First Love First Fall
“Sudahlah, Dek. Mau saja,” sahut Bu Suci di sebelah yang hanya kubalas dengan senyuman. Jika bukan karena dia, mungkin segelas es teh yang ada di meja sudah menyiram muka laki-laki yang nyengir di hadapanku ini.
Rasa dingin mengalir ketika kugenggam gelas itu erat-erat. Untuk menahan amarah yang sudah memuncak ke ubun-ubun, perlahan kusesap sedikit isinya lewat sedotan. Setelah air es yang sejuk itu sukses meluncur ke dalam lambung, kuletakkan gelas di meja. Udara panas yang menyesakkan dada, kuembuskan perlahan lewat mulut.
“Maaf, Mas. Sejujurnya saya tidak punya perasaan sama sampeyan. Jadi tidak usah lagi mengejar saya.” Aku berdiri perlahan sambil tersenyum sopan pada Bu Suci dan teman-teman yang ada di sini.
Mas Rudi tertunduk lemas.
“Maaf, ponsel saya tertinggal di tas. Saya permisi dulu,” ujarku pada audiens yang tampak kecewa.
Kutinggalkan kantin dengan langkah mantap. Biar saja mereka menganggapku kejam.
Memangnya siapa mereka mengatur-atur acara nggak penting seperti ini? Apalagi memaksaku menerima Mas Rudi. Seperti tidak ada cowok lain saja di dunia ini.
Plis deh!
Bukannya sok cantik atau pilih-pilih, tapi mereka sudah melanggar wilayah pribadiku. Benar-benar tidak habis pikir aku, dengan ulah teman-teman. Apalagi Bu Suci juga ikut-ikutan. Memang sih, Mas Rudi sudah berulang kali memberikan sinyal suka padaku.
Hellow, aku ‘kan tidak suka sama dia.
Bukan karena fisiknya yang tidak seberapa ganteng, tapi memang tidak merasa cocok dengannya. Jadi wajar dong kalau kutolak mentah-mentah? Lagi pula berpura-pura bukanlah keahlianku. Kejujuran itu lebih baik daripada harapan palsu bukan?
Intinya, he is not my type! Titik.
Memang sih, aku belum pernah jatuh cinta selama hidup 29 tahun. Kalau naksir-naksir pasti pernahlah. Soalnya selama sekolah dan kuliah dulu, temanku kebanyakan cowok. Mereka sangat menyenangkan dan melindungi, jadi wajar saja jika aku tidak butuh special person.
Bagaimana pun juga, aku juga ingin jatuh cinta. Merasakan debaran yang katanya membuat lumpuh logika. Aku pun ingin menikah, sama seperti orang lain. Dia haruslah orang yang tepat dan mau mengerti diriku. Pernikahan adalah hal yang sakral, cukup sekali seumur hidup dan berbahagia hingga akhir hayat bersama orang yang ditakdirkan untukku.
Who is he? Where is he? Entahlah, hanya Tuhan yang tahu.
Kuputar kenop pintu ruangan. Udara dingin AC menyentuh kulit, membawa sensasi yang cukup menenangkan. Kuseret kursi lalu duduk dan bersandar dengan malas. Pikiranku masih sedikit kacau akibat peristiwa tadi.
Oh iya, ponsel!
Aku menunduk untuk membuka lemari bawah meja, mengeluarkan tas selempang hitam yang setia menemani ke kantor. Kuletakkan tas kulit itu di meja dan membuka resletingnya dengan tangan kanan. Tangan kiri mengobok-obok isinya mencari benda kotak yang hampir tidak pernah jauh dariku. Hari ini aku harus berterima kasih padanya karena tertinggal di tas. Memberiku alasan untuk meninggalkan emak-emak rumpi dan Mas Rudi yang merana di kantin.
Aha! Aku berhasil menemukannya. Kugeser layar untuk membuat pola pembuka kunci. Terpampang gambar anime dan jam digital di sudut layar yang menunjukkan pukul dua belas lewat lima belas menit. Masih ada 45 menit lagi waktu untuk istirahat.
Selera makanku sudah hilang meski pun perut bergolak. Untungnya cadangan coklat batangan yang ada di dalam tas sisa sebiji. Kugigit ujung benda kotak itu ketika bungkusnya sudah lepas sambil mendekati dispenser untuk mengambil air minum.
Setelah meletakkan gelas di meja, kembali aplikasi MANGATOON kubuka.
Baru saja akan melakukan gigitan ke dua, Mbak Milla tiba-tiba muncul. “Nada, kamu dipanggil Pak Setiaji,” katanya.
“Eh, ada apa ya, Mbak?”
“Nggak tahu, tapi kayaknya penting deh. Buruan ya,” jawabnya sambil duduk setelah menghempaskan tumpukan berkas di meja.
Seperti kemarin, sahabatku itu kembali melewatkan waktu istirahat karena harus menyelesaikan beberapa berkas SPJ. Rupanya dia baru saja dari ruangan Pak Setiaji untuk minta tanda tangan.
“Ya udah. Aku kesana dulu, Mbak,” pamitku sambil meninggalkan ruangan dan melipat bungkusan coklat sebelum menyimpannya di laci.
“He-em, bentar lagi aku juga mau ke kantin,” sahutnya.
Koridor kantor memang lengang di waktu istirahat seperti ini. Kompleks kantorku memang memanfaatkan bangunan tua peninggalan Belanda. Jadi agak-agak creepy kalau harus lembur hingga malam hari.
Suasana yang hampir sunyi membuat detak jantungku terdengar lebih keras dari biasanya. Belum lagi suara hak sepatu pantovel yang beradu dengan lantai, menjadi backsound ribuan pertanyaan yang muncul di benakku. Tidak mungkin Kepala Bagian memanggil staf sepertiku jika tidak ada masalah.
Langkahku melambat dan berhenti tepat di depan pintu ruangan Pak Setiaji. Kuatur napas sebelum mengetuk pintu kaca raybean yang tertutup itu.
“Masuk,” jawab suara dari dalam.
Kudorong pintu itu perlahan, lalu masuk ke ruangan full AC itu.
“Bapak memanggil saya?” sapaku.
Pak Setiaji yang sedang berdiri di dekat lemari berkas menoleh. “Oh, Nada. Silakan duduk.”
Kudekati meja beliau lalu duduk di hadapannya.
Pak Setiaji mengambil sebuah amplop coklat yang telah terbuka kemudian menyodorkannya padaku.
“Selamat ya, permohonan beasiswa tugas belajarmu disetujui,” kata beliau.
Dengan gugup kuterima amplop itu. Aku buru-buru menarik kertas putih yang ujungnya menyembul dari dalam.
"Alhamdulillah.”
Rasanya dadaku hampir meledak karena tak percaya. Kubaca sekali lagi surat itu.
“Terimakasih banyak, Pak,” ucapku tanpa bisa menutupi kebahagiaan. Mungkin jika berada di tempat lain, aku akan meloncat-loncat kegirangan.
“Sebenarnya saya agak keberatan kamu mengambil beasiswa itu. Kamu staf muda yang sangat rajin dan pintar, Bu Suci pasti akan kesulitan jika kamu cuti.”
Pak Setiaji berhenti berbicara sambil menatapku dengan wajah cemberut yang dibuat-buat.
"Tapi, bagaimanapun juga ini adalah kesempatan yang sangat berharga. Jadi, manfaatkan sebaik-baiknya. Semoga nanti kamu bisa memberikan kontribusi lebih setelahnya.”
Kali ini wajah Pak Setiaji tampak sumringah dan tersenyum lebar.
“Baik, Pak. Terimakasih sekali lagi,” jawabku dengan semangat.
Jujur aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku kali ini. Aku benar-benar sangat gembira dan lega.
"Ya sudah, silakan kembali beristirahat."
Aku berdiri menyambut uluran tangan beliau untuk bersalaman.
Terburu-buru berjalan ke luar ruangan untuk meredam euforia yang memenuhi dadaku, ingin berteriak saja rasanya. Kulemparkan kaki dengan riang menyusuri koridor kantor, entah bibirku tersenyum atau tidak.
Aku yakin, hari-hari selanjutnya akan sangat jauh berbeda.
Selamat tinggal deadline laporan, selamat tinggal excel, selamat tinggal kantin, selamat tinggal nyonya-nyonya rumpi yang centil dan selamat tinggal Mas Rudi.
Yiiihaaa!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 319 Episodes
Comments
Soenaryati Atiek
baca novel ini nggak bosen2
2021-06-21
0
sa_
halo thor... salam sesama anak HA..
Semangat terus bikin cerita yg menarik.. ku harap bisa mampir di 0330.. Terimakasih
2020-06-16
0
Nona Gladdys
Semangat Kakak ,
"Pernikahan luar Biasa" Recomended
2020-06-16
0