Kalian harus memberi keturunan agar kita memiliki calon penerus Perusahaan Arkandi Group.
Kalimat itu masih mengiang dalam bayangan Revan. Ia sampai meremas rambut di kepalanya. Geram, tuntutan itu sudah seperti ancaman atau perintah yang datang dari pintu neraka.
Kenapa mereka selalu menuntutku untuk memberi keturunan? Bagaimana aku bisa melakukannya dengan Priska. Aku bahkan sama sekali tak menaruh rasa pada gadis manja itu. Agghh.
Praak.
Kesal. Revan sampai membanting botol wine yang masih terisi setengah itu. Membuat mata asistennya yang setia berdiri di samping, sampai terpejam saat pecahan kaca itu memantul sebelum akhirnya kembali berserakan.
Namun tiba-tiba, sebuah ketukan pintu berhasil mengalihkan perhatian Revan.
"Masuk," serunya.
Krieet.
Dua orang pengawal lebih dulu masuk diikuti oleh seorang wanita yang berjalan dengan sedikit cepat. Ia mengenakan gaun yang cukup ketat hingga membentuk lekukan tubuhnya, juga menggunakan sepatu heels setinggi sepuluh senti.
Apa ini? Apa sekarang Priska berniat menggodaku! Cih.
Revan diam menatap wanita yang dengan santai menghampirinya itu. Berdiri, dengan meja sebagai pemisah jarak antara mereka. Kedua tangannnya langsung menekan ke atas meja.
"Apa yang kamu lakukan di kantorku? Cepat pergi, sebelum aku mengusirmu! Jangan pernah berpikir aku akan benar-benar tidur denganmu!"
"Kau jangan salah menilaiku! Kau pikir aku datang ke sini untuk menyerahkan tubuhku padamu?" Ia tertawa tipis. "Aku datang ke sini membawa solusi untuk masalah kita!"
Revan mengernyit. "Apa maksudmu?"
"Bukankah keluarga kita menuntut untuk segera memberi momongan pada mereka?"
"CK, hal itu tak perlu kau katakan, aku juga sudah tahu itu!"
Priska tertawa kecil. "Kalau begitu, aku membawakan hadiah untukmu, kamu pasti suka!"
"Hadiah? Aku tak suka menerima hadiah! Terutama darimu, jadi pergilah."
"Jangan terburu-buru mengusirku, bagaimana jika kau melihatnya dulu!" jawabnya. "Hollan, bawakan gadis itu kemari!" Priska memanggil seorang asisten yang menunggunya di luar bersama seorang gadis.
Tanpa menunggu lama, dia langsung menyongsong gadis itu ke ruangan Revan.
Sosok wanita yang kemarin berlutut dan terlihat lusuh dengan wajah sedikit kusam kini berubah cantik layaknya artis ternama. Ia mengenakan gaun putih yang memperlihatkan bagian lengan dan bahunya. Rambutnya terurai sedikit bergelombang. Tapi pancaran matanya terlihat sayu, seakan ada beban hebat yang menekan batinnya.
Revan menatapnya sekilas lalu kembali memandang Priska. "Apa maksudmu dengan membawa gadis ini?"
Priska tersenyum kecil, meletakkan satu jari telunjuk di atas bibirnya. "Psstt! Bicaranya jangan keras-keras!"
"Ck, cepat katakan! Aku tak suka bertele-tele!"
"Baiklah, sepertinya kamu memang pria yang tak sabaran. Hmm, jadi, aku ke sini membawa gadis cantik ini untukmu, apa kau suka?!"
Seketika Revan tertawa. "Kau ini sakit, ya? Aku tak membutuhkan gadis kampungan seperti itu! Aku bahkan bisa mendapatkan seribu gadis yang lebih cantik dari dia! Untuk apa bersusah payah menerima hadiahmu ini," tawanya. "Sudahlah, cepat bawa dia pergi, aku malas meladenimu!" Revan langsung berbalik badan, membelakangi Priska untuk beranjak duduk di kursi pribadinya.
"Tapi, dia bersedia menampung bayimu dalam rahimnya!"
"Apa?" Spontan Revan menoleh. "Kau gila! Kau pikir aku pria murahan yang mau menitipkan benihku pada sembarang wanita? Bahkan untuk wanita yang asal usulnya aku tak tahu!"
Prilly hanya bisa menunduk mendengar perdebatan dua insan di hadapannya itu. Ingin rasanya ia menghujamkan mereka dengan sejuta makian, tapi ia sadar, orang miskin akan selalu kalah jika melawan mereka yang kaya dan memiliki segalanya.
"Dia bukan wanita sembarangan, dia wanita cerdas. Aku sudah mengonfirmasinya. Bahkan aku sendiri yang turun saat melakukan pengecekkan pada data pribadinya!" elak Priska berusaha meyakinkan Revan. Berharap dengan begitu, Revan luluh dan bersedia melakukan apa yang sudah ia rencanakan.
"Aku tak perlu melakukan hal ini, bukan? Kita adopsi saja bayi di luar sana!" Revan membuang jauh pandangannya dari hadapan Priska. Memupuskan harapan wanita itu.
"Revan, kau pikir kenapa aku sampai rela memintamu sejauh ini?" hardiknya. "Ini semua demi kebaikanmu! Bukankah kita sepakat, setelah satu tahun kita akan bercerai. Lalu bagaimana dengan nasib anak yang dianggap cucu oleh keluarga kita. Bahkan menjadi calon penerus keluargamu. Apa kamu mau, darah yang bahkan tidak mengalir dalam keluargamu harus menjadi penerus pemegang saham Arkandi Group, perusahaan yang di pimpin olehmu?"
Revan terdiam sejenak.
"Revan, pikirkanlah. Memang benar ada puluhan wanita di luar sana yang siap menampung bayimu dalam rahimnya, tapi apa kamu sudah memikirkan bagaimana jika kelak wanita itu membongkarnya ke publik, untuk mengambil keuntungan?"
"Lalu bagaimana dengan wanita yang kau bawa? Bukankah dia juga bisa melakukan hal yang sama?"
"Dia tidak sama dengan wanita di luar sana. Aku sudah mengikatnya dengan kontrak! Dia tidak akan berani!"
Revan masih membelakangi Priska yang tak hentinya mengoceh itu.
"Pikirkanlah itu, Revan!" ucapnya.
Kali ini Revan mulai memutar pelan tubuhnya.
"Kenapa tidak kau saja yang hamil? Bukankah begitu lebih mudah, kau punya pacar 'kan? Lakukan saja dengan pacarmu."
"Aku? Tentu saja aku tidak mau. Itu sama saja dengan melemparku ke dalam penjara abadi. Kau pikir mengandung anak sampai melahirkan adalah hal yang mudah? Aku tidak mau menderita, perut buncit akan membuatku lelah. Aku tidak mau!"
"Huft! Terserah kau saja!" Revan menghempas kasar tubuhnya saat duduk di kursi pribadinya, dan langsung menyandarkan punggungnya.
"Jadi .. apa sekarang kau setuju??" tanya Priska yang sudah mulai memancarkan senyum bahagiannya.
Jawaban terserah itu artinya setuju, bukan? Priska mulai menerka dalam hati.
Revan hanya menatapnya sekilas lalu menaikkan seutas bibirnya. "Hmm!"
"Baguslah! Akhirnya kau mengerti juga!" Priska tertawa girang, sambil menepuk tangan di depan Revan.
Cih! Anak manja ini, kenapa orangtuaku sudi menjadikannya menantu? batin Revan berdecih kesal.
"Apa yang sudah kau janjikan untuknya hingga dia merelakan dirinya melakukan hal sebesar ini?"
"Kau tidak usah pikirkan hal itu. Aku sudah mengurusnya!" ucapnya tertawa kecil.
Kembali Revan diam menatapnya. "Huh, terserah kau saja!"
"Jadi, bukankah sekarang kita sepakat?" tanya Priska.
"Hmm," sahut Revan tanpa menatap.
"Bagus, kau sudah mengambil keputusan yang bagus, Revan. Baiklah, kalau begitu, aku pergi dulu! Aku titip gadis ini untukmu, ya! Selamat bersenang-senang."
Priska melenggang pergi, melambai pada Revan. Menjauh untuk keluar dari ruangan itu, ia sempatkan menepuk pundak Prilly sebelum benar-benar pergi.
"Jangan gugup, ya! Nikmati saja!" ucap Priska tersenyum lebar, seakan memberi semangat pada Prilly. Tapi yang terdengar oleh rongga telinga Prilly hanyalah bunyi hinaan yang teramat menusuk ke dalam hati. Prilly sampai mengepal erat tangannya.
Priska sudah berlalu, tapi ia masih menunduk, mendengarkan suara langkah Priska yang lambat laun semakin mengecil lalu menghilang. Gadis itu masih gugup, berdiri di ujung sana.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Ia mulai gemetar. Menyerahkan diri dengan pria asing untuk menampung benih dalam rahimnya, tak ayalnya seperti menjual diri saja.
"Heh! Kamu!"
"Ahh!" Prilly terkejut mendengar suara Revan yang memanggilnya dengan sedikit menggertak. "Kenapa kamu masih berdiri saja di sana?"
"Ah iya!" Prilly mulai gelabakan. Ia sibuk ke sana kemari kebingungan, ia sampai lupa jika tak ada perintah yang diminta untuk ia lakukan. Lalu mendadak langkahnya terhenti.
Tunggu, kenapa aku berputar-putar begini, bukahkah dia tak memberiku perintah. Ah, membingungkan saja, apa yang harus kelakukan?
"Heh! Apa yang kamu lakukan?" Revan kembali menghardik, setelah melihat Prilly yang sebelumnya berputar-putar tak tentu arah, membuat Prilly terkejut untuk kedua kali.
"Pintar katamu, Priska? Cih, gadis bodoh begini dia bilang pintar!" Ia menggumam kesal. Meraih jas yang tergantung, melemparnya ke arah Prilly, dan berhasil mendarat di antara kepala dan bahu gadis itu. "Gunakan jas itu untuk menutupi tubuhmu!"
"Ah, iya, baik!" Prilly langsung menutupi tubuhnya, tapi masih setia berdiam di sana.
"Heh, kenapa kau masih berdiri di sana? Apa kamu tidak lelah?"
"Tidak, Tuan!" jawabnya spontan. Membuat bola mata Revan sedikit menyipit.
"Kalau begitu, berdirilah terus di sana!"
"Eh, tidak, maksud saya, saya lelah, Tuan!"
"Cih!" Revan berdecih pelan. "Duduklah di sofa itu!" Ia mengarahkan Prilly hanya dengan sekali tunjuk.
"Ah, iya, baik, Tuan!" Prilly langsung beranjak ke sana. Duduk dengan wajah yang setia menunduk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Masiah Firman
kyknya ceritanya bagus
2021-07-18
1
Heksa Suhartini
sultaaaannnnnnn
2021-07-07
0
Santy Mustaki
Hadiir
2021-06-04
1