Tidak terasa sudah tiga hari Verisa dan Lucky berada di Surabaya. Tapi, tak banyak yang bisa Verisa lakukan di sini karena Lucky tidak mengizinkannya untuk pergi sendirian. Selama Lucky bekerja ke luar, ia hanya diijinkan untuk berjalan-jalan di area hotel saja. Beruntung, Lucky memilih hotel dengan nuansa yang klasik dan menyajikan pemandangan yang indah. Namun tetap saja, lama-lama ia bosan juga karena tidak ada pria itu di sini.
Verisa mendesah berat. Mendapati dirinya yang saat ini masih berada di restoran hotel ditemani dengan komik yang Lucky belikan. Ia mencomot cemilan yang di pesannya dari restoran itu sembari kembali fokus pada komiknya. Dengan sedikit enggan ia melanjutkan membaca komik itu. Ia bahkan sudah mengulang dua kali bacaan ini. Ah, benar-benar membosankan.
“Boleh gabung?”
Verisa mendongak menatap siapa yang berbicara. Seorang pria yang sepertinya seumuran dengannya. Tinggi, putih, dengan wajah sedikit bule. Dia membawa sekantung makanan cepat saji berlogo terkenal. Dan kini, pria itu masih menatapnya dengan alis terangkat.
Tak menanggapi pria itu, Verisa kembali menunduk menatap komiknya.
“Boleh, nggak?” tanya pria itu lagi.
Verisa mengerutkan kening, kesal. Terserah dia mau duduk di mana saja. Toh, ini bukan hotel miliknya dan ia tak punya hak untuk melarang siapa pun duduk di kursi di hotel ini, kan? Akhirnya, ia hanya mengangguk dan kembali mengabaikan pria itu lagi.
“Namaku William. Kamu bisa panggil aku Will?” Pria itu memperkenalkan dirinya sok akrab, setelah duduk di kursi di sebelah kanan Verisa.
Ia hanya menanggapi dengan kerutan di alis, tanpa menoleh ke sebelahnya. Untuk apa dia memperkenalkan diri tiba-tiba? Seolah itu penting.
“Kenapa?”
Bingung, Verisa akhirnya menoleh hanya untuk menatap tajam pria bernama William itu.
“Kenapa apanya?” ketusnya.
“Kenapa sendirian?” tanya William santai, bahkan tersenyum.
“Bukan urusanmu,” desisnya seraya melengos menghadap arah lain. Dasar penganggu.
Selama beberapa saat William diam saja. Dalam hati, Verisa berharap William sudah pergi dan tak akan mengganggunya. Sampai sebungkus makanan mendarat tepat di depan Verisa, membuatnya mendesis kesal. Mau apa lagi dia?
“Nih, buat kamu,” sebut William tanpa rasa bersalah.
“No, thanks,” tolaknya masih ketus.
“Ini masih baru, kok. Jangan khawatir.”
Verisa tak membalas ucapan William dan hanya menatapnya tajam, kesal.
“Kenapa kamu kelihatan kesal gitu?” tanya William.
Pria bernama William ini benar-benar sudah membuat mood-nya semakin buruk dengan segala sikap sok akrabnya itu. Apa dia tidak merasa membuat Verisa terganggu dengan sikapnya itu?
“Bisa nggak, buat nggak gangguin aku, hm? Kalau emang mau duduk di sini, ya duduk aja. Nggak perlu gangguin aku,” tembak Verisa, kesal.
“Woah ... ternyata kamu galak juga, ya?” sebut William, sontak membuat Verisa semakin melotot galak. “Aku lihat dari jauh, kirain kamu gadis manis yang kesepian dan butuh teman ngobrol. Makanya aku ke sini mau nemenin kamu, tapi ternyata ... kamu nggak kayak yang aku lihat,” lanjut William.
“Kamu ini siapa, sih? Kenal juga enggak, tapi kamu seenaknya ngatain aku ini galak,” sembur Verisa seraya membanting komiknya di meja.
Verisa berdiri, hendak pergi, tapi lengannya ditahan pria itu, membuatnya semakin kesal dan mengempaskan tangan pria itu kasar.
“Tadi aku udah ngenalin diri, tapi kamu belum. Kalau nggak keberatan, aku boleh tahu namamu?” William bertanya sesantai sebelumnya.
“Sorry, aku keberatan!” balasnya penuh penekanan, lalu pergi.
Apa tidak cukup dengan mimpi buruk yang membuatnya tidak bisa tidur nyenyak, juga Lucky yang meninggalkannya dengan kebosanan ini. Sekarang ditambah lagi pria pengganggu bernama William itu. Verisa mendesis kesal. Dasar pria penganggu menyebalkan.
***
Verisa mendesah lega ketika sampai di kafe tak jauh dari hotel, kafe yang ia cari tahu dari internet.
“Untung aku nggak sampai pingsan di jalan sebelum sampai di kafe ini. Aku benar-benar lapar banget,” ucap Verisa sendiri seraya memilih menu. “Yang penting aku udah ngirim pesan ke Kak Lucky kalau aku mau jalan-jalan keluar buat beli makanan,” lanjutnya lagi.
Ketika makanan datang, ia mulai melahapnya dengan cepat karena ia benar-benar lapar. Ini semua gara-gara pria pengganggu bernama William tadi, yang membuat emosinya mendadak meledak. Kalau saja tadi ia tidak bertemu pria itu, ia pasti sudah makan siang di restoran hotel dan tidak akan kelaparan seperti ini.
Ah, mengingat William membuatnya kembali kesal saja. Sebaiknya, ia segera menghabiskan makanannya dan pulang ke hotel sebelum Lucky mengomelinya macam-macam setelah membaca pesannya itu.
Selesai dengan makan siang yang terlambat, ia berniat langsung pulang ke hotel. Tapi, sepertinya Lucky masih belum membaca pesannya karena pria itu belum membalas atau meneleponnya kembali. Sesibuk itukah dia?
Ketika Verisa hendak pulang ke hotel, ia sempat melihat beberapa orang berjalan santai ke arah berlawanan dengan hotel, ada juga yang membawa sepeda, dan papan skateboard. Ia penasaran, ada apa di sana? Mungkin jalan-jalan sebentar juga tidak masalah, kan? Toh, ini dekat dengan hotel.
Dengan pemikiran itu, Verisa memutar arah jalannya dan mengikuti beberapa orang yang tadi dilihatnya.
Sekitar sepuluh menit berjalan santai, ia akhirnya sampai pada tempat yang dituju orang-orang itu. Ternyata ini Taman Bungkul itu? Verisa sempat melihatnya di internet saat sedang mencari tempat wisata di kota ini. Dan sepertinya, suasana taman ini enak untuk jalan-jalan sore.
Dengan hati riang karena bisa keluar dari hotel dan melepaskan penatnya, ia berkeliling sambil melihat-lihat suasana taman itu. Verisa berjalan menyusuri trotoar. Pohon-pohon di sini sangat dirawat dengan baik dan terlihat segar. Di sini juga ada beberapa mainan anak-anak. Pantas saja pengunjung yang datang juga banyak.
Ketika Verisa sudah berkeliling untuk melihat sebagian taman itu, ia duduk sebentar di bangku taman untuk beristirahat. Sambil menyapu pandang, ia sempat melihat keramaian di depan sana. Apa yang sedang orang-orang itu lihat di sana?
Penasaran, Verisa akhirnya menghampiri keramaian itu dengan sedikit berlari. Ia sempat terkejut karena ternyata ada pertunjukan skateboard di sini. Ia berusaha untuk maju ke depan, agar bisa melihat lebih jelas. Ada kurang lebih tujuh orang yang sudah siap bermain dengan papan itu.
Dari jarak sejauh ini, Verisa memperhatikan orang-orang yang sedang bermain skateboard itu, tapi tatapannya berhenti pada satu orang yang berdiri paling depan. Itu seperti ... pria menyebalkan tadi. Benarkah itu dia?
Verisa terus memerhatikan pria itu, memastikannya ketika pria itu memainkan permainannya dan melucur di obstacle dengan trik-triknya. Ketika pria itu meluncur ke arah Verisa berdiri, ia sempat terkejut karena pria itu melihatnya dengan tatapan terkejut. Dan dari situ lah, Verisa yakin itu benar-benar William.
Namun, ketika ia sadar akan apa yang akan terjadi, ia sudah tidak bisa menghindar lagi. William terlihat tidak bisa mengendalikan laju papannya, tapi ia sempat melihat usaha William untuk menghentikan lajunya meski gagal. Meski Verisa terhindar dari tabrakan kerasnya dengan William, tapi ia justru terdorong oleh penonton lain yang menghindar dari tabrakan William juga.
Seketika Verisa jatuh terduduk dengan siku menumpu tubuhnya. Perih. Verisa mencoba bangun dan tangan kirinya memegangi siku tangan kanannya yang terluka. Mengecek lukanya. Ketika ia hendak berdiri, tangan kiri Verisa yang sedang memegang siku tangan kanannya mendadak kehilangan rasa. Tiba-tiba tangan kirinya terjatuh, lemas. Gejala ini lagi?
Verisa sempat mendengar tanya panik orang-orang di sana, tapi ia tidak menghiraukannya. Kenapa mendadak tangan kirinya tidak bisa bergerak dan tidak bisa merasakan apa pun? Waktu itu kakinya juga merasakan gejala itu. Apa sakitnya semakin ....
“Hey, kamu nggak apa-apa?”
Verisa menoleh kaget pada pria yang baru saja bertanya dengan nada panik padanya. William. Tapi, Verisa tidak mampu menjawab, hanya menggeleng pelan.
“Tanganmu berdarah,” ucap William.
Verisa mengangguk, membenarkan. Verisa melihat William melepas kemeja yang digunakan di atas kaosnya, dan menutup luka Verisa dengan kemeja itu.
“Maaf, ya. Karena aku, kamu jadi terluka gini,” ucap William terdengar menyesal.
“Iya.”
Selesai mengikat kemejanya di siku Verisa, William hendak membantu Verisa untuk berdiri. Namun, ketika Verisa melihat tatapan aneh William, ia mengikuti arah pandang William dan Verisa tersadar jika tangan kirinya masih belum bisa merasakan apa pun.
“Tangan kirimu juga terluka? Coba aku lihat.” William mengecek tangan kiri Verisa dan itu membuat Verisa semakin syok. Verisa benar-benar tidak merasakan sentuhan atau pegangan tangan William di tangan kirinya.
Apa yang terjadi padanya?
Verisa berusaha berdiri dengan bantuan tangan kanannya yang terluka, lalu berlari pulang ke hotel tanpa menghiraukan panggilan William. Karena ia harus sampai di hotel sebelum Lucky juga tahu tentang hal ini. Ia tidak pernah tahu, apakah semuanya akan semakin buruk dengan gejala-gejala yang Verisa alami ini?
***
Ketika urusan dengan pekerjaannya selesai, Lucky hendak pulang dan mengajak Verisa untuk makan malam di luar. Hari ini, Lucky sengaja menyelesaikan semua pekerjaannya supaya besok ia bisa berlibur bersama Verisa. Ia tidak sabar untuk segera bertemu dengan gadisnya dan memberi kejutan padanya.
Lucky mengendarai mobil yang di sewanya dengan kencang menuju hotel. Ketika berhenti di lampu merah, ia mengecek ponselnya. Ada pesan dan beberapa panggilan dari Verisa. Apa terjadi sesuatu dengan Verisa?
Lucky mencoba menghubungi balik Verisa, tapi tidak diangkat. Seketika perasaan cemas melingkupi hati Lucky. Semoga tidak terjadi sesuatu pada Verisa. Ia membuka pesan dari Verisa. Gadis itu sedang berjalan-jalan keluar hotel untuk mencari makan siang.
Sial, gadis itu keluar dari hotel. Apa mungkin terjadi sesuatu padanya? Kenapa Verisa tidak mengangkat teleponnya?
Lucky langsung menginjak gasnya ketika lampu sudah kembali hijau. Ia harus segera sampai di hotel dan melihat sendiri keadaan Verisa.
Sesampainya di hotel, Lucky berlari masuk dan bertanya pada resepsionis yang dimintanya untuk membantunya mengawasi Verisa.
“Tadi, saya lihat Nona Verisa keluar, Pak. Dan sepertinya masih belum pulang,” beritahu petugas resepsionis itu.
Lucky mengumpat kasar dan berlari keluar untuk mencari Verisa, tapi baru sampai di pintu masuk hotel, Lucky sudah melihat Verisa yang juga berlari masuk ke dalam hotel.
Ia menahan Verisa masuk dan bertanya, “Kenapa kamu lari-lari, Ve?”
Verisa yang tampaknya masih terkejut, tidak menjawab. Lucky melihat kemeja yang terikat di siku kanannya. “Apa ini? Kamu kenapa?” Lucky mencoba membuka ikatannya.
Verisa sempat meringis ketika Lucky menarik kemeja itu. Lucky terkesiap kaget ketika melihat luka dan darah yang menempel di kemeja itu.
“Apa yang terjadi sampai kamu terluka kayak gini, hah?!” seru Lucky, panik.
“Aku ... aku jatuh, Kak,” jawab Verisa, hampir terisak.
“Aku udah bilang kamu buat nggak pergi-pergi keluar, kan? Ini yang aku khawatirin kalau kamu keluar dari hotel sendirian, Ve,” omel Lucky.
“Iya, aku tahu aku salah. Tapi, Kakak jangan marah-marah sama aku, dong. Apa Kakak tahu kalau aku bosan di sini sendirian. Aku cuma pengen jalan-jalan sekitar hotel buat ngilangin bosan, Kak. Tapi, Kakak malah marah-marah.” Verisa terisak juga.
Lucky terkejut mendengar alasan Verisa. Lagi-lagi karena Lucky, Verisa menangis. Ia menghela napas berat.
“Kita ke rumah sakit dulu, ya. Kita obati lukamu,” Lucky berkata lebih kalem, seraya menuntun Verisa ke mobil.
Selama dalam perjalanan ke rumah sakit, Verisa masih tampak kesal padanya. Gadis itu bahkan menatap ke arah jendela mobil, masih sambil menangis. Lucky pun marah pada dirinya sendiri karena hal ini.
Lucky menyodorkan tisu pada Verisa yang diterima dengan kasar oleh gadis itu.
“Maafin aku, Ve. Aku nggak bermaksud marah-marah sama kamu, tadi. Aku cuma ... takut kamu kenapa-napa,” Lucky berkata, lembut.
“Kamu mau maafin aku, kan?” Lucky bertanya, ketika Verisa tidak mnanggapinya.
Gadis itu mendesah berat dan menatap Lucky kini. “Aku udah coba telepon Kakak buat ijin, tadi. Tapi, Kak Lucky nggak angkat, kan? Makanya aku kirim pesan ke Kakak. Aku cuma mau cari makan siang karena aku bosan diam terus di hotel. Dan, hari ini juga Kakak tumben kan, pulang sampai sesore ini.”
“Iya, ve. Aku yang salah. Maaf, ya.”
Verisa hanya mengangguk menanggapi permintaan maafnya. Kini, apa yang Verisa pikirkan? Dia terlihat ... panik.
“Kamu masih kepikiran mimpi burukmu itu?” duga Lucky.
Verisa hanya menggeleng.
“Terus, kenapa kamu kelihatan panik? Apa ada luka lain selain di tanganmu?”
Verisa hanya menunduk. Tak menjawab.
Lucky pun tidak mengatakan apa pun lagi sampai mereka tiba di rumah sakit. Lucky membantu Verisa turun dari mobil dan menuntunnya ke dalam. Selama di obati, Lucky melihat Verisa yang tampak murung. Apa yang dipikirkan Verisa sebenarnya? Dan, Lucky merasa ada yang aneh dengan Verisa. Ia meneliti Verisa dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Ketika Lucky menatap tangan Verisa yang sedang dipasang perban oleh suster. Ia sempat melihat Verisa mengernyit sakit. Bahkan Verisa sampai meneteskan air mata, tapi kenapa tangan kirinya diam saja?
Ya, sedari tadi memang tangan kirinya sama sekali tidak Verisa gunakan untuk bergerak. Apa terjadi sesuatu padanya?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
trisya
ceroboh cuma itu yg cocok sama verisa
udah tau lagi cedera harusnya bisa lebih hati hati lagi. kalaupun mau keluar harus bisa jaga diri.
2020-12-02
1
yesread
eh, ada orang ketiga. salam kenal Will.
2020-05-07
1
Neynakha Afiya
Jangan bandel, Ve. Nanti Lucky bisa stres dia.
2020-05-07
1