Pagi itu, Lucky sengaja tidak pulang ke apartemennya karena setelah kepulangannya dengan Verisa dari liburannya di puncak semalam, Verisa masih sakit. Dan Lucky menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga Verisa dengan baik.
Ia sudah meminta Bi Minah menyiapkan sarapan pagi untuk Verisa, juga obatnya. Lucky hendak pergi ke kamar Verisa untuk mengecek keadaannya, tapi ia dibuat terkejut ketika ia melihat Verisa keluar dari kamarnya sudah rapi dengan seragam sekolahnya.
Lucky terbelalak kaget melihat Verisa di depannya. Sedangkan, Verisa sudah tersenyum menatap Lucky.
“Kamu udah ... baikan?” tanya Lucky, masih terkejut.
Lagi, gadis itu tersenyum dan mengangguk.
Ada desiran aneh di dada Lucky ketika melihat senyum itu. Keterkejutan yang aneh. Reflek tangan Lucky terangkat ke kening Verisa, memastikan, membuat Verisa mengangkat alis. Ya, panasnya sudah turun. Akhirnya Lucky mendesah lega.
“Aku baik-baik aja, Kak?”
Lucky tersenyum. “Aku khawatir kamu belum terlalu sehat untuk pergi ke sekolah hari ini. Makanya, tadi aku mau lihat keadaanmu karena kemarin kamu ....”
“Aku udah enakan sekarang, Kak,” potong Verisa seraya berjalan menuju meja makan.
Di belakangnya, Lucky mengikuti. Ketika Verisa duduk, Lucky juga ikut duduk di seberang tempat duduk
Verisa. Memerhatikan gadis itu.
“Ve, kamu yakin tetap mau berangkat sekolah?” Lucky kembali memastikan.
Verisa yang sedang mengolesi selai cokelat pada rotinya berhenti untuk menoleh pada Lucky. Lalu, mengangguk dan melanjutkan kegiatan mengoles selainya.
“Kamu masih sedikit pucat,” sebut Lucky, lagi-lagi menghentikan kegiatan sarapan Verisa dan kembali menatap Lucky.
Verisa mendesah pelan. “Ini tahun terakhirku di SMA, Kak.”
Lucky mengangguk.
“Udah berapa lama aku nggak masuk sekolah sejak kepergian Ibu. Dan sebentar lagi aku harus ngelewati ujian
kelulusan. Aku harus sekolah kan, biar aku bisa lulus?” alasan Verisa, membuat Lucky kembali mengangguk.
“Oke,” ucap Lucky. “Aku akan antar kamu ke sekolah. Sorenya, aku juga akan jemput kamu. Tapi, kalau ada apa-apa di sekolah nanti, kamu harus langsung hubungi aku, ya? Aku akan langsung datang. Kamu ngerti, kan?”
Kali ini Verisa membalasnya dengan senyum lebih lebar. “Siap, Kak Lucky.”
Ya, sebaiknya memang Verisa mulai berangkat sekolah. Mungkin dengan dia bertemu dengan teman-temannya, suasana hatinya bisa lebih baik. Dan, gadis itu bisa melupakan kesedihannya atas kehilangannya. Ya, seperti itu mungkin lebih baik.
Sesuai janjinya, Lucky akan terus menjaga Verisa. Membuatnya kembali tersenyum dan melupakan kesedihannya. Karena saat ini yang terpenting adalah senyum gadis itu. Entah mengapa, Lucky menjadi suka melihat senyuman manis gadis itu.
***
Turun dari mobil Lucky, Verisa masuk ke dalam sekolah setelah melambai singkat pada pria itu. Verisa sedikit mengernyit saat kepalanya sedikit terasa pusing. Ya, sebenarnya Verisa masih merasa sedikit pusing, meskipun demamnya sudah turun. Tapi, berada di dalam rumahnya sendiri dan tidak melakukan apa pun justru akan membuat Verisa semakin pusing.
Verisa menarik napas dalam hanya untuk diembuskan begitu saja. Berusaha bersikap tenang di hari pertamanya kembali ke tempat yang sebenarnya tak pernah ia sukai ini.
Ia terus berjalan ke arah kelasnya, ketika ia mendengar bisik-bisik dari beberapa anak seangkatannya dari kelas lain. Verisa tidak perlu berhenti untuk melihat siapa orangnya. Karena hanya ada satu dari sekian banyak anak yang akan senang berulah. Bahkan dia akan dengan habis-habisan melakukan apa yang ingin dia lakukan pada korbannya.
Jesy dan gengnya yang dikenal sebagai geng paling cantik dan populer di sekolah ini. Namun baginya, mereka hanyalah anak-anak pembuat onar yang sok cantik dan sok berkuasa.
“Anak sebatang kara itu udah masuk sekolah ternyata,” ucap teman Jesy yang memiliki rambut kriting panjang, dengan nada mengejeknya.
“Ya, aku kira dia udah bosan pergi ke sekolah. Aku udah nunggu saat-saat kayak gini, nih,” Jesy membalas, terdengar merendahkan.
“Kita buat anak itu nggak betah sekolah aja sekalian. Kayaknya bakal seru, tuh,” ucap teman Jesy lainnya, riang.
“Ide bagus,” Jesy menanggapi.
Verisa tahu mereka tidak akan tinggal diam, meski Verisa sangat ingin membekap mulut-mulut licik mereka yang sudah seenaknya mengatakan semua itu tentang Verisa, tapi ia tetap menahan diri dan tetap berjalan menuju kelasnya. Ia tidak mau mencari ribut di hari pertamanya masuk sekolah setelah berduka. Apalagi kondisinya memang belum terlalu sehat.
Ketika Verisa hendak masuk ke dalam kelasnya, dari belakang tasnya ditarik paksa oleh orang lain, membuatnya terjengkang dan jatuh ke lantai.
“Aww, sakit,” Verisa mengusap sikunya yang sedikit lecet, lalu menatap tajam pelaku yang menariknya tadi. Jesy.
Jesy dan teman-temannya tertawa lepas.
Verisa bangkit dari jatuhnya dan menatap Jesy dan teman-temannya.
“Apa? Kamu mau ngelawan?” tantang Jesy.
“Aku nggak mau buat masalah sama kamu. Jadi tolong, jangan ganggu aku dan pergi,” ucap Verisa tegas, tenang.
Jesy dan teman-temannya mendengus meremehkan. “Kalau aku nolak?”
Verisa berbalik mengabaikan mereka dan masuk ke kelasnya, meninggalkan mereka dengan desisan kesal mereka.
Selama beberapa saat Jesy dan teman-temannya tidak melakukan apa pun, tapi tidak sampai lima menit, Verisa mendengar suara Jesy kembali terdengar dengan lebih keras.
“Teman-teman, kalian tahu kan, di kelas ini ada anak yang udah nggak punya orang tua?”
Verisa melirik Jesy yang menyeringai ke arahnya.
“Aku dengar sih, anak itu juga yang nyebabin kematian orang tuanya. Karena sikap manjanya, dia bikin kedua orang tuanya pergi ninggalin dia selamanya. Mungkin orang tuanya juga udah capek ngurusin tuh anak. Makanya, orang tuanya sakit-sakitan dan mati deh.” Jesy mendengus mengejek.
“Jadi, hati-hati kalau berteman sama anak itu. Dia pasti anak pembawa sial. Kalian yang dekat sama dia, bisa aja ketularan sial atau mungkin mati,” Jesy menatap Verisa tajam, “sama seperti orang tuanya.”
“Stop!” teriak Verisa, bangkit dari duduknya dan menatap Jesy marah.
Jesy berhenti berbicara dan pergi ke kelasnya sambil tertawa puas bersama teman-temannya.
Verisa termenung, matanya memburam. Ia terduduk dan air mata jatuh ke pipinya. Bukan ini yang Verisa harapkan di hari pertamanya masuk sekolah. Kenapa hidup terasa begitu berat untuknya kini?
Tiba-tiba mimpi waktu itu di villa kembali berputar. Lalu, beralih ke kejadian saat ibunya kritis di rumah sakit karena sakit kanker yang sudah menggerogotinya. Berlanjut lagi ke kejadian dua tahun lalu, ketika ayahnya meninggal akibat kecelakaan karena ingin menghadiri pesta ulang tahun Verisa. Semua kejadian itu berputar bersama-sama di kepalanya. Membuat Verisa berteriak histeris dan menangis kencang.
Tidak peduli pada semua teman-temannya di sini, hatinya hancur mengingat semua kejadian itu. Mendadak kepala Verisa menjadi berat. Telinganya berdenging kencang. Tangannya terangkat untuk menjambak rambutnya sambil terus menangis kencang. Hingga ia merasa ada seorang yang datang memeluknya, menenangkannya.
Verisa tidak peduli. Ia tidak mau peduli pada apa pun. Ia benci semua ini. Ia benci hidupnya. Ia benci takdirnya.
***
Di kantor, perasaan Lucky mendadak cemas. Ia tidak bisa konsentrasi pada pekerjaannya. Pikirannya justru melayang pada Verisa. Apa gadis itu baik-baik saja di sekolah? Apa dia bisa kembali ceria bersama teman-temannya?
Lucky menatap jam di tangannya, masih pukul sepuluh. Sebentar lagi jam makan siang. Apa sebaiknya Lucky datang ke sekolah Verisa dan memastikan keadaan Verisa saja? Ya, mungkin sebaiknya seperti itu.
Akhirnya, Lucky memutuskan untuk pergi ke sekolah gadis itu. Dia bisa menunggu di luar sekolah, di pinggir jalan, atau di mana pun di dekat sekolah gadis itu hingga jam pulang sekolah Verisa.
Sampainya di depan sekolah Verisa, ia melihat sekolah itu masih sepi. Berarti anak-anak masih belajar di dalam kelas. Satu jam lagi jam makan siang, apa sebaiknya Lucky mengajak Verisa makan siang di luar saja?
Ia harus menunggu sampai jam istirahat dan meneleponnya. Atau mungkin ia bisa mengiriminya pesan lebih dahulu. Lucky mengetik pesan pada Verisa jika ia akan datang ke sekolah untuk mengajaknya makan siang di kafe dekat sekolah. Lalu, kirim.
Namun, tidak sampai lima menit, ia mendapat balasan dari Verisa, jika gadis itu tidak mau makan di luar. Kenapa? Dan bagaimana gadis itu bisa membalas pesannya ketika ini masih jam pelajaran? Anak itu benar-benar ....
Baiklah, Lucky tidak mau mengganggu jam pelajaran Verisa dengan membalas pesannya. Mungkin saja ia ingin makan di kantin dengan teman-temannya. Setidaknya ia tahu, jika Verisa tidak terluka karena kesedihannya. Dan Lucky bisa menunggunya di sini sampai jam pulang sekolahnya.
Ketika jam istirahat, dari mobilnya ia bisa melihat lapangan sekolah, kantin bergabung dengan taman kecil di sisi kiri gerbang dan parkiran di sisi kanan gerbang sekolah. Ia menyapu pandang, mencari sosok yang ingin dilihatnya.
Lucky mencoba mencarinya lagi dengan turun dari mobil dan berjalan ke sisi gerbang. Dari sini, ia bisa melihat Verisa yang sedang duduk sendiri di tempat duduk kecil di taman dekat kantin. Ia hanya memegang sebotol air mineral sambil termenung. Tepatnya melamun. Apa yang gadis itu pikirkan? Kenapa dia terlihat pucat dan muram? Apa sesuatu terjadi padanya? Tapi, Verisa sama sekali tidak menghubunginya jika memang sesuatu terjadi. Jadi, kenapa dengannya saat ini?
Lucky membuang napas berat. Ia ingin ke sana dan menanyakan semua pertanyaan yang ada di kepalanya, tapi ia tidak bisa masuk seenaknya. Ia ingin memberi ruang untuk Verisa kembali bersosialisasi dengan teman-temannya. Dan dari sini, Lucky hanya perlu menjaganya.
Namun, kenapa mata itu kosong dan senyum itu hilang dari wajah Verisa, ketika tadi pagi ia masih bisa tersenyum?
***
Ketika tadi pagi Verisa histeris sambil berteriak dan menangis, ia dibawa ke UKS oleh guru BK. Ia ditenangkan oleh guru BK, Ibu Maryati, hingga ia berhenti menangis. Bu Maryati sempat memintanya untuk menghubungi walinya saat ini, tapi Verisa menolak. Ia meminta pada Bu Maryati untuk tidak menghubungi siapa pun dan membiarkan Verisa istirahat di UKS hingga jam istirahat.
Verisa berterima kasih karena Bu Maryati mau berbaik hati menuruti kemauannya. Sebelum jam istirahat, Lucky sempat mengirim pesan padanya, menawari makan siang di luar. Namun, ia tidak mau melihat Lucky dalam keadaannya yang kacau seperti ini. Lagi pula, Verisa tidak napsu makan. Ia hanya ingin sendiri. Maka dari itu, ia membalas pesan Lucky, menolaknya.
Lima menit sebelum bel jam istirahat berbunyi, Verisa sudah keluar dari UKS untuk pergi ke kantin. Setidaknya jalan menuju kantin belum ramai jika Verisa ke sana lebih awal. Di kantin, ia hanya membeli air mineral, lalu pergi menuju bangku kecil di taman dekat kantin. Duduk termenung. Melamun.
Verisa mendengus. Meledek dirinya sendiri. Bahkan di sekolahnya, tidak ada teman yang mau mengajaknya berbicara karena status Verisa yang yatim piatu. Teman-teman yang dulu selalu bersamanya pun sama sekali tidak membantu ketika tadi pagi ia diganggu oleh Jesy dan teman-temannya. Ternyata semua tempat sama saja. Membuat Verisa muak. Di rumah, kenangan itu membuat Verisa lemah. Di sekolah, semua yang pernah dianggapnya teman, kini menjauhinya hanya karena status Verisa. Memuakkan.
Untuk apa dulu ia bersikap baik pada teman-temannya itu, ketika di saat terpuruknya, mereka justru pergi. Verisa merutuki kebodohannya yang mudah percaya pada orang-orang yang pernah ia anggap teman. Mereka benar-benar menjijikan. Aku benci mereka semua. Aku benci.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
yesread
siapa itu yang peluk peluk sama nenangin Verisa?
2020-04-25
2
Neynakha Afiya
Tenang verisa, masih ada aku yang temenin kamu
2020-04-24
2