Lepas magrib, suasana sekitar menjadi kelam. Konstelasi yang berkedip manja menandakan langit sedang cerah. Purnama tak muncul, mungkin enggan menampakkan diri. Sama seperti diriku yang juga enggan keluar malam ini. Namun sepertinya satu hal tidak terelakkan harus kujalani.
Angin berembus sedikit kencang di teras, membuatku bergidik. Kusesap teh hangat seraya merenungi nasib. Peristiwa tadi sore membuat suasana hatiku menjadi tidak keruan. Rasa sesal, malu, marah dan putus asa terasa lebih ringan setelah mengadu dalam doa sehabis salat tadi. Bisa jadi ini adalah teguran langsung, agar aku tidak berbuat curang lagi.
Ah, di saat mellow galau begini perutku malah berbunyi. Rupanya minum teh hangat tidak mempan mengganjal lapar, tetap saja perut berteriak minta diisi. Kulirik jam digital di layar ponsel. 18.35, dua puluh lima menit lagi aku harus sudah ada di kedai bakso.
Malam-malan dingin begini makan bakso memang cocok.
Sebuah ide terbersit. Jika aku datang lebih awal dan makan bakso dulu pasti lebih enak. Minimal bisa menyelesaikan urusan resume itu dengan perut kenyang. Lagi pula setelah urusan selesai tidak perlu berlama-lama di sana dan bisa segera kabur meninggalkan orang itu.
Tidak membuang waktu, aku masuk rumah untuk mengambil jaket dan menyambar kunci motor.
Berkendara kurang lebih lima menit, sampailah di kedai bakso yang menjadi tempat kami janjian. Biasanya sangat ramai pengunjung di siang hari, tapi sekarang cukup lengang.
Aroma khas Bakso Malang menjebak indera penciumanku, membuatku hampir lupa dengan tujuan utamaku ke mari. Efek aroma tadi otomatis mengaktifkan asam lambung sehingga mengeluarkan bunyi yang lumayan keras.
Mendekati display bakso, air liurku semain mengalir deras. Bola-bola daging itu memang menggiurkan. Penyajiannya pun unik, bisa dicampur dengan berbagai sayuran serta jeroan alias organ dalam sapi. Ada juga bakso yang menggunakan isian seperti telur, cabe, keju, juga bermacam-macam gorengan. Sudah tidak sabar aku ingin menikmatinya.
Setelah beres membayar ke kasir, langsung saja kubawa nampan menuju meja yang terletak di sudut ruangan. Sebelum menyeruput kuah, tiga sendok sambal dan kecap manis telah berpindah ke dalam mangkok.
Perfecto! Nikmat sekali, kombinasi sempurna antara pedas dan manis. Aku tersenyum puas sambil sesekali memandang ke luar melihat suasana malam.
Sasaran selanjutnya adalah si bakso urat. Potongan bakso bersama kuah telah masuk mulut, meledakkan syaraf pengecap saat mengunyahnya perlahan. Aku terpejam menikmati sensasi proses pengubahan dan peleburan rasa. Benar-benar mantab! Mungkin lebay, tapi entah kenapa rasanya seperti tak pernah puas aku menikmatinya.
Saat kelopak mata membuka, aku terperanjat mendapati sebuah nampan telah bertengger di mejaku. Di atasnya terdapat satu mangkuk bakso, satu mangkuk gorengan dan sebotol teh dingin. Sepasang tangan maskulin yang tadi meletakkan nampan, kini bertumpu di pinggiran meja.
"Ehem, boleh join?"
Enak aja, meja lain kan masih banyak!
Kalimat protes pun otomatis hendak terucap, tapi mulutku penuh. Masih mengunyah, mataku menyusuri tubuh jangkung itu hingga ke atas. Melihat wajahnya, tenggorokanku mendadak menghentikan gerak peristaltik.
"Uhuk-uhuk."
Bakso urat yang belum terkunyah sempurna itu tertelan dengan susah payah. Kutepuk-tepuk dada agar turun tapi tidak juga berhasil. Telinga dan hidungku mendapat imbas rasa panas yang sukar terlukiskan.
"Maaf-maaf, mengagetkanmu. Minum dulu." Dia buru-buru menyodorkan teh botol.
Segera kuminum teh dingin itu lewat sedotan dan menelannya dengan susah payah. Setelah beberapa tegukan, akhirnya kunyahan bakso yang tersangkut tadi turun juga. Kuhela napas lega sambil meletakkan botol di meja.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya khawatir. Aku mengangguk.
Bagaimana mungkin tidak terkejut melihatnya? Penampilannya sangat berbeda, atau memang dia orang yang berbeda? Pria di depanku ini super mirip dengan Mister Agam, tapi dandanannya lebih kasual. Apakah aku berhalusinasi?
Kemeja hijau botol dan celana kain hitam yang dikenakannya sore tadi menghilang. Digantikan oleh kaos oblong hitam bertuliskan JOGJA di dada dan celana jeans biru dongker. Sementara itu topi berbahan jeans bertengger di kepala menutupi rambut ikalnya yang segelap malam.
Manik matanya yang berwarna biru kelam lagi-lagi memandangku lekat-lekat. Hanya dia yang bisa memberikan tatapan mata seperti itu. Tidak mungkin dia orang lain, aku yakin itu. Apalagi jam tangan hitam sporty yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Fix, itu adalah jam milik Pak Agam yang dipakai mengajar sehari-hari.
"Boleh duduk?"
Aku mengangguk cepat. Tidak ada alasan untuk menolaknya. Apalagi dia yang mengajak janjian di sini. Apalagi cowok ganteng ini dosenku. Apalagi dia telah mengetahui kalau tugasku adalah hasil pekerjaan orang lain. Aaarrggg!
Bapak dosen itu sudah duduk manis di seberang meja, berhadapan denganku. Kulirik wajahnya sekilas, ia menatapku tanpa berkedip. Senyumannya malah membuatku teringat pada ancamannya saat pulang dari resto tempo hari.
Tiba-tiba dosen yang berubah makin kece itu mengulurkan tangan ke mangkok baksoku. Serta merta dikeluarkannya ujung jilbab yang terendam dalam kuah, lanjut kotak tisu didekatkan pula. Ia melakukan semua itu dengan senyuman yang tak lepas menghias bibirnya.
Terbengong-bengonglah diriku, melihatnya melakukan itu semua. Sikapnya benar-benar beda, tidak seperti saat di kampus sore tadi
"Ayo lanjut makannya, pelan-pelan saja. Jangan sampai tersedak lagi”. Lagi-lagi senyumnya mengembang sebelum mengeksekusi isi mangkoknya.
Heran deh, Pak Agam kayak bahagia banget gitu.
Tidak kuindahkan ajakannya. Aku meraih beberapa lembar tisu sebagai korban untuk membersihkan ujung jilbabku yang habis berenang dalam kuah. Namun membersihkan dengan tisu kering masih meninggalkan noda.
"Permisi, Pak. Saya ke wastafel dulu," pamitku. Ganti dia yang mengangguk. Aku memundurkan kursi sebelum berlalu menuju wastafel yang ada di seberang ruangan.
Kubuka keran air dan mengalirkannya pada sisa noda. Selama membersihkan ujung jilbab, pikiranku berusaha memprediksi kejadian yang akan terjadi. Berbagai kemungkinan berkelabat di otak, mencoba mencari alasan mengapa ia ingin menemuiku di sini, bukan di kampus.
Aduh! Bagaimana ini? Jangan-jangan dia sengaja menjebakku untuk kepentingan dirinya sendiri.
Memikirkan hal itu adrenalinku terpompa, membuat keringat dingin keluar. Belum lagi suara degup jantung yang sepertinya bisa didengar dari seberang. Mendadak wajahku terasa panas di tengah atmosfer kedai yang terasa semakin pekat dan pengap.
Aku menghirup udara banyak-banyak, lalu menghembuskannya perlahan. Setelah menata hati, kulangkahkan kaki kembali ke tempat semula.
Tanpa memandang pria di seberang konsentrasiku terfokus pada isi mangkok yang tersisa. Setengah bulatan bakso kasar besar, dua buah bakso mercon, satu bakso keju, serta dua biji tahu putih masih berenang dalam kuah yang hampir hitam. Mungkin tadi nafsu makan telah mengambil alih otak saat mengambil komponen bakso. Sayangnya, sekarang selera makanku sudah hilang.
"Kamu nggak nyaman ya, makan bareng aku di sini?" Pak Agam melanjutkan menyendok isi mangkoknya, kemudian mengunyah gorengan.
"Ng-nggak kok, Pak," jawabku serba salah.
"Ya sudah, lanjutkan makannya. Ntar keburu dingin nggak enak." Aku mengangguk. "Oh, iya satu lagi. Panggil saja Agam, kita sedang di luar kampus."
"Tapi, Pak—."
"Agam," koreksinya.
"Maaf, saya tidak bisa. Kata Ibu, tidak sopan memanggil orang yang lebih tua hanya dengan namanya saja." Maksudku beralasan seperti itu supaya tetap memanggilnya formal seperti biasa.
Pak Agam mengangkat sebelah alisnya.
"Kalau begitu, mulai sekarang panggil ‘Mas Agam’ saja," jawabnya sambil tersenyum. Skak mat! Merasa menang, dia duduk santai bersandar di kursi. Isi mangkoknya telah kosong.
Pak Agam berdiri seraya merogoh kantong depan celananya. Ia mengeluarkan dua buah benda yang cukup membuatku risih. “Kamu keberatan?” tanyanya.
Aku menggeleng perlahan.
Dia mengeluarkan sebatang rokok dari dalam bungkus dan menyulutnya di hadapanku. Akhirnya kulanjutkan makan dalam diam. Hanya sendok dan garpu yang terdengar bercengkrama. Harusnya bakso ini bisa menjadi pengganjal perut malam ini. Namun di bawah pengawasan sepasang mata biru itu, susah payah kutelan perlahan.
Tak urung mulutku berdesis karena pedas sangat. Jika sendirian, aku pasti akan sangat menikmati sensasi berkeringat dan mulut terbakar. Kali ini sensasi itu justru menyiksa, hingga mata dan hidungku berair. Ditambah asap rokok yang mampir ke hidungku, menyebalkan. Menyambar tisu, aku mengusap air mata dan membersihkan hidung, dilanjut dengan menghabiskan teh yang tinggal separuh.
Setelah isi botol habis, aku baru sadar kalau aku tadi belum beli minum. Berarti teh botol yang aku minum adalah pemberian Pak Agam.
"Oh, maaf. Tehnya akan kuganti," kataku sambil beranjak mengambil dompet.
"Nggak usah, biar aku beli sendiri," tolaknya.
Pak Agam mematikan rokoknya—thanks god—lalu berjalan menuju counter minuman. Dia kembali ke meja kami membawa dua botol teh yang sama. Diserahkannya satu botol padaku sebelum duduk kembali.
"Waduh, terima kasih, Pak," ujarku sambil menerima pemberiannya.
"Kamu suka makanan pedas ya?" tanyanya.
"He-em," jawabku singkat.
“Kebetulan sekali makanan favorit kita sama. Mungkin ini yang namanya jodoh.”
Aku spontan mendelik mendengar perkataannya barusan.
“By the way, aku memintamu datang kemari untuk membicarakan beberapa hal berkenaan dengan tugas papermu itu.” Tatapan matanya terlihat sangat licik. Mengingatkanku pada tokoh antagonis yang hobby memeras korbannya.
Namun melihat suasana hatinya yang sedang baik, buru-buru kuberanikan diri membujuknya. "Pak, misalnya saya bikin resume baru, boleh ya?"
Melihatku menangkupkan kedua tangan, senyumnya tiba-tiba menghilang. Pak Agam menegakkan tubuh. Menjauhkan mangkuk baksonya yang hanya berisi kuah jernih saja di sana. Kedua tangannya yang berada di atas meja saling berkait. Atmosfer formal dan tegang di kampus sore tadi seketika kembali terbawa..
"Sebelum saya menerima resume pengganti, ada syaratnya," ujarnya membuatku keder.
"Syarat yang pertama sudah kusebutkan tadi. Jangan panggil 'Pak' di luar kampus dan tidak perlu berbicara formal.”
Aku mengangguk.
"Syarat yang kedua," ia memajukan tubuhnya, "kau harus mau memenuhi perintahku."
Aku syok.
"Perintah apapun," lanjutnya dengan mata berkilat. "Bagaimana, deal?"
Tidak bisa berpikir jernih, aku hanya mengangguk saja.
Setelah menerima jawabanku, ia kembali bersandar di kursi. "Jadi, kapan kamu bisa menyerahkan tugas pengganti?”
“Besok saya serahkan ke meja Bapak,” jawabku tegas.
Sebenarnya aku ingin tidur nyenyak malam ini. Tapi demi nilai, sebaiknya kulembur saja. Toh, ujian besok masih jam dua siang.
Dia mengernyitkan dahi. “Batal!” tandasnya.
Aku bingung dan syok. “Maksudnya bagaimana, Pak?”
“Bukankah perjanjian awal tadi kamu tidak boleh memanggilku dengan sebutan itu di luar kampus?”
Aku terkesiap. Jujur saja ada perasaan aneh yang menyelusup di benakku ketika harus memanggilnya ‘Mas’, seperti terlalu intim.
“Ma-maaf … Mas Agam,” ucapku lirih sambil menunduk.
“Apa, aku tidak dengar?”
“Maaf, Mas Agam.” Kalimat itu menuncur halus dari bibirku, mengirimkan perasaan aneh yang membuat perutku seperti teraduk-aduk.
"Mas Alfian saja, biar lebih akrab," koreksinya.
Aku mengangguk. Jadi sudah jelas maumu, Mister! Jika bukan karena nilai, tak sudi aku berakrab-akrab atau bahkan kenal kamu. Sebal!
“Oke, deal kalau begitu. Besok aku tidak masuk. Jadi serahkan saja resume yang benar-benar kamu kerjakan sendiri itu di hari Sabtu malam. Saat aku ke rumahmu nanti, Serena.”
Kalimat barusan membuatku benar-benar mual. Mengapa syaratnya harus seperti itu? Ini namanya pemerasan.
“Maaf, saya permisi ke toilet sebentar,” pamitku.
Tanpa menunggu persetujuannya aku melesat ke toilet. Ingin memuntahkan semua isi perutku, tapi tidak ada yang keluar. Hanya udara panas dan cairan pahit yang menjalar ke tenggorokan. Mungkin gara-gara terlalu banyak sambal.
Setelah cukup menenangkan diri aku segera keluar walau sedikit sempoyongan.
Melihatku berjalan ke arah meja, wajah Pak Agam tampak khawatir.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya begitu aku duduk.
“Maag saya kumat,” jawabku sambil merogoh tas mencari-cari tablet pereda Maag.
Pak Agam berdiri dan pergi menuju counter lalu kembali dengan sebotol air mineral yang tidak dingin. Ia menyerahkannya padaku dalam keadaan terbuka. Aku langsung meminum air pemberiannya setelah tablet maag itu terkunyah.
“Mau teh hangat?” tanyanya. Aku menggeleng. “Sebaiknya kurangi kebiasaan makan pedasmu.” Rasanya lucu mendengar nasehat dari Pak Agam, terdengar seperti komentar ayahku saja. Untunglah panas di perutku mulai mereda.
Pak Agam berdiri, lantas berpindah duduk di kursi sebelahku. Kini kami sama-sama memandang satu arah, ke jalan.
“Bagaimana, sudah enakan?"
"Lumayan," jawabku singkat.
Dia mengeluarkan lagi kotak rokok. Sebelum menyulutnya, dengan tatapan mata ia meminta persetujuanku. Terus terang saja tidak suka asapnya sehingga aku menggeleng.
Pak Agam mengembalikan rokok itu ke tempatnya seraya mendesah. Kualihkan pandangan ke jalan, lalu lalang kendaraan sudah terlihat jarang. Entah berapa lama aku di sini, sepertinya sudah agak larut. Meskipun begitu, rasanya tidak sopan jika harus pamit pulang duluan.
"Syarat yang ketiga. Jawab pertanyaanku, sejujurnya.”
Aku mendelik, ternyata masih ada syarat ketiga.
“Serenade, kenapa kamu tidak mau dijodohkan denganku?”
Mendengar pertanyaan itu, perutku terasa bergolak kembali. Aku harus menjawab apa? Otakku blank seketika.
“Kalau Mas Alfian, kenapa mau dijodohkan denganku?” Entah darimana keberanian untuk membalikkan pertanyaan itu muncul.
Aku tidak mengharapkan penjelasan sebenarnya, hanya saja situasi ini membuatku tidak nyaman. Di satu sisi dia dosen yang ada masalah denganku, di sisi lain Ayah dan Om Wigyo menjodohkan kami. Menyebalkan!.
Pak Agam tersenyum tanpa memandangku. Seolah pertanyaan itu adalah sebuah lelucon baginya.
“Pada mulanya aku tidak tertarik pada tawaran Om Wignyo,” ia mulai membuka cerita, “aku menghormati beliau seperti menghormati ayahku yang telah tiada. Mereka satu batalyon di Aceh dulu. Bahkan saking akrabnya, mereka berdua menjodohkanku dengan Eva, putri Om Wignyo. Padahal, Eva sudah seperti adikku sendiri.”
Buru-buru kualihkan pandangan ke jalan, begitu ia menoleh. Sumpah, ceritanya Sam sekali tidak penting bagiku!
“Aku tahu Eva mencintai orang lain, tapi mereka tidak tahu. Eva memintaku untuk membicarakan hal ini dengan mereka. Setelah kami berdua memberikan penjelasan, orang tua kami tetap menolak dan bersikukuh untuk melanjutkan ke acara lamaran. Akhirnya Eva nekad, dia kabur dari rumah dan lari dengan laki-laki itu,” ia tertawa sejenak, ”lucunya, Eva melakukannya seminggu sebelum akad nikah dilangsungkan.”
Mataku terbelalak lantas menoleh padanya. Pandangan kami bertemu. Wajahnya berbinar seperti seseorang yang sedang menceritakan kisah lucu. Padahal menurutku kejadian itu sangat mengenaskan. Benar-benar tragis, pasti orangtua mereka sangat terpukau. Undangan sudah disebar, pesanan katering, gedung, ...
“Kebetulan, saat itu schollarship application ke Jerman yang kukirimkan beberapa bulan sebelumnya telah mendapat jawaban," lanjut Pak Agam memotong khayalanku.
"Jadi, untuk menutupi aib, kugunakan itu sebagai alasan melarikan diri. Padahal aku pergi lebih awal dari jadwal yang sudah ditentukan, hehehehe." Akhir cerita yang sungguh tragis.
Pak Agam menyandarkan punggung, masih menatapku.
“Mungkin Om Wignyo kasihan padaku, sehingga berusaha mencarikan jodoh.” Ia mengatakan itu dengan setengah tersenyum.
"Karena aku adalah tipe penurut, ya kenapa enggak? Bukankah pilihan orang tua adalah yang terbaik?”
Pertanyaan retorika yang cukup menyentak pola pikirku. Tidak menyangka seorang dosen killer dengan jam terbang tinggi, serta lulusan luar negeri punya pemikiran sekolot itu.
“Oke, sekarang kamu jawab pertanyaanku tadi. Kenapa tidak mau dijodohkan denganku?”
“A-aku … aku … sudah punya pacar juga. Seperti Eva.” Akhirnya aku berbohong.
“Siapa dia, Rendra?”
Aku mengangguk cepat-cepat.
“Oh, I see. Sudah kuduga, mana mungkin dia mau membuatkan resume jika tidak ada apa-apa di antara kalian. Hahahaha, bodoh kali kau, Fian,” ucapnya pada diri sendiri.
Perkataan Pak Agam barusan membuat hatiku seperti tercubit. Apakah seharusnya aku tidak membohonginya? Runtuh sudah prinsipku untuk selalu berusaha jujur.
“Ya, sudah kalau begitu, tidak apa-apa. Hanya itu saja, alasannya?" tanyanya kembali.
Aku baru saja hendak membuka mulut ...
"Tapi sebelum janur kuning melengkung, setidaknya aku masih punya kesempatan untuk mendapatkanmu.”
Terjebak sudah diriku dalam permainan ini. Padahal tadi ingin kuutarakan berbagai macam alasan seperti tidak siap menikah, masih kuliah, dan sejuta alasan lain yang membuatnya mengurungkan niat.
Lelaki di sampingku ini melirik jam tangannya. “Ayo kuantar pulang, kamu butuh istirahat,” tukasnya sambil berdiri.
"Eh, nggak usah, Pak. Saya bawa motor sendiri kok," elakku seraya ikut berdiri.
Ia memandangku lama tanpa berkedip. “Mas Alfian,” koreksinya.
“Oh, iya, maaf. Saya duluan, Mas. Terima kasih atas segalanya,” pamitku sambil buru-buru memakai ransel.
"Serenada?" Sapa seorang gadis yang duduk di meja outdoor dekat pintu masuk.
"Neva?" Oh, tidak! Lagi-lagi ketemu mereka.
Mario yang sedang mengunyah bakso di samping Neva memberiku tatapan jahil.
"Pak Agam, selamat malam," sapanya kaku pada pria di sampingku, sama sekali tidak mengacuhkan diriku.
"Malam," jawab Pak Agam formal. Sikapnya dingin pada kedua teman sekelasku itu.
"Ayo kuantar ke parkiran," ajaknya halus.
Aku mengangguk.
"Duluan ya, Nev, Rio," pamitku pada mereka berdua. Neva masih terbengong saat kami berjalan melewatinya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 319 Episodes
Comments
Soenaryati Atiek
duh mas fian...kalah nyacak menang nyacak
2021-06-21
0
Ijong
mendadak langsung mau makan bakso 😀nikmat gitu baksonya dijelaskan sedetail itu
2020-12-24
0
Ijong
mendadak langsung mau makan bakso 😀nikmat gitu baksonya dinelaskan sedetail itu
2020-12-24
0