“Non, makan siang dulu, ya? Bibi udah masak makanan kesukaan Non Verisa,” ucap Bibi di balik pintu. Sudah sekitar sepuluh menit Bi Minah membujuknya untuk makan, tapi ia memang sedang tidak ingin makan.
“Bibi aja yang makan. Aku nggak lapar. Aku mau tidur,” balasnya sedikit teriak.
“Tapi, pesan Pak Lucky, Non Verisa harus makan dan minum obat,” Bi Minah kembali berkata.
Kenapa Bi Minah nurut sekali pada perkataan Lucky?
Mendengar itu, Verisa mendengus kesal. Di sini Verisalah tuan rumahnya. Lucky hanya orang yang dipercaya Ayah untuk menjaganya. Ia menarik selimut hingga menutup seluruh tubuhnya. Sepenuhnya mengabaikan ucapan Bi Minah.
Verisa tidak mengharapkan hal ini yang akan terjadi hari ini. Ia bahkan sudah berdandan secantik mungkin untuk Lucky, tapi pria itu tidak memerhatikannya sama sekali. Bahkan Lucky sibuk sendiri dengan pekerjaannya. Jika memang dia sedang sibuk, kenapa juga harus memaksakan diri untuk menemaninya terapi? Kenapa tidak seperti biasanya saja. Meminta Reni atau Putra untuk menemaninya.
Verisa menghela napas berat. Ia berharap apa, jika di sini hanya Verisa yang sepertinya memiliki perasaan. Ia memejamkan mata ketika sadar akan apa yang dirasakannya, meski tak yakin. Setelah ia tahu, Lucky sengaja menyembunyikan tentang cedera yang dialaminya, ia seharusnya marah pada Lucky. Terlebih pria itu juga akan pergi lama meninggalkannya di sini sendirian. Verisa harusnya sangat marah pada pria itu. Tapi, ini ....
Lagi, Verisa hanya bisa menghela napas berat. Seberat hatinya yang harus membiarkan Lucky pergi ke luar kota entah berapa lama. Ia mungkin akan merindukan pria itu. Ia sudah mulai terbiasa dengan adanya Lucky di sisinya dan ia takut kepergian pria itu akan membuatnya tidak bisa bertemu lagi.
Seketika Verisa membuka selimutnya dan terduduk. Bagaimana jika setelah Lucky pergi, dia tidak kembali? Bagaimana jika ini pertemuan terakhirnya dengan pria itu? Bagaimana jika nanti sesuatu terjadi pada Lucky di sana dan membuat dia tidak bisa pulang ke sini? Bagaimana ini ... bagaimana?
Ia menggeleng keras. Ia tidak mau Lucky pergi. Ia takut kehilangan lagi. Cukup kedua orang tuanya, tidak dengan Lucky. Tidak.
Tidak!
Verisa menjambak rambutnya sendiri, masih sambil terus menggeleng. Lucky tidak boleh pergi.
“Ayah ... Ibu ... jangan ambil Kak Lucky juga. Jangan,” gumamnya pelan. Hingga beberapa kali, ia hanya memanggil kedua orang tuanya dan ... Lucky.
***
Di tengah kesibukannya setelah bertemu dengan pimpinan SR Group, lagi-lagi Lucky teringat Verisa. Ia duduk di kursi kantornya, bersandar, dan menghela napas berat. Apa Verisa udah makan? batinnya.
Lucky mengambil ponsel hendak menghubungi gadis yang sudah dirindukannya itu, tapi Bi Minah sudah lebih dulu meneleponnya. Reflek Lucky mengerutkan kening. Ada apa?
“Ya, Bi?” ucap Lucky setelah mengangkat teleponnya. Tapi, seketika wajahnya berubah panik ketika mendengar apa yang di ucapkan Bi Minah.
“Sejak kapan, Bi? Aku akan pulang,” putusnya, lalu bergegas pergi.
Ia sempat mendengar Reni memanggilnya, tapi ia tak peduli. Karena yang terpenting saat ini adalah Verisa. Rasanya jantung Lucky nyaris berhenti ketika Bi Minah memberitahunya tentang Verisa yang tidak ada di kamarnya, bahkan di rumah. Gadis itu juga belum makan apa pun. Ke mana gadis itu pergi?
Lucky mencoba menghubungi Verisa, tapi tidak diangkat. Ia berhenti sesaat untuk mengecek GPS yang terhubung dengan ponsel Verisa, tapi ketika dilihat titik ponsel Verisa ada di rumah. Sial, gadis itu tidak membawa ponselnya. Ke mana sebenarnya dia pergi?
Dengan cepat, Lucky berlari ke mobil dan memacunya kencang. Mencari ke setiap sudut kota, ke tempat biasa Verisa pergi. Namun, saat langit sore sudah hampir berubah gelap, Lucky masih belum menemukan di mana Verisa berada. Ia menepikan mobilnya, mengusap wajahnya kasar, frustrasi. Ia kembali menghubungi ponsel Verisa. Di angkat.
“Verisa, di mana kamu?!” tanya Lucky cepat.
“Pak Lucky, ini Bi Minah. Non Verisa masih belum pulang, Pak,” jawab Bi Minah terdengar panik.
“Ya, Bi. Aku bakal cari dia sampai ketemu,” janji Lucky.
“Pak, tadi siang waktu Bibi menawari Non Verisa makan siang, Bibi sempat dengar Non Verisa nangis sambil manggil-manggil kedua orang tuanya, juga Pak Lucky. Mungkin dia kangen sama ayah dan ibunya,” Bi Minah berkata.
“Ah! Kayaknya aku tahu di mana Verisa. Makasih, Bi,” tutup Lucky tanpa mendengar balasan Bi Minah.
Ya, Lucky belum mencarinya ke makam orang tua Verisa. Ia yakin gadis itu pasti ada di sana. Secepat mungkin Lucky memacu mobilnya hingga ke tujuan sebelum malam lebih dulu datang.
Sampainya di area pemakanan, Lucky berlari ke arah makam. Namun, Lucky tak menemukan siapa pun di sana. Ia hanya melihat taburan bunga yang masih segar di atas kedua makam itu. Ia yakin, Verisa memang tadi datang ke sini. Ia menyapu pandang, mencari sosok Verisa di sekitar, berharap Verisa masih berada di sekitar sini.
“Verisa!” teriak Lucky memanggil gadis itu.
Ia kembali menunduk menatap dua makan di hadapannya. Maafin saya, Pak Veri, Bu Risa. Karena lagi-lagi saya lalai, sesalnya dalam hati. Tapi, saya janji akan menemukannya, batin Lucky. Kemudian ia kembali berlari untuk mencari di mana Verisa.
Menelusuri jalanan setapak dekat pemakaman itu, Lucky terus berteriak memanggil nama gadis itu. Sesekali bertanya pada orang yang lewat. Tapi, tidak ada yang melihatnya.
Lucky memutuskan untuk kembali ke mobil dan mencari Verisa ke tempat lain. Ia memilih jalan memutar melalui pinggir jalan utama untuk kembali ke parkiran. Ketika sampai di belokan menuju arah parkiran, Lucky sempat berhenti karena kerumunan yang ada di pinggir jalan, tepat di sisi pohon besar. Apa yang terjadi di sana?
Penasaran, Lucky menghampiri kerumunan itu dan melihat apa yang orang-orang itu lihat. Ketika ia bisa membuka jalan kerumunan itu dan memastikan sendiri apa yang terjadi, Lucky mendadak lemas. Jantungnya lagi-lagi dibuat berhenti ketika melihat Verisa yang duduk bersandar di pohon besar sambil memejamkan mata.
“Ve. Verisa!” panggil Lucky, panik. “Kamu kenapa?”
Lucky menarik Verisa dalam pelukannya sambil mencoba membangunkannya. Apa gadis ini pingsan? Lucky semakin panik ketika mendapati pikirannya itu. Segera, ia mengangkat tubuh gadis itu dan membawanya ke mobil. Lucky mendudukkannya di jok depan sambil memosisikan kursi dalam posisi lebih rendah. Lalu, pria itu melepas jasnya dan menutupkannya ke tubuh Verisa sebelum ia berlari memutari mobil untuk duduk di kursi kemudi.
Dengan cepat, Lucky membawa mobilnya ke rumah sakit. Sambil sesekali ia melirik Verisa yang masih memejamkan mata, Lucky terus memanggil nama Verisa hingga ia mendengar gadis itu bergumam memanggil namanya. Sontak Lucky menepikan mobilnya dan mencoba menenangkannya.
“Ve, aku di sini,” ucap Lucky sambil menggenggam tangan Verisa.
Verisa membuka mata dan berkata pelan, “Kak Lucky, jangan pergi.”
Lucky hanya menatap Verisa sendu. Ia bisa melihat tatapan terluka Verisa. Gadis ini begitu rapuh dan Lucky selalu saja membuat gadis ini menangis. Dan, Lucky benci mendapati dirinyalah penyebab Verisa terluka seperti ini.
“Aku nggak akan pergi, Ve. Aku bakal tetap di sini. Sama kamu,” sebut Lucky, seraya tersenyum tulus dan mengusap kepala Verisa lembut.
Verisa mulai terisak pelan.
“Kalau gitu, kita ke rumah sakit dulu, ya? Aku khawatir kamu kenapa-napa,” ajak Lucky.
“Kita pulang aja, Kak,” pinta Verisa.
Lucky tersenyum menuruti kemauan Verisa.
***
“Kakak ... nggak jadi pergi ke luar kota?” tanya Verisa menghentikan langkah Lucky yang akan keluar dari kamarnya.
Lucky berbalik menatap Verisa, tersenyum, dan berkata, “Kamu istirahat aja.”
Verisa mengangguk patuh, lalu berbaring. Namun, ia sama sekali tidak bisa tidur. Pikirannya melayang ke kejadian di makam. Verisa benar-benar mengatakan semua yang dirasakannya pada kedua orang tuanya. Ia juga tidak tahu rasanya bisa sesakit itu ketika tahu hatinya sudah memilih orang itu.
“Aku kayaknya udah sayang sama Kak Lucky, Bu. Tapi, aku nggak bisa ngungkapinnya. Aku harus gimana?” jujurnya. “Dia bakal pergi malam ini dan aku nggak mau dia pergi. Aku takut, Bu, aku takut dia ... nggak balik lagi. Aku takut dia bakal pergi nyusul Ayah sama Ibu, dan ninggalin aku sendirian lagi di dunia ini. Aku nggak mau.” Verisa menangis di hadapan makan ibunya. Selama beberapa saat hanya itu yang dilakukannya setelah mengakui dan mengatakan isi hatinya.
Setetes air mata kembali jatuh ketika teringat kejadian tadi. Meski masih belum seyakin itu, tapi ia benar-benar mengakui perasaan yang tak bisa diungkapkan pada prianya itu. Prianya? Verisa mendengus dengan sebutan itu.
Pria itu, Lucky memang selalu ada di sisinya, bersamanya, menjaganya, tapi yang dilakukannya tidak lebih hanya sebatas janjinya pada Ayah dan Ibu. Juga hanya karena pekerjaannya. Sedangkan Verisa, ia di sini sudah bodoh karena sudah menggunakan perasaannya pada pria itu.
Ini pertama kalinya Verisa merasakan perasaan seperti ini. Menyukai seseorang. Karena selama ini hanya kedua orang tuanya yang sangat Verisa cintai. Yang Verisa tahu tentang orang yang menyukai orang lain, biasanya mereka akan merasakan bahagia. Itu juga yang teman-temannya pernah katakan padanya dulu, tapi kenapa Verisa merasakan hal yang berbeda? Menyukai seseorang, kenapa sesakit ini? Apa benar ini adalah perasaan suka?
Lucky adalah pria dewasa. Usianya mungkin sudah hampir tiga puluh. Dia juga tampan. Pasti banyak wanita yang menyukainya. Pria itu juga pekerja keras, baik, perhatian, dan selalu menepati janjinya. Verisa tidak melihat cela yang ada pada diri pria itu. Pria itu bahkan mungkin terlalu sempurna untuk Verisa.
Verisa mendengus meledek dirinya. Ia sadar, dirinya hanya gadis SMA yang masih labil. Bahkan ia masih belum yakin akan perasaannya sendiri. Gadis seperti Verisa, apakah mungkin pantas untuk disandingkan dengan Lucky? Meski kami sama-sama sebatang kara?
***
Lucky berlari sekencang mungkin ke kamar Verisa ketika mendengar gadis itu berteriak memanggil namanya. Ia melihat Verisa yang gelisah dalam tidurnya. Keringat juga memenuhi wajahnya.
“Ve, aku di sini. Bangunlah. Verisa, bangun,” ucap Lucky sambil mengusap keringat di wajah gadis itu.
“Kak, jangan pergi. Jangan pergi!” teriak Verisa bersamaan dengan matanya yang ikut terbuka.
“Aku di sini, Ve. Aku nggak pergi,” Lucky berkata seraya mengusap rambut Verisa lembut.
Verisa langsung menghambur kepelukan Lucky. Lucky bahkan merasakan begitu kencangnya Verisa memeluknya seolah menguncinya agar tidak pergi. Tapi, tak ingin membuat Verisa semakin takut, ia membalas pelukannya lembut sambil menepuk pelan punggungnya, menenangkannya.
Lucky mendengar gadis ini mulai terisak.
“Kamu mimpi buruk, hm?” tanya Lucky.
Verisa mengangguk.
“Itu cuma mimpi, Ve. Nyatanya, aku masih di sini, kan?” Lucky kembali berkata, membuat Verisa lagi-lagi mengangguk.
Lucky menarik diri dari pelukannya, menangkup wajah Verisa dengan ibu jari mengusap bekas air mata di pipi Verisa, lalu berkata,
“Kamu nggak perlu takut aku bakal pergi karena aku nggak akan pergi ke mana pun tanpa kamu. Aku udah janji sama kamu, kan? Jadi, itu yang aku lakuin.” Lucky tersenyum setelah mengatakannya.
“Tapi ... Kakak kan, mau pergi kerja ke luar kota,” ucap Verisa masih sesegukan.
“Memang. Seharusnya aku pergi malam ini, tapi kalau kamu nggak ngijinin aku buat pergi, aku nggak akan pergi,” sebut Lucky, seketika membuat Verisa lagi-lagi meneteskan air mata, terisak.
“Kenapa?” bingung Lucky. “Jangan nangis lagi, please. Aku nggak bisa lihat kamu nangis terus gini.”
Verisa tak mengatakan apa pun, gadis itu hanya menatapnya lekat dengan mata sendunya. Jarak yang cukup dekat itu membuat Lucky seolah terkunci di mata Verisa. Bahkan Lucky bisa melihat bayangannya di mata gadis itu.
“Aku nggak mau Kakak pergi karena ... aku takut Kakak nggak akan balik lagi,” aku Verisa pelan, membuat Lucky mendapati jantungnya berhenti sesaat sebelum berdetak lebih kencang.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
yesread
Kiyowooo~
2020-05-05
2
Neynakha Afiya
Galau dah Lucky
2020-05-04
2