Pagi sebelumnya ....
Revan dan Prilly hening dalam kendaraan yang kini melesat pelan. Prilly sedikit canggung, sesekali melirik Revan, tapi pria itu hanya fokus menyetir.
"Jangan terus-terusan melirikku!"
"Ehh?" Prilly tersentak. Kupikir dia tidak sadar.
Tak ingin menjadi pengganggu, gadis itu akhirnya membuang pandangannya keluar kaca mobil, menelusuri gedung-gedung tinggi yang tampak menjulang di sepanjang jalan, sedang di bagian depan tampak hamparan lapangan luas dipenuhi taman, mulai dari air mancur hingga patung-patung symbol dari gedung itu sendiri. Sebagian besar terbuat dari marmer, sedangkan patung dengan pahatan khusus terbuat dari emas.
Sejumlah manusia bahkan terlihat sibuk hilir mudik berlalu-lalang memadati area pejalan kaki.
Mobil yang dikendarai Revan itu berhenti di sebuah restoran di pinggir jalan. Prilly sedikit terkejut saat Revan turun dan tak berpesan apapun padanya. Gadis itu akhirnya memilih diam.
"Mungkin saat ini tuan muda sedang lapar, huh!" Ia melirik jam di tangan. Sudah hampir setengah jam perjalanan, ia tak sabar untuk berjumpa dengan ayah.
Kembali Prilly membuang pandang keluar jendela. Tanpa sengaja, matanya menangkap satu buah rombong pedagang kaki lima yang menjual menu bubur. Perutnya yang memang sudah lapar seketika meronta untuk meminta segera diisi oleh menu lokal itu. Ya, karena harga dari bubur itu menyesuaikan isi kantong.
Aku tidak mungkin ikut dengan Tuan Revan ke restoran. Mana cukup uangku untuk membayar walau hanya satu porsi di sana.
Ia turun dan langsung menghampiri si penjual. Meminta agar penjual itu membungkuskan dua porsi untuknya.
Aku akan membawa ini sebagai bekal untuk ayah, dan makan bersamanya saja nanti. gumamnya dalam hati.
Prilly menunggu pesanannya pada sebuah kursi yang hanya muat untuk satu orang. Sedang pandangannya terus berfokus pada menu yang diracik dan kini sudah nyaris terbungkus. Rasanya ingin sekali ia menenggaknya saat itu juga, tapi ia sadar bahwa kini perjalanannya harus menumpang dengan Revan, sehingga memilih untuk menunda makannya dan membungkusnya saja.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
Ia terkejut saat tiba-tiba Revan berada di belakangnya.
"Ah, Tuan. Saya hanya memesan bubur untuk dibungkus."
"Cepat kembali ke mobil!" Revan langsung menarik lengan Prilly.
"Tapi, Tuan. Saya sudah memesannya!"
Revan diam sejenak menatapnya lekat. Kemudian kembali berjalan ke belakang. Ia menebus menu bubur yang dipesan tadi, tapi tidak mengikutsertakan bubur itu di tangannya.
"Tuan, itu makanan saya, kenapa ditinggal!" Raut Prilly sudah terlihat sedih bercampur kesal. Bagaimana tidak, ia yang sudah teramat lapar bahkan rela menunda makannya demi bisa makan bersama ayah. Sekarang semua bayangan itu harus kandas, sirna karena Revan menghalanginya membeli menu lokal itu.
Revan tak menyahut, hanya mendengarkannya sekilas, lalu kembali menyeret lengan Prilly. Lagi-lagi Prilly mencoba melawan dengan menolak ajakannya. Tentu saja hal itu mengundang kemarahan Revan.
"Tuan, tidak sopan meninggalkan pesanan seperti itu. Apa Tuan tidak bisa menghargai penjual yang sudah susah payah membungkusnya?" Ia bahkan sampai keceplosan bicara.
Seketika Revan berbalik dan menatapnya tajam. "Aku sudah menebusnya, kenapa harus mengataiku tidak menghargainya?"
"I-itu, ka-karena, maaf, hanya saja Tuan tidak boleh bersikap begitu pada penjual, sebab itu akan melukai hatinya." Bicaranya kini sedikit tergagap.
"Kamu sedang merengek atau memerintahku?"
"Bu-bukan begitu, sa-saya, hanya ...."
"Sudahlah, cepat kembali ke mobil!" Kini Revan tak lagi menyeret lengannya. Ia memilih berjalan di depan, ia yakin, kali ini Prilly pasti tak berani membantah.
Prilly menoleh pada tukang bubur itu, dan terlihat senyuman kecut mengembang pada bibir si penjual.
Maafkan kami, Pak.
Hu-hu-hu, selamat tinggal bubur. Ia meringis.
Mereka sudah kembali ke mobil. Perut Prilly rasanya sudah semakin mendidih saja.
Dasar, tuan muda jahat, teganya dia melarangku walau sekadar mengisi perut. Apa susahnya menunggu sebentar.
Revan terlihat meraih sesuatu dari kursi belakang. Sebuah makanan yang terbungkus papper bag ia berikan pada Prilly.
"Apa ini?" Prilly sedikit terkejut saat bungkusan yang berbahan kertas berwarna kecoklatan itu mendarat di atas pangkuannya.
"Fried chiken! Maaf hanya bisa membelikanmu itu, karena aku sedikit terburu-buru. Makanlah! Aku tahu sejak tadi kamu memang lapar, jadi aku membelikanmu makanan."
"Emm, terimakasih, Tuan!" Ia menunduk pelan lalu membuka isinya. Ah syukurlah kalau dia mengerti.
Apa? Hanya ayam goreng tepung? Huh, mending aku makan bubur tadi.
"Jangan berpikir untuk memakan bubur itu, kita tidak bisa menjamin kesehatannya!"
Prilly diam tak menyahut.
Memangnya kalau ayam goreng yang di restoran sudah pasti higienis?
"Makanan restoran masih terjamin kesehatannya, sebab sebelum di masak harus dipastikan steril dari berbagai bakteri!"
Apa? Kenapa dia seakan bisa membaca semua isi kepalaku?
"Aku tahu apa yang kamu pikirkan, gadis polos sepertimu, pikirannya mudah ditebak."
Diam, Prilly, diam. Sepertinya tuan muda ini berbakat jadi dukun. gumamnya dalam hati, sambil memejam erat matanya.
Sepanjang jalan keduanya hening, hanya Prilly yang sejak tadi terlihat lahap memakan ayam goreng itu.
"Em-Tuan." Ia berbicara pelan. "Maaf, aku hanya heran, sepertinya sejak tadi pagi Tuan cukup perhatian terhadap saya."
"Tentu saja aku perhatian, kamu akan mengandung janin dari anakku, jadi aku mau segala sesuatunya harus benar-benar terjaga, kau pikir kenapa? Jangan berharap banyak padaku!"
Astaga, sombong sekali! Huh, bodohnya diriku, kupikir tadi dia melakukannya karena suka padaku, huft! Prilly tampak menghela napas berat.
Maafkan aku Prilly, aku terpaksa begini, aku tak ingin menaruh harapan untukmu.
Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam itu akhirnya berujung juga. Mereka sampai pada sebuah halaman sederhana. Tampak beberapa anak kecil berlarian diiringi tawa senda gurau dari mereka.
Sebuah rumah kontrakan sederhana terpampang di depan sana.
"Sampai sini saja, Tuan. Terimakasih sudah mengantarkan saya."
"Emm, baiklah. Sepertinya,nanti aku tidak bisa menjemputmu, akan aku kirim asisten untuk menjemputmu!"
Prilly mengangguk lagi. Sesaat kemudian Revan mengambil sesuatu dari dalam mobilnya. Sebuah bingkisan besar berada di atas tanganya, terdapat beberapa menu mewah di dalamnya, ia menyerahkan pada Prilly.
"Apa ini, Tuan!"
"Ini, hadiah kecil untuk ayahmu!"
"Oh, terimakasih atas kemurahanhati Tuan!" Prilly meraihnya.
"Baiklah, aku pergi sekarang. Jangan telat untuk kembali ke apartemen. Ingat, kembali sebelum senja!"
"Baik, Tuan!"
Prilly kini hanya bisa menatap kepergian Revan bersama mobil limited miliknya.
Bersambung ....
Next cerita ....
Presdir Harlem berkunjung ke kediaman Revan di apartemennya tepat saat senja, dan saat itu Revan pucat dan tegang karena Prilly belum menampakkan batang hidungnya. akankah sandiwara Priska dan Revan terungkap oleh ayahnya. Penasaran kan? simak kisahnya besok 🤗🤗 jangan lupa untuk menekan tombol favorit agar selalu mendapat notif jika ada update-an terbaru.
jangan lupa untuk selalu mendukung dengan memberi vote, like, dan komentar menggemaskan, author setia menunggu komentar kalian, seperti kalian yang setia menunggu cerita ini untuk update! wassalam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Suci Nurani
....
2021-01-08
0
Yunita Si Retjeh
masih sampai sini dulu. lanjut baca nanti
2020-12-04
1
Theresa Lydia🐣✨
revan sebenarnya suka tuh sama Prilly tapi dia gengsi 🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰
2020-11-29
4