Melamun bukanlah hal yang biasa aku lakukan. Namun sejak peristiwa di parkiran kedai bakso, kegiatan un-faedah itu banyak menyita waktu.
Otakku yang biasanya mudah connect begitu melihat komik, jadi lemot seperti saat mempelajari textbook yang tebalnya seperti bantal. Anggap saja porsi membaca Mangatoon dan melamun itu fifty-fifty, beneran bikin bete gara-gara kudu bolak balik baca karena gak fokus.
Otakku makin lelah dan akhirnya tertidur dengan nyenyak sampai sore, sehingga rencana belajar di malam hari pun menguap tanpa jejak. Kesimpulannya, agenda belajar plus mengerjakan makalah terakhir dari Pak Agam di hari Sabtu kemarin gatot, alias gagal total.
Pagi ini aku berniat mengerjakan tugas yang tertunda, tapi kenyataannya, dari tadi yang kulakukan hanya ketik-hapus, ketik-hapus. Hasilnya adalah layar Ms Word masih bersih, hanya ada kursor yang berkedip-kedip manja di pojok atas.
Merasa frustasi, kucomot stik balado dari toples yang isinya tinggal setengah. Benar-benar tidak produktif, ngemil tapi tidak menghasilkan apa-apa.
“Aku butuh minuman berenergi!” teriakku. Otak sebagai sumber syaraf pusat memerintah kaki untuk melangkah ke dapur. Setelah sampai di sana, giliran tangan diperintah membuat kopi. Ide bagus! Mengingat kafein bisa memacu kerja otak yang sedang macet. “Semoga saja,” batinku berargumen.
Dalam perjalanan kembali dari dapur, ringtone Perfect dari Ed Sheran berbunyi. Buru-buru kuhampiri meja dan meraih hape, ada WhatsApp Call dari Rendra. Cangkir kopi kuletakkan di meja, lantas menggeser tombol ‘terima’ di layar.
“Nad! Aku di depan rumahmu, bukain pintu dong,” ucapnya di seberang.
Hah! Ngapain si Winnie the Pooh kemari?
“Oke, tunggu bentar,” jawabku seraya memutuskan sambungan. Pasalnya saat ini aku hanya mengenakan celana training panjang dan kaos oblong. Bergegas memakai jilbab ungu, lalu menyambar cardigan hitam yang kukenakan sambil berjalan menuju pintu depan. Melewati ruang tengah aku melirik cermin, sekilas penampilanku terlihat oke.
"Tumben, Ndra,” sapaku begitu pintu pagar terbuka.
“Gak boleh, ya aku ngapelin kamu?” Aku hanya menjulingkan mata mendengarnya. Si beruang madu bangkit dari sandarannya di tembok pagar. Ia mengekorku masuk ke halaman menuju teras. Pintu gerbang sengaja kubiarkan terbuka agar bisa melihat motor Rendra yang terparkir di luar.
Cowok yang mengenakan jaket hitam, kaos tangan hitam, dan menenteng masker penutup muka itu terlihat bingung ketika aku berhenti di teras, lantas duduk di kursi yang terbuat dari penjalin.
“Kok di sini?” tanyanya sambil berdiri. Sepertinya dia berharap kuajak masuk ke dalam rumah.
“Pesan Ayah, tidak boleh memasukkan cowok ke rumah kalau lagi sendirian,” terangku. “Sudah, duduk, gih! Aku capek ngomong sambil mendongak.”
Ia tidak membantah, lalu ikut duduk di kursi satunya.
"Nad, ikut aku yuk. Lagi pengen jalan-jalan, nih,” ajaknya tiba-tiba.
Aku mengernyitkan dahi. Apa dia tidak sadar kalau besok kita mau ujian? Apalagi tugasku masih kurang satu.
"Kan, aku dah bilang nggak bisa, Ndra. Resumeku masih kurang satu. Aku nggak mau ada masalah lagi sama Pak Agam."
“Ambilin ranselku, dong,” pintanya tiba-tiba dengan senyum penuh arti.
Otakku masih memproses permintaannya. Sudah kubilang, ia masih lemot. Butuh beberapa waktu sampai ingatan pada ransel yang dititipkan Rendra jumat lalu itu kembali.
Sayang bukan hanya ingatan tentang ransel itu saja yang hadir, awakward moment di parkiran juga ikut ter-replay secara otomatis. Pipiku memanas.
“Bentar, ya,” kataku, lalu buru-buru masuk ke dalam rumah. Semoga Rendra tidak menyadari perubahan ekspresiku tadi.
Sesampainya di kamar, kupandangi ransel milik cowok bernama lengkap Narendra Hadi Wijaya itu sambil memberi waktu untuk menenangkan debaran jantung. Setelah cukup selow aku kembali ke depan.
Kuserahkan ransel hitam itu pada pemiliknya. Tanpa menunggu lama dibukanya resleting tas dan mengeluarkan bendelan kertas yang sudah terjepit rapi.
"Udah, pake aja resumeku. Ntar gampang, aku bikin lagi nanti. File-nya ada di laptop kok, tinggal ngubah dikit-dikit," katanya santai.
"Nggak, ah. Makasih. Aku ngerjain sendiri saja." Jika bisa mengulang waktu, aku berharap tidak pernah membuat masalah dengan dosen satu itu. Kini hanya perlu memastikan diriku agar tidak membuat masalah lagi.
"Sudahlah, nggak usah banyak mikir. Ikut aku, atau aku nginep di sini sampe Senin," ancamnya dengan wajah serius.
Sungguh itu adalah ancaman paling konyol yang pernah kudengar. Memang dia mau tidur di lantai sambil digigiti nyamuk? Dasar orang aneh!
“Nggak apa-apa, silakan. Aku masuk dulu ya,” jawabku sambil meletakkan bendelan kertas itu lantas berdiri.
“Eiit-eiit,” Rendra menangkap pergelangan tanganku, “jangan gitu dong, Nada sayang. Tega bener.”
Lagi-lagi sikapnya tak terduga. Wajahnya yang tadi serius seketika berubah. Matanya melebar sambil tersenyum jahil ke arahku. Sedetik kemudian tersadar, kupandangi tanganku yang masih dipegangnya.
“Hehehhe, maap-maap. Galak amat.” Rendra melepas genggamannya lalu garuk-garuk kepala. "Ayolah, Nad. Katanya kamu pengen jalan-jalan ke pegunungan. Kujamin pemandangannya luaaaar, biasa," bujuknya.
Memang pernah kuceritakan padanya kalau lebih suka jalan-jalan ke gunung dibanding laut. Berada di atas gunung selalu membuatku merasa lebih hidup. Seandainya saja Ayah memperbolehkanku ikut MAPALA, pasti hidupku dulu sangat menyenangkan.
“Mau ya? Resume ini benaran buat kamu.”
Kulirik kertas yang terkapar di meja itu. Setelah semalaman memelototi tumpukan buku keramat dan sepagian mematung di depan layar laptop, bendelan kertas itu tampak begitu menggoda.
Apakah ini salah satu pertolongan yang Tuhan kirimkan padaku? Atau justru godaan setan yang terkutuk?
"Udah sana masuk! Buruan ganti baju!” perintahnya. Aku masih berpikir sambil berdiri. Dia melirikku lagi dengan mata sipitnya. “Apa perlu bantuan, ganti bajunya?" tambahnya.
Belum sempat mencerna kalimatnya barusan, tiba-tiba Rendra mengambil kertas itu lalu menyodorkannya padaku. Ia tersenyum.
"A-aku masuk dulu, ya," kataku gugup.
Di dalam kamar, kuletakkan resume Rendra di atas meja belajar. Juga segera menghabiskan kopi yang tadi belum sempat aku minum. Rasa pahit dan manis bercampur di rongga mulut, menyisakan sensasi bittersweet.
Setelah mematikan laptop, aku menukar pakaian. Kupilih tunik biru dongker dan celana jeans yang dipadu dengan jilbab bunga-bunga. Sambil menyapukan bedak tipis dan lipgloss orange, aku tersenyum sendiri membayangkan pemandangan hijau di pegunungan.a
Kuraih tas selempang yang ada di kastok, kemudian memasukkan hape serta dompet ke dalamnya. Mataku masih tertuju pada resume yang diberikan Rendra.
“Sekali-kali ‘curang’ tidak jadi masalah, ‘kan?” Aku meyakinkan diri. Lagipula dia yang menawarkan paper itu, bukan aku yang minta.
Usai memakai jaket denim dan mematut diri di cermin, aku keluar rumah menemui Rendra. “Ayo berangkat!”
Mata Rendra berbinar melihatku. Ia menunggu dengan sabar ketika aku mengunci pintu depan dan memakai sepatu kets.
Perasaanku campur aduk antara senang dan sedikit merasa bersalah karena menerima tawarannya, tapi tidak mungkin untuk mundur sekarang. Empat bulan suntuk dengan kuliah, mungkin dengan jalan-jalan bisa kembali membuatku bersemangat.
“Siap, Nad?” Aku mengangguk.
Rendra mengenakan ranselnya di depan dada, sementara aku memakai helm sambil membuntutinya keluar. Saat aku mengunci pagar, mesin motor sudah menyala. Cowok berwajah chubby itu tersenyumm. Ia terlihat semakin gagah ketika sedang mengendarai motor besar seperti ini. Badannya yang besar dan lengannya yang kekar tampak mendominasi, mengingatkanku pada tokoh badboys.
“Ayo naik, Ren!” perintahnya.
“Emmm, ranselmu mending ditaruh di belakang deh,” usulku. Memang tidak nyaman harus berboncengan dengannya tanpa pembatas. Instingku mengatakan dia sengaja ingin mengambil keuntungan atas posisi ini.
Rendra nyengir mengetahui aku bisa membaca pikirannya. Tanpa melepaskan pandangan dariku, dia mengubah letak ransel ke punggung.
Aku tersenyum padanya sambil naik ke atas motor.“Emang kita mau kemana sih, Ndra?
“Ada, deeeh.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 319 Episodes
Comments
Ranalia
baru baca sampe sini... dicicil ya thor.. gpp kan.. plz jgn marah sm akoh.. akoh padamu
2020-03-20
1
Zulis Tenggel
seru juga
2020-01-04
2