"Bagaimana, apa kalian sudah mendapatkan informasi tentang pria bernama Joshua itu?"
Ya, Tuan Harlem. Dia seorang aktor ternama, kabarnya kini tengah menjalin hubungan kasih dengan aktris bernama Airen.
"Bagus, bawakan informasi data pribadinya padaku, juga bukti bahwa dia pernah berhubungan dengan putri Kelaurga Sharta Group!"
Siap, Tuan. Saya akan sampai di sana dalam waktu 1 jam.
"Oke, aku tunggu."
Tut.
Tut.
Tut.
Harlem meletakkan kembali gagang telepon itu pada tombolnya. Duduk pada sebuah kursi dalam ruang kerja pribadi, menautkan jemarinya di bawah dagu.
*****
Prilly mendongak cepat. Menatap bola mata Revan dengan tatapan penuh tanya.
"Kamu percaya padaku, bukan?" tegas Revan.
Prilly masih tercengang, dengan mulut terkatup rapat. Ia bahkan tak bergerak sedikitpun.
"Prilly, maukah kamu hidup di sisiku, meski sebagai kekasih gelapku sekalipun?"
Darah mendesir deras dalam aliran nadi Priska, semakin geram saja ia melihat sekaligus mendengar penuturan Revan. Ia sudah mengepal erat tangannya.
"Revan! Apa yang kamu katakan, jangan bodoh, dia itu hanya gadis kampung, kenapa kamu memintanya untuk hidup di sisinya, padahal masih ada aku di sini." Ia memaki kasar.
"Kau tidak bisa memaksakan hati seseorang, Priska. Maafkan aku, sebaiknya kamu buang saja harapan itu."
"Tapi, Revan ...," Ia sudah setengah tersedu. Beberapa bulir bening berhasil lolos dari kelopak matanya. "Revan, plis, aku akan berjanji menjadi wanita terbaik untukmu." Ia duduk, tersedu.
Ting. Tong.
Semua tersentak kaget. Siapa orang yang berkunjung ke apartemen Revan sepagi ini. Pertanyaan itu sudah seperti kalimat wajib untuk mengisi pikiran tiga insan di sana.
"Biar aku yang membukanya." Revan bergerak menuju pintu. Melirik sekilas layar kecil yang memantulkan wajah pengunjung di depan sana. Sosok Harlem terpampang jelas di layar itu.
Apa, ayah? Untuk apa dia berkunjung sepagi ini?
Cklek.
Kriiiet.
"Ayah? Ada apa, kenapa mendadak berkunjung sepagi ini?"
Tak ada jawaban dari Harlem. Pria tinggi dengan rambut setengah memutih itu tampak mencuri pandang ke dalam ruang apartemen Revan.
"Apa Priska masih ada di dalam?"
"Ah, itu .. dia sudah pulang." Revan berbohong. Terpaksa, karena kini Prilly juga ada dalam apartemennya. Tapi sungguh nahas, saat mendengar suara Harlem, cepat Priska berlari kecil menuju pintu depan. Suara derap langkahnya yang setengah berlari bahkan terdengar jelas.
"Ayaah, aku di sini!" Ia melambai. Memasang wajah ceria seolah sebelumnya tak terjadi apa-apa.
Haduh, wanita ini menyusahkanku saja! Revan menggerutu kesal dalam hati.
"Cih, kamu ingin membohongi Ayah rupanya. Beri jalan, ada yang mau Ayah bahas bersama kalian."
"Tapi, Ayah, pagi ini aku ada presentasi di kantor."
"Ayah sudah menelpon mereka untuk menunda, dan mengajukan presentasinya di jam makan siang nanti."
"Huh, Ayah kenapa mengubah seenaknya begitu." Revan mendengkus kesal, pasrah dengan keputusan ayahnya. Ia kembali ke dalam apartemen diikuti ayah yang menyusul masuk.
"Ayah, ada apa datang ke apartemen kami sepagi ini?" Priska langsung menautkan lengannya pada Tuan Harlem. Membuat Harlem sedikit berdecih.
"Cih, menantuku ini benar-benar manja."
"Ayah ...." Ia mulai menyandarkan kepala pada bahunya. "Jangan terus mengataiku manja, nanti Revan akan senang mengejekku."
Cih, apa-apaan dia, mau bersandiwara di depan ayah. Lagi, Revan mendengkus kesal melihat sepasang menantu dan mertua di belakangnya tampak mesra.
"Iya, baiklah, Ayah tak akan mengataimu manja lagi." Ia tertawa kecil pada menantunya.
Mereka menuju sofa, tawa kecil Harlem dan menantunya masih terdengar harmoni, hingga tanpa sengaja netra Harlem mendapati sosok Prilly berdiri di belakang sana. Ia terkejut, seketika mengernyit lalu melepas pelan lengan Priska yang sebelumnya mengait pada tangannya.
Siapa gadis ini? Bukankah dia gadis yang dicurigai tadi malam duduk di kursi di depan mini market?
"Revan, siapa gadis itu, kenapa dia ada di apartemenmu?"
Revan dan Priska spontan menoleh bersamaan. Tampak bibir Priska ingin berucap tapi tertahan. Seolah ingin membuat alasan tapi belum menemukan kata yang tepat.
"Dia, asisten yang aku sewa untuk membersihkan apartemen ini?" jawab Revan memalingkan wajah.
"Ya, Ayah. Dia pelayan di apartemen kami ini." Priska ikut menimpali.
"Oh, begitukah, hmm ...." Harlem menyipitkan mata, ia terus menatap gadis itu, membuat Prilly semakin grogi hingga menunduk sempurna.
Aneh, tak biasanya Revan mau menyewa asisten rumah tangga, terlebih dia masih muda. Mencurigakan.
"Revan, harusnya kamu bicarakan hal ini pada ayah jika memang kalian membutuhkan asisten, Ayah bisa saja mengirimkan beberapa asisten yang sudah terlatih. Tidak perlu memakai jasa orang luar."
"Ayaaah." Priska menyentuh lengan Harlem. "Memakai jasa orang luar bukan berarti mereka tidak terlatih. Dia ini Prilly, dia sangat pandai dalam hal memasak dan membersihkan rumah, apalagi menjamu tamu."
"Oh ya? Di mana kamu mendapatkan pelayan handal itu?"
Deg.
Jantung Prilly mulai berdegub kencang mendengar pertanyaan Harlem pada Priska. Sepertinya nona muda berniat mengerjaiku. Pasti sekarang dia sangat benci padaku karena sikap Tuan Revan tadi pagi.
Dan semoga saja Tuan itu tidak mendengar percakapanku bersama nyonya tadi malam. Aku mengatakan pada nyonya kalau aku mencari teman di salah satu kamar di apartemen ini. Batin Prilly menggumam.
"Itu ... temanku yang memperkenalkannya." Priska menjawab asal.
"Oh, ya?"
"Ya, Ayah." jawabnya. "Prilly, cepat buatkan minum untuk Tuan Harlem."
"Ah, iya, baik, Nona Muda." Prilly menunduk dan langsung berjalan cepat menuju ruang dapur.
Semoga saja semua berjalan lancar. Semoga tuan itu tidak curiga padaku.
"Tuh, Ayah lihat sendiri, 'kan, gadis itu sangat cekatan. Aku bahkan terbiasa menyuruhnya mengambilkan air hangat untuk menyegarkan kakiku saat lelah. Dan dia .. dengan cekatan merendam kakiku di sana, bahkan dia tidak melewatkan sedikitpun tanpa pijatan."
"Oh, benarkah? Dia serajin itu?"
"Ya, Ayah. Priska tidak berbohong."
"Tapi, harusnya kalian menyewa asisten yang sudah berumur 35 ke atas saja. Dia terlihat sangat muda, Ayah takut dia akan memiliki niat untuk merebut Revan darimu, karena sepertinya dia seumuran denganmu, Priska."
Sial, kenapa bicaranya pas sekali, pak tua ini seperti menyindirku saja.
"Ahaha, itu tidak mungkin terjadi, Ayah." Priska tertawa kecil. "Bukan begitu Suamiku sayang?" Ia kini melemparkan pandangan pada Revan.
"Entah, yang ayah katakan bisa saja terjadi, bukan?" jawab Revan seakan menjadi sebuah sindiran keras.
Apa, agghhh, Revan keterlaluan sekali, apa dia ingin mempermalukanku.
Tawa kecil Harlem menggema di sana. "Lihatlah suamimu itu, dia memang suka bercanda."
"Ya, Ayah, kadang Revan memang suka asal bicara. Tapi aku tahu dia tidak bersungguh-sungguh."
"Hmm, tapi kalian tidak tidur terpisahkan?" tanya Harlem.
"Oh, tentu saja tidak, Ayah." Priska menggoyangkan kesepuluh jemarinya. "Iya kan, Revan."
"Emm," Revan hanya merespon dengan dehemnya sekilas. Tampak jelas ia tak dapat menutupi perasaannya yang tidak menyukai Priska itu.
"Baguslah."
Selang beberapa saat, Prilly kembali keluar membawa tiga gelas sedang dengan isian jus jeruk. Ia meletakkannya di meja sana. "Silahkan dinikmati minumannya, Tuan."
Harlem meliriknya sekilas, tapi Priska langsung mendorong pelan tubunya dari belakang. "Sudah, kembali sana. Jangan mengganggu tamu."
"Baik, Nona!" Prilly mengangguk pelan, lalu melenggang pergi. Dapat Harlem lihat sorot mata Revan yang menatapnya hingga benar-benar menghilang dari pandangan.
Benar-benar mencurigakan.
Harlem kini terlihat menarik napas dalam. Seperti akan mengatakan hal berat. "Revan, Priska."
Keduanya tersentak, lalu menatap lekat. "Ya?"
Harlem kembali menarik napas, lalu mulai bicara. "Ayah tahu hubungan kalian tidak harmonis, tapi Ayah tidak bisa menebak sandiwara apa yang sedang kalian mainkan!"
"Maksud Ayah?"
Apa maksud pak tua ini? Apa dia mengetahui apa yang aku dan Revan sembunyikan. Priska mulai menduga.
"Priska, Ayah harap kedepannya kamu jangan berhubungan lagi dengan Joshua."
Deg.
Eh, kenapa dia tahu mengenai hubunganku dengan Joshua. Priska mulai menunduk, antara malu dan takut.
Plis, jangan buat kami bercerai. Ia merapal do'a dengan memejamkan erat matanya.
"Tinggalkan dia, dan hiduplah bersama suamimu. Kali ini Ayah memafkanmu, tapi jika kelak kamu mengulanginya lagi, Ayah tak segan untuk membongkarnya di depan orangtuamu."
"Baik, Ayah. Maafkan Priska."
"Kalau begitu, Ayah pamit dulu."
"Tunggu."
Harlem menoleh. Sorot mata Revan kini tertuju padanya. "Ada apalagi, Revan?"
"Tidak, aku hanya ingin mengantar Ayah sampai ke depan." Ia bangkit dan mulai berjalan bersamaan. Sepanjang jalan tak ada percakapan hingga Harlem tiba di depan pintu.
"Ayah."
"Emm?" Harlem menoleh.
"Aku tidak setuju dengan keputusan Ayah."
Ayahnya tak menyahut. Diam dan membiarkan Revan menyelesaikan bicaranya.
"Aku ingin bercerai dengan Priska, Ayah sudah melihat sendiri kan bagaimana sikap Priska yang sebenarnya."
"Hufh." Ia menghela berat. "Revan, maaf, tapi kalian tidak boleh bercerai."
Deg.
Apa? Kenapa ayah egois sekali.
"Kenapa? Karena bisnis Ayah lagi?" Nadanya sedikit lebih keras.
"Revan, jaga sikapmu saat bicara dengan Ayah. Kau pikir Ayah melakukan semua ini tanpa alasan. Ayah sudah terlanjur bekerjasama membuat proyek besar bersama pihak Sharta Group. Dan sudah memasuki tahap 30%, apa kamu ingin Ayah rugi besar?"
Revan terhenyak mendengarnya. "Aku tak menyangka Ayah egois sekali."
"Apa? Ayah egois? Ini semua juga demi masadepanmu. Lagipula, memangnya kenapa jika kamu bersama dengan Priska, bukankah kamu juga tidak memiliki satupun wanita di sisimu?"
Revan diam tak menyahut.
"Jangan bilang jika wanita yang kalian sebut asisten tadi adalah kekasihmu."
Deg.
Kini Revan mulai mengangkat kepalanya, menatap lekat Harlem. "Sejak awal Ayah memang curiga. Tadi malam ibumu berkata bahwa wanita yang duduk di depan mini market itu adalah wanita yang sama yang menekan bell di depan apartemenmu, dia bilang kalau dia salah kamar. Bukankah aneh saat pagi menjelang dia sudah menjadi asistenmu dan bahkan sudah terlihat akrab dengan kalian berdua."
Revan tak bisa mengelak, ia memalingkan wajah, seperti sudah tertangkap basah.
"Ayah tidak tahu sandiwara apa yang kalian mainkan, tapi Ayah harap kamu tidak bertindak bodoh, Revan."
Setelah puas bicara, Harlem kemudian pergi, berjalan cepat memasuki area lift. Lamat ia menatap Harlem hingga pintu lift berhasil mengatup sempurna.
Revan akhirnya hanya bisa mendesah pelan.
Kuharap semuanya tidak semakin kacau.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Santy Mustaki
K a c a u....
2021-06-04
0
Rahma Amma
mayoritas horang kaya law meried pasti ada kaitanx dgn bisnis🙊
2021-03-22
0
Kamila
jadi pernikahan revan dan priska adalah karena bisnis Adeh🤦♀🤦♀🤦♀🤦♀🤦♀🤦♀🤦♀🤦♀ tapi menurutku revan juga tidak tegas sama ayah nya jadi ayah dan anak sama 🤣😂🤣😂🤣😂🤣😂🤣😂🤣😂🤣😂
2020-11-30
5