Untung alarm jam 03.00 pagi tadi bisa membangunkanku untuk belajar. Setidaknya itu salah satu usaha untuk memindahkan isi textbook dan jurnal ke otak setelah semua peristiwa dan drama yang terjadi kemarin.
Selanjutnya aku sengaja datang lebih pagi, bahkan sudah hadir di ruang ujian sejak pintu kelas dibuka petugas. Mengulang kembali jurnal yang sudah kupelajari, sembari menggigit bekal roti selai coklat.
“Pagi cantik, bagi dong sarapannya,” sapa Rendra tiba-tiba.
Akibat terlalu konsentrasi, sampai aku tidak tahu kapan dia masuk. Bahkan beberapa mahasiswa lain juga sudah hadir.
“Eh, kamu Ndra. Gimana resumemu, apa sudah beres?” Aku tersenyum sambil mengunyah sisa roti yang ada di mulut. Ingatanku spontan menyajikan tugas resume yang diberikannya kemarin.
Rendra duduk di sebelah kananku. Ia mengeluarkan satu bendelan kertas bersampul mika merah.
“Beres! Don’t worry, Beib.”
Aku hampir tersedak. “Beb? Bebek! Please deh. Ga usah lebay!”
Rendra tertawa seraya menutup lembaran jurnal yang sedang kubaca.
“Udah, gak usah belajar deh, Say! Ntar aku kasih contekan,” lanjutnya dengan volume suara tanpa kontrol, pasti terdengar ke seluruh ruangan.
“Cieeeeee. Aku juga mau loh, dikasih contekan,” goda Mario. Sementara di sampingnya, Neva memberikan tatapan yang seolah-olah siap mengulitiku hidup-hidup.
Jiaah, Rendra sialan!
Langsung kutepis tangannya yang ada di kertas jurnal dan kembali menekuri lembaran itu.
Tak lama setelah bel masuk berbunyi, Mister AA memasuki ruangan. Wow, he looks so hot! Kemeja berwarna merah marun, membalut tubuhnya. Kebetulan aku suka warna itu.
“Pagi semua,” sapanya, membuatku tersadar dan ingin menggeplak kepala sendiri. Setelah kejadian semalam, ia terlihat sedikit berbeda.
“Pagi, Pak,” jawab kami.
“Sebelum ujian, kumpulkan tugas-tugas ke depan. Sekaligus mengambil lembar soal,” kata Pak Agam.
Dia berdiri di samping meja kanan dosen setelah meletakkan tumpukan kertas soal.
Aku mengambil tugas resume dari dalam tas. Kuakui itu adalah resume yang Rendra buatkan. Hanya tinggal menge-print cover dengan nama dan NIM-ku saja. Walau setengah otakku protes, tapi kulakukan demi mengejar waktu belajar setelah terlalu banyak intermezzo kemarin.
Aku masuk ke dalam antrean—setelah Mario dan sebelum Rendra. Peganganku terasa licin, untung saja resume ini bersampul mika jadi tidak akan basah. Setelah Mario, aku maju untuk meletakkan paper di atas meja. Bisa kurasakan tatapannya yang menghujam saat itu.
Apa mungkin dia tahu ya, kalau bukan aku yang buat? Pikiran itu tersingkirkan ketika ekor mataku menangkap senyuman di bibirnya.
Tanganku gemetar waktu mengambil kertas ujian di sebelahnya, lantas buru-buru berbalik menuju kursi.
“Aduh!” cetusku.Tanpa bisa mencegah, aku menabrak seseorang.
“Wow, kalau mau putar balik lihat spion dulu, Say,” kata Rendra usil. Dia malah bahagia tidak sengaja kutabrak.
Kertas ujian terlepas, melayang ke arah Pak Agam dan jatuh di depan kakinya.
Rendra menyebalkaaaaan!
Masa sih, tidak melihatku berbalik? Harusnya dia tidak berdiri terlalu dekat tadi. Keder juga jika harus kembali berhadapan dengan Dosen sangar yang tatapan matanya setajam silet itu.
Terpaksa aku berbalik, mengumpulkan keberanian untuk mengambil kertas ujian keramat itu.
Tak disangka Pak Agam menunduk, mengambil kertas yang terongok di dekat kakinya. Setelah berdiri, diulurkan lembaran itu padaku.
“Te-terima kasih, Pak." Mau tak mau aku mendongak.
Tatapan matanya menghentikan waktu. Sampai berapa detik kemudian, satu sudut bibirnya tertarik ke atas.
”Kerjakan dengan baik."
Aku mengangguk.
Sekelebat kulihat ekspresi tidak suka dari Rendra yang memperhatikan kami. Spontan lengannya yang gempal kusenggol. Akhirnya diletakkan juga tugas resume di meja dengan kasar, lantas mengambil kertas ujian.
Begitu sampai di tempat duduk, aku berbisik pada Rendra sambil mengawasi Pak Agam di depan.
“Mukamu ngapain sinis kayak gitu?”
“Sebel aja. Tua Bangka itu melototin kamu kayak gak pernah liat cewek,” sungutnya.
Belum sempat protes, Neva datang melewati kami sambil berdehem.
Akhirnya kupusatkan konsentrasi pada lembar jawaban untuk mengisi identitas. Di sebelahnya tergeletak lembar soal yang berisi lima belas pertanyaan. Tidak ada harapan untuk mencoba keberuntungan dengan memilih kancing, karena soal-soal itu bukan pilihan ganda.
Bismillah, semoga lancar.
*
Lima puluh lima menit berlalu, jawaban yang kutulis sudah sampai di soal nomor lima. Lumayan, sudah terlewati sebelas pertanyaan dan tinggal empat lagi. Iya, aku mengerjakan soal dari belakang. Metode ini kulakukan sejak SMP, untuk menyiasati memori yang tidak terlalu bagus mengingat hal-hal lampau. Jika mengerjakan dari belakang, maka apa yang baru saja kupelajari masih segar di ingatan.
Menuju nomor empat, aku menyerah. Kulompati saja lalu lanjut menjawab soal nomor tiga, dua, dan satu. Lagi-lagi blank.
Frustasi dengan soal yang tersisa, iseng kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Teman-teman masih serius dengan kertas masing-masing. Sementara itu di depan, Pak Agam tidak beranjak dari tempat duduknya. Dia sedang membaca resume kami satu per satu tanpa sedikit pun terlihat mengawasi ujian dengan ketat.
Meski pun begitu suasana tenang nan mencekam tercipta dengan sendirinya. Hanya sesekali ia memandang berkeliling serta melihat jam tangannya. Mendadak tatapan kami bersirobok, lalu aku buru-buru menunduk pura-pura mengerjakan soal. Sangat melelahkan memang, menghadapi ujian dosen super killer.
Entah dari mana keajaiban itu datang. Setelah memperhatikan Pak Agam diam-diam, tiba-tiba terbersit jawaban untuk soal nomor empat dan satu. Lumayan tinggal dua nomor lagi.
Rupanya dengan cara melihat Pak Agam, bisa membangkitkan memori tentang materi yang dijelaskannya pada awal pertemuan dulu. Tidak ada salahnya untuk mencoba keberuntungan itu lagi.
Setelah cukup aman, aku mencuri pandang ke depan sambil membayangkan ketika dia mengajar. Mata elangnya tampak berkonsentrasi pada satu resume, entah punya siapa itu. Alisnya berpaut, lantas mulutnya mengerucut sebentar sebelum punggungnya bersandar di kursi. Ekspresinya tidak sesantai tadi.
Dengan tangan kanan dia membalik resume itu dan menandai sesuatu pada cover depan. Tidak seperti dugaanku semula, melihat ekspresi barusan, justru memicu ingatan pada saat ia mengusirku.
"Huft!" Aku mendengus kesal. Pasti materi nomor dua dan tiga dijelaskannya setelah pengusiran itu.
“Pssst! Psst!”
Rendra mencolek dan seketika aku menoleh. Jari telunjuk kirinya terbuka sementara empat jari lainnya tergenggam. Di tangan kanan semua jarinya terbuka. Mungkin maksudnya mau menyontek entah nomor 6 atau nomor 15.
Tanpa pikir panjang kuarahkan pandangan ke arah Pak Agam. Aman, dia sedang melihat ke luar jendela. Perlahan lembar jawaban kuletakkan sedemikian rupa agar Rendra bisa melihatnya. Sudah sepantasnya aku membalas budi karena sudah dibuatkan resume.
Beberapa saat kemudian, Rendra malah memberiku contekan untuk nomor tiga dan dua. Ya, sudah. Dari pada nilainya nol biar saja kuisi dari jawaban Rendra, dengan sedikit improvisasi agar tidak sama persis.
“Masih ada waktu lima belas menit lagi untuk mengoreksi jawaban Anda. Tapi jika sudah yakin sila dikumpulkan dan boleh keluar kelas,” kata Pak Agam memecah kesunyian.
Kelas yang tadinya hening, berubah sedikit mendengung dan terdengar kasak-kusuk dengan suara direndahkan. Situasi ini mungkin hampir mirip dengan situasi jam akhir ujian waktu masih sekolah, masing-masing berebut mencari contekan. Aku tersenyum tanpa sadar sambil terus menuliskan jawaban yang kurasa kurang penjelasan.
Setelah tidak bisa lagi berbuat apa-apa untuk memperbaiki jawaban, aku berdiri hendak mengumpulkannya. Kulihat beberapa bangku sudah kosong, berarti sudah ada yang selesai.
Rendra ikut berdiri, padahal sudah selesai sejak tadi. Rupanya dia sengaja menungguku.
“Sini, biar aku yang kumpulin,” katanya sambil meraih lembar jawabanku.
“Eh, jangan! Aku takut kita ketahuan nyontek, dodol. Kalau mengumpulkannya barengan,” cegahku.
Rendra tidak memaksa, membiarkanku mengumpulkan lembar jawaban sendiri. Beruntungnya, teman-teman yang lain juga ikut beranjak mengumpulkan. Jadi di antara tumpukan lembar jawabanku dan Rendra masih ada beberapa lembar jawaban teman yang lain.
Begitu sampai di tempat duduk, segera kubereskan peralatan tulis dan mencangklong tas punggung. Dengan perasaan lega aku membuntuti Rendra menuju pintu.
Baru sampai di depan meja dosen, Pak Agam memanggil, "Saudari Serenada, tunggu!"
Seluruh mata yang masih berada di kelas memandang penasaran ke arah kami.
“Anda temui saya di ruang Dekanat kamis sore setelah jam terakhir,” kata Pak Agam, yang menggema ke seluruh ruangan.
Aku mematung, tidak bisa berkata apa-apa. Langsung terbersit pikiran buruk, membuat tanganku saling *** dan teraba dingin.
Pak Agam yang telah selesai membereskan lembar jawaban, beranjak dari tempat duduknya.
"Saya duluan. Assalamualaikum," pamitnya lantas keluar kelas lebih dulu.
“Kamu nggak apa-apa, Nad?” tanya Rendra begitu Dosen itu sudah tidak ada.
Aku menggeleng.
“Kenapa ya, si Agam memanggilmu?”
Aku mengangkat bahu.
“Ya udah, besok aku temani ya,” pintanya.
Aku mengangguk. Pikiranku kembali menduga-duga. Apakah Pak Agam memergokiku saat menyontek tadi?
Oh tidaaaaak! Gawat! Sungguh sangat memalukan.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 319 Episodes
Comments
Soenaryati Atiek
semenyeramnya pak Agam
2021-06-21
0
Kasma AnngiNg
keIngat masa2 kuliah dlu... yg kdang nyontek😊😁
2020-01-08
2
Marliani Permana
bikin buku aja, napa? 😭 aku mawu
2019-12-09
2