Jealousy

Verisa tidak tahu harus mengatakan apa pada Lucky. Ia bersyukur karena Lucky tidak mengharuskannya dirawat di rumah sakit. Tapi kini, sepanjang perjalanan pulang ke hotel, ia tak bisa berkata-kata. Verisa melirik Lucky yang sedang menyetir. Pria itu juga diam. Apa dia masih marah, setelah dia meminta maaf?

Verisa menghela napas berat. Jika saja setelah makan tadi ia langsung kembali ke hotel, pasti kejadian ini tidak akan terjadi. Dan Lucky tidak akan marah padanya. Sekarang apa yang harus Verisa lakukan? Apa yang harus ia katakan?

“Kamu udah cari tempat liburan yang kamu mau datengin?” tanya Lucky tiba-tiba.

Verisa menoleh cepat, lalu menjawab dengan gagap, “Ah, itu ... ya.”

“Kalau besok kamu udah lebih baik, kita bisa pergi ke tempat yang kamu mau,” Lucky berkata tanpa menoleh padanya.

Verisa hanya mengangguk pelan. Ia tersenyum menatap Lucky yang masih konsentrasi dengan setirnya. Meski mungkin Lucky masih marah padanya atau mungkin sedang banyak pikiran tentang pekerjaannya, tapi dia selalu membuat Verisa merasa senang berada di sisinya. Pria itu selalu mengerti bagaimana Verisa. Dan ia akui, apa pun yang Lucky lakukan untuknya, selalu membuatnya senang. Tapi, apa sikap Lucky ini dan semua yang pria itu lakukan hanya sekedar menepati janji pada orang tuanya?

Verisa beralih menatap jendela, menghela napas berat ketika tiba-tiba rasa sakit menelusup ke hatinya. Entah mengapa membayangkan Lucky melakukan ini hanya karena sebuah janji dan amanah dari orang tuanya, membuat hatinya sesesak ini. Seolah Verisa mengharapkan yang lain, yang lebih dari sekedar janji.

Sesampainya di hotel, Verisa berjalan bersisian dengan Lucky yang masih diam. Namun setidaknya, Lucky tidak lagi bertanya padanya tentang kejadian tadi. Toh, kini tangannya sudah membaik, juga dengan tangan kirinya.

Ketika ia sampai di lobby, tiba-tiba ia mendengar seseorang memanggilnya.

“Hei, Gadis Galak!”

Verisa menghentikan langkah dan mengerang mendengar sebutan itu. Siapa lagi jika bukan William? Dan kini, pria menyebalkan itu sudah ada di depannya dengan terengah-engah. Verisa menatap William tajam.

“Kamu ... nggak apa-apa?” tanya William.

“Menurutmu?” ketus Verisa.

“Syukurlah.” William melongok ke arah siku kanan Verisa yang sudah diperban.

“Ngapain sih, ke sini lagi?” tanya Verisa, galak.

“Bentar, aku ambil napas dulu.” William menarik dan mengembuskan napas beberapa kali untuk mengatur napasnya. “Aku pengen tahu kondisimu. Tapi, kenapa tadi kamu lari tiba-tiba gitu?” tanya William, tampak penasaran.

“Itu ... bukan urusanmu. Emang gara-gara siapa aku begini?” tuduh Verisa.

“Aku udah minta maaf kan, tadi. Aku nggak ....”

“Jadi, ini juga punyamu?” sela Lucky seraya melempar kemeja yang tadi digunakan William untuk menutup lukanya, pada William.

William reflek menangkapnya. “Ya, itu punyaku.”

“Jadi, dia yang udah bikin kamu terluka gini?” Verisa terbelalak mendengar suara tajam Lucky. Ia menoleh menatap pria itu yang kini sedang menatap William sama tajamnya.

“Kak, sebenarnya ... bukan gitu. Tadi itu aku ... ehm maksudku dia ...” Verisa tergagap. Kenapa situasinya jadi seperti ini?

“Ya, aku yang tadi nyaris nabrak dia di Taman Bungkul,” William mengakui. “Maaf kalau gara-gara aku, dia jadi terluka.”

“Dia nggak sengaja, Kak. Dan, aku juga nggak apa-apa, kan?” Verisa mencoba menenangkan Lucky yang kini tampak marah pada William. Ia harus membawa Lucky menjauh sebelum terjadi baku hantam di sini. Sungguh itu tidak akan lucu.

“Mendingan kita ke atas aja yuk, Kak,” ajak Verisa sebelum Lucky menanggapi pengakuan William. Jangan sampai Lucky memarahi William di sini. Mereka bahkan baru bertemu dan sudah bermasalah seperti ini.

Sambil mendorong Lucky ke arah lift, pria itu tiba-tiba berkata, “Kamu hutang penjelasan sama aku, hm?”

“Iya, nanti, nanti. Kita ke atas dulu aja, ya,” balas Verisa, tak benar-benar janji akan menjelaskannya.

Ia harus membawa Lucky jauh-jauh dari William sebelum pria itu bertanya macam-macam. Verisa benar-benar tidak mau punya masalah dengan orang yang baru dikenalnya.

“Tunggu! Gadis Galak, namamu siapa?” teriak William.

Verisa mengerang kesal mendengar anak itu berteriak dengan tidak tahu malunya. Apa dia tidak tahu ini di mana? Kenapa dia terus menyebutnya Gadis Galak? Sialan, William!

“Siapa?” tuntut William, masih berteriak.

“VE-RI-SA!” balasnya dengan kesal, penuh penekanan. Lalu, dengan cepat ia masuk ke dalam lift dengan Lucky di sampingnya. Ketika pintu lift akan menutup, ia sempat melihat William melambaikan tangan santai ke arahnya. Verisa melengos kasar. Tapi, ketika melihat Lucky, pria itu masih menatap William tajam.

Apa Lucky semarah itu padanya? Juga, William?

***

Siapa anak laki-laki itu? Apa Verisa sudah mengenalnya sebelumnya? Tapi, tadi anak itu baru bertanya nama Verisa. Dan, melihat ekspresi anak itu ketika menatap Verisa, Lucky sempat melihat ada kekhawatiran di sana.

Argh, Lucky sungguh ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua. Rasanya ia ingin kembali menemui Verisa dan menanyakan semuanya. Jika bukan karena akal sehatnya yang masih bisa ia gunakan, pasti ia sudah melakukannya. Sial, ini benar-benar mengusiknya.

Lucky menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur kamarnya. Setelah Verisa mendorongnya hingga sampai di depan kamar gadis itu, dia langsung masuk tanpa menjelaskan apa pun. Verisa hanya berkata jika dia ingin istirahat dan tidak mau membahas masalah apa pun.

Ia menghela napas berat. Lucky tidak bisa memaksa gadis itu untuk menceritakannya saat itu juga. Ia hanya mengalah dan tak mau mengganggu Verisa. Meski sebenarnya, ia masih sedikit kesal pada Verisa karena ingkar pada janjinya untuk tidak keluar dari hotel sendirian. Tapi, ia lebih kesal pada dirinya sendiri yang lagi-lagi gagal menjaga Verisa. Hingga gadis itu terluka lagi.

Di tambah lagi, ia juga kesal pada dirinya sendiri yang cemburu melihat Verisa berinteraksi dengan pria lain. Tapi, apa yang bisa ia lakukan? Lucky sudah memutuskan untuk tetap bersamanya hanya sebagai pengganti orang tuanya, tidak mau berharap lebih. Setidaknya sampai seseorang yang dipilih Verisa untuk hidup bersamanya datang, kelak.

Lagi, ia mendesah berat. Ya, ia tak bisa melakukan apa pun ketika hatinya memberontak seperti ini karena Verisa. Betapa ini sungguh menyiksa dirinya. Mungkin lebih baik ia mendinginkan kepalanya dengan air, sebelum ia kembali menemui gadisnya itu.

Sial! Isi kepalanya benar-benar dipenuhi gadis itu.

“Aargh ... Hentikan itu Lucky! Sebaiknya segera siram kepalamu dengan es!” geramnya pada diri sendiri sebelum masuk ke kamar mandi.

Setelah menghabiskan waktu kurang lebih dua puluh menit di dalam kamar mandi, yang sepertinya sia-sia karena kepalanya masih dipenuhi bayang-bayang gadis itu, tapi ia keluar juga. Sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, ia membuka ponselnya, melihat jadwal kerjanya.

Minggu depan, Lucky harus mengontrol proyek lain yang ada di daerah lain di kota ini. Berarti, ia harus mencari penginapan lain di dekat proyeknya itu. Ia akan meminta Reni untuk mencarikannya saja.

Ketika Lucky akan menghubungi Reni, ia mendengar bel kamarnya berbunyi. Ia mengurungkan niatnya menghubungi sekretarisnya itu dan membuka pintu lebih dulu.

“Verisa? Ada apa? Kamu perlu sesuatu?” tanya Lucky, sedikit terkejut dengan kedatangan gadis itu ke kamarnya.

Verisa menggeleng.

“Masuk?” tawar Lucky.

Verisa hanya menunduk malu sambil menggeleng pelan. “Aku ... cuma mau minta maaf. Aku udah ingkar sama janjiku buat nggak keluar hotel sendirian.”

Lucky menelengkan kepalanya, menatap Verisa dengan senyum di wajahnya. Bagaimana Lucky tidak jatuh cinta, jika gadisnya ini semanis ini.

“Kalau aku nggak keluar, pasti aku nggak ....”

“Kamu nggak perlu minta maaf, Ve,” sela Lucky. “Aku ngerti, kamu bosan di sini sendiri, sedangkan aku harus kerja. Dan, tadi aku marah itu karena aku khawatir sama kamu. Aku takut kamu kenapa-napa di luar sana,” lanjut Lucky.

Verisa mengangguk pelan kini. “Kakak pasti capek karena udah kerja seharian ini. Belum lagi, Kakak juga harus ngurus segala keperluanku di sini. Kakak istirahat aja. Dan buat ntar malam, kita makan malam di kamar aja. Aku lagi malas keluar malam ini,” Verisa berkata.

“Makasih buat perhatianmu, Ve. Tapi, kalau kamu emang butuh sesuatu atau pengen pergi ke suatu tempat, kamu bilang aja. Aku nggak keberatan ngelakuin apa pun buat kamu karena sekarang ... kamu udah jadi keluarga dan tanggung jawabku,” Juga cintaku, tambahnya dalam hati.

Verisa tersenyum. “Kak, ini.” Verisa menyodorkan kertas pada Lucky.

“Daftar keinginanmu lagi?” tebak Lucky geli, seraya menerima kertas itu.

Verisa mengangguk malu. “Aku nggak maksa Kakak buat nepatin itu sekarang juga. Toh, tujuan Kakak ke sini kan, buat kerja, bukan buat liburan,” ucap Verisa, pelan.

“Ya udah, kamu istirahat,” Lucky berkata, membuat Verisa menatapnya kaget. “Pastiin kamu bisa tidur nyenyak malam ini, hm?” lanjutnya.

Verisa hanya membalas dengan senyuman kecil, membuat Lucky justru tersenyum geli.

Betapa Lucky merindukan senyum itu.

***

Terpopuler

Comments

pangeran

pangeran

terlalu lama dramanya... seputar itu trs

2020-12-02

1

r e z r e s i

r e z r e s i

Ini ceritanya makin asyik aja.

2020-05-08

1

Neynakha Afiya

Neynakha Afiya

Ayoloooo... Jangan lama2 dipendemnya. Nanti cemburunya makin berat. Aku yakin kamu gak akan kuat 😂😂😂😂😂

2020-05-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!