Belum Bisa Menepati Janji

Verisa sedang mematut diri di depan cermin. Gaun santai selutut berwarna cokelat susu dengan blazer warna putih terlihat pas untuknya saat ini. Verisa tersenyum melihat rambut lurusnya yang tergerai rapi. Hari ini adalah jadwalnya terapi. Yang membuat Verisa senang adalah Lucky yang akan menemaninya terapi, setelah beberapa kali pria itu tidak bisa menemaninya karena harus mengurus perusahaan Ayah.

“Ve, kamu udah siap?” panggil Lucky.

“Iya, Kak.”

Sebelum keluar, Verisa menyelipkan sebuah kertas ke saku blazernya sambil tersenyum. Lucky sudah menunggu di depan kamarnya dan Verisa tak mau membuat pria itu menunggu lama. Ketika Verisa keluar kamar, ia menatap Lucky yang menatapnya dengan tatapan tegang dan terkejut.

“Kakak kenapa?” Verisa tak bisa menahan tanya melihat ekspresi Lucky itu.

“Oh, nggak apa-apa. Ayo kita berangkat.” Lucky menggeleng cepat.

Pria itu beralih ke belakangnya untuk mendorong kursi roda, hingga membantu menggendong Verisa masuk ke mobil. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Lucky terus saja diam. Seperti sedang ada yang dipikirkan pria itu?

Verisa sudah membuka mulutnya hendak bertanya ketika ponsel pria itu berbunyi. Lucky memasang earset-nya dan berbicara dengan siapa pun yang ada di seberang sana.

“Mulai saja dan ajak Putra bersamamu. Dia tahu apa yang akan dibahas dengan pimpinan SR Group. Ulur waktu sampai saya kembali,” ucap Lucky tegas.

Raut wajah pria itu juga semakin tegang setelah mangakhiri teleponnya.

“Terjadi sesuatu di kantor, Kak?” tanya Verisa tak bisa menahan rasa penasarannya.

Lucky menoleh sekilas dan mengangguk.

“Kalau Kakak sibuk ....”

“Aku udah janji mau nemenin kamu terapi hari ini, kan? Jadi, kamu nggak perlu khawatir tentang kerjaanku di kantor. Aku bisa ngatasin itu.” Pria itu bahkan membalasnya dengan senyuman.

Hanya demi Verisa, Lucky meninggalkan pekerjaan yang mungkin memang penting itu. Seketika hati Verisa kembali berbunga, mendapati Lucky selalu mengutamakannya. Tapi, mengingat kenyataan yang dilakukannya hanya untuk menepati janji padanya, membuat Verisa merasa sedikit terusik? Apa hanya sekedar untuk menepati janji yang Lucky lakukan padanya kini?

“Kak,” panggil Verisa.

“Hm?”

Verisa menyodorkan sebuah kertas yang diambilnya dari dalam saku blazernya.

“Apa ini?” tanya Lucky setelah menerima kertas itu.

“Nanti Kakak buka aja dan baca sendiri,” balas Verisa.

Lucky mengangguk, lalu menyimpan kertas itu di saku jasnya dan kembali menyetir. Sampainya di rumah sakit, Lucky membawa Verisa ke dalam ruangan terapi dan meminta ijin keluar untuk menghubungi seseorang.

Verisa tak bisa melepaskan pikirannya dari sikap Lucky yang mendadak serius seperti itu. Seharusnya, jika Lucky memang sedang sibuk, pria itu bisa bilang padanya dan pergi menyelesaikan pekerjaannya. Tapi, kenapa dia justru memaksa untuk tetap menemani Verisa terapi?

Meski memang, Verisa akan sedih karena Lucky harus pergi dan tidak menemaninya terapi sampai selesai. Tapi, setidaknya Verisa tidak membuat Lucky kesulitan dengan pekerjaannya.

“Nona Verisa,” panggil Dokter seketika menarik pikirannya tentang Lucky.

“Ya, Dok.”

“Bisa kita mulai?” Dokter memastikan yang dijawab anggukan oleh Verisa.

“Sebelumnya saya ingin bertanya, apa dalam seminggu terakhir ini Nona merasakan beberapa gejala seperti sakit kepala, nyeri pada bagian tubuh tertentu, kehilangan kemampuan gerak, atau mungkin pingsan?” tanya Dokter.

“Nggak ada, Dok.”

Dokter itu mengangguk. “Sepertinya, kondisi Nona Verisa sudah membaik.”

“Tapi ....” Verisa ragu akan melanjutkan ucapannya atau tidak.

“Ada apa? Apa terjadi gejala lain yang Nona rasakan?”

Verisa menatap dokter itu lekat. “Saya nggak tahu apa itu salah satu gejala atau bukan. Tapi kemarin, saya sempat nggak merasa sentuhan tangan di wajah saya, Dok. Sebenarnya apa yang terjadi, Dok?” tanya Verisa, penasaran.

Dokter itu pun terlihat terkejut karena dugaannya, Verisa sudah membaik. Verisa benar-benar ingin tahu apa yang terjadi sekarang.

“Dok, sebenarnya separah apa cedera yang saya alami?”

***

Setelah mengantar Verisa ke dalam ruangan terapinya, Lucky ijin keluar untuk menghubungi Putra. Setelah menyelesaikan perbincangan tentang pekerjaannya dengan Putra, ia hendak kembali masuk ke ruangan ketika tiba-tiba teringat kertas yang Verisa berikan padanya di mobil tadi.

Pria itu duduk di salah satu kursi tunggu dan membuka kertas itu. Sebuah surat.

Hai, Kak.

Kayaknya aku nggak perlu basa-basi dulu, kan? Aku udah nyelesaiin semua tugas-tugas sekolahku. Ujianku juga udah selesai. Dan aku yakin hasilnya bakal memuaskan. Terapiku beberapa minggu yang lalu juga udah nunjukin hasil kesehatan yang membaik. Jadi, nggak salah kalau aku nagih janji Kakak, kan?

Aku harap Kakak nggak lupa. Kalau sampai Kakak benar-benar lupa, aku bakal marah banget dan mungkin nggak mau ketemu Kakak lagi.

Ini daftar keinginanku. Aku lagi baik kali ini, jadi aku nggak maksa Kakak nurutin semua yang aku mau. Jadi, Kakak bisa milih mana yang bisa Kakak kabulin.

1.    Main pasir dan air di pantai yang sepi. Kalau bisa cuma kita berdua aja di pantai itu.

2.    Berkemah di puncak. Dari dulu, aku nggak pernah diijinin Ayah buat ikutan acara kemah di sekolah.

3.    Pergi ke air terjun lagi, tapi cari lokasi yang jalannya nggak jelek dan ada yang jualan baju.

4.    Naik kereta api ke Surabaya. Di sana ntar, aku pengen jalan-jalan ke mana aja yang aku mau.

Yang terakhir mungkin agak sedikit kekanakan, tapi itu yang aku mau. Jujur, aku belum penah naik kereta api sama sekali.

Sekarang, tugas Kakak pilih salah satu dari keempat permintaanku itu. Mana yang bisa Kakak kabulin secepat mungkin. Soalnya, aku nggak mau lama-lama nunggunya juga. Jadi, jangan lama-lama mikirnya karena aku udah nggak sabar pengen liburan.

Dari Verisa.

Lucky hanya bisa tersenyum memandang surat dari Verisa ini. Gadis itu benar-benar menagih janjinya. Namun, Lucky belum yakin akan bisa menepatinya dalam waktu dekat ini.

Hari ini saja, ia memaksa tetap menemani Verisa terapi, itu karena besok ia harus pergi ke Surabaya. Mungkin ia di sana selama beberapa minggu untuk mengontrol proyeknya di sana. Lalu, bagaimana ia akan menjelaskan ini pada gadis itu?

Lucky kembali melipat kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku jasnya dan melanjutkan niatnya masuk ke dalam ruang terapi. Ketika ia masuk ke dalam ruangan itu, ia melihat Dokter sedang menusuk beberapa bagian tubuh Verisa dengan jarum kecil. Lucky terkejut dan menghampiri Verisa yang sedang meringis menahan sakit karena tusukan itu.

“Verisa kenapa, Dok? Kenapa terapinya harus ditusuk seperti ini?” panik Lucky.

“Saya hanya mengetes kemampuan rangsangannya saja. Tapi, melihat dari reaksi Nona Verisa yang terlihat menahan sakit karena tusukan ini, sepertinya kondisinya sudah lebih baik. Dan untuk seterusnya, Nona Verisa sepertinya tidak perlu menggunakan kursi roda lagi. Asalkan dia tetap menjaga gerak tubuhnya jangan sampai terlalu lelah atau menggunakan tenaganya terlalu berlebihan,” terang Dokter.

Selesai dari terapi itu, Lucky langsung membawa Verisa pulang. Tapi, sejak saat terapi itu, kenapa Verisa terlihat lebih diam?

“Kamu kenapa, Ve?” tanya Lucky.

“Nggak apa-apa,” balasnya datar.

“Kamu mau mampir dulu buat makan siang?”

“Pulang aja, Kak. Aku mau langsung istirahat.” Verisa memutar tubuhnya ke arah jendela mobil dan memejamkan mata.

Selama beberapa saat, Lucky tidak bertanya lagi, tapi ia harus mengatakan kepergiannya ke Surabaya malam ini. Ia juga harus kembali ke kantor segera.

Lucky melirik sekilas ke arah Verisa yang duduk menghadap jendela dengan mata terpejam. Ia hanya menghela napas berat dan tetap melajukan mobilnya sampai ke rumah dalam diam.

***

Tak ada yang lebih membuatnya sesedih ini ketika tahu apa yang sebenarnya dialami setelah kecelakaan di sekolah waktu itu. Jika ia tidak memaksa dokter itu untuk mengatakannya, pasti ia tidak akan tahu dan Lucky juga tidak akan memberitahunya. Kenapa sakit seperti ini harus Lucky tutupi dari Verisa yang mengalaminya? Semenyedihkan itukan Verisa di mata Lucky?

Memikirkan hal itu membuat dada Verisa sesak. Rasanya ia ingin menangis, tapi tidak di sini, tidak di hadapan Lucky.

“Ve, kita udah sampai,” ucap Lucky sambil mengusap kepala Verisa lembut.

Verisa langsung membuka mata dan hendak turun tanpa membalas ucapan Lucky, tapi pria itu menahan lengannya.

“Kamu marah?” tanya Lucky, membuat Verisa menatapnya tajam.

“Ada apa?” Lucky menelengkan kepalanya.

Tapi, Verisa tidak sanggup mengatakan apa pun. Ia justru ingin menangis saat ini. Matanya sudah berkaca ketika menatap mata Lucky.

“Maaf, kalau aku udah bikin kamu marah. Tapi, bilang sesuatu, apa yang aku lakuin sampai buat kamu diamin aku kayak gini?” Lucky berkata lembut.

Tanpa sadar air mata Verisa jatuh juga. Dan perlahan isaknya juga keluar. Lucky menarik Verisa ke dalam pelukannya, menenangkannya. Tapi, justru yang Lucky lakukan membuat Verisa semakin terisak.

“Kenapa Kakak nggak jujur sama aku?” ucapnya dalam isak. “Semenyedihkan itu, aku di mata Kakak, sampai Kakak nggak mau ngasih tahu aku tentang separah apa cederaku ini?” Verisa memukul dada Lucky.

“Maaf.”

Beberapa saat mereka tetap dalam posisi itu sampai Verisa berhenti menangis. Ia menarik diri dan hendak keluar dari mobil, tapi Lucky menahannya.

“Biar aku antar kamu sampai kamarmu.”

“Aku mau sendiri dulu, Kak,” balasnya, seraya keluar dan berjalan perlahan masuk ke dalam rumah.

Verisa duduk di sisi tempat tidurnya. Menunduk sambil menghapus bekas air mata di pipinya. Teringat akan surat yang diberikan pada Lucky tadi. Ia belum menanyakan lagi pada Lucky, tapi ia juga masih marah pada pria itu.

“Ve, boleh aku masuk?” ucap Lucky di balik pintu kamar Verisa.

Untuk apa dia ke sini dan bukannya kembali ke kantor?

Belum juga Verisa memberi ijin, tapi Lucky sudah membuka pintu itu dan masuk menghampiri Verisa. Ia memutar tubuh, menolak menatap Lucky, tapi ia merasakan Lucky berdiri di belakangnya.

“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” Lucky berkata.

“Apa?” ketusnya.

“Aku udah baca suratmu tentang liburan itu. Aku bisa ngabulin mana pun yang kamu mau, tapi ... nggak dalam waktu dekat ini,” ucap Lucky.

Pria itu memutar bahu Verisa pelan, sampai ia bisa menatap Lucky yang saat ini sudah berlutut di depannya dan berkata, “Aku harus pergi ke luar kota buat ngurus beberapa proyek.”

Verisa terkejut mendengar ucapan Lucky, tapi ia mencoba tak peduli karena marahnya pada pria itu. Sambil menahan sesak di dadanya dan mengalihkan tatap dari Lucky, ia berkata,

“Pergi aja!”

“Maafin aku, Ve.” Lucky berdiri. “Mungkin aku bakal pergi beberapa minggu, tapi aku bakal sering-sering telepon kamu nanti. Jadi, jaga dirimu, ya. Jangan kecapekan. Minum obat yang teratur dan istirahat yang cukup. Aku bakalan balik lebih cepat dan nepatin janjiku buat bawa kamu liburan, hm?”

Verisa tak menanggapi apa pun, ia marah pada Lucky, tapi kenapa di saat seperti ini pria itu justru akan pergi jauh? Dan kenapa hatinya terasa berat mendapati Lucky akan pergi cukup lama?

Verisa membuang mukanya ketika lagi-lagi air matanya jatuh. Lucky tidak boleh lihat. Dia tidak mau terlihat menyedihkan lagi di mata Lucky.

“Aku pergi dulu, ya,” pamit Lucky.

Gadis itu bergeming. Kenapa seberat ini membiarkan pria itu pergi?

***

Setelah menutup pintu kamar Verisa, Lucky menghela napas berat. Rasanya sangat berat karena harus pergi dari gadis itu. Apalagi sekarang Verisa sudah tahu tentang sakitnya. Lucky bersyukur ketika Verisa tahu itu di saat kondisinya juga sudah mulai membaik. Tapi, melihat gadis itu menangis seperti tadi, lagi-lagi membuat dadanya sesak.

Lagi, Lucky merasa gagal pada janjinya untuk Verisa. Justru karena dirinya, kini Verisa lebih sering menangis. Tapi, Lucky tak bisa meninggalkan pekerjaannya juga. Karena ini semua juga untuk Verisa.

Nanti. Ya, setelah semua pekerjaannya di luar kota selesai, Lucky akan berusaha mengembalikan senyum gadis itu lagi. Ia hanya perlu menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan kembali untuk mengajak Verisa berlibur. Dan ia akan mengabulkan semua keinginan pada daftar liburan gadis itu.

Dengan pikiran itu, ia memaksa dirinya kembali ke kantor. Membawa sesak dalam hatinya bersamanya. Lucky pasti akan sangat merindukan gadisnya. Bahkan kini, ia sudah merasakannya. Pergi dalam keadaan Verisa yang sesedih itu sungguh menyiksa batin Lucky. Tapi, tak ada yang bisa ia perbuat.

Lucky tahu, dirinya bukanlah siapa-siapa dalam hidup Verisa. Ia juga tahu batasan yang harus dijaganya. Lucky sadar, ia mencintai Verisa, tapi tidak dengan Verisa. Gadis itu masih terlalu kecil dan polos hanya untuk mengerti cinta. Bahkan untuk menerima perasaan Lucky, ia sendiri tidak yakin Verisa bisa.

Verisa hanya butuh sosok yang bisa menemaninya di saat sendirinya. Menjadi keluarganya dan menjaganya. Meski Lucky tahu, ia sudah salah menggunakan perasaannya. Dan, biarkan ia yang merasakannya sendiri.

Di setiap cerita, akan ada awal dan akhir. Akhir yang diinginkan Lucky hanya ingin bersama dengan Verisa, tapi ia tak ingin memaksa akhir itu juga untuk Verisa. Lucky akan melakukan apa pun untuk Verisa, agar gadis itu kembali bahagia, meski tidak bersamanya. Dan Lucky mengharapkan akhir cerita indah untuk Verisa, meski tidak untuknya.

***

Terpopuler

Comments

Neynakha Afiya

Neynakha Afiya

Yang sabar ya Lucky... Kalau cinta gak boleh maksa

2020-05-03

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!