Ending Scene
Gadis itu duduk termenung sendiri di depan sebuah nisan dengan air mata yang terus mengalir. Tatapannya kosong pada nisan yang bertuliskan nama ibunya, Risayu Ningsih. Ketika prosesi pemakaman itu selesai, gadis itu tidak menghiraukan pelayat atau siapa pun yang akan berpamitan padanya. Ia hanya duduk terdiam, mematung dengan tatapan kososng, masih tampak tak percaya dengan apa yang terjadi. Hingga Lucky, yang menjadi orang kepercayaan orang tua gadis itu, yang mewakili menemui pelayat yang akan berpamitan.
Lucky melihat gadis itu memejamkan mata, kembali menangis tanpa suara. Rasanya, hatinya seperti teriris melihat gadis kecil ini menangis pilu seperti itu.
“Nona Verisa,” panggil Lucky. “Sebaiknya Nona pulang karena sebentar lagi akan turun hujan,” beritahunya sambil mengambil tempat di belakang Verisa.
Gadis itu tidak menjawab.
Lucky merasakan tetesan kecil air jatuh di tangannya. Gerimis. Ia membuka payung yang dibawanya dan segera memayungi Verisa.
“Nona, jika Nona masih ....”
“Kenapa takdir begitu kejam sama aku?” tanya Verisa pelan, memotong kalimat Lucky. “Aku salah apa? Sampai aku diberi takdir kayak gini?” lanjutnya dalam isak.
“Nona ... tenanglah. Nona harus kuat,” Lucky mencoba menguatkannya.
Lucky terkejut ketika Verisa menoleh menatapnya. Terlihat jelas luka yang dalam dari mata cokelat gadis itu yang memerah. Lucky tak sanggup melihat lebih lama lagi mata itu.
Masih sambil memegangi payung di tangan kirinya, Lucky mengangkat tangan kanannya, memegang bahu Verisa dan membantunya berdiri seraya berkata,
“Kita pulang, Nona. Jika Nona Verisa tetap di sini, kita bisa kehujanan.”
“Kenapa aku?” ucap Verisa penuh kekecewaan, mengabaikan ajakan Lucky. “Kenapa aku!?” teriaknya penuh emosi.
Lucky tak mampu menjawab tanya Verisa. Ia tak tahu harus menjawab apa karena ini memang sebuah takdir. Ia sungguh tidak bisa melihat gadis ini tenggelam dalam sedihnya. Verisa kembali berlutut di depan makam, meremas tanah makan itu, dan kembali menangis, lebih keras kini.
“Kenapa Ibu tega pergi ninggalin aku sendiri? Kenapa ibu pergi nyusul Ayah tanpa aku?” luapnya penuh emosi. Verisa benar-benar masih belum bisa percaya dengan semua yang terjadi.
Verisa memeluk nisan ibunya dan berteriak memanggil ibunya. Berkali-kali. Ketika itu pula hujan turun begitu deras. Lucky berusaha memayungi Verisa supaya tidak kehujanan, tapi ketika Verisa semakin emosi, ia menarik payung di tangan Lucky dan membuangnya. Membuat air hujan kini mengguyur tubuh Verisa juga.
“Nona, tenanglah. Jangan seperti ini. Nanti Nona bisa sakit kalau hujan-hujanan begini,” ucap Lucky, tapi masih tidak dihiraukan Verisa.
Lucky tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa berdiri di belakang tubuh Verisa sambil menghalau hujan yang jatuh ke atas kepala Verisa dengan tangannya, menggantikan payung yang dibuang Verisa tadi. Melihat gadis itu terus saja menangis dan memanggil ibunya, Lucky mencoba kembali membujuknya,
“Nona, kumohon jangan seperti ini. Nona bisa sakit, nanti. Saya di sini untuk Nona, saya akan menjaga Nona dengan baik. Saya nggak akan meninggalkan Nona. Saya janji. Jadi, ayo pulang.”
Verisa menoleh menatap Lucky. Tatapannya begitu lemah. “Benarkah?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar jika Lucky tidak ada di belakang Verisa.
Lucky mengangguk mantap dengan senyum kecil, meyakinkannya.
Lalu, Verisa kembali menatap nisan ibunya dan berkata, “Aku sayang Ibu ... sama Ayah.”
Namun, ketika kalimat itu selesai diucapkan, Verisa jatuh tak sadarkan diri di atas makam ibunya.
***
Verisa merasa kepala dan matanya begitu berat ketika ia sadar. Selama beberapa saat ia hanya diam menatap langit-langit ruangan itu. Rumah sakit. Ketika ia mendengar suara pintu terbuka, ia tak perlu menatap siapa yang datang. Karena tidak ada yang lebih diharapkan Verisa lagi saat ini, selain orang tuanya yang sudah pergi meninggalkannya. Sendirian.
“Nona sudah sadar? Gimana kondisi Nona saat ini? Oh, saya panggil dokter sebentar,” rentet Lucky terdengar lega.
Lega? Mendengar itu, Verisa tidak ada niatan untuk menjawab Lucky.
Setelah dokter datang untuk memeriksa dan memberitahu keadaannya yang sudah membaik, dokter itu pergi meninggalkan Verisa dan Lucky. Selama beberapa saat tak ada yang berbicara. Sampai Verisa memanggil Lucky ketika pria itu akan keluar.
Lucky kembali menghampiri tempat tidur Verisa. “Ada apa, Nona?”
“Yang Kak Lucky bilang kemarin ... ke aku, itu ... benar?” Verisa memastikan ucapan Lucky tentang janjinya. Bahkan Verisa menatapnya lekat untuk melihat langsung dari ekspresinya.
Lucky mengangkat alis. “Kenapa Nona menanyakan itu?”
Verisa berusaha duduk, Lucky dengan sigap membantunya dan menyiapkan bantal di belakang Verisa untuk bersandar dan menekan tombol untuk menaikkan brankar ke posisi duduk. Verisa kembali menatap lekat ke mata Lucky.
“Kak Lucky tahu, aku sendirian sekarang. Aku nggak punya orang tua lagi. Aku juga nggak tahu gimana aku bisa hidup tanpa mereka ada di sampingku. Tapi, ketika kemarin Kak Lucky berjanji bakal jagain aku dan ada di sisiku, aku berharap aku benar-benar nggak sendirian lagi.” Mata Verisa terasa panas dan tenggorokannya seperti tercekat mengingat takdirnya yang sebatang kara. Ia menunduk dalam, tak mau memperlihatkan air matanya lagi.
“Saat aku sadar kalau aku udah nggak punya siapa-siapa lagi, rasanya aku nggak mau hidup lagi. Aku nggak bisa hidup sendirian.” Air matanya jatuh di tangannya. Namun, Verisa terkejut ketika Lucky justru menariknya ke pelukannya.
“Nona, jangan sedih terus. Yang Nona tanyakan tadi, itu benar. Saya berjanji pada Nona kemarin di makam kedua orang tua Nona, untuk ada di sisi Nona dan menjaga Nona. Saya bahkan sudah berjanji pada almarhum Pak Veri dua tahun lalu, jika saya akan menjaga perusahaannya untuk Nona, juga keluarganya dengan baik. Jadi, Nona jangan khawatir. Saya di sini untuk Nona,” ucapnya mantap.
Mendengar itu, Verisa merasakan kelegaan di hatinya. Setidaknya ia tidak benar-benar sendiri. Dalam pelukan Lucky, Verisa menyembunyikan tangisnya, hingga sesegukan, dan hingga rasa kantuk datang. Dan setelahnya, Verisa mungkin benar-benar tertidur. Di pelukan Lucky.
***
Entah berapa lama gadis ini menangis hingga tertidur di pelukannya. Lucky ikut merasa sedih melihat gadis kecil ini begitu sedih mendapati dirinya tak memiliki keluarga lagi. Namun, Lucky memang sudah berjanji pada Pak Veri dua tahun lalu, di hari sebelum Pak Veri meninggal, dan kemarin di depan makam kedua orang tua Verisa.
Setelah meletakkan Verisa kembali ke tempat tidurnya, membenarkan letak selimutnya. Lucky duduk di samping tempat tidur Verisa, ia mengamati lekat gadis kecil di depannya ini. Wajahnya yang pucat dan terlihat kurus, tapi tidak menghilangkan kecantikannya. Bahkan di usianya yang masih remaja ini, dia bisa begitu ... cantik. Dan manis.
Lucky seketika mengerjap dan mendengus geli akan pikirannya sendiri. Apa-apaan itu tadi?
Lucky menggelengkan kepalanya, berusaha melenyapkan pikiran tentang Verisa di kepalanya. Jika Verisa tahu, ia pasti akan merasa tidak nyaman. Tapi, Lucky masih tidak bisa mengalihkan tatap dari gadis itu?
Ketika Lucky melihat Verisa mengernyit dalam tidurnya, reflek ia berdiri dan mendekat pada Verisa. Mengangkat tangannya untuk mengusap lembut rambut gadis itu.
“Tenang, Nona Verisa. Tidur yang nyenyak.”
Selama beberapa saat, itu yang dilakukan Lucky, memastikan Verisa tidak mimpi buruk. Hingga ponselnya berbunyi. Pria itu menarik diri dari Verisa dan keluar dari ruang rawat untuk mengangkat teleponnya.
“Ya. Ada apa?” jawab Lucky setelah mengangkat telepon itu.
“Ada beberapa berkas yang harus Pak Lucky tanda tangani. Apa Bapak akan ke kantor atau saya antar berkasnya ke Bapak?” tawar Reni, sekretaris Lucky, dengan formal.
“Sepertinya pilihan kedua lebih baik. Saya ada di rumah sakit karena menunggui Nona Verisa. Kalau bisa, tolong sekalian bawakan baju ganti untuk Nona Verisa. Karena saya nggak bisa pergi ninggalin dia sendiri di sini,” pinta Lucky.
“Baik, Pak,” balas Reni.
Telepon terputus setelah Lucky mengucapkan terima kasih. Lalu, Lucky menghubungi orang lain lagi.
“Putra, bisa bantu aku?” tanya Lucky, ketika teleponnya diangkat oleh Putra, orang yang dipercaya Lucky dan yang sering membantunya di perusahaan.
“Ya, ada apa, Bro?” balas Putra di seberang sana, meninggalkan keformalan.
“Aku butuh informasi tentang kegiatan terakhir Nona Verisa di sekolah, di luar sekolah, atau apa pun sebelum Ibu Risa meninggal. Kabari aku secepatnya. Karena aku nggak bisa ninggalin Nona Verisa sendirian di rumah sakit,” perintahnya.
“Baiklah, Pak Bos. Aku akan melakukan tugasku dengan baik. Sampaikan salamku untuk Nona Verisa, ya. Semoga dia lekas sembuh,” ucap Putra tulus.
“Bakal aku sampaiin nanti kalau Nona Verisa udah bangun. Makasih.”
“Sama-sama, Ky. Toh, ini memang tugasku buat ngebantu kamu, kan? Jaga dirimu baik-baik,” kata Putra dalam dengusan gelinya.
“Aku bukan anak kecil, Kawan. Tapi, makasih.”
Lucky kembali ke dalam ruang rawat Verisa, melihat keadaannya, mengusap lagi rambut Verisa pelan, lalu berjalan ke arah sofa di ruangan itu dan mengambil laptop untuk mengecek pekerjaannya.
Lucky akan menjaga Verisa, juga perusahaan yang ditinggalkan ayahnya untuk dia. Ia berjanji.
***
Setelah mendapatkan kabar dari Putra tentang sekolah Verisa, kegiatan lesnya, bahkan tentang daftar nama teman-teman Verisa. Lucky mulai menjadwal itu semua. Dia harus mulai memerhatikan gadis itu dari setiap kegiatannya. Memastikan semua yang biasa gadis itu lakukan, akan kembali menjadi kegiatan rutinnya.
“Kak Lucky?” Panggilan itu datang dari Verisa.
“Nona butuh sesuatu?” Lucky berdiri dari sofa dan menghampiri Verisa.
“Kapan aku boleh pulang?” tanya Verisa.
“Sore ini Nona sudah boleh pulang, tapi Nona harus tetap istirahat di rumah, nanti,” beritahu Lucky. “Dan, tadi sekretaris kantor sudah membawakan baju ganti untuk Nona.”
Verisa mengangguk-angguk. “Dan ... bisa kan, panggil aku nama aja? Aku mendadak ngerasa kurang nyaman dipanggil kayak gitu, di mana Kakak sekarang yang ngurus semua kebutuhanku.”
Verisa mendengus pada dirinya sendiri.
“Biasain diri Kakak buat manggil aku tanpa kata Nona, hm? Juga, Kakak nggak perlu lagi bicara formal sama aku.” Lagi, Verisa menekankan.
Kini Lucky yang mengangguk. Sambil mengangsurkan tas jinjing berisi baju ganti pada Verisa, Lucky pamit keluar. Memberi ruang pada Verisa untuk mengganti pakaiannya.
Ketika Verisa sudah selesai, ia memanggil Lucky. Lucky merapikan barang-barang Verisa, memasukkannya ke dalam tas jinjing dan membawanya.
“Nona ... ah maksudku Verisa, apa kamu perlu menggunakan kursi roda untuk turun ke lobby rumah sakit?” tanya Lucky, masih agak canggung.
“Nggak perlu. Aku baik-baik saja.”
Mendengar jawaban Verisa, Lucky membukakan pintu untuk gadis itu dan setelahnya mengikuti Verisa di belakangnya. Berjaga-jaga, takut Verisa masih belum cukup kuat untuk berjalan hingga ke parkiran.
Sampai di samping mobilnya, Verisa tiba-tiba berhenti dan berbalik untuk menatap Lucky.
Lucky hanya mengangkat alisnya sebagai pertanyaan.
“Boleh aku ... mampir sebentar ke makam Ayah dan Ibu?” pintanya pelan.
“Apa ini nggak terlalu sore, Verisa? Kamu masih harus istirahat sampai tubuhmu benar- benar ....”
“Sebentar aja,” pintanya dengan wajah memelas, memotong perkataan Lucky.
Lucky mendesah berat, mau tak mau mengangguk. Ia membukakan pintu mobil untuk Verisa, lalu membuka pintu belakang untuk meletakkan barang-barangnya, sebelum berlari memutari mobil dan duduk di kursi kemudi.
Selama perjalanan tidak ada yang berbicara, tapi Lucky sesekali mencuri pandang pada Verisa yang memandang ke arah jendela dengan tatapan kosong. Gadis ini, kenapa melihatnya seperti ini membuat Lucky merasa sakit?
Melihat air matanya kemarin pun, Lucky seperti tersayat. Menyakitkan.
Ia berjanji, ia akan mengembalikan kebahagiaan gadis kecil ini.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Meli_Melati
hallo kakak yang ganteng and cantik jangan lupa y buat mampir di karya aku yang judulnya " Bersama Denganmu menuju pelaminan "
2020-04-20
2
Elang Putih
Hallo Thor, udah aku like dan kasih rate 5 ya,..
feedback dan tinggalkan jejak di "mantan, i'm still loving you"
aku tunggu kedatanganmu 🤗
2020-04-20
1