Mataku terbuka, spontan melirik jam keropi hijau, pukul 04.50. Aku bergegas mandi dan menunaikan salat subuh meskipun telat. Bangun kesiangan ini pasti gara-gara rasa gelisah yang menyelimutku sejak kemarin, memikirkan perjalanan dengan Pak Agam hari ini.
Kehadirannya seperti memberikan radiasi yang membuatku kikuk, serba salah, malu dan terintimidasi. Beda dengan Rendra, auranya membuatku tertawa meski kadang-kadang jail dan menyebalkan. Ah iya, apakah WA-ku sudah dibaca ya?
Aku turun dari tempat tidur dan berjalan menuju meja belajar, membuka kode di layar hape dan langsung mengecek notifikasi WA, masih centang satu. Wait, ada WA masuk kemarin malam dari Pak Agam.
Dosen Agam: Besok bawa jaket ya, agak dingin.
Dosen Agam: Bawa juga baju ganti, mungkin kita akan seharian di lokasi.
Masa ambil foto saja perlu pakai jaket dan butuh waktu seharian? Memang mau ambil foto di Puncak Gunung Bromo atau gunung Semeru? Ada-ada saja!
Sekelebat terlihat surat pink yang masih tergeletak di atas barang-barang Rendra. Rasanya ingin kusobek-sobek surat itu dan mencampakkannya ke tong sampah. Lalu aku bergegas pergi ke kamar mandi.
Segalanya sudah siap ketika jam di ruang tengah menunjuk angka 06.40. Aku sudah mandi, dan memakai outfit yang cocok–kaos panjang merah marun, celana jeans, jilbab segiempat motif bunga-bunga pink, dan sepatu sneaker. Tas selempangku berisi semua perlengkapan perang untuk cewek plus baju ganti. Kupikir tidak perlu membawa jaket, toh bajuku sudah lengan panjang.
Ketika aku sedang memakai lipbalm, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Aku bergegas keluar memastikan siapa yang datang. Ternyata benar, dosen ganteng itu sedang memarkir Fortuner hitamnya di depan. Benar-benar orang yang disiplin, belum jam tujuh sudah sampai. Kubuka pintu gerbang lalu menunggunya turun dari mobil.
“Assalamualaikum Serena,” sapanya. Dia benar-benar terlihat ganteng pagi ini. Kaos merah marunnya serasi denganku. Aduh, aku kok jadi merasa seperti mau kencan?
“Walaikum salam. Silakan masuk dulu, Pak. Eh, maksudku Mas Fian. Saya mau ambil tas dan mengunci pintu.”
“Kutunggu di sini saja, biar segera berangkat. Lagi pula nggak enak masuk rumah cewek tanpa ada orang lain.” Senyuman lebar menampakkan giginya yang berderet rapi. Sementara mata biru kelam yang dinaungi alis tebal memberikan tatapan nakal.
Pipiku panas gara-gara kelakuannya barusan. Sedetik tadi aku hampir melupakan bahwa makhluk ganteng ini adalah dosenku.
“O-o-oke, saya masuk dulu sebentar.” Tanpa menunggu persetujuannya aku melesat masuk rumah.
Kucangklongkan tas selempang ke bahu, lalu menuju pintu depan. Tanganku yang berkeringat agak licin untuk memutar anak kunci. Dia benar-benar membuatku gugup. Sambil menenangkan hati, aku menuju pintu gerbang tempat dia menunggu. Kututup pintu pagar lalu mencoba menggemboknya, gagal dan selalu meleset. Kuusapkan telapak tanganku ke paha dan mencobanya lagi, gagal.
“Sini biar aku saja,” katanya sambil meraih gembok yang ada di tanganku.
Sentuhan tangannya yang sekilas tadi membuat kulitku terasa terbakar. Aneh, perasaan ini sangat aneh. Aku terbiasa bersalaman dengan cowok, tapi kenapa tersentuh tangannya sedikit saja membuatku merasa begini?
Kutepis perasaan itu dengan memusatkan perhatianku pada jalan di depan kompleks. Kulihat dikejauhan sebuah motor berwarna merah mendekat, sepertinya aku kenal motor itu. Oh tidak, Rendra!
Benar saja, motor itu berhenti tepat di depanku. Kaca helmnya terbuka dan wajah Rendra yang terlihat tidak senang melihatku bersama Pak Agam. Aku kehabisan kata terjebak dalam situasi seperti ini. Rendra turun dari motornya dan melepas helm.
“Wah-wah-wah, pagi-pagi mau kemana nih?” tanyanya sinis.
Pak Agam yang ternyata sudah selesai memasang gembok berdiri di belakangku dekat sekali, aku bisa merasakannya.
“Pagi. Saya Ada janji dengan Serena dan harus segera berangkat,” jelasnya singkat dengan bahasa formal.
“Aku nanya Nada, bukan kamu.”
“Rendra! Sopan dikit kenapa,” tegurku. Masih kesal dengan surat pink, ditambah karena WA-ku tidak dibalasnya.
“Oh, jadi begitu. Sekarang kamu belain dia? Fine. Tapi hati-hati aja, dia nggak sebaik kelihatannya.” Entah apa maksud Rendra berkata seperti itu.
“Ndra, sudah. Aku di suruh Ayah melihat lokasi pembangunan bareng Pak Agam,” jelasku.
“Ya udah, aku balik,” jawab Rendra singkat. Dia memakai kembali helm dan naik ke motor. Tanpa mengucap salam Rendra meninggalkan kami yang masih mematung di depan pagar.
Aku diam saja karena bingung harus berkata apa.
“Ayo, nanti keburu siang. Kita sarapan dulu,” lanjutnya sambil berjalan menuju mobil.
Dengan perasaan tidak karuan, aku menuju kursi penumpang yang ada di depan. Pintunya sudah dibukakan oleh Pak Agam dari dalam. Suasananya benar-benar canggung. Kuletakkan tas di pangkuan setelah duduk. Tanpa bicara Pak Agam membawa mobil melaju meninggalkan rumah, bismillah semoga lancar.
Pak Agam menepikan mobil begitu terlihat rumah makan, ada beberapa kendaraan terparkir di sana. Aku tidak memperhatikan namanya karena sibuk memikirkan Rendra. Tahu-tahu Pak Agam sudah turun, lalu aku mengikutinya masuk ke rumah makan. Di dalam ruangan yang cukup luas itu hanya ada beberapa orang pengunjung. Pak Agam mengajakku duduk berdampingan di meja dekat jendela, tempat yang lumayan strategis untuk melihat suasana di luar.
Tidak berapa lama ada seorang pelayan datang membawa menu serta kertas pesanan. Pak Agam menyodorkan menu padaku sementara dia langsung memesan, “Nasi rawon empal satu, teh hangat satu. Kamu pesan apa Nad?”
Dari pada susah-susah berpikir, langsung kujawab,”Sama.”
Pelayan itu kemudian menuju counter. Kami masih sama-sama diam. Aku berinisiatif membuka hape agar tidak terlalu canggung.
“Lihat kartun lagi?” tanyanya tanpa kuduga.
“Eh, i-iya. Komik,” jawabku sambil menoleh. Padahal sebenarnya mau kirim WA ke Rendra, tapi nggak jadi.
“Apa sih, bagusnya kartun? Ceritanya atau gambarnya?” Dia menyandarkan punggung di kursi dan mencoba mengintip layar hape yang kupegang. Rasanya bulu kudukku berdiri.
“Dua-duanya, ada ekspresi lucu yang cuma ada di komik. Eh iya, ini komik bukan kartun,” jelasku.
“Ah sama saja.”
“Gak sama!” teriakku dalam hati.
Pak Agam kayaknya beneran bad mood deh. Untunglah tidak lama kemudian pelayan datang membawa pesanan kami.
“Yuk, makan dulu,” ajaknya.
Setelah berdoa kusuapkan nasi rawon yang baunya menggoda selera itu ke dalam mulut. Pantas saja Pak Agam doyan, rawonnya enak dan daging empalnya juga empuk. Lumayan, setengah porsi sudah berpindah ke perutku. Kuraih gelas teh hangat meminumnya sedikit untuk menghilangkan rasa berlemak di mulut.
“Kamu sudah lama jalan sama Rendra?”
Here we go again. Aku bersyukur tidak duduk berhadapan dengannya. Setidaknya bisa menghindari tatapan mata birunya yang menghujam.
“Lumayan,” jawabku sambil meraih sendok untuk meneruskan perjuangan.
“Lebih baik kamu putusin dia secepatnya.”
“Pardon, me?” Aku menoleh, tidak jadi menyendok nasi.
“Kamu menikah sama aku saja, terima perjodohan kita. Lagi pula Om Guntur ‘kan sudah setuju denganku, atau ….” Pak Agam menggantung kalimatnya. Kami saling berpandangan.
“Atau apa?”
“Atau kurebut kamu dari Rendra dengan segala cara. Ingat, aku dosen di kampus.”
Tanpa kusadari sendokku terjatuh. Menikah? Pak Agam mengajakku menikah? Apakah dia serius dengan perjodohan ini? Apakah dia menyukaiku hanya karena aku anak koleganya? Apakah Ayah sudah menceritakan banyak hal tentangku sementara aku masih buta segala hal dengan dirinya? Apakah dia tidak punya seseorang yang ada di hatinya?
Begitu banyak hal yang ingin kutanyakan. Namun rasanya bibirku mendadak kelu. Ancaman Pak Agam yang terang-terangan, membuat nafsu makanku menghilang. Menikah dengannya? Dia pasti sudah gila.
“Biar saja, kumintakan sendok baru,” katanya.
“Nggak usah, aku sudah kenyang,” jawabku.
“Serius nggak habis?”
Aku mengangguk.
“Ya sudah, sini kuhabiskan. Sayang, makanan dibuang-buang.”
Benar-benar tidak peka cowok satu ini. Tanpa izin, dia memindahkan piringku ke hadapannya setelah menyingkirkan piringnya sendiri yang sudah kosong. Sesendok nasi didekatkan ke mulutnya, lalu dia menoleh padaku.
“Mau? Sini aku suapin, aaaaa.”
Entah apa yang ada dipikirannya ketika melakukan itu. Mau tidak mau aku jadi tertawa melihat tingkahnya. “Nggak usah, Mas. Makasih,” tolakku.
Pak Agam tiba-tiba tertegun melihatku, lalu beberapa saat kemudian dia tersenyum.
“Ya sudah, kuhabiskan beneran ini,” katanya sambil menyuapkan sendok ke mulutnya.
Tanpa sadar aku menelan ludah melihatnya. Whats wrong with me? Kualihkan perhatian dengan membuka Mangatoon, berharap semua ini segera berakhir setelah pemotretan selesai.
Pak Agam menghabiskan sisa sarapanku itu dalam waktu singkat.
Beberapa saat kemudian, dia pergi ke kasir untuk membayar tagihan sementara aku melangkah pergi ke tempat parkir.
“Oh, iya. Mana jaketmu?” tanyanya begitu datang. Dia membawa beberapa botol minuman kemasan dalam kresek bening.
“Nggak usah jaket, aku kuat menahan dingin kok. Lokasinya di mana sih?”
“Daerah perbatasan Tumpang dan Poncokusumo. Ke utara sedikit udah sampai ke gunung Bromo atau ke selatan gunung Semeru.”
“Hah?” Aku masih terkejut tidak percaya.
“Ayo masuk! Tasnya jangan dipangku, taruh dibelakang saja. Kamu pakai jaketku saja kalau kedinginan, itu ada di jok belakang.”
Setelah meletakkan bekal minuman, dia meminta tasku dan menaruhnya di jok belakang. Pak Agam kembali duduk di kursi sopir dan menyetarter mesin. Akhirnya Fortuner hitam ini melesat di jalanan, membawa kami menuju lokasi.
Perjalanan selama satu jam itu sangat menyenangkan, di sepanjang jalan kulihat pemandangan alam hijau yang menyejukkan mata. Ketika kami melewati pasar yang cukup besar, Pak Agam bercerita bahwa daerah Tumpang lumayan ramai meskipun sebagai kota kecamatan. Di pasar itulah tempat para petani menjual hasil kebunnya, seperti buah-buahan dan sayuran dari gunung. Sesampainya di lokasi, udaranya memang lebih dingin tapi masih bisa kutoleransi.
“Kok nggak bawa alat-alat kayak Ayah dulu?” tanyaku begitu kami sudah turun.
“Nggak, pengukurannya sudah. Itu, sudah ada patok-patoknya,” katanya sambil menunjuk lokasi.
Tanah yang ada di pinggir jalan itu masih ditutupi rerumputan, sepertinya bekas kebun. Entah berapa luasnya sepertinya melebihi lapangan bola. Pak Agam membawa kamera lalu pergi ke ujung perbatasan tanah dengan sungai. Aku mengikutinya, karena tidak tahu harus membantu apa. Setelah mengambil beberapa gambar, dia berbalik ke menghadapku dan mengarahkan kameranya padaku. Sambil tersenyum dia melihat hasil fotonya.
“Kamu berdiri di sini ya, aku akan mengambil gambar dari ujung sana.”
“Memang buat apa?” tanyaku penasaran.
“Biar kelihatan batasnya.”
“Ooo, jadi maksudnya ngajakin aku buat jadi tiang penanda?”
Dia berlari menjauh tanpa menjawab pertanyaanku. Rasanya aku benar-benar konyol karena berhasil ditipu mentah-mentah olehnya. Selanjutnya kupaksa kami bergantian untuk menjadi tiang penanda. Akhirnya ia setuju.
Setelah merasa cukup, Pak Agam mengajakku bergegas ke mobil. Kami duduk berdampingan di kabin depan. Melepas lelah sambil melihat kendaraan yang berlalu lalang di jalan.
“Nggak lama ternyata. Cuma gitu doang, nggak perlu sampai seharian,” kataku ketika kami berdua sudah masuk ke mobil.
Pak Agam membuka tutup botol minuman elektrolit, meminum setengahnya lalu menyerahkannya padaku. “Kamu sudah pernah ke air terjun Coban Pelangi?”
“Belum,” jawabku jujur. Kutolak botol minuman itu dengan agak canggung. Masa iya aku minum bekas dia? Padahal kan dibelakang masih ada yang lain.
“Sama, aku juga belum. Padahal dekat dengan rumah tanteku. Eh, kamu mau minum yang lain? Ada kok dibelakang. Sebentar, kuambilkan.”
“Teh saja,” jawabku.
Pak Agam setengah berdiri membalik badannya ke arahku. Dia menumpukan sebelah tangannya pada sandaran jokku. Kemudian melangkah ke kabin belakang dengan menundukkan badan. Benar-benar tidak efisien, kenapa dia tidak keluar saja lewat pintu? ‘kan lebih mudah.
Dasar orang yang aneh.
“Ini.” Diulurkannya botol minuman yang sudah terbuka tutupnya dengan tangan kanan. Sementara tangannya yang lain diletakkan di sisi jok sebelah kiriku. Dari spion depan kulihat dia berjongkok.
“Makasih. “ Kuterima botol itu lalu meminumnya sebagian.
“Tertarik ke sana? Katanya bisa lihat pelangi kalau ke sana antara jam 10.00 sampi 14.00, loh.”
Kenapa kepalanya begitu dekat denganku? Aku jadi tidak bisa menggeleng.
“Okey, kita ke sana, ya.” Dia menjawab sendiri dengan antusias, lalu kembali melangkah ke kabin depan dengan susah payah.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 319 Episodes
Comments
Dewi Agustina
ceritanya bagus...sepertti nyata, ga lebay n ga halu...tx thor🥰
2020-11-15
0
mommy_yaya
aku tuh rindu se rindu rindunya sama mba nada & mas fian sampe baca ulang lagi
2020-06-09
1