Setelah selesai makan siang dan meminum obatnya, Verisa akhirnya bisa memejamkan mata. Gadis itu berkeras tak mau istirahat karena ingin menikmati perjalanannya sambil melihat pemandangan. Tapi, perjalanan menuju Surabaya bukan perjalanan singkat seperti menggunakan pesawat.
Lucky mendengus geli ketika dengan keras kepalanya, Verisa menolak untuk tidur dan duduk menatap ke arah jendela kereta. Tapi, lihatlah kini. Verisa bahkan sudah lelap dalam tidurnya.
Lucky tak bisa menahan senyum ketika melihat wajah tidur gadis kecil di sebelahnya ini. Begitu tenang. Begitu teduh. Tampak sangat cantik seperti seorang Puteri. Rasanya Lucky ingin menghentikan waktu ini. Dan memandangi wajah itu selamanya.
Lagi, Lucky mendengus, meledek dirinya kini. Begitu bodohnya Lucky, ketika harus mencintai seseorang yang tak seharusnya. Lucky sadar, Verisa masih terlalu muda dan ia pun merasa tak pantas untuk Verisa. Gadis kecilnya itu ....
Verisa memang terlahir menjadi seorang Puteri dari perusahaan sebesar Dinata Group. Dan tak seharusnya Lucky lancang memiliki perasaan ini pada Verisa. Tapi, jika ia bisa berharap, ia ingin terus ada di sisi Verisa, meski hanya menjadi penjaganya. Itu tak masalah. Ia hanya ingin terus melindungi Verisa, menjaga, dan memastikan gadis itu bahagia. Dan untuk rasa cintanya, biar ia yang rasakan sendiri.
Berada di sini, sedekat ini, bersama dengan Verisa, sungguh sesuatu yang membuatnya bahagia. Ya, Lucky akui ia sangat bahagia sekarang. Hanya karena bisa terus berada di sisi gadis ini.
Lucky menggenggam tangan mungil Verisa, lembut. Membuat gadis itu bergerak pelan dan bergumam menyebut namanya dalam tidurnya. Bahkan dalam tidurnya pun, Verisa sukses membuat hatinya tak berdaya. Lucky memandang tangannya yang masih menggenggam tangan Verisa. Jika bisa, ia tidak ingin melepaskan tangan ini. Bahkan selamanya. Lucky sungguh sudah sangat jatuh cinta pada Verisa. Dengan sangat dalam. Dengan bodohnya.
Selama beberapa saat, Lucky tak berpaling dari wajah tidur Verisa. Ia ingin menyimpan wajah itu dalam ingatannya. Tangan kanannya yang bebas terangkat hendak menyentuh wajah Verisa, tapi terhenti ketika tiba-tiba Verisa kembali bergerak dalam tidurnya dan kini merapat ke tubuhnya. Tangan Lucky yang sempat terhenti tadi, melanjutkan gerakannya untuk mengusap puncak kepala Verisa. Membuainya agar semakin lelap, sebelum memeluk Verisa.
“Mimpi indah, Princess,” ucap Lucky, seraya mengecup puncak kepala Verisa.
***
Sekitar pukul delapan malam, akhirnya ia sampai juga di hotel tempat mereka tinggal selama di Surabaya ini. Verisa mengempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur besar yang nyaman itu.
“Ternyata capek juga ngelakuin perjalanan jauh gini,” gumamnya sendiri. “Tapi, menyenangkan, sih.”
Di atas tempat tidurnya, Verisa meregangkan tubuhnya, lalu mengembuskan napas berat.
“Males banget sih, mau ke kamar mandi?” Verisa mengerang kesal pada dirinya sendiri. Tubuhnya sudah sangat lengket dan bau keringat, tapi ia benar-benar lelah dan rasanya ingin langsung tidur saja. Mungkin kalau memejamkan mata tiga puluh menit saja bisa sedikit mengurangi lelahnya. Setelah itu, baru ia akan mandi. Ya, begitu rasanya lebih baik.
Tidak butuh waktu lama, ia pun memejamkan mata. Mulai terlelap.
Ting... Tong...
Verisa mengerang pelan ketika mendengar suara bel kamarnya berbunyi. “Siapa, sih? Nggak tau aku lagi capek banget, apa?”
Ting... Tong...
“Aagrrh!” Verisa mengacak rambutnya, kesal.
Ting... Tong...
“Iya, bentar!” kesal Verisa seraya memaksa tubuhnya bangun untuk melihat siapa pelaku yang sudah mengganggu istirahatnya itu.
Verisa membuka pintu kamarnya dengan kesal. “Oh, Kak Lucky,” gumamnya, seraya menguap.
“Kamu udah tidur?” tanya Lucky.
“Hampir,” juteknya.
“Aku cuma mau ngantar obatmu yang kebawa sama aku,” ucap Lucky seraya menyerahkan obat yang dimaksud.
“Oh.” Verisa menguap lagi.
“Kamu kayaknya kecapekan, ya? Tadinya, aku mau ngajak kamu makan malam di restoran hotel, tapi kalau kamu mau langsung istirahat, nanti aku minta makanannya diantar ke kamarmu aja, gimana?” tawar Lucky.
“Boleh, deh, Kak. Aku benar-benar capek,” keluhnya.
“Ya udah, kamu mandi air hangat dulu aja sebelum tidur, hm?” perhatian Lucky.
“Hmm ... Kakak juga,” balas Verisa seraya mengangguk.
***
Di kamar hotelnya sendiri, Lucky masih harus berkutat dengan pekerjaannya. Ia harus mempersiapkan berkas yang akan digunakannya besok. Sepintas ia melirik jam tangannya, sudah hampir tengah malam. Verisa pasti sudah tidur. Dia terlihat sangat kelelahan setelah perjalanan panjang tadi. Gadis itu pasti belum terbiasa melakukan perjalanan jauh seperti tadi. Tapi setidaknya, dia bisa menikmati perjalanannya tanpa mengeluh.
Lucky tersenyum membayangkan seharian bersama Verisa di kereta. Kemudian, kembali menunduk pada laptopnya. Mendadak mendapat asupan semangat hanya karena membayangkan Verisa. Lucky benar-benar gila karena cinta, ia akui itu.
Namun tak lama, ia mendengar ponselnya berdering. Verisa? Dia belum tidur?
Lucky mengangkat teleponnya, tapi sebelum ia mengatakan apa pun, ia sudah mencelos dan berdiri setelah mendengar tangis di seberang sana.
“Kamu kenapa, Ve?” panik Lucky.
“Kak ... bisa ke sini, nggak?” ucap Verisa sambil terisak.
“Ya, aku ke sana sekarang.”
Lucky bergegas lari keluar menuju kamar Verisa, tanpa memutus sambungan teleponnya. Ternyata Verisa juga sudah membukakan pintunya. Menunggu di depan pintu kamarnya sendiri.
Lucky mematikan teleponnya, memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, seraya berjalan menghampiri Verisa.
Ketika Verisa melihatnya, gadis itu langsung menghambur memeluknya dengan sangat erat. Ia mendengar Verisa kembali terisak pelan. Gadis itu bahkan tak menggunakan sandalnya. Apa yang membuat Verisa kembali menangis?
Lucky membalas pelukannya, menepuk punggungnya pelan, menenangkannya.
“Aku di sini, Ve. Kamu nggak perlu takut lagi, hm? Aku di sini,” ucap Lucky, terus menenangkan Verisa.
Selama beberapa saat Lucky membiarkan Verisa menenangkan dirinya dalam pelukan Lucky, hingga tangisnya mereda. Lalu mengajak gadis itu masuk kembali sebelum bertanya,
“Kamu kenapa nangis?”
Masih sesegukan, Verisa menjawab, “Aku ... mimpi buruk, Kak.”
Lucky sedikit bernapas lega karena bukan hal buruk yang terjadi pada Verisa. Ia melepaskan pelukannya untuk menatap wajah Verisa dan menghapus bekas air matanya.
“Itu cuma mimpi, Ve. Jangan takut lagi. Sekarang kamu istirahat lagi, ya?” bujuk Lucky.
Verisa mengangguk pelan. Gadis itu naik ke atas tempat tidurnya, Lucky membantu menyelimuti Verisa hingga menutupi seluruh tubuhnya. Berada dalam kamar hotel hanya berdua dengan seorang gadis, membuat Lucky tiba-tiba merasa canggung, entah kenapa. Terlebih, gadis ini adalah gadis yang membuat hatinya kacau balau.
Lucky berusaha mengenyahkan segala pikiran aneh yang kini bermunculan di kepalanya. Ia harus segera pergi dari sini sebelum hal bodoh lain terjadi di luar kendali akal sehatnya.
“Kak,” panggil Verisa ketika Lucky hendak pergi.
Pria itu berbalik menatap Verisa yang sudah terduduk, dengan tatapan memelas yang membuat Lucky sungguh ingin kembali memeluknya. Yang benar saja, ini bukan saatnya gadis itu untuk menatapnya seperti itu? Sungguh, ini membuatnya hampir gila. Lucky harus bisa menjaga akal sehatnya tetap di kepalanya.
“Y-ya?” gagap Lucky.
“Apa Kak Lucky nggak bisa temenin aku dulu sebentar?” rajuk Verisa.
Apalagi ini? Apa Verisa bermaksud untuk membuat hatinya semakin kacau lagi? Ah, tidak. Berhenti memikirkan semua hal tentang Verisa. Lucky harus mengalihkan pikirannya ke hal lain. Pekerjaan.
“Ah, ya. Aku temenin kamu di sini.” Lucky berjalan ke arah sofa di dekat tempat tidur Verisa dan duduk di sana. “Tidurlah. Aku akan nunggu kamu sampai kamu tidur, sebelum aku balik ke kamarku,” lanjutnya.
Verisa mengangguk, lalu kembali berbaring.
Meski pikirannya sudah dipaksa untuk memikirkan pekerjaan, tapi jika di hadapannya masih terpampang jelas sosok gadis yang dicintainya itu, ia sungguh tidak yakin pada dirinya sendiri.
Di tengah malam seperti ini, di dalam kamar hotel, dan hanya ada ia dan gadis yang dicintainya ini. Lucky berharap Tuhan akan membantunya menjaga akal sehatnya.
Ia menghela napas berat. Setidaknya dengan jarak ini cukup untuk membuat Lucky bertahan sampai Verisa tertidur. Ya, Lucky hanya perlu bertahan dan ia bisa kembali ke kamarnya.
***
Verisa kembali berbaring di atas tempat tidurnya, ketika Lucky memintanya istirahat. Ia hanya bisa langsung menuruti kata-kata Lucky dan pura-pura tidur. Ya, hanya pura-pura karena biasanya ia tidak akan bisa tidur lagi, jika sudah bermimpi buruk.
Beda cerita jika masih ada ibunya. Di saat Verisa bermimpi buruk, pasti ibunya yang akan menemaninya tidur sambil mengusap punggungnya. Meski sebenarnya Verisa tidak akan bisa tidur lagi, tapi setidaknya ada ibunya di sisinya. Menemaninya. Dan itu sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil.
Namun, ini Lucky. Tidak mungkin Verisa meminta pria itu melakukan hal yang biasa ibunya lakukan padanya, kan? Itu gila. Dan Verisa sudah cukup gila karena perasaannya sendiri. Jika sampai Verisa berani meminta hal memalukan seperti itu, Lucky bisa saja menertawakannya karena sikap kekanakannya.
Verisa menghela napas pelan seraya memutar posisi tidurnya. Besok pagi pasti pria itu akan sibuk dengan pekerjaannya dan dia butuh istirahat. Tapi, jika pria itu kembali ke kamarnya, Verisa tidak yakin ia akan tetap berani ada di kamar ini sendiri tanpa bayang-bayang mimpi buruknya tadi. Dalam situasi seperti ini, Verisa sangat merutuki kebiasaan manjanya ini.
Kali ini, Verisa mendengus kasar seraya menarik selimutnya hingga menutupi kepalanya.
“Kamu nggak apa-apa, Ve?” tanya Lucky.
Verisa dengan cepat membuka selimutnya. “Aku nggak apa-apa, Kak. Cuma ... belum bisa tidur aja,” akunya.
Pria itu berdiri, sepertinya hendak pergi.
“Kakak mau ke mana?” tahan Verisa, panik.
Pria itu menatapnya dengan alis terangkat. “Aku cuma mau bikinin kamu susu coklat aja,” pria itu berkata.
“Oh.” Verisa mengangguk-angguk, lega. Dikiranya pria itu akan pergi.
Kenapa juga ia harus bermimpi buruk di sini? Dan mimpi itu tadi ...
Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, ketika mimpi tadi kembali terulang di kepalanya. Mimpi tentang Lucky yang berteriak memintanya pergi dengan tubuh pria itu bersimbah darah. Mendadak ia merasa mual.
Verisa menggeleng keras, mengenyahkan bayangan mimpi itu.
“Kamu mikirin apa, Ve?” tanya Lucky sambil menyodorkan gelas berisi susu coklat padanya.
“Oh, bukan apa-apa, Kak,” balasnya, sambil menerima gelas itu. “Makasih.”
“Sebaiknya kamu kembali tidur, karena ini udah tengah malam,” ucap Lucky.
Ingin Verisa seperti itu, tapi apa Verisa harus menceritakan kebiasaannya itu pada Lucky. Memalukan sekali. Verisa menggeleng pelan.
“Kamu nggak mau tidur lagi?” tanya Lucky, membuat Verisa terkejut.
“Hah, bukan gitu,” sergah Verisa.
“Terus, gelengan tadi?” Lucky mengangkat kedua alisnya.
Verisa menunduk pasrah. Mungkin memang sebaiknya Verisa menceritakannya saja. Toh, ia hanya punya Lucky di sini yang sudah seperti keluarganya. Masalah pria itu akan menertawakannya atau apa pun, ia akan mengurusnya nanti.
“Sebenarnya ... aku nggak akan bisa tidur lagi, Kak, kalau udah mimpi buruk gitu,” akunya, malu-malu.
“Dulu, Ibu yang biasanya nenangin aku kalau aku mimpi buruk. Sambil usap-usap punggungku, Ibu nemenin aku tidur, biar aku nggak mimpi buruk lagi,” cerita Verisa, masih menunduk malu. Tak berani menatap Lucky.
Lucky diam saja, tak menanggapi ceritanya. Pria itu pasti kesal karena ia mengganggu istirahatnya.
“Maaf, Kak, karena aku ....”
Verisa mendongak kaget ketika tiba-tiba Lucky mengambil alih gelas teh di tangannya.
“Kamu nggak perlu minta maaf. Aku kan, udah janji buat jagain kamu,” ucap Lucky yang kini berdiri di depannya.
Verisa terpaku menatap mata pria itu. Jantungnya berdetak sangat kencang. Semoga saja Lucky tidak mendengarnya.
“Kamu istirahat aja, ya. Aku bakal nemenin kamu di sini,” Lucky kembali berkata.
“Tapi ... tapi Kak Lucky juga pasti capek abis perjalanan jauh tadi. Kakak juga butuh istirahat, kan? Besok Kakak juga harus kerja.” Verisa merasa tidak enak juga.
Lucky yang seharusnya tidur karena besok ia akan bekerja, tapi dia malah membuat dirinya sendiri terbebani karena harus menemani Verisa.
“Nggak masalah, Ve,” balas Lucky santai.
Ia bisa melihat raut lelah di wajah Lucky, bagaimana bisa pria itu mengatakan itu bukan masalah?
“Nggak, Kak. Kakak yang seharusnya istirahat. Besok kan, Kakak harus kerja. Tapi ....” Verisa menggantung kalimatnya.
“Tapi apa, Ve?”
“Tapi ... kalau Kak Lucky nggak keberatan, Kakak tidur di sini aja, ya?” pinta Verisa, membuat Lucky seketika membuka matanya lebar, terkejut.
“Ah, maksudku, Kakak tidur di sofa itu aja. Aku cuma nggak mau bikin Kakak makin repot karena sikapku atau kebiasaanku ini,” Verisa berkata, tulus.
Verisa bisa merasakan tatapan lembut Lucky menembus matanya. Juga senyumnya yang lagi-lagi membuat jantungnya tak karuan.
Lucky mengangguk. “Sebenarnya, aku masih harus nyelesaiin beberapa kerjaan buat besok. Aku bakal ambil laptopku dulu, kalau gitu. Nggak apa-apa, kan?” Lucky memastikan, sambil tersenyum.
Verisa membalasnya dengan anggukan dan senyuman. Selama Lucky ada di sisinya, bagi Verisa semua yang terjadi bukan lagi masalah. Dan ia akan merasa tenang.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
yesread
gemes sama mereka.
2020-05-06
1
Neynakha Afiya
Posisi kayak gini gak enak banget. Maju salah mundur salah. Yang sabar ya Lucky
2020-05-06
1