara setengah lari ngejar kamu tadi,” ujarnya sambil meringis.
Perasaan bersalah menyergapku.
“Minta tolong bayarin dong, sekalian kamu pesan makanan juga,” ujarnya sambil menyerahkan dompetnya padaku.
Mau tidak mau aku terpaksa menuruti kemauannya. “Dasar Rendra, ngerepotin orang saja!” sungutku setelah menyambar dompetnya.
Begitu kembali dari kasir, kulihat wajahnya sudah kembali ceria. Aku jadi ragu, jangan-jangan tadi dia cuma akting.
“Makasih, ya,” katanya sambil menerima kembali dompet yang kusodorkan. “Udah, jangan marah mulu. Nanti wajah cantiknya ilang, loh,” katanya, melihatku masih diam saja.
Mas pelayan datang mengantarkan pesanan kami. Dua porsi bakso, es teh, dan es jeruk kini sudah tersaji di meja.
“Ayo makan dulu, keburu dingin,” kata Rendra.
Jujur saja, aroma bakso membuat air liurku bereaksi. Kuahnya yang mengepul, bola-bola daging yang terlihat menggiurkan, membuat aku tidak tahan. Rendra tahu kelemahanku. Setelah berdoa dalam hati, eksekusi bakso dimulai.
Hemmm, yummy! I feel in heaven now.
“Gak nyangka, ada cewek makannya cepet banget,” ujar Rendra melihat mangkok bakso yang sudah kosong dihadapanku.
“Emang kenapa?” ujarku sambil berdesis menahan rasa pedas. Gara-gara emosi tadi, kutambahkan tiga sendok makan sambal. Segera es jeruk kuminum lewat sedotan. Segar!
“Doyan apa laper, Say?”
Aku hanya mengangkat bahu.
“Udah dong marahnya, Naaaaad. Aku juga kesel sama dosen itu,” kata Rendra sambil meletakkan sendok. Sepertinya dia tidak begitu antusias makan bakso. “Tahu, nggak? Dia itu, orang yang nyerempet aku!”
“Hah, serius?” tanyaku tidak percaya.
Wajah Rendra terlihat tidak sedang bercanda.
“Awalnya, ada mobil fortuner hitam memotong jalurku. Karena emosi kukejar mobil itu dan menyalipnya tepat saat lampu merah. Kebetulan posisiku di samping mobil itu, jadi kelihatan dong wajah sopirnya. Karena masih kesal, aku tendang bodinya. Sialnya, setelah nendang tadi aku nggak perhatian sama posisi kaki yang menapak ke tanah. Pas lampu hijau, ban belakang mobil sialan itu melindas kakiku. Eh nyampe rumah kok malah bengkak,” ia menghela napas, “pagi ini aku baru tahu kalau sopir berengsek itu adalah dosenku sendiri," tandasnya berapi-api.
Wajahnya menegang dan matanya menyipit penuh kebencian.
Mendengar ceritanya, menurutku itu salah Rendra sendiri. Anehnya, malah dia yang kebakaran jenggot. Dasar cowok, egonya sebesar gunung Krakatau. Tersenggol sedikit saja langsung meledak.
Ah sudahlah, sebaiknya memikirkan nasib sendiri. Gila nggak sih, baru dua minggu kuliah udah diskors dosen?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 319 Episodes
Comments
Ijong
kita satu team pencipta bakso..paling susah nolak pesona makanan yg satu itu
2020-12-24
1
Towiyah Ahmad
masih belum asik cerita nya
2020-06-17
0
Kunara Dita
sukaaaaaa
2020-05-04
0