Prilly masih menyesap minuman itu, duduk pada sebuah kursi panjang di depan mini market. Sedikit gelap karena tepat berada di bawah rindang pohon.
Sudah lima menit Revan memperhatikannya dari belakang. Celana panjang dan cardigan melekat di tubuh, juga satu buah sendal rumah setia di bawah matakaki Revan. Kedua lengannya bersembunyi di balik kantung celana.
Ia mendekat, tapi nyaris tak menimbulkan suara.
"Hai!" panggilnya, sontak membuat Prilly terkejut, spontan menoleh. "Rupanya kamu di sana."
"Eh, Tuan!" Ia berdiri dan langsung menundukkan kepala."
"Sudah, tidak perlu canggung begitu." Revan mendekat, lalu tanpa diminta ia duduk kursi itu di sebelah Prilly.
Eh, apa yang terjadi padanya, tiba-tiba nadanya semakin hangat saja?
"Tuan, apa yang anda lakukan? Kenapa anda duduk di sini? Mari, kita naik sekarang."
"Kenapa? Apa aku tak boleh duduk di sini?"
"Oh, bukan begitu, maksud saya ...."
"Sudahlah, duduk saja. Aku sedang ingin bersantai."
"Em," sahutnya singkat.
Revan langsung merentangkan lengannya pada bahu kursi.
Hei, aku juga mau bersandar tahu. Tanganmu menghalangiku.
Revan masih menatap ke depan. Sesaat kemudian menoleh pada Prilly. Seketika alisnya mengkerut mendapati sebuah minuman yang disesap gadis itu. "Apa yang kamu minum itu?" Ia langsung merebutnya.
"Eh, Tuan. Itukan minuman saya ...."
"Iya, aku tahu. Jangan suka minum sembarangan, ini minuman banyak mengandung bahan pengawet. Kau tidak boleh meminumnya." Ia membuangnya ke dalam tong sampah yang tak jauh dari tempat duduk.
Apa? Ih kejam sekali dia. Semakin seenaknya saja dia. Prilly mendelik. Tak dapat menutupi wajah kesalnya.
Keduanya kembali hening. Revan diam dalam lamunannya. Sementara Prilly diam dalam kekesalan. Tak hentinya ia menggerutu dalam hati. Puluhan kali mengutuk, berharap karma segera menghampiri pria di sampingnya.
"Prilly."
Eh, apa aku tak salah dengar, dia baru saja memanggil namaku, bukan?
"Ya, Tuan."
"Ah, tidak jadi."
Huh, kirain apa?
"Apa itu sakit?"
Eh, apa yang dia maksud? Prilly tak langsung menjawab. Hanya sepasang matanya tampak menatap bingung.
"Ah, maksudku, apa malam itu sakit? Apa aku menyakitimu?"
Apa dia sedang membahas tentang kejadian malam itu? Prilly masih diam.
"Maafkan aku, pengaruh dari obat itu membuatku tak dapat mengendalikan diri."
"Tidak apa-apa, Tuan. Anda tidak salah, tidak seharusnya Tuan yang meminum obat itu?" Ungkapan Prilly berhasil membuat kedua alis Revan mengernyit.
"Jadi, kamu memang tahu mengenai itu, juga alasan obat itu berada dalam lemari pendingin?"
"Eh??" Prilly tersentak. 'Kenapa aku keceplosan sih? batinnya menggumam. "I-tu sebenarnya, Nona Priska yang memberikannya."
"Lalu? Kau bilang tidak seharusnya aku yang meminum? Apa itu artinya kamu yang akan meminum?"
"Iya, obat itu memang untuk saya."
Revan diam sesaat lalu berdecih. "Cih, apa kamu sudah hilang akal?" Ia memalingkan wajahnya. Ada secercah rasa sesal menyelimuti hatinya.
"Kenapa, apa saya salah?"
"Tentu saja, kenapa kamu bodoh sekali mau menerima obat pelepas kendali begitu dari Priska?"
Apa? Kenapa dia selalu menyebutku bodoh, dia ini sedang bertanya apa sedang menghinaku? Ahhh kesal sekali rasanya.
"Maaf, Tuan. Saya memang bodoh, bahkan sampai rela menyerahkan diri saya begitu saja. Apa jawaban saya memuaskan anda?"
Revan menatap resah. Aku tak tahu, sebenarnya apa yang ada dalam pikiran gadis ini, apa dia memang wanita pengincar harta, atau apa? Tapi kenapa saat menatap matanya, aku tak melihat adanya sirat serakah di dalam sana?
"Saya terpaksa melakukan semua itu."
Revan hanya memandanginya gadis yang kini ucapannya terputus. "Kau tidak harus melakukannya jika tak mau, karena pada akhirnya aku dan Priska juga akan bercerai."
Deg.
Apa? Jadi kenapa dia sampai meminjam rahimku untuk dibuahi anak darinya, kalau pada akhirnya mereka akan bercerai, kalau begitu kenapa harus punya anak?
"Kamu pasti bingung dan bertanya-tanya, jika pada akhirnya bercerai juga, untuk apa bersusah-susah mencari rahim pinjaman?"
Eh, sepertinya dia benar-benar pandai menebak isi kepalaku.
"Sama sepertimu yang rela melakukan hal sebesar ini, aku juga punya alasan kuat kenapa memilih meminjam rahim daripada mengadopsi anak yang jelas lebih mudah," tuturnya yang mulai bangkit dari tempat duduk. "Sudahlah, kurasa di luar sudah mulai dingin. Ayo kita naik, nanti kamu bisa terserang flu jika berlama-lama!"
"Em."
*****
"Aku sangat yakin, gadis kampung itu ada hubungannya dengan Revan." Nyonya Harlem tak hentinya berprasangka jika Prilly ada hubungan dengan Revan.
Sudahlah, Mah, itu pasti hanya pikiranmu yang berlebihan."
"Tidak, Yah. Mamah sangat yakin. Tadi gadis itu mengatakan kalau ia salah kamar, bukankah artinya sekarang dia sudah berada di kamar yang benar, dan bukannya nongkrong dengan es murahan. Kecuali dia sedang menunggu kita hingga pulang untuk kembali ke apartemen Revan."
"Mah, kurasa kamu butuh lebih banyak piknik."
"Ayah, bisakah kamu mempercayaiku, aku serius, firasatku mengatakan gadis itu ada hubungannya dengan rumahtangga anak kita, Revan."
"Ck, ah! Terserah kamu sajalah, Mah."
"Bagaimana kalau kita putar arah saja. Aku yakin mereka masih nongrong di sana. Sementara menantuku terbaring lemah di kamar, gadis ini malah asyik mengganggu suaminya. Aku pastikan tak akan melepaskannya jika bertemu nanti, dia pasti wanita rendahan yang menginginkan harta Revan."
"Mah, kurasa khayalanmu sudah semakin berlebihan saja."
"Jung Ah, tolong kamu putar arah, kembali ke apartemen Revan." Ia meminta supir pribadi itu memutar arah.
"Baik, Nyonya."
Harlem hanya bisa mendesah pelan. Tak ingin terlalu jauh dalam perdebatan dengan istrinya, ia akhirnya mengikuti saja keinginan istrinya itu.
Mobil yang berisikan tiga insan itu mulai memutar arah, melesat cepat kembali ke apartemen. Hanya dalam hitungan waktu 30 menit mereka tiba dengan jarak sejauh 20 kilometer dari gedung apartemen. Mobil itu berhenti tepat di samping tembok.
Dari sana terlihat jelas sebuah kursi kosong yang tertelak di depan mini market.
"Mana mereka? Tidak ada kan?"
"Tidak mungkin, harusnya mereka masih ada di sana, aku yakin sekali, Ayah."
"Sudahlah, Mah. Bukankah sudah kukatakan, itu hanya pikiranmu yang berlebihan terhadap Revan.
Nyonya Harlem masih tidak percaya dengan kenyataan yang kini ada di depan mata. Ia teramat yakin kalau gadis itu sedang menunggu Revan. Netranya mulai menelisik, mencari bayangan mereka dengan mengedarkan pandangan.
Dari kejauhan, netranya menangkap dua pria dan wanita sedang berjalan beriringan. Pria itu berpakaian sama persis dengan yang digunakan Revan tadi. Begitupun dengan sang wanita, ia menggunakan pakaian yang juga benar-benar sama dengan sosok wanita asing, yang sebelumnya sempat membunyikan bell.
"Itu, Yah. Itu mereka." Ia menunjuk. Hanya sesaat, keduanya hilang di balik pintu utama lantai dasar. "Aku melihat mereka, jelas itu mereka."
"Mana? Ayah tidak melihat."
"Baiklah kalau Ayah tidak percaya, ayo ikut Mamah turun. Kita susul mereka."
"Huh!" Harlem sampai mendesah kesal "Mah, ini sudah malam. Sudahlah."
"Ck, ayo cepatan. Ayah harus ikut, kalau tidak bagaimana bisa melihat langsung, Ayah harus percaya pada Mamah." Nyonya Harlem sampai menarik lengan suaminya. Memaksanya ikut turun.
Setengah berlari ia menarik lengan suaminya menuju ruang lantai dasar. Mata mereka langsung menangkap sosok Revan yang memang tengah berjalan dalam area lantai dasar itu, tapi tidak dengan seseorang, melainkan hanya membawa badan.
"Revan!"
"Mamah, Ayah, kalian belum pulang?"
"Revan, di mana kamu menyembunyikan gadis itu?"
Tuan Harlem tampak mendengus kesal pada istrinya, menurutnya kali ini istrinya sudah berlebihan menanggapi firasatnya sendiri. "Sudahlah, Mah. Tidak ada buktinya, 'kan?"
"Tidak, Yah. Mamah yakin tadi melihatnya langsung. Lagipula benarkan di sini ada Revan."
"Mamah bicara apa, sih?" tanya Revan pura-pura tak mengerti.
"Revan, kamu jangan berbohong sama Mamah, di mana gadis kampung itu kamu sembunyikan?"
"Gadis yang mana, aku gak mengerti maksud Mamah."
"Kamu pasti berbohong sama Mamah, lagipula buat apa kamu turun dengan pakaian begitu di malam begini."
"Aku hanya ingin mencari angin, apa itu juga salah?"
"Sudahlah, Mah, sepertinya Revan berkata jujur."
Netra Nyonya Harlem masih setia menyapu ruangan itu. Mencari sosok Prilly, tapi benar-benar tak menemukan tanda-tanda kehadiran gadis itu di sana. Ia juga menelisik setiap sudut yang kiranya bisa dijadikan sebagai tempat persembunyian, tapi memang tak ada tempat di sana untuk bersembunyi. Kecuali sebuah gudang penyimpanan daging beku.
Aneh, aku yakin tadi melihat mereka. Ke mana gadis itu bersembunyi, tidak ada tempat kecuali ruang penyimpanan itu. Tidak mungkin gadis itu nekat bersembunyi di sana.
Nyonya Harlem kemudian memutar tubuhnya, sedang kepalanya masih setia mengedar ke belakang. Ia benar-benar yakin jika tadi yang ia lihat adalah mereka berdua.
"Sudah kubilangkan, itu hanya pikiranmu yang berlebihan."
Nyonya Harlem langsung memegang pelipisnya. "Ouh, rasanya kepalaku mulai sakit."
"Ayo, Mah, kita kembali." ajak Ayahnya, menautkan jemari di sela pinggul istrinya. "Revan, kau juga tidak seharusnya turun, cepatlah kembali ke atas. Jaga istrimu, setidaknya sampai dua pelayan itu datang untuk merawatnya."
Revan tak menyahut, hanya wajah datar yang ia pasang di hadapan ayahnya. Mereka akhirnya pergi. Revan terus memperhatikn mereka, terlihat lampu mobil menyala, lalu bergerak pergi hingga cahaya itu benar-benar redup. Cepat, Revan memutar tubuhnya menuju ruang penyimpanan. Ia langsung mendobrak begitu sampai.
"Prilly, Prilly??" panggilnya. Gadis itu sudah meringkuk di pojok ruang. Cepat ia menghampiri.
"Prilly, apa kamu baik-baik saja?" Ia tak menyahut, hanya terlihat menggigil dengan wajah pucat, tangan gemetar, dan tubuh yang suhunya sudah sangat dingin. Tak lagi berbicara banyak, Revan langsung menggendong Prilly di atas dadanya, dan langsubg berlari keluar ruangan.
Prilly bertahanlah ....
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Denni Siahaan
repan kenapa gak Juju
2022-10-03
0
Randa Margreth
aq meleleh...😱
2021-06-30
0
Mariaton
kasian Prilly jadi beku
2021-06-16
0