Lucky sudah menunggu Verisa di depan sekolahnya sejak siang tadi. Bahkan ia juga membatalkan semua *meeting *hari ini karena tidak bisa pergi dari sini. Ia terlalu khawatir pada Verisa yang dilihatnya tadi begitu murung.
Ia berdiri di depan mobilnya, menatap ke arah gerbang. Menunggu gadis yang dicemaskannya sejak tadi. Ketika ia bisa melihat Verisa berjalan dengan tatapan ke bawah. Ia sempat mengernyit, apa yang dipikirkannya?
Namun, ketika Verisa mendongak dan melihatnya sedang menatap gadis itu juga, tiba-tiba senyum di wajah Verisa mengembang.
Tidak mau terlihat mencurigai Verisa, ia membalas senyum gadis itu, lalu membukakan pintu penumpang untuk Verisa. Lucky berlari memutari mobil dan duduk di kursi kemudi. Sebelum ia menjalankan mobilnya, ia menoleh menatap Verisa dan bertanya, “Kamu baik-baik aja kan, di sekolah?”
Verisa menatap Lucky, tersenyum kecil, dan mengangguk cepat.
Akhirnya Lucky melajukan mobilnya, pulang. Sepanjang jalan tidak ada yang bersuara. Lucky ingin bertanya tentang kejadian tadi siang yang dia lihat, tapi kata-katanya seolah tenggelam di tenggorokannya. Ia hanya melirik Verisa yang bersandar santai sambil bersedekap dan menatap ke jalanan di depan.
Lucky menghela napas pelan.
“Kak,” panggil Verisa tanpa menatap Lucky.
“Hm?” gumam Lucky seraa menoleh sekilas.
“Aku boleh tinggal di apartemen Kakak?”
Lucky terkejut dengan pertanyaan mendadak Verisa. “Kenapa kamu mendadak mau tinggal di sana?”
“Ah, lupain, Kak,” putus Verisa, masih menatap ke depan.
Mendadak hening. Lucky kembali mencerna pertanyaan Verisa yang ingin tinggal di apartemennya. Apa dia masih teringat kenangan dengan orang tuanya di rumahnya? Bahkan meski semua foto sudah di turunkan?
Memang rumah itu terlalu besar jika hanya dihuni oleh tiga orang. Verisa, Bi Minah, dan Mang Karso. Apa sebaiknya Lucky juga tinggal di rumah itu? Tapi, apa itu juga yang Verisa mau? Lucky bukan siapa-siapa di keluarga Verisa, meski saat ini dialah yang bertanggung jawab atas gadis itu.
Lucky butuh waktu lebih lama untuk mengenal gadis itu lebih jauh. Saat ini yang perlu ia lakukan hanya menjaganya, juga menjaga perusahaannya. Itu amanah yang dia pegang saat ini.
“Kak, aku turun duluan ya? Mau istirahat,” pamit Verisa ketika mobil Lucky sampai di pelataran rumah Verisa.
“Oh, kamu nggak ....” ucapan Lucky belum selesai ketika Verisa sudah turun dan berjalan masuk ke rumahnya.
Lucky lagi-lagi menghela napas berat. Gadis itu, kenapa sebenarnya? Seharian ini ia bisa melihat bagaimana gadis itu terlihat senang, sedih, murung, dan kecewa, secara bergantian. Apa yang dia pikirkan?
Lucky menyusul Verisa ke kamarnya, mengetuk pintu, meminta ijinnya untuk masuk. Tapi, Verisa tidak mengijinkannya dengan alasan dia ingin tidur karena lelah. Dia ingin sekali melihat Verisa dan berbicara dengannya tentang apa yang dipikirkannya, tapi ia tidak bisa melakukan itu seenaknya. Verisa adalah anak dari pemilik perusahaan yang kini Lucky jalankan. Ia harusnya tahu batasannya.
Ia berbalik hendak kembali ke kantor ketika tiba-tiba teringat sesuatu, jika tadi siang gadis itu belum makan apa pun.
Lucky berbelok ke arah dapur dan menghampiri Bi Minah hanya untuk memberitahunya jika Verisa belum makan siang. Namun entah karena apa, ia merasa berat meninggalkan gadis itu sendiri. Tidak seperti biasanya, Lucky merasa seperti perlu ada di sisinya. Benar-benar di sampingnya.
***
Ketika masuk ke dalam kamar sepulang sekolah, ia langsung mengunci pintu. Ia tahu, Lucky pasti akan menyusulnya dan bertanya tentang maksud pertanyaannya tadi di mobil. Dan benar saja, Lucky sudah mengetuk pintu kamarnya, meminta ijin untuk masuk. Namun, ia melarangnya dengan alasan ia lelah.
Verisa menghela napas berat. Ia sendiri terkejut dengan pertanyaannya tadi. Ia hanya mengeluarkan apa yang ada di kepalanya dan terkejut sendiri saat sadar apa yang dipertanyakannya itu. Dan saat ini, ia sedang tidak mau diganggu. Tidur menjadi jalan yang baik untuknya membuang semua emosi karena hari yang berat tadi.
Gadis itu menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur tanpa mengganti seragamnya. Bahkan ia melempar asal tas sekolahnya. Ia mengembuskan napas kasar. Seolah emosi akan pergi bersama napas yang ia buang.
“Jesy benar-benar keterlaluan,” kesalnya ketika teringat kejadian pagi tadi.
Selama ini, ia tidak pernah mencari gara-gara dengan anak itu dan gengnya. Ia juga tidak pernah peduli pada kelakuan Jesy yang selalu mem-bully anak-anak lainnya. Tapi, bukan Jesy kalau dia tidak menggunakan kesempatan ini untuk menghancurkannya.
Dulu, Ayah pernah memintanya untuk berteman dengan Jesy karena dia adalah anak dari saingan bisnis Ayah. Tapi, ketika ia tahu bagaimana sikap Jesy di sekolah, ia menolak. Justru ketika Jesy tahu ia adalah anak dari saingan ayahnya juga, Jesy semakin gencar mem-bully-nya.
Verisa sempat bertanya, kenapa Jesy melakukan itu padanya? Karena ia tak pernah merasa melakukan kesalahan padanya atau menganggunya. Tapi, jawaban Jesy membuatnya terkejut.
Jesy berkata jika gara-gara perusahaan ayahnya, perusahaan ayah Jesy jadi merugi. Karena ayahnya telah merebut investor milik perusahaan ayah Jesy. Verisa tidak pernah tahu menahu apalagi ikut campur tentang urusan perusahaan ayahnya. Ia tidak mengerti tentang itu. Harusnya biarlah urusan orang tua menjadi urusan orang tua. Tapi Jesy, kenapa dia justru melampiaskan itu semua padanya?
Bahkan hampir setiap hari di sekolah, Jesy melakukannya. Verisa pernah kehilangan seragamnya ketika sedang berolahraga. Ia juga pernah dihukum karena buku PR-nya tidak ada, lebih tepatnya semua buku yang ada di tasnya menghilang. Yang lebih parah, Jesy pernah menyewa preman dekat sekolah untuk mengganggu Verisa, ketika Mang Karso, supirnya, belum datang menjemputnya.
Kali ini, Jesy benar-benar menggunakan kesempatannya dengan baik di saat Verisa sedang terpuruk. Anak itu benar-benar ingin menghancurkan Verisa. Dan kali ini, Verisa tidak akan tinggal diam. Tadi, mungkin dia mengalah karena kondisinya yang mendadak tidak terkendali. Tapi lihat saja nanti, jika sampai dia dan gengnya melakukan hal buruk lagi padanya, ia juga bisa membalasnya dengan lebih menyakitkan lagi.
Verisa akan membalas semua perlakuan Jesy dan gengnya, juga orang-orang yang mengkhianatinya. Yang meninggalkannya. Untuk ini, ia akan melakukannya sendiri.
***
Verisa mengerang pelan ketika mendengar suara ketukan dari pintu kamarnya. Ia menoleh pada jam, jam tujuh malam. Ah, Verisa sudah tertidur selama itu sejak pulang sekolah tadi. Memang hari yang melelahkan.
“Ve, kamu udah bangun?” tanya Lucky sambil mengetuk pintu. “Verisa, apa kamu baik-baik aja di dalam? Jawab aku, Ve?” Kini suaranya terdengar cemas.
Tidak mau membuat Lucky cemas dan mendobrak pintu kamarnya untuk kedua kalinya, ia bangkit dan membuka pintunya. Sambil mengucek matanya, ia berkata dengan suara serak, “Aku baru bangun, Kak.”
Lucky menatapnya dari atas ke bawah. “Kamu selelah itu, sampai tidur nggak ganti seragammu?”
Verisa menunduk menatap tubuhnya sendiri. Ah, dia terlalu malas tadi. Tapi, ia mengangguk juga sebagai jawabannya.
“Ya udah, sekarang kamu mandi. Aku tunggu kamu di bawah, kita makan malam di luar ya,” beritahu Lucky yang dijawab anggukan lagi oleh Verisa.
Setelahnya, ia mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Kurang lebih lima belas menit, Verisa selesai dengan acara mandinya, lalu memilih baju yang akan digunakannya untuk makan malam di luar bersama Lucky.
Ia mengeluarkan beberapa gaun pendek yang simple dalam berbagai warna, lalu celana jeans dan kaos. Ia menimbang mau menggunakan style seperti apa. Biasanya ia akan menggunakan celana dan kaos yang nyaman, tapi ini makan malam pertamanya bersama seorang pria. Dan ini juga kesempatannya melakukan pembalasdendaman. Jadi, ia ingin berpenampilan berbeda. Akhirnya, ia memilih gaun selutut berwarna biru langit. Dan sepatu keds warna putih.
Merasa siap dengan penampilannya, ia mematut diri di depan cermin. Memastikan jika dia sudah cukup sempurna untuk jalan keluar malam ini. Tidak lupa pula, ia mengirim pesan pada teman-temannya, jika ia akan makan malam di restoran Jepang dengan pria tampan. Di depan cermin Verisa tersenyum miring, mungkin jika orang lain yang melakukan hal seperti ini akan dikira seperti gadis yang sedang jatuh cinta. Namun bagi Verisa, ini adalah langkah awalnya membalas dendam pada teman-temannya itu. Dengan memanfaatkan Lucky.
***
Hampir saja Lucky menyusul Verisa ke kamarnya, ketika ia melihat gadis itu berjalan ke arahnya dengan gaun manis di tubuhnya. Gadis ini ... cantik.
“Ayo, jalan,” ucap Verisa menyadarkan Lucky dari pikiran konyolnya.
Ia menggeleng keras, lalu berkata, “Ayo.”
Lucky membukakan pintu untuk Verisa sebelum ia masuk ke pintu di sisi kemudi. Sebelum jalan pun, Lucky sempat-sempatnya melirik Verisa, terpana menatap gadis cantik di sampingnya ini.
“Kak, kenapa?” tanya Verisa seraya menelengkan kapala menatap Lucky. Lagi-lagi membuat Lucky terkejut dari pikiran konyol berikutnya. Lucky pasti sudah mulai tidak waras. Ia hanya tersenyum menanggapi tanya Verisa.
“Kita mau makan di mana, Kak?” tanya Verisa ketika mobilnya baru keluar dari pelataran rumah Verisa.
“Kamu suka makanan apa?” tanya Lucky balik.
Verisa bergumam sambil berpikir. “Aku suka sushi Jepang, tapi aku nggak suka yang dagingnya mentah. Bikin aku mual.”
“Oke. Kalau gitu kita makan di restoran Jepang,” putus Lucky yang dibalas anggukan antusias Verisa.
Melihat gadis ini tersenyum lagi seperti ini membuatnya tenang. Apalagi dengan penampilannya yang cantik dan manis ini. Lucky benar-benar sudah mulai gila. Ia menggeleng keras karena pikirannya itu lagi.
Sebenarnya ini juga hal pertama baginya. Selama ini ia hanya berkencan dengan pekerjaannya di kantor. Meski ini bukan disebut kencan, tapi pergi berdua saja dengan seorang gadis, itu cukup membuatnya gugup juga. Sesekali ia melirik Verisa yang sedang memainkan ponselnya.
“Ve,” panggilnya.
“Iya, Kak?” balasnya tanpa menoleh.
“Gimana sekolahmu hari ini? Apa ada banyak tugas?” tanya Lucky.
“Nggak ada,” balasnya singkat, tapi terdengar kesal.
“Ada apa? Apa sesuatu terjadi?” Lucky penasaran. Pasalnya tadi siang, ia sempat melihat Verisa melamun di taman sekolah sendirian. Ia ingin tahu apa yang membuatnya seperti itu, tapi ia tidak bisa bertanya langsung, jika ia memata-matainya seperti itu. Verisa bisa saja marah padanya.
“Nggak ada apa-apa, Kak. Semua berjalan biasa aja, kok,” balas Verisa, kini terdengar lebih santai. Bahkan ia sempat tersenyum saat Lucky menatapnya.
“Syukurlah. Tapi, kalau sesuatu terjadi sama kamu, kamu harus langsung hubungi aku, hm?” pinta Lucky.
“Siap, Kak. Aku akan bilang ke Kak Lucky kalau aku punya masalah.”
Sebaiknya Lucky percaya dulu saja pada gadis ini. Karena Lucky pun belum mengenal jauh Verisa ini seperti apa. Meski dari Bi Minah, ia tahu jika Verisa tidak pernah kurang kasih sayang dari orang tuanya. Jadi, yang perlu Lucky lakukan sekarang adalah ada di samping gadis ini. Menjaga dan memerhatikannya, seperti adiknya sendiri. Keluarganya.
Lucky kembali menoleh menatap Verisa yang saat itu juga menatapnya. Verisa tersenyum cantik, membuat sesuatu di dadanya mengembang. Reflek, tangan kirinya terangkat untuk mengacak rambut Verisa pelan.
“Kakak!” kesal Verisa sambil merapikan rambutnya yang berantakan karena ulah Lucky.
Ia tertawa mendengarnya. “Maaf, Ve. Aku cuma gemas ngelihat kamu,” akunya. Seketika membuat suasana kembali hening.
Apa yang dikatakannya baru saja? Ia melirik Verisa yang wajahnya memerah, malu. Lucky benar-benar gila hari ini. Kenapa otaknya selalu memikirkan hal konyol yang tidak masuk akal? Apalagi itu tentang Verisa.
“Maaf, ya. Aku nggak bermaksud ....”
“Iya, Kak. Nggak apa-apa. Aku kaget aja barusan,” potong Verisa sambil tertawa kecil.
Lucky menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena canggung. Lucky benar-benar harus sadar akan apa yang dilakukan atau dikatakannya. Jangan sampai hal bodoh terjadi lagi. Setidaknya tidak di depan Verisa. Memalukan sekali.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Fitri Lin
umur lucky berapa sih.?penasaran aku...
2020-12-02
1
Neynakha Afiya
Kalau ingat Lucky jadi ngehalu di ceritanya kak Ally (Dimas-Nessa). Kalo di cocokin itu Lucky om nya Nessa di novel ini pasti klop deh
2020-04-25
2