Kekhawatiran Terbesar

Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, akhirnya semalam Verisa bisa pulang juga. Ia benar-benar merindukan kamarnya. Berada terlalu lama di rumah sakit rasanya sungguh membosankan. Apalagi Lucky tidak bisa menemaninya setiap saat.

Pria itu masih disibukkan dengan pekerjaan di perusahaan Ayah. Bahkan beberapa hari terakhir ini, ia jarang melihat Lucky karena pagi-pagi sekali, pria itu sudah berangkat dan pulang larut malam. Jika pria itu tidak ada, sekretaris Lucky yang bernama Reni yang akan datang untuk melihat kondisinya. Bahkan untuk terapi pertamanya saja, Lucky tidak bisa menemaninya.

Pagi ini, kondisinya sudah lebih baik dari sebelumnya, meski masih harus menggunakan kursi roda, tapi setidaknya tubuhnya sudah tidak sekaku sebelumnya. Verisa benar-benar tidak tahu, cedera apa yang membuatnya sampai seperti ini. Seingatnya, ia hanya jatuh dari beberapa undakan tangga, tapi kenapa bisa separah ini?

Lucky bahkan tidak memberitahukannya tentang apa pun. Pria itu hanya mengocehi tentang Verisa yang harus minum obat, makan teratur, banyak istirahat, dan tidak boleh terlalu lelah. Pria itu benar-benar persis seperti ibunya. Cerewet.

Verisa menghela napas berat ketika tiba-tiba bayangan tentang ibunya melayang di kepalanya. Dengan cepat ia mengenyahkan bayangan itu dengan menggelengkan kepalanya. Ia mencoba mengalihkan pikirannya pada ujian yang tinggal dua minggu lagi. Verisa bahkan sama sekali belum mempersiapkan apa pun.

Lagi, ia menghela napas berat.

Ia melirik jam yang ada di dinding kamarnya. Jam sembilan pagi. Rasanya bosan juga berdiam di kamar seperti ini. Apalagi ini hari minggu. Kenapa juga Lucky harus berangkat ke kantor pagi-pagi di hari minggu begini?

Bahkan ia tidak sarapan bersamanya pagi ini. Apa Verisa benar-benar akan dikurung di rumah seperti ini? Ia tidak pulang dari rumah sakit hanya untuk berdiam di rumah begini, omong-omong.

Mungkin berkeliling taman bisa membuatnya sedikit lebih baik. Menggunakan kursi roda, ia membawa dirinya ke depan cermin untuk merapikan diri sebelum keluar. Sesaat ia sempat terdiam melihat kondisinya. Wajahnya masih sedikit pucat, lehernya juga masih menggunakan penyangga, tapi lebih kecil sehingga membuat Verisa bisa sedikit bergerak. Kepalanya juga masih dililit perban. Tubuhnya lebih kurus dari sebelumnya. Bahkan terlihat lemah di atas kursi roda.

Seketika Verisa tersenyum sendu. Jika ibunya masih ada, pasti Ibu akan menangis melihat anak perempuannya seperti ini. Setetes air mata tiba-tiba menetes. Sungguh, ia tidak mau lagi bersedih karena keadaan menyedihkannya ini.

Verisa berusaha meyakinkan dirinya jika ia tidak boleh menyesal dengan keadaannya saat ini. Justru seharusnya ia senang karena sudah berhasil menyingkirkan Jesy dan gengnya dari sekolah.

Ya, Verisa tidak menyesal dengan kejadian ini, pun dengan keadaannya. Apa yang sudah dilakukan Jesy pada Verisa harus dipertanggungjawabkan dengan konsekuensi Jesy harus dikeluarkan dari sekolah. Meski dengan cara kotor seperti ini.

Berdasarkan informasi dari Lucky, anak malang itu tidak akan bisa masuk ke sekolah itu lagi. Meski orang tuanya mempunyai banyak uang sekalipun. Verisa tersenyum miring. Rencananya sudah berhasil. Verisa bahkan tidak peduli dirinya yang akan terluka, asalkan apa yang ia inginkan bisa tercapai, termasuk menyingkirkan Jesy. Dan selanjutnya, teman-teman tak bergunanya itu.

Ah, ya, anak-anak itu harus mendapat ganjarannya juga karena sudah sempat mengkhianatinya. Dengan pikiran itu, ia mencoba menghubungi salah satu dari temannya itu, Nina.

“Halo, Nin,” ucapnya tak lama setelah teleponnya tersambung.

“Hai, Ve. Kamu udah sembuh?” Verisa memutar mata saat mendengar tanya basa-basi dari Nina.

“Ya, beginilah. Aku udah pulang sih, dari rumah sakit. Ngomong-ngomong, kamu lagi di mana?” tanya Verisa.

“Ah, aku lagi di hotel, Ve. Aku mau ketemuan sama pacarku, dong,” pamernya dengan suara centil khas Nina.

Rasanya ia ingin muntah mendengar suara anak ini. Jika bukan untuk penyelidikannya, ia pasti enggan menelepon anak centil ini. Menurut Verisa, Nina adalah anak yang paling bocor. Dia selalu sering keceplosan. Dan baru saja Nina melakukannya.

“Apa? Di mana? Di hotel?” Verisa pura-pura terkejut, tapi ia sungguh penasaran dengan apa yang dilakukan Nina di sana. Pacar seperti apa yang membawa anak SMA pagi-pagi seperti ini ke hotel?

“Oh, itu ... aku ... ehm ... Ve, aku tutup dulu, ya. Aku ada urusan.” Terdengar jelas gagap Nina karena ketahuan menutupi sesuatu.

“Nina, tunggu,” tahan Verisa.

“Apa lagi?”

“Aku cuma mau minta tolong sama kamu buat fotokopiin materi pelajaran yang aku lewatin. Aku butuh itu buat persiapan ujian,” Verisa mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Oh, jadi kamu cuma mau nyalin materi pelajaran aja. Oke, nanti siang aku antar ke rumahmu, ya?” ucap Nina, sontak membuat Verisa tersenyum puas.

Sesuai dengan rencananya lagi. “Oke. Aku tunggu di rumah, ya. Aku bakal minta Bi Minah buatin sesuatu yang enak buat kamu, kalau gitu.”

“Serius? Aku bakal .... Sayang, lagi ngapain kamu di sana? Cepat kemari. Aku udah siap.”

Verisa sempat terbelalak kaget mendengar suara laki-laki yang sepertinya memanggil Nina itu. Sayang? Siap apanya? Mereka akan melakukan apa?

“Ve, udah dulu, ya. Aku benar-benar ada urusan. Bye.” Nina langsung memutus teleponnya.

Apa yang sebenarnya Nina lakukan di sana? Apa dia sedang bekerja paruh waktu di hotel itu? Tapi, tadi dia bilang dia akan bertemu pacarnya. Bahkan sepagi ini? Memang ini hari libur sekolah, tapi Nina juga tidak pernah bercerita jika dia bekerja part time.

Verisa menggeleng bingung. Nanti siang, ia bisa mencari tahu lagi pada Nina. Sekarang sebaiknya ia melanjutkan niatnya berkeliling. Rasanya tidak ada bedanya dengan di rumah sakit jika diam di kamar seperti ini terus.

***

Siang itu, Nina benar-benar datang ke rumahnya dengan setumpuk kertas pelajaran yang tadi dimintanya. Yang membuat Verisa terkejut ternyata Nina tidak datang sendirian. Ia bersama Lidya dan Vira juga. Ternyata, Nina sengaja membawa dua anak ini ke sini. Oke, Verisa akan mencari banyak informasi dari mereka bertiga, kalau begitu.

“Nin, makasih buat ini, ya?” Verisa mengangkat kertas kopian dari Nina tadi. “Padahal tadi kamu bilang lagi sibuk di ... hotel,” pancing Verisa sepolos mungkin. Ia sempat melihat ekspresi ketiga anak itu. Nina tampak cemas, Vira juga menghentikan tangannya ketika akan mengambil minum, sedangkan Lidya tampak ... tak peduli?

Dari ketiga anak ini, Lidya yang biasanya paling mendominasi, tapi kenapa di sini dia keliatan tidak peduli? Verisa yakin ada yang mereka sembunyikan.

“Nin, tadi kamu ketemu Jodi di hotel?” Lidya bertanya dengan santainya pada Nina yang masih tampak cemas.

“Ah, itu. Iya, Lid,” balas Nina gugup.

“Ada Sandi sama Dion juga nggak di sana?” Lidya bertanya lagi sambil melirik Nina dan Vira. Verisa hanya mendengarkan apa yang mereka bicarakan tanpa menyela.

“Nggak ada. Tapi, Jodi bilang nanti sore dia bakal datang bareng Sandi dan Dion,” beritahu Nina.

Lidya mengangguk-angguk. Lalu, anak itu melirik Verisa yang memang sedang memerhatikan mereka.

“Kamu mau ikut?” tawar Lidya tiba-tiba pada Verisa.

“Ah, aku? Ikut ... ke mana?” bungung Verisa.

“Ke hotel, lah. Cuma makan malam di restoran aja. Kamu bisa ngajak Kak Lucky kalau mau?” tawar Lidya masih begitu santai.

Verisa mempertimbangkan tawaran Lidya. Ia belum tahu apa yang mereka sembunyikan. Ia juga belum mendapat kelemahan ketiga anak ini. Tapi, jika ia tidak ikut dengan mereka, ia akan kehilangan kesempatan untuk tahu apa yang mereka lakukan.

Namun, pergi ke hotel? Lucky pasti tidak akan mengijinkannya, tapi ini juga kesempatannya untuk mendapat banyak informasi tentang anak-anak itu. Jadi, lebih baik ia ikut tanpa Lucky.

“Oke, aku ikut. Tapi, aku nggak akan ngajak Kak Lucky. Dia sibuk di kantor soalnya,” Verisa beralasan.

Lidya tersenyum menanggapinya, tapi ketika Verisa melirik Vira dan Nina, mereka tampak gelisah. Ada apa dengan mereka?

Selama dua jam di rumahnya, Lidya, Vira, dan Nina mulai berbincang banyak hal tentang mereka bertiga selama di sekolah. Sampai-sampai Verisa menyiapkan banyak cemilan untuk mereka ketiga. Berharap dengan banyaknya mereka bicara, itu akan membuat Verisa mendapat informasi lain lagi.

Ia menoleh ke arah Lidya yang mendapat telepon. Anak itu menyingkir dari tempat mereka berbincang. Namun samar, ia sempat mendengar Lidya menyebutkan namanya. Siapa yang menelepon Lidya? Apa orang itu mengenalnya?

Penasaran, Verisa bertanya pada Lidya ketika gadis itu kembali.

“Oh, itu Sandi. Pacarku. Aku cuma ngasih tahu dia kalau kamu juga mau ikut nanti, jadi dia tambahin pesanannya,” ucap Lidya.

Itukah yang mereka bicarakan?

Biarlah, toh apa pun yang tadi dibicarakannya, yang terpenting adalah rencananya. Ia hanya perlu bertahan sebentar lagi. Sampai ia mendapatkan kartu AS mereka dan membuat mereka kapok karena sudah pernah mengkhianatinya.

Namun dalam hatinya, kenapa mendadak perasaan Verisa menjadi tidak enak?

***

Sore itu, Lucky harus tertahan di kantor karena masalah karyawan yang ketahuan memata-matai perusahaan. Ternyata salah satu OB baru yang diterimanya dua minggu lalu adalah suruhan dari perusahaan lawan untuk mencuri informasi tentang proyek barunya. Beruntung, Lucky sempat memergoki orang itu sedang membuka beberapa laci di ruangannya siang tadi. Dan kini, orang itu tidak akan bisa mengelak lagi.

“Siapa yang sudah menyuruh Anda?” tanya Lucky tegas.

Orang itu menunduk dalam sambil bergerak gelisah, ketakutan. “Maafkan saya, Pak. Tolong jangan penjarakan saya.”

Lucky mendengus kasar. “Anda tahu yang Anda lakukan ini salah, tapi Anda masih mau disuruh melakukannya, hah?”

Orang itu mendongak, memelas padanya agar tidak membawa kasus ini ke jalur hukum dengan alasan keluarganya. Tapi bagi Lucky, kesalahan tetap kesalahan, ada konsekuensi yang harus dibayar sesuai apa yang telah dilakukan.

“Beritahu sekarang, siapa yang menyuruhmu, Brengsek? Dan aku akan membuat hukumanmu lebih ringan,” putus Lucky tajam.

“Orang yang menyuruh saya ....”

Ponsel Lucky berdering, dari Putra.

“Halo, Ky. Kamu di mana?” Suara Putra terdengar cemas.

“Ada apa, Put?” Lucky membalas seraya menjauh dari orang itu, dan dengan gerakan tangan meminta beberapa

orangnya menjaga orang itu.

“Aku udah di rumah Nona Verisa buat ngecek keadaannya sesuai permintaanmu, tapi Nona Verisa nggak ada, Ky. Bi Minah bilang, dia pergi sama ketiga temannya buat makan malam di luar,” beritahu Putra.

Lucky mengumpat kesal. “Apa Verisa bilang ke Bi Minah, dia mau pergi ke mana?” Lucky bertanya.

“Nggak, Ky.”

“Sial! Kamu coba cari dulu ke sekeliling komplek, beberapa kafe, dan restoran terdekat. Aku susul kamu

sekarang,” putus Lucky sebelum memutus teleponnya.

Ke mana Verisa pergi? Kenapa dia tidak menghubungi Lucky?

Lucky berbalik untuk memberi perintah pada ketiga orang kepercayaannya untuk membawa pengkhianat itu ke

polisi. Lalu, ia melesat pergi untuk mencari Verisa. Dalam langkahnya menuju mobil, Lucky bahkan mencoba menghubungi  Verisa, tapi tidak diangkat. Apa-apaan gadis itu?

Ketika di mobil, ia melajukan mobilnya dengan kencang ke arah rumah. Tapi, sesaat ia ingat sesuatu. Lucky menepikan mobilnya dan meraih ponselnya. Lucky ingat pernah memasang GPS ponsel Verisa agar bisa dilacak di ponselnya. Ya, dapat. Tapi, Lucky dibuat terkejut dengan posisi titik yang ditunjukan di ponselnya. Hotel?

Pria itu lalu menghubungi Putra.

“Kamu udah tahu di mana Nona Verisa?” tanya Putra.

“Ya, aku tahu di mana dia,” sebut Lucky. “Hotel Paradise.”

“Apa? Untuk apa Nona Verisa ke sana? Itu hotel yang cukup mewah dan .... Ah, kurang lebih satu kilometer lagi aku sampai di hotel itu,” beritahu Putra.

“Tolong, kamu cari Verisa di sana. Aku segera susul kamu.”

***

Kini ia berada di dalam restoran mewah di sebuah hotel besar di kota ini. Hotel Paradise, jika ia tidak salah baca di depan tadi. Namun, yang membuat Verisa mengernyit dalam adalah sosok ketiga laki-laki yang duduk di samping masing-masing anak-anak itu. Jadi, mereka ini yang disebut pria tampan dan mapan oleh ketiga anak itu?

Verisa mendengus jijik melihat bagaimana mereka terlihat sekarang. Bagi Verisa, laki-laki itu sama seperti om-om hidung belang. Lalu, untuk apa Lidya, Vira, dan Nina mau menjadi kekasih om-om itu? Mereka pasti sudah gila.

“Jadi, itu temanmu? Kenapa sama tubuhnya?” tanya laki-laki yang duduk di samping Lidya sambil merangkul Lidya erat.

Lidya mengangguk. “Dia begini karena jatuh dari tangga di sekolah.”

Gantian, laki-laki itu yang mengangguk. Lalu, laki-laki itu membisikkan sesuatu pada Lidya. Verisa sedikit merasa tidak nyaman ketika ada yang membicarakannya seperti itu. Perasaannya mulai tidak enak. Andai saja ia tadi mengajak Lucky. Ya, Lucky. Sebaiknya ia menghubungi Lucky.

Verisa sedang mencari nama Lucky di ponselnya ketika Lidya merebut ponselnya dari tangannya.

“Kita lagi makan, Ve. Sebaiknya simpan dulu ponselmu,” Lidya berkata.

Verisa tak mampu membalas. Pikirannya mendadak gelisah. Apa yang sebenarnya mereka sembunyikan? Seketika ada rasa takut yang menyelinap. Ia berharap Lucky akan datang untuk membawanya pulang. Tapi, bagaimana Lucky akan datang, jika Verisa tidak memberitahunya di mana ia sekarang?

Bodoh. Ia merutuki kebodohannya. Ia harus mencari cara untuk pergi dari sini. Ya, harus.

***

Terpopuler

Comments

trisya

trisya

cerita udh tau cidera tapi ceroboh . akhirnya kan merugikan diri sendiri dan lucky.

2020-12-02

1

pangeran

pangeran

cerita bodoh

2020-12-02

2

Neynakha Afiya

Neynakha Afiya

Curiga kalau mereka ini sugar daddy

2020-04-30

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!