Waktu sudah menunjukkan pukul 16:00, yang artinya tepat jam 4 sore. Prilly sudah menunggu jemputan itu sejak setengah jam lalu.
"Duuh, mana sih jemputannya, tuan muda bilang dia akan menjemputku sebelum senja. Bagaimana sih, ini kan sudah sore!" Ia merutuk kesal. Selang beberapa saat, sebuah mobil hitam dengan flat berlogo king terlihat memasuki halaman rumah sederhana Prilly.
Bukankah itu mobil yang menjemput tuan muda kemarin? Ah, sepertinya ini jemputan untukku.
Mobil itu akhirnya memarkir tepat di depan teras sederhana. Kacanya yang gelap perlahan terbuka, sosok pria tak asing dengan kacamata hitam menyambutnya. Pria itu membuka penutup matanya pelan.
"Hai, Nona. Kita bertemu lagi!" sapanya ramah.
"Ehh?" Prilly terkejut saat ia tiba-tiba ia menyapa. "Kamu .. yang membantukuku membuang sampah pagi itu, kan?"
"Hmm, daya ingat Nona bagus juga!"
Eh, apa maksudnya berkata daya ingatku bagus juga? Dia pikir aku nenek-nenek yang pikunan.
"Tentu saja aku ingat, kejadian itu kan hanya dua hari yang lalu, bagaimana mungkin aku dengan mudah melupakannya."
"Hmm, benar juga."
Tak lagi melanjutkan obrolan, ia mulai bergerak cepat, membuka pintu mobil, kemudian menghampiri Prilly. "Mari Nona, waktu kita tak banyak, Tuan Revan meminta saya untuk segera mengantar Nona sebelum senja."
"Kalau kamu tahu begitu, kenapa baru datang?"
"Ah, maaf, tadi saya agak kesulitan mencari alamat Nona."
"Oh begitu, baiklah."
"Mari, Nona." Ia membuka lebar pintu bagian depan di samping setiran mobil. Prilly masuk, disusul asisten itu yang juga masuk dan langsung segera menyalakan kendaraannya.
"Kita berangkat, Nona!"
"Hmm." sahut Prilly.
Sepanjang jalan keduanya hening. Hingga tiba-tiba ponsel Prilly berdering. Lagi, nama pemanggil yang tertera adalah tuan muda.
Huh, dia protektif sekali, bahkan belum senja saja sudah menghubungiku. batinnya menggerutu.
Namun, baru saja ia hendak mengangkat panggilan itu, tiba-tiba baterai miliknya menge-bip, tanda kalau dayanya sudah lemah. Layar yang tadi menyala seketika redup total.
"Aduh, bagaimana ini!"
"Ada apa, Nona?"
"Tadi, tuan muda menelepon saya, tapi ...."
"Tapi kenapa, Nona?"
"Daya baterai saya habis."
"Kalau begitu, gunakan ponsel saya saja!" Pria itu mulai mencari ponsel miliknya, meraba ke dalam tas di belakang. Cukup lama tangannya mengacak benda itu, tapi tak kunjung kembali dengan menggenggam ponsel di tangan.
"Ada apa?" Prilly mulai khawatir, mungkinkah pria di sampingnya lupa membawa ponsel.
"Duh, sepertinya ponsel saya tertinggal di kantor."
"Apa, anda serius?"
"Yaa, maaf, Nona!"
"Duh, bagaimana ini, semoga bukan hal penting!"
"Iya, semoga saja!"
Kendaraan itu masih melaju dengan kecepatan rata-rata. Ada secercah rasa cemas terpancar di wajah keduanya, hingga jalan poros mulai berakhir, terlihat panjang antrian kendaraan yang berada di depan tiang portal, semua menunggu giliran untuk sebuah karcis agar bisa masuk ke kota.
Sepuluh, duapuluh, hingga tigapuluh menit lamanya, kendaraan di depan tak kunjung bergerak. Bahkan suara klakson sudah mulai ramai seperti musik drum band saja.
"Apa apa?" tanya Prilly saat menyadari mobil mereka terhenti cukup lama.
"Sepertinya ada kerusakan server di pos portal itu."
"Kau serius?"
"Hanya menebak!"
Keduanya kembali hening.
Astaga, bagaimana ini.
Satu jam sudah mereka menunggu, tapi belum ada tanda-tanda mobil bergerak. Bisingnya suara klakson di sana bahkan sudah melebihi kerasnya klakson kapal pesiar.
*****
Sementara itu di apartemen kediaman Revan.
Ia sudah cukup gelisah menanti kepulangan Prilly, puluhan kali mencoba menghubungi, baik Prilly maupun asisten yang tadi menjemputnya, tak ada yang menyahut.
Ia berjalan ke sana kemari tak tentu arah. Gelisah, sementara orangtuanya sudah sepakat akan berkunjung setengah jam ke depan.
Masih setia menunggu hingga pukul 18:00.
"Astaga, bahkan sekarang sudah senja, tapi kenapa mereka belum juga kembali. Aku berharap gadis itu datang malam saja." Ia bergumam.
Ting. Tong.
Bunyi bell di depan pintu apartemen cukup mengagetkan Revan, suara yang biasa terdengar biasa itu kini seperti horor bagi Revan. Jantungnya mulai berdegub tak karuan. Revan mencoba melirik layar kecil di sana sebelum membuka pintu.
Terpampang jelas dua wajah orang kesayangan berada di luar pintu.
Duh, kan benar, mereka sudah datang, sekarang harus bagaimana?
Dengan berat hati ia membukanya, senyum kecut kini terpancar dari wajah Revan saat menyambut kedatangan kedua orangtuanya.
"Ayah, Ibu, silakan masuk!" ucapnya dengan raut tegang, tapi tetap berusaha mengusir rasa gelisah dengan berpura-pura santai agar tak terlihat gugup.
"Hmm, ini kunjungan pertama Ibu dan Ayah." ujar mereka. Mereka mengedarkan pandangan, menelisik ruang berdesign minimalis tapi cukup mewah, dan tanpa sengaja, netra mereka menangkap pemandangan sepasang sendal pria dan wanita yang terpampang di bawah sana. Bola mata Revan langsung membulat saat menyadari benda itu menjadi sorotan kedua orangtuanya. Ia kini semakin gugup.
Bagaimana ini?
Ia mengira mereka akan langsung mengintrogasinya. Namun, tanda diduga ternyata kedua orangtuanya bahkan tak curiga sedikitpun dengan hal itu, mereka justru tersenyum lebar.
Ada apa dengan senyum itu?
"Sepertinya, ini juga akan menjadi akhir kamu tinggal di sini."
Revan terkejut mendengar penuturan orangtuannya. "Apa maksud Ayah dan Ibu?"
"Ya, kecuali kalau ternyata kalian sudah tinggal bersama!" Keduanya langsung tertawa bahagia.
Eh, kenapa mereka berpikir begitu?
"Kamu masih malu ya untuk mengakuinya, karena kemarin kamu selalu menunjukkan rasa bencimu terhadap Priska di depan Ayah dan Ibu, tapi ternyata akhirnya kalian bersatu juga. Sendal itu pasti milikmu dan Priska bukan?"
Eh, jadi mereka pikir sandal itu milik Priska, huh! Untung saja Prilly belum kembali. Aku benar-benar berharap gadis itu pulang malam saja.
Revan kemudian mempersilahkan kedua orangtuanya untuk duduk di sofa. Tanpa menunda, mereka langsung bergerak merapatkan tubuhnya yang terasa penat karena perjalanan singkat tadi.
"Revan, kapan kalian akan pindah ke maind house, Ayah dan Ibumu sudah mempersiapkan segalanya di sana. Kau bahkan tak perlu membawa pakaian!"
"Ya, Revan." Ibunya ikut bicara. "Kamu tak perlu malu menerima hadiah kecil kami, lagipula, kamu kan calon penerus Arkandi Group, tentu saja semua aset kekayaan ini kelak akan jadi milikmu."
"Bukan begitu, Ayah, Ibu .. hanya saja, Rev-"
Ting. Tong.
Bell di depan pintu apartemen Revan kembali berbunyi.
Seketika jantung Revan seakan hendak meletus.
Dag. Dug.
Dag. Dug.
Tidak, jangan sekarang. Jangan tekan bell itu, Prilly.
Ting. Tong.
Kembali bell itu berbunyi.
"Revan, kenapa kamu tidak membukakan pintunya, sepertinya itu istrimu. Ayo, suruh segera masuk, dia pasti senang saat mengetahui mertuanya berkunjung." Senyum manis mereka bahkan terlihat seperti hantu valak di mata Revan. Bagaimana tidak, jangankan tinggal bersama, ia dan Priska bahkan tak pernah berada dalam satu apartemen bersama.
"Ayo, buka, Revan."
Revan masih diam, antara gugup dan ragu.
"Sudahlah, Ayah, mungkin Revan masih malu, biar Ibu saja yang membukanya."
"Eh, tapi, Bu!" Ingin sekali ia mencegah ibunya, tapi baru saja langkah kakinya mengayun, ayahnya yang dengan senyum bahagia seketika ia menahan tangannya.
"Sudah, Revan, tidak apa-apa, tak perlu malu begitu."
Kini ayahnya berhasil membuat Revan kembali duduk. Siap atau tidak siap, Revan kini harus menerima kenyataan pahit bahwa mungkin sandiwara mereka akan segera terungkap.
*****
Sementara itu, di tempat lain.
Priska meraung sedih, tak ada darah di tubuhnya, tapi pedihnya bagai luka yang terkoyak lebar di bagian dada.
Sudah nyaris 5 botol minuman penetral emosi ia tenggak, tak jua membuatnya lupa dengan kesedihan yang dialaminya. Justru kini mulutnya semakin meracau tak karuan.
"Dinda, apa menurutmu aku sudah mengambil langkah yang salah dalam hidupku, apa salah jika aku mengejar impian, kenapa pria yang kuharap bisa membantu justru berkhianat? Uhuk." Ia terbatuk, berbicara dengan tubuh terhuyung. Sempoyongan, berkali-kali oleng, nyaris terjatuh ke meja tapi kembali bangkit lagi. Ya, saat mabuk gadis itu terlihat seperti orang bodoh.
"Hish!" Dinda mendesah kesal. Percuma saja ia meladeni gadis mabuk, sama saja seperti bicara dengan orang tidur, jawabanya pasti melantur, ditambah lawan bicara itu tak akan pernah mengingat percakapannya.
"Priska, kau harus pulang sekarang!" Ia membopong tubuh temannya dengan sekuat tenaga. "Huh, kenapa tubuh kamu ini berat sekali, sih!" Dinda mengeluh lalu menjatuhkan Priska di permukaan tangga di depan sebuah bar.
Harusnya ada yang menjemputnya sekarang, Priska tak bisa mengendarai mobil jika dalam keadaan mabuk begini.
Dinda merogoh isi dari tas mini milik Priska, mencari benda pipih kesayangan sahabatnya itu.
Rogoh demi rogoh sudah ia lakukan, tapi tak kunjung menemukannya di sana. Heran, ia tak percaya jika sahabatnya itu bahkan meninggalkan ponsel di rumah.
"Apa? Yang benar saja. Kenapa ponselnya tidak ada." Berulang kali ia mencarinya, memastikan bahwa mungkin saja ia hanya belum menemukannya, tapi ternyata setelah sekian detik masa pencarian, ternyata tak juga berbuah hasil. "Aduuh sial. Kalau begini aku harus bagaimana?"
Bingung, Dinda mulai mencari nomor di dalam kontak ponselnya, berharap ada nomor seseorang di dalam sana yang mungkin bisa membantunya menjemput sekaligus mengantar Priska pulang. Tapi sungguh nahas, hanya nomor Joshua yang tertera dalam kontak Dinda.
Kenapa aku harus se-apes ini? Huftt.
Ia menghela napas berat.
Apa aku pakai jasa taksi saja untuk mengantarnya?
"Joshua, kamu jahat, kamu jahaat Joshua." Gadis di sampingnya itu terus saja merocok, sedang tubuhnya semakin lunglai.
Duh, mana mungkin aku menyerahkannya pada tukang supir. Bagaimana jika supir itu berbuat hal senonoh padanya. Agghh ....
Dinda diam sejenak, berpikir. Jika mengantar pulang ke kediaman orangtua Priska, pasti akan menimbulkan kecurigaan. Dan jika mengantar ke kediaman apartemen Priska, maka siapa nantinya yang akan merawat di sana. Hal itu membuat Dinda sampai sakit kepala memikirkannya.
Biasanya selalu Joshua yang mengurus Priska di saat begini, tapi sekarang ... ahh, ayolah Dinda berpikir. Andai Priska punya tempat yang kiranya dapat ia singgahi.
Tiba-tiba terbersit dalam pikiran.
"Oh iya, bukankah Priska masih punya Revan. Astaga kenapa tidak sejak tadi aku memikirkan hal ini. Kalau begini, mending aku mengantarnya sekarang sebelum malam."
Dinda kembali menggandeng lengan Priska, membawanya bersama menuju apartemen Revan dalam mobil bak terbuka milik Priska.
Bersambung ....
Siapakah yang terlebih dulu membunyikan bell di depan apartemen Revan? Yuk, simak kisahnya besok☺️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Kamila
pasti priska
2020-11-29
3
Masitha Muslimin
lanjutannya mannaaaaa
2020-08-22
0
IF
macet bikin geram ih!
2020-06-03
2