Tubuh Prilly gemetar. Ia menangis sesenggukan sambil membalutnya dengan selimut hingga tertutup sempurna, dan hanya menyisakan bahu dan kepala.
Ia tak berani walau untuk sekadar melirik pria yang telanjang dada dan tergeletak di sampingnya yang juga hanya terbalut selimut. Ya, dia yang terkapar puas karena nafsu semalam yang sempat melambung berhasil tersalurkan.
Hari sudah mulai pagi, dan selama semalam penuh Prilly meringkuk di sana, hingga cahaya mentari yang menyilaukan pandangan mata, menggerakkan hatinya untuk bangkit. Cahaya yang berhasil menembus korden tipis bernuansa putih transparan itu, seakan memberi semangat baru pada Prilly.
Pria disampingnya masih tertidur pulas saat Prilly mulai beringsut dari atas tempat tidur. Begitu pelan ia turun agar tak membangunkan Revan. Namun, baru saja kedua mata kakinya menginjak lantai, kembali tangan Prilly ditarik kuat oleh Revan, hingga pandang mereka nyaris tak berjarak. Kini, tampak jelas di hadapannya sosok wajah yang tampan dan sempurna, alis tebal, hidung mancung, kulit mulus bersih dengan napas mendesau di wajahnya.
Sepertinya sang tuan muda sedang mengigau.
"Priska, harusnya kamu yang bersamaku saat ini!" Ia berucap lalu mengecup lembut bibir Prilly. Gadis itu tersentak dan langsung melepasnya, membuat tubuh Revan kembali tergeletak ke atas matras, sedang pria itu tak juga terbangun.
Priska? Apa tuan muda punya rasa pada nona Priska, kalau begitu, kenapa harus susah payah mengorbankan orang lain demi mendapatkan keturunan.
Prilly kembali turun dari matras, berjalan gontai membawa selimut tebal yang kini berlumur noda bercak darah.
Tugas. Prilly ingat tugas dalam surat perjanjian, bahwa semua benda yang disentuh oleh Prilly harus dibersihkan oleh tangannya. Termasuk apa yang sudah terjadi padanya tadi malam. Prilly akhirnya membawa selimut itu, meletakkannya ke dalam mesin cuci. Ia masih lelah hingga memilih untuk tidak langsung menyelesaikan tugasnya.
Lemas. Masih terngiang betapa kuat si tuan muda saat menghentakkan tubuhnya di atas tubuh Prilly. Puluhan cap berwarna merah juga membekas di beberapa titik raga Prilly, rasa nyeri pada bagian sana bahkan masih cukup menyiksa.
Badanku rasanya remuk semua.
Ia sudah mengenakan baju mandi, tapi masih enggan beranjak dari tempat duduk itu. Prilly memilih rehat sejenak di kursi yang dekat dengan mesin cuci. Ia juga belum membasuh wajahnya, sehingga masih terlihat sangat berantakkan.
Prilly mulai bangkit untuk mengambil ponsel miliknya yang tertinggal di atas meja di ruang dapur. Hari ini ia berniat mengunjungi ayahnya, sudah dua hari ia tidak bertemu dengan ayah, dan hanya mendapat kabar dari para perawat via telepon.
Ia menyalakan benda pipih itu, membuka lockscreen-nya, dan saat baru saja hendak mengetik pesan, tiba-tiba notif terlebih dulu muncul pada layar ponselnya. Prilly akhirnya mengurungkan niat mengetik pesan. Ia coba membuka isi pesan yang muncul lewat notif tadi.
Tuan sombong.
Lagi, pagi-pagi ia sudah menerima titah dari majikan menyebalkan itu.
"Aghh, apalagi sih maunya!" Kesal, dalam hati bahkan Prilly ingin mencekiknya.
Bawakan segelas air hangat untukku.
"Cih, ternyata hanya karena haus. Apa dia tidak punya kaki, dia kan bisa mengambil sendiri, kenapa harus selalu memerintahku!"
Baik.
Balas Prilly singkat.
Gadis yang masih mengenakan pakaian mandi dengan wajah berantakkan itu terpaksa menuruti saja permintaan tuan muda-nya.
"Huh, tidak seharusnya aku membawakan minum untuknya, apa dia tidak tahu betapa remuknya rasa tubuhku sekarang ini karena dia?" Menggerutu kesal.
Selang beberapa saat, Prilly sudah kembali hadir di dalam kamar tuan muda. Kamar yang menyimpan memory penderitaan dan luka yang tak akan pernah bisa ia sembuhkan dalam ingatannya. Ya, itu adalah tempat di mana ia harus kehilangan kehormatan untuk pertama kalinya.
Revan yang masih tel*njang dada itu masih mengusap-usap wajahnya, sepertinya kesadaran belum sepenuhnya kembali kembali dalam raga Revan.
"Ini, minuman yang anda minta!" Prilly meletakkan gelas itu dengan sedikit kasar, hingga terdengar bunyi menghentak. Revan yang mengusap-usap matanya sedikit heran dengan sikap Prilly pagi ini. Ia mengernyit, memicingkan mata saat menatap Prilly.
Ada apa dengan gadis ini? batinnya menerka.
Revan masih belum bisa mengingat kejadian tadi malam. "Hai, apa terjadi semalam?" Ia menggaruk bagian belakang lehernya.
Apa maksudnya bertanya begitu? Prilly mendelik kesal. Ia memilih tidak menjawab.
"Hei, kamu punya mulut tidak? Aku tanya, apa yang terjadi?"
Agghhh, kesal sekali rasanya! Prilly mengepal erat tangannya.
"Maaf, Tuan. Tapi tidak ada tertulis dalam surat perjanjian kalau saya harus mengetahui semua yang terjadi terhadap Tuan, jadi salah memilih tidak menjawab!"
"Heh, apa maksudmu? Aku kan cuma bertanya."
"Tapi saya tidak punya waktu untuk menjawab. Jika masih ada yang diperlukan lagi, katakan saja sekarang, karena masih ada banyak pekerjaan yang belum saya selesaikan!"
Revan masih menatapnya heran. "Hmm, tidak ada sih. Oke, pergilah, kerjakan tugasmu!"
Ia kemudian memandangi Prilly yang kini bergerak cepat untuk keluar dari kamarnya."Tingkah kucing liar itu sangat aneh!" Ia sudah men-judge Prilly tanpa tahu penyebabnya.
Cepat-cepat Prilly membersihkan diri, mengganti pakaian dengan yang sopan untuk segera menyelesaikan tugas wajibnya selama tinggal di apartemen Revan, karena memang hari ini, ia punya niat untuk berkunjung ke rumah menjenguk keadaan ayahnya.
Selesai tugas bebersih, Prilly mulai menuju gudang penyimpanan barang-barang untuk mengambil troli. Ya, pagi itu sampah kembali menggunung, tak ada elakan untuk tidak membuang.
Sementara itu, Revan yang masih setia mengenakan piyama tipis melangkah menuju ruang dapur. Satu gelas air minum yang dibawakan Prilly tadi tak cukup menghilangkan dahaganya. Ya, mungkin karena efek obat per*ngsang yang ia minum tadi malam. Tapi ia masih belum mengingatnya, hingga saat melintas di ruang pencucian pakaian, tanpa sengaja, matanya menyambar pemandangan sprei miliknya yang kini tergeletak di atas mesin pencuci pakaian.
Ia berjalan pelan untuk memastikan bahwa yang ia lihat tidaklah salah. Ada bercak noda merah menggantung di sana.
Ia berhenti tepat di depan mesin yang menyimpan sprei di atasnya itu. Seketika memorinya berputar cepat, menangkap bayangan tentang apa yang terjadi tadi malam.
Desahan napas juga jeritan dari Prilly yang ia abaikan seketika mengiang dalam isi kepalanya. Ia sampai meremas rambut karena terkejut saat memori itu mengingatkannya.
Apa yang sudah kulakukan? Kenapa aku bisa berbuat seperti itu? Dan .. apa artinya noda merah ini, juga jeritan dan tangisan tadi malam itu. Oh tidak!
Revan meremas rambutnya lalu turun untuk mengusap wajahnya.
Jadi ternyata, gadis yang kusangka wanita liar ini adalah gadis baik-baik, dia bahkan belum pernah tersentuh oleh pria manapun, aku seakan menjadi pria bejat yang sudah menodainya. Oh tidak, apa yang sudah kuperbuat!.
Revan masih berdiri di sana saat terdengar decitan roda kecil dari troli yang digiring tepat di belakangnya.
Ia menoleh, kini terlihat di matannya gadis yang menunduk untuk memberi hormat padanya.
Dia .. bahkan masih memberi hormat padaku, padahal mungkin bisa saja dia terluka dalam karenaku.
Priska, ini semua terjadi karena rubah itu, dia sudah keterlaluan, bisa-bisanya dia memberi serbuk per*angsang pada wanita yang bahkan belum pernah tersentuh sama sekali. Ahhh!!
Revan masih terdiam sesaat, hingga Prilly mulai keluar bersama troli dan setumpuk sampah yang sudah terbungkus rapi. Matanya terbelalak, ia baru menyadari sesuatu yang terlewatkan. Buru-buru Revan mengejarnya.
Prilly masih bersungut kesal saat tiba-tiba seseorang menggenggam lengannya dari arah belakang. Ia terkejut mendapati Revan yang kini menahannya.
"Tu-Tuan, ada apa?"
"Jangan membuang sampah lagi!" Hanya empat kata itu yang terucap.
"Tapi, Tuan, bukankah ini tugas yang ...."
"Cukup, tugas itu akan aku rubah. Mulai sekarang kau tidak perlu membuang sampah lagi, juga tidak usah mengerjakan apa pun jika kamu lelah. Aku akan menyewa asisten untuk mengerjakan semua tugas di apartemen."
"Ehh!" Prilly terkejut. Tugasnya untuk membuang sampah kini diambil alih oleh Revan. Pria itu langsung membawanya turun tanpa memberi kesempatan pada Prilly untuk bertanya kenapa. Ia bahkan lupa jika dirinya masih mengenakan piyama tidur dan sandal tipis.
Ada apa dengannya? Prilly tampak bingung. Menggaruk pucuk kepalanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Heksa Suhartini
mulai dech
2021-07-30
0
Sinsin Nur Syifa Karimah
si priska bakal menyesal nih
2021-06-25
0
Santy Mustaki
Si revan kyk mulai bucin nih
2021-06-04
0