Kulirik jam dinding, formasi kedua jarumnya menunjukan pukul 01.10. Ah, sudah malam ternyata. Pantas saja mataku mulai sepet. Tidak terasa satu jam berlalu saat aku menekuri rumus dan latihan soal.
Berhenti sejenak melepas penat, kusesap kopi hingga tetes penghabisan. Setidaknya ujian mata kuliah terakhir ini tidak membuatku spaneng. Ekonometrik, alias matematikanya ekonomi.
Ketertarikanku pada angka memang tidak sebesar pada cerita fiksi, tapi paling tidak bisa meringankan kerja otak yang sudah cukup penuh gara-gara hafalan teori letterlux. Mungkin jika suatu saat nanti ada orang yang mau membuat diktat kuliah semenarik komik atau novel, aku akan melanjutkan kuliah S3, hahahaha.
Sepertinya sudah cukup untuk malam ini. Kubereskan meja belajar, sambil bersenandung lagu Havana. Senyum tidak bisa kutahan lagi ketika menyentuh bendelan kertas 25 halaman yang diminta Pak Agam.
Sudah kubereskan tugas itu setelah pulang dari kedai bakso. Adrenalinku terpompa begitu Pak Agam setuju memberiku kesempatan kedua. Walau syaratnya cukup aneh dan mengintimidasi, yang penting semua beres.
Meregangkan otot sejenak, kuraih ponsel yang layarnya menghitam. Sengaja kukatakan agar tidak terganggu notifikasi saat belajar tadi.
Benar saja. Begitu sinyal tersambung, muncul berbagai notifikasi. Langsung kubuka aplikasi WA, siapa tau ada yang penting. Selain chat di grup kelas, ada dua WApri. Dari Ayah dan Rendra.
Buru-buru kubuka WA dari Ayah, 15 pesan belum terbaca. Intinya, beliau mengabarkan akan ke sini hari Jumat besok. Menginap semalam di rumah, lanjut Sabtu pagi berangkat ke lokasi proyek dengan Om Wignyo.
Syukurlah Ayah ke mari setelah semua masalah ini berakhir. Jadi tidak perlu khawatir lagi akan ancaman Pak Agam. Begitu kuserahkan resume ini besok, dan hasil nilai keluar, aku pasti lega.
Lanjut kubuka chat dari Rendra yang terkirim sekitar pukul delapan malam tadi.
'Bagaimana tadi sama si Agam? Dia bilang apa?' sebaris pertanyaan darinya membuat satu ide aneh muncul.
Bagaimana kalau aku jadian saja dengan Rendra, tidak ada salahnya 'kan? Toh ia juga mengejar-ngejarku. Mungkin dengan cara ini aku bisa menghindari Pak Agam.
Jika rencana ini berhasil, sabtu malam nanti Rendra bisa kukenalkan pada Ayah dan komplotannya—eh Pak Agam dan om Wigyo maksudnya. Agar mereka mengetahui jika aku sudah taken.
Kalau dipikir-pikir, Rendra cukup good looking, baik, penyayang, walau pun agak temperamental. Well, mungkin dengan Rendra aku bisa jatuh cinta. Apalagi dia sangat menyenangkan dan mendekati kriteria cowok idamanku.
Sepertinya situasi kami berdua memang sama, dijodohkan dengan orang tidak disukai. Dia pun baru sekedar penjajakan dengan Mirna, belum tentu juga jadi. Semoga dengan kerjasama ini terjalin simbiosis mutualisme. Walau sejujurnya aku tidak berani berharap banyak.
Inginku memang benar-benar jatuh cinta dengan calon suami. Tahulah, pernikahan itu tidak sebentar. Jika menikah dengan orang yang tidak benar-benar disukai, bisa jadi akan mudah terjadi masalah.
Lalu bisakah aku mulai belajar menyukainya secara khusus? Entahlah, aku juga tidak tahu karena belum pernah benar-benar jatuh cinta. Apa mungkin selama ini aku susah jatuh cinta karena terlalu pilih-pilih, ya? Tapi, setiap orang tentu boleh memiliki prinsip, bukan?
Akhirnya kubalas chat Rendra dengab mengetikkan kalimat: belum, masih belajar.
Tidak kusangka dia segera membalas, gak usah belajar serius-serius, besok aku kasih contekan deh.
Aku tertawa, dia benar-benar sangat perhatian. Sepertinya tidak sulit mencintai beruang madu yang satu ini. Akhirnya kulanjutkan chat dengan berbaring di kasur.
Me: [kenapa sih, kamu mau bantuin aku terus Ndra?]
Me: [kan gak enak aku jadinya. Banyak utang budi sama kamu]
Tidak berapa lama kemudian tampak di layar bagian atas chat tertulis: Rendra is typing.... Sengaja kutunggu jawabannya.
Rendra: [sudah kubilang berkali-kali padamu, Ren. Aku itu suka sama kamu dari pertama ketemu dulu]
Rendra: [kamu itu cewek yang unik. Nggak gengsian dan selalu tampil apa adanya]
Rendra: [kamu juga nggak segan nolongin temen yang kerepotan]
Rendra: [nggak kayak aku, yang seringnya cuek sama orang lain]
Rendra: [di dekat kamu aku merasa nyaman banget]
Rendra: [sumpah, sudah lama aku nggak ngerasa kayak gini sama cewek]
Rendra: [Setelah Milla ninggalin aku, rasanya semua cewek sama saja]
Rendra: [gampangan, asal dikasih semua barang yang dia mau. Matre!]
Wow, sebuah pengakuan yang cukup membuatku terkejut. Hemmm, ternyata mantan yang ninggalin Rendra itu namanya Milla.
Aku tidak memberi balasan apa pun, karena terlihat Rendra belum berhenti mengetik.
Rendra: [kamu itu sering banget bikin aku kagum]
Rendra: [mandiri, gak suka ngerepotin orang]
Rendra: [Gak kayak Neva. Dikit-dikit anterin, dikit-dikit bayarin]
Rendra: [Malah kamu jarang mau ditraktir, suka bayar sendiri]
Membaca keterangan barusan, aku tergelitik untuk iseng.
Me: [halah, bilang aja kamu pelit (emot menjulurkan lidah)]
Rendra: [bukannya gitu Sayangkuuuuuuu]
Rendra: [aku nggak keberatan kok ngasih kamu apa pun yang kamu minta]
Rendra: [sebut saja, Nad. Serius!!!!]
Rendra: [Aku jatuh hati padamu Serenada Senja]
Rendra: [karena kamu tulus sama aku, menerimaku apa adanya]
Aku speechless, tidak tahu harus membalas apa. Semua yang ditulis Rendra membuatku merasa di awang-awang. Mungkinkah ini yang namanya terpesona?
Aneh juga memang, dengan rayuan seperti ini saja mampu membuat hatiku berbunga-bunga. Sekan-akan masuk dalam sebuah kisah novel romance yang sering kubaca.
Ini nyata atau tidak sih?
Aku masih terpaku memandangi layar yang tak berkedip lagi. Namun sebuah panggilan WA membuatku tersentak. Oh, tidak! Rendra menelepon, angkat atau tidak ya? Kubiarkan saja panggilan itu berlalu.
‘Satu panggilan tak terjawab’ tertulis di layar yang menggelap.
Aku menutup muka dengan kedua tangan. Seperti inikah perasaan yang tidak karuan itu? Memang selama ini tidak ada teman cowok yang kuanggap serius. Meskipun beberapa kali ada yang menyatakan cinta, tapi aku tidak merasakan perasaan yang spesial untuk mereka.
Kini ... dengan Rendra semua terasa berbeda. Perhatiannya, keusilannya, dan juga wajahnya yang lucu membuatku cukup tertarik. Walau pun aku sedikit takut dengan sifatnya yang arogan dan mudah emosi.
Satu panggilan lagi. Kali ini aku menggeser tombol terima.
“Hallo, Sayang. Lama banget angkat teleponnya,” ujar Rendra dari seberang. Suaranya yang renyah dan sedikit berat mampu mengalirkan kenyamanan yang meelusup ke ruang benakku.
“Hai, Ndra,” jawabku kikuk.
“Kamu belum ngantuk ‘kan? Aku Cuma mau menegaskan lagi padamu Serenade. Kalau kamu itu orang yang istimewa buatku. Seandainya saja kita bertemu lebih cepat, mungkin Mama tidak perlu menjodohkanku dengan Mirna,” lanjutnya.
Terbersit sedikit kekakuan dalam kalimat terakhirnya. Aku berusaha mengabaikan perasaan yang telanjur melangit. Kupaksakan untuk berpikir logis.
“Nah, tentang Mirna. Aku bukan pilihan Mamamu, Ndra. Bukankah kamu tahu, jika restu orang tua adalah yang utama? Bagiku, perkataaan orang tua wajib dipatuhi, Ndra. Karena aku takut jika tanpa restu semuanya pasti tidak akan baik-baik saja,” jelasku panjang lebar, mengeluarkan semua isi kepala.
Rendra mendesah di seberang. “Setidaknya, bolehkah aku memiliki pilihanku sendiri Nad? Urusan dengan Mama bisa diatur. Mungkin secara perlahan, Mama mau mengerti dengan kehadiranmu. Itu pun, jika kamu mau,” ujarnya mencoba meyakinkanku.
“Tolong jawab jujur, Nada ... apakah kamu juga punya perasaan khusus padaku?”
Aku terdiam mendengar pertanyaan itu untuk beberapa saat. “Entahlah, Ndra,” jawabku jujur.
“Aku sangat berharap kamu juga punya perasaan yang sama denganku, Rena. Kukira, kedekatan kita selama ini punya arti khusus,” ia menghela napas berat,”rupanya aku salah,” tandasnya.
Akhir kalimat Renda terasa cukup menyakitkan. Buru-buru kujawab, “Bukan begitu maksudku, Ndra. Aku ....”
Belum sempat menyelesaikan kalimat, Rendra memotong, ”Setidaknya mari kita coba menjalin hubungan yang lebih serius Nad. Kita coba saja, dan kita biarkan takdir yang menentukan hasilnya. Bagaimana?”
Sebuah tawaran yang cukup menggiurkan. Namun apakah ini benar-benar yang aku inginkan? Usiaku sudah tidak muda lagi memang. Jadi kukira tidak ada lagi waktu untuk main-main sekarang. Apalagi, Ayah sudah terlalu sibuk mencecarku dengan pertanyaan tentang pendamping. Bahkan sengaja menjodohkanku dengan Dosen yang tidak berperi kemahasiswaan.
“Nada?” Panggilan Rendra menyadarkanku kembali dari pembicaraan dalam isi otak.
“Emmm, iya Ndra. Aaaahhheeeemm, aku ngantuk,” ujarku berpura-pura.
“Ya sudah, besok kita lanjut di kampus, ya. Selamat bobok, Serenada sayang. Mimpiin aku.”
“Malem Ndra,” jawabku seraya memutus sambungan dan menutup aplikasi.
Kuletakkan hape di meja lalu kembali berbaring memandangi langit-langit kamar. Aku tidak mood belajar lagi. Sebaiknya aku segera tidur saja, semoga besok pagi mendapat pencerahan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 319 Episodes
Comments