Sebuah Rasa

Senyum semringah di wajahnya tiba-tiba saja muncul ketika bayangan kejadian semalam juga muncul di kepalanya. Lucky tidak bisa menghindar dari rasa bahagia sesaatnya ketika melihat senyum gadis yang kini sering bersamanya itu sudah mulai mengembang. Belum pernah rasanya hatinya sebungah ini. Lagi, bibir juga hatinya tersenyum.

Bayangan ketika ia melihat wajah tidur Verisa, rasanya gadis kecil itu benar-benar seperti bidadari. Cantik. Wajahnya terlihat polos dan teduh, tapi juga terlihat rapuh. Dan rasanya, ia tidak tega saat ingin membangunkan gadis itu. Menggendongnya adalah ide terbaik yang muncul di kepalanya saat itu, daripada menunggunya terbangun sendiri. Pasti tubuhnya akan terasa sakit karena tidur terlalu lama dalam posisi duduk seperti itu.

Selama perjalanan menuju kamar gadis itu dengan gadis itu juga dalam gendongannya, rasa aneh di dalam dadanya sempat membuatnya panik. Rasanya ia ingin terus-menerus menatap wajah tidur itu. Tapi dengan kuat, ia menahan diri untuk tidak hanyut dan terpesona pada wajah tidur gadis itu dan melanjutkan langkah ke kamar gadis itu.

Ketika tiba-tiba gadis itu bergerak pelan dan sedikit mengubah posisinya, masih dalam gendongan Lucky, ia terpaku sesaat. Langkahnya terhenti hanya karena kini wajah Verisa jatuh ke arah lehernya. Bahkan hembusan napasnya nyaris membuatnya gila. Dalam hati, ia mengumpat pada dirinya sendiri karena dengan bodohnya sempat tergoda pada gadis kecil ini.

Ia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan reaksi jantung, juga tubuhnya yang hampir gila. Dengan kekuatan penuh, ia mencoba menahan diri dan mengalihkan pikirannya ke hal lain. Dengan langkah yang mulai terasa berat, ia kembali melangkah.

Sampai di kamar Verisa, perlahan ia meletakkan gadis itu di atas tempat tidurnya, lalu pergi. Namun, langkahnya tidak mengikuti perintah otaknya. Ia justru mematung di tempat dan lagi-lagi ia memandangi wajah tidur Verisa. Gadis itu kembali mengerang dan berbalik memunggunginya dalam tidurnya. Seolah tahu jika kini Lucky sedang terpana menatapnya.

Ia menggeleng keras, membuang pikiran tak pantasnya tentang Verisa. Pandangannya turun ke kaki gadis itu. Ia melepas sepatu keds gadis itu dan memakaikan selimut hingga menutup seluruh tubuh gadis itu. Ini lebih baik, batinnya.

Namun lagi-lagi, tubuhnya bereaksi di luar perintah otaknya. Kini ia duduk sesaat di samping Verisa yang tidur membelakanginya, tangannya terangkat untuk mengusap kepala gadis itu. Gilanya lagi adalah saat satu kalimat ini muncul tanpa di duga.

“Mimpi indah, Princess.”

Ucapan biasa yang pasti semua orang ucapkan untuk seseorang yang mereka sayangi ketika akan tidur.

Kini tangannya sudah berada di dadanya, merasakan jantungnya sendiri yang sudah berpacu kencang karena satu nama. Namun tiba-tiba, senyum di wajahnya mendadak luntur, menyadari sesuatu. Ya, dia pria dewasa yang tahu rasa apa yang ia rasakan kini. Sebuah rasa yang pernah ia rasakan bersama seseorang di masa lalu. Sekarang, rasa ini ia rasakan kembali. Tidak seharusnya ia memiliki perasaan lebih pada gadis kecil itu. Ketika seharusnya ia menjadi seorang keluarga yang menjaganya. Ia sadar, ini sebuah kesalahan.

Ia mendesah berat. Menyadari kebodohannya.

***

Tepat sesuai perkiraannya. Mereka, anak-anak yang sudah mengkhianatinya itu berbalik padanya hanya karena ia tahu Verisa memiliki sesuatu yang menurut mereka berharga. Pria tampan dan mapan.

Dalam hati, Verisa tidak pernah habis pikir, apa yang membuat mereka menjadi begitu terobsesi dengan orang yang mereka sebut ‘pria tampan’ itu. Dan sejujurnya, Verisa tidak mau tahu. Tidak peduli.

“Sori, Ve. Kemarin kita ....” Lidya tak melanjutkan kata-katanya.

“Kita terlalu terpengaruh omongan Jesy,” jujur Vira, temannya yang sedikit gemuk.

“Iya. Maafin kita ya, Ve.” Kini suara centil Nina yang terdengar.

Verisa sedikit enggan untuk mengomentari mereka, tapi anggukan saja pasti cukup untuk mewakili itu, bukan?

“Terus, kemarin itu siapa, Ve?” Lidya memulai interogasinya.

“Demi apa pun, pria yang kemarin pergi sama kamu itu ... perfect banget,” Nina berkata takjub, sambil tersenyum lebar. Mata ketiganya berbinar, membuatnya tersenyum puas.

“Dia ... seseorang yang bakal selalu ada di sisiku. Selamanya,” sebut Verisa, tidak berniat menceritakannya sedikit pun. Itu saja sudah sukses membuat mereka terbakar rasa iri.

Selama obrolan mereka di kantin, Verisa hanya mendengarkan apa saja yang mereka bicarakan tentang bagaimana Jesy mengatakan banyak hal yang membuatnya meninggalkan Verisa dalam sekejap. Justru karena hal seperti ini, Verisa berterima kasih. Ia jadi tahu orang-orang seperti apa teman-temannya itu.

Sekembalinya mereka dari kantin, ia sempat melihat Jesy dan gengnya berada di tangga arah kelasnya. Seketika membuat Verisa tersenyum miring karena ide jahat yang tiba-tiba terlintas di kepalanya.

Dengan langkah percaya diri, Verisa mendahului teman-temannya berjalan ke arah Jesy dan gengnya. Mengabaikan panggilan dari Nina, Vira, dan Lidya. Verisa mengambil ponselnya, pura-pura mengetik sesuatu, dan tetap berjalan ke arah Jesy dan gengnya di tengah tangga sekolah. Tepat sesuai dugaannya, Jesy mencegatnya.

“Hai, anak pembawa sial,” sapanya sarkastik, tapi Verisa tetap memasang wajah datar. Meski ia ingin sekali menjambak rambut anak itu.

“Oh, mereka udah balik ke ... si pembawa sial ini?” ucap Jesy ketika melihat ketiga temannya di belakang Verisa.

“Minggir, aku mau lewat,” ucap Verisa tak menghiraukan ucapan Jesy.

“Hmm ....” Jesy mangangguk-angguk seraya tangannya terangkat seolah mempersilakan Verisa untuk lewat. Dalam hati, Verisa tersenyum puas, tinggal membuat rencananya untuk ....

Ia memekik kaget ketika merasakan tubuhnya terhuyung ke samping. Tepatnya, Jesy menarik bajunya. Reflek, Verisa memejamkan mata. Dalam benaknya, ini sesuai rencananya, justru tanpa harus Verisa yang melakukannya dengan sengaja.

Namun, ketika ia merasakan kepala belakangnya membentur pegangan tangga, lalu meluncur jatuh ke bawah hingga tergeletak di lantai, ia merasa seluruh tubuhnya mendadak kaku. Tak mampu bergerak. Dalam rencananya, ia tidak berpikir akan berakhir separah ini, tapi ia merasakan cairan mengalir di bawah kepalanya. Bau amis pun menyerbak, membuatnya mual. Pandangannya pun mulai memburam. Ia tidak mengantuk, tapi kenapa rasanya ingin sekali memejamkan mata?

Samar, ia mendengar teriakan anak-anak di sana. Verisa melirik Jesy dan teman-temannya, wajah mereka pucat ketika memandangnya. Mereka pasti ketakutan. Batinnya tersenyum puas. Rencananya berhasil.

Namun, tiba-tiba kepalanya terasa seperti dihantam dengan palu raksasa. Sakit. Matanya mulai rabun, tidak jelas melihat siapa saja yang ada di sana. Pendengarannya juga mulai melirih, seakan orang-orang berbicara dari jarak yang sangat jauh. Tapi, ia bisa merasakan tubuhnya di angkat dan dibawa entah ke mana. Rasanya seperti terombang-ambing di atas laut. Hingga lambat laun, semua yang merabun berubah menjadi gelap. Lenyap dari pandangannya.

***

Seperti sebuah bom yang mendadak meledak di depannya, Lucky terkejut ketika pihak sekolah mengabarinya jika Verisa masuk rumah sakit karena jatuh dari tangga. Keadaannya kritis. Setelah sambungan telepon terputus, ia berlari sekencang mungkin dan pergi ke rumah sakit.

Pikirannya mendadak kacau karena bayangan tentang hal buruk yang terjadi pada Verisa. Tadi pihak sekolah bilang, jika Verisa kritis. Apa yang terjadi sebenarnya? Verisa pasti akan baik-baik saja, kan?

Ya, dia harus yakin jika Verisa akan baik-baik saja. Belum lama ia berada di sisi Verisa, berjanji padanya untuk menjaganya, tapi kenapa kejadian seperti ini bisa terjadi? Lucky benar-benar bodoh. Ia telah gagal menjaga Verisa. Ini salahnya.

Lucky mengerang frustrasi ketika jalanan juga tidak mendukungnya untuk sampai ke rumah sakit dengan cepat. Kemacetan sialan!

Dengan marah, ia menekan klakson mobilnya tanpa henti, berharap mobil-mobil di depannya akan menyingkir jika sudah diberi aba-aba minggir oleh klakson mobilnya. Tapi, nihil. Mobilnya sama sekali tidak bisa jalan. Kenapa di saat genting seperti ini, ia harus melewati kemacetan ini?

Tanpa pikir panjang, ketika ia melihat pengendara motor di belakang mobilnya yang sedang mencari jalan untuk keluar dari kemacetan itu, ia turun dan menghampirinya.

“Bisa bawa mobil?” tanyanya tanpa basa basi pada si pengendara motor.

“Bisa,” balas orang itu cepat dengan kening berkerut bingung.

Lucky mengeluarkan kartu namanya, juga memberikan kunci mobilnya. “Itu mobil saya.” Tunjuk Lucky ke arah mobilnya, “Saya butuh motormu sekarang dan kamu bisa pakai mobil saya.” Ia menyodorkan kunci mobil juga kartu namanya.

Si pengendara motor itu diam, bingung akan menjawab apa. Tapi, Lucky tidak punya waktu untuk menunggunya.

“Permisi,” Lucky mengambil alih motor itu dengan sedikit kasar, membuat si pengendara motor itu mau tidak mau turun dari motornya. Lalu, ia menarik tangan si pengendara motor untuk menaruh kunci mobil, juga kartu namanya di tangan orang itu. “Saya pinjam motormu. Nanti akan saya antar motormu ke rumah dan mengambil mobilku.”

Setelah mengatakan itu, Lucky menancap gas motor pinjamannya dan menyelip di antara mobil-mobil itu, meninggalkan si pemilik motor yang masih terlihat bingung. Lucky tidak peduli. Yang ia khawatirkan sekarang adalah keadaan Verisa. Bagaimana keadaannya sekarang? Separah apa kondisinya? Lucky hanya perlu sampai di rumah sakit dan ada di sisi Verisa.

***

Sesampainya di rumah sakit, salah satu guru yang mengenalnya memberitahu di mana Verisa ditangani saat ini. Ketika tahu jika Verisa masih di dalam, Lucky tidak bisa untuk tidak cemas. Di depan ruang UGD, Lucky menanti siapa pun yang akan keluar dari dalam sana. Memberitahukan bagaimana keadaan Verisa atau membiarkannya melihat langsung gadis itu. Namun, hingga tiga puluh menit berlalu, tak ada yang keluar.

Setiap waktunya sungguh membuat Lucky seperti terkubur. Kakinya bahkan semakin lemas. Ia terduduk di lantai di samping pintu UGD, menekuk lututnya sambil mengacak rambutnya, frustrasi. Verisa akan baik-baik saja, kan? Ya, gadis itu akan baik-baik saja. Verisa harus ....

Pikiran Lucky terhenti ketika pintu UGD terbuka, kontan membuatnya melompat berdiri.

“Bagaimana kondisinya, Dok?” tanya Lucky, panik.

“Bapak, wali dari pasien bernama Verisa?” dokter itu memastikan.

Lucky mengangguk cepat.

“Dia masih belum sadar. Saat dibawa kemari, pasien mengalami pendarahan dan butuh transfusi darah. Bersyukur, kami masih memiliki stok darah yang sama dengannya. Kami juga sudah menghentikan pendarahannya. Tapi, kami harus melakukan satu pemeriksaan lagi dengan dokter saraf untuk memastikan seluruh kondisinya,” ujar dokter itu dengan wajah sedikit panik.

“Ada apa, Dok? Apa terjadi sesuatu ....” Kalimat Lucky menggantung, tak berani membayangkan hal buruk yang akan terjadi.

“Diagnosa kami, ada cedera yang mengenai saraf tulang belakangnya karena benturan yang terjadi ketika dia jatuh. Tapi, kami belum memastikan separah apa cederanya. Maka dari itu, kami akan kembali melakukan pemeriksaan untuk memastikannya. Kemungkinan untuk sementara, dia belum bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Kami memasang beberapa alat untuk menjaga tulang belakangnya tidak bergerak,” terang dokter itu.

 “Separah apa ... kondisinya?” Lucky tak mampu membayangkan.

“Tergantung dari kerusakan sarafnya. Jika cedera ringan, kita bisa melakukan pemulihan dengan cepat menggunakan fisioterapi. Tapi, jika cedera itu berat, itu bisa menyebabkan tubuhnya melemah, mati rasa, bahkan kelumpuhan.

“Berdasarkan keterangan guru yang ikut membawanya kemari, memang jatuhnya bukan dari tempat yang tinggi, hanya beberapa undakan tangga. Tapi tetap saja, cedera ini bukanlah sakit yang ringan. Dampaknya bisa sangat buruk.

“Saat ini, kondisinya masih belum siuman. Saya harap, Bapak bisa bersikap lebih tenang di hadapan pasien nanti agar emosinya tetap stabil. Karena kami takut pasien akan syok dan itu akan memengaruhi penyembuhannya. Juga, tubuhnya belum boleh banyak bergerak. Kami akan berusaha semampu kami untuk menyembuhkannya,” dokter itu berkata.

Semua yang diucapkan dokter itu sungguh membuatnya seperti dicambuk. Kenapa harus gadis itu? Bahkan mungkin luka hatinya karena kehilangan belum sembuh, kini ia harus mengalami sakit yang lebih lagi.

Lucky mengusap kasar wajahnya. Mendadak matanya terasa panas dan memburam.

“Dok, boleh saya melihatnya?” tanyanya lemah.

Dokter itu mengangguk mempersilakan.

***

Terpopuler

Comments

Alyra Una

Alyra Una

Hayooo, mantannya bakal muncul nggak ya?

2020-04-27

1

Neynakha Afiya

Neynakha Afiya

Ternyata Lucky punya mantan? Kirain gak punya

2020-04-27

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!