Jalan-Jalan

“Kenapa sepagi ini sih, Kak?” geram Verisa dengan suara serak karena masih mengantuk. Pasalnya Lucky meminta Verisa bersiap segera. Bahkan ini masih jam ... ah, entahlah Verisa tak sempat melihat jam karena masih sangat mengantuk. Ia bahkan tidak mengganti kostum tidurnya. Hanya menarik jaket dari lemarinya dan memakainya di atas baju tidurnya.

“Saya sudah mengingatkanmu kemarin, kan?” balas Lucky, ketika akan melajukan mobilnya. “Jangan lupa seat belt-mu,” Lucky mengingatkan.

“Hmm!” gumam Verisa dengan terlalu ketus, tapi ia tak melakukan apa yang diingatkan Lucky. Bahkan masih dengan mata terpejam. Verisa terlalu malas untuk mengangkat tangannya dan rasa kantuknya masih sangat mendominasi di sini.

Namun, tak lama ia seperti merasakan seseorang berada di hadapannya. Benar-benar di hadapannya dengan sangat dekat. Ia membuka mata dan terkejut karena Lucky mencondongkan tubuhnya ke arahnya. “Ap-apa yang ....”

“Saya sudah mengingatkanmu barusan.” Lucky sudah memasangkan seat belt untuknya.

“Ish, mendadak dengar cara Kakak ngomong bikin aku kesal,” desisnya.

Apa yang pria ini lakukan benar-benar mengagetkan Verisa saja. Dia bahkan sudah mengatakan ‘sudah mengingatkan’ sebanyak dua kali dalam lima menit. Benar-benar persis seperti alarm.

 “Selama perjalanan, kamu boleh melanjutkan tidurmu. Nanti, saya bangunkan kalau sudah sampai tujuan,” beritahu Lucky yang kemudian melajukan mobilnya.

Ide bagus. Pagi-pagi buta seperti ini memang masih waktunya untuk tidur. Tidak peduli Lucky mau membawanya ke mana. Yang Verisa butuhkan saat ini hanya tidur. Karena beberapa hari lalu, Verisa sama sekali susah tidur. Dan ketika, ia baru bisa tidur dengan nyenyak, ia harus diganggu dengan perjalanan pagi-pagi buta seperti ini.

Terserah pada Lucky saja. Ia yang mengajak Verisa jalan-jalan sebelum masuk sekolah. Verisa pikir, ia butuh itu untuk sedikit menghilangkan bayangan atas kenangannya bersama orang tuanya. Juga, ia ingin sejenak meninggalkan rumah itu. Karena rumah itu jugalah yang menyimpan banyak kenangan.

Ah, sebaiknya Verisa harus benar-benar tidur. Matanya masih terasa berat dan alam mimpinya sepertinya sudah memanggil untuk membawanya ke sana. Namun, ketika ia sudah mulai lelap, Verisa sempat merasakan gerakan lembut tangan di atas kepalanya. Lucky.

Usapan lembut tangan pria itu bahkan membuatnya enggan membuka mata untuk protes. Ia justru merasa semakin

lelap, semakin nyaman. Karenanya, ia benar-benar tenggelam dalam mimpinya.

***

Lucky melirik ke samping kiri, melihat Verisa yang sudah tertidur dengan kedua telapak tangan terpaut dan menjadi bantal di pipinya. Tadinya Lucky akan terus mengemudi sampai tujuan, tapi Lucky tidak tega melihat gadis ini tidur dalam posisi duduk di kursinya. Jadi, sesaat setelah mobil melaju di jalanan, Lucky menunggu sampai Verisa benar-benar lelap. Karena, jika Lucky terus menerus meminta Verisa melakukan sesuatu di saat seperti ini, meski ini untuk kebaikannya,  Lucky bisa menjamin Verisa akan marah padanya.

Lucky sempat memastikannya dengan mengusap lembut puncak kepala gadis itu. Tidak ada respon gerakan. Maka, Lucky menepikan mobilnya, dan mengubah posisi kursi Verisa menjadi lebih turun, supaya tidurnya lebih nyaman.

Kurang lebih satu jam perjalanan, dari ia menjemput Verisa di rumahnya jam empat pagi tadi. Lucky sudah sampai di tempat yang ia tuju. Sebuah bukit di daerah puncak. Ia bersyukur karena berangkat pagi, ia tidak terjebak macet. Justru sampai dengan lebih cepat. Lucky turun lebih dulu untuk melihat sekeliling, sambil mencari tempat yang tepat untuk mereka duduk.

Ketika Lucky sudah mempersiapkan semuanya. Bahkan ia sudah menggelar tikar. Menyiapkan bekal sarapan, sepaket dengan termos air panas. Ia beranjak ke mobil untuk membangunkan Verisa. Dengan lembut Lucky mengusap rambutnya sambil memanggil nama gadis itu.

“Ve, kita sudah sampai. Bangunlah. Verisa.” Lucky memanggilnya hingga beberapa kali. Sampai Verisa menggeliat dalam tidurnya dan merapatkan jaketnya.

“Bangun sebelum terlambat,” Lucky berkata, membuat Verisa memicingkan matanya.

“Kita di mana?” tanya Verisa serak.

“Nanti kamu akan tahu. Ayo turun,” ajak Lucky. Ia membantu membuka seat belt-nya dan menuntunnya turun dari mobil. Verisa masih sedikit sempoyongan ketika berjalan menuju tempat yang Lucky siapkan.

Setelah membawa Verisa duduk di atas tikar itu, Lucky kembali ke mobil untuk mengambil selimut.

“Pakai ini, biar kamu nggak kedinginan,” ucap Lucky sembari menyelimuti Verisa.

“Sebenarnya, ini di mana?” tanya Verisa sambil menarik rapat selimut pemberian Lucky.

“Di puncak.” Verisa menoleh menatap Lucky untuk bertanya lagi. “Untuk apa kita ke sini? Pagi-pagi buta begini lagi.” Suara Verisa terdengar ketus.

“Piknik,” sebut Lucky, singkat.

Verisa mengangkat alis, heran.

“Sepagi ini? Piknik?” Gadis itu mengulangnya dalam tanya, tepatnya mungkin heran.

Lucky mengangguk. “Tunggu sebentar lagi. Kamu akan takjub melihat yang satu itu.”

Verisa memutar mata, menanggapinya.

***

Tak berselang lama dari yang dikatakan Lucky. Di depan sana, Verisa bisa melihat sorot terang yang baru muncul ke permukaan. Warna oranye yang begitu terang, membuat langit yang tadinya gelap, kini mulai berubah.

“Woaaa ....” Verisa tidak bisa menutupi kekagumannya. “Itu ... indahnya.”

Selama beberapa saat Verisa hanya fokus pada pemandangan indah di depannya. Ia bahkan mengabaikan komentar Lucky tentangnya, sampai Lucky menyodorkan teh hangat di depan Verisa.

Alis Verisa berkerut, lalu menatap Lucky yang tersenyum menatapnya.

“Udaranya masih cukup dingin, omong-omong. Jadi, minumlah,” ucap Lucky.

Verisa menerima gelas berisi teh hangat itu dan berkomentar, “Kak Lucky benar-benar berniat piknik pagi-pagi buta begini?”

Lucky tertawa pelan menanggapi komentar Verisa, membuat Verisa mendengus geli. Apa maksud tawa itu? Harusnya ia yang tertawa karena ide piknik pagi-pagi seperti ini. Sangat tidak biasa. Tidak masuk akal mungkin. Memang pemandangan di depan sana sangat menakjubkan, tapi dengan judul piknik, sepertinya tidak cocok.

“Kalau kamu lapar, saya juga sudah bawakan sarapannya,” tawar Lucky, lagi-lagi, membuat Verisa melongo, tidak

percaya.

Namun, Verisa menatap kotak makanan yang Lucky letakkan di hadapannya juga. Niat sekali pria ini hingga membuat semua acara ini. Verisa kira, ia hanya akan membawanya melihat semua ini tanpa persiapan seperti itu. Tapi, ini ....

“Kapan Kak Lucky nyiapin ini semua?” Verisa penasaran juga.

“Bi Minah yang menyiapkan,” ucap Lucky cepat.

Verisa mengangguk-angguk, lalu kembali menatap ke depan. Namun, ia mengernyit ketika sinar matahari pagi itu seperti menyolok matanya.

“Mungkin sebaiknya kita pergi ke tempat lain,” usul Lucky seraya berdiri.

Verisa mendongak menatap Lucky yang sudah berdiri dengan alis terangkat, bertanya dengan alisnya.

Seolah Lucky mengerti maksud Verisa, pria itu menjawab, “Ke villa milik ayahmu. Sepertinya kita butuh istirahat dan mengisi perut di sana.”

Ketika Verisa hendak berdiri, tiba-tiba ia menatap pakaiannya dan berseru kaget. “Ya ampun! Aku nggak bawa baju ganti.”

Lagi, Verisa menoleh menatap Lucky dengan tatapan ngeri dan malu. Masa iya, Verisa harus mengenakan pakaian

ini seharian?

“Aku sudah mengantisipasi hal itu, jadi kamu nggak perlu khawatir. Aku juga sudah meminta Bi Minah menyiapkan

beberapa pakaianmu,” beritahu Lucky membuat Verisa mendesah lega.

“Ayo, kita pergi.” Lucky mengulurkan tangannya untuk membantu Verisa berdiri.

Verisa menerima uluran tangan Lucky dan berjalan menuju mobil. Sementara Lucky membersihkan perlengkapan piknik itu. Melihat Lucky repot-repot melakukan ini semua, Verisa tersenyum juga. Kenapa pria itu harus melakukan ini?

***

“Kenapa Kak Lucky ngelakuin semua ini?” tanya Verisa tiba-tiba, ketika Lucky akan menggunakan celemek. “Eh, Kakak mau masak?” kaget Verisa, bahkan sebelum pertanyaan awalnya Lucky jawab.

“Saya harus jawab yang mana dulu?” Lucky mendengus geli.

Verisa melengos seraya duduk di ruang makan. “Terserah.”

Lucky tersenyum, lalu menjawab, “Untuk pertanyaan kedua, iya, saya akan masak. Hanya menambahkan menu sarapan piknik tadi. Dan untuk pertanyaan pertama, karena saya sudah janji sama orang tuamu untuk menjagamu.”

Verisa terdiam ketika mendengar jawaban Lucky. Apa gadis ini tidak suka dengan yang Lucky lakukan untuknya? Niatnya hanya ingin menghibur Verisa supaya tidak sedih lagi. Namun, kenapa justru gadis ini terlihat sedih?

“Kamu nggak suka dengan yang saya lakukan ini?” Lucky mempertanyakan rasa penasarannya.

Tapi, Verisa tidak menjawabnya.

Tidak sabar, Lucky kembali bertanya, “Kamu marah pada saya?”

Verisa mendongak menatap Lucky dan tatapan mereka bertemu. Tatapan mata Verisa terlihat tidak menyukai apa yang dilakukannya. Apa Lucky terlalu lancang dan berlebihan bersikap pada Verisa?

“Ve ....”

“Ya, aku nggak suka!” tegas Verisa, membuat Lucky terkejut. “Lama-lama aku nggak suka dengar Kakak ngomong pakai bahasa kaku kayak gitu sama aku. Aku bukan rekan kerja Kakak di kantor atau Ayah sekalipun. Harusnya Kakak bisa bersikap biasa aja dong, nggak harus seformal itu,” rentet Verisa seraya mendengus kesal.

“Saya cuma ... bersikap selayaknya ... pegawai dengan pemilik,” balas Lucky, terbata. Ia jelas masih terkejut. Jadi, Verisa marah bukan karena sikapnya yang berlebihan, tapi karena cara bicaranya.

Verisa mendesah berat. “Terus, ini apa?”

Lucky mengerutkan kening bingung dengan tanya Verisa. “Maksudmu?”

“Kakak nggak lagi lupa sama janji Kakak sama aku, kan?” Verisa menatap Lucky yang menggeleng pelan sebagai jawabannya. “Apa pegawai boleh seenaknya ngajak anak bosnya pergi pagi-pagi buta begini?”

Lucky terbelalak mendengar tanya itu.

“Semenjak Kak Lucky berjanji sama aku waktu itu, aku udah nggak anggap Kakak sebagai pegawai Ayah lagi. Tapi, aku berusaha percaya sama janji Kakak yang bilang kalau Kakak mau jagain aku kayak keluargaku sendiri.

“Dengan kenyataan aku udah nggak punya keluarga lagi. Dan waktu itu, Kakak seolah kasih aku harapan, aku cuma bisa berharap. Kakak nggak akan bohong,” aku Verisa.

Lagi, Lucky terbelalak karena pengakuan Verisa itu.

“Pokoknya, aku nggak mau lagi dengar Kak Lucky ngomong pakai bahasa kaku itu lagi. Biasain Kakak anggap aku kayak ... keluarga Kakak juga,” putusnya dengan tatapan tajam ke arah Lucky. Membuat Lucky seketika tersenyum haru.

Akhirnya, Lucky mengangguk sebelum berkata, “Makasih, Ve.”

Verisa pun mengangguk mantap. “Ya udah. Buruan masaknya. Aku udah mulai lapar, nih,” usir Verisa sambil mengibas tangannya. Tapi, Lucky bisa melihat pipi gadis itu memerah dan tampak salah tingkah dengan memalingkan wajahnya.

Gadis itu tidak benar-benar marah padanya. Gadis itu benar-benar lucu. Sepertinya, pagi ini Lucky yang diberi kejutan oleh gadis itu. Kejutan yang tak pernah ia bayangkan.

Sambil mulai dengan kegiatan masaknya, di kepala Lucky masih terus terngiang kata-kata Verisa tadi. Seketika itu ia tersenyum.

“Kakak mau masak apa?” tanya Verisa yang tiba-tiba sudah ada di sebelahnya.

Lucky menatap gadis itu yang juga sedang menatapnya lekat. Matanya masih sangat jelas memancarkan kesedihan dan kerinduan. Memang tidak akan mudah melupakan kenangan indah bersama orang yang sangat disayangnya itu. Lucky bisa mengerti perasaan Verisa saat ini.

Bahkan gadis itu pun sudah berusaha cukup keras untuk menerima takdir ini. Lucky hanya harus membantu Verisa mengembalikan kebahagiaannya lagi. Karena yang Lucky tahu dari setiap kehilangan adalah kesepian. Kosong. Hampa. Setidaknya, Lucky akan selalu ada di sampingnya dan menjaganya.

Lucky tersenyum pada Verisa.

“Aku masak omelet. Kamu mau makan pakai menu omelet buatanku atau sandwich buatan Bi Minah?” tawar Lucky.

Verisa yang sedikit terkejut menjawab asal. “Karena aku lapar, apa aja boleh deh.”

Lucky mengacak pelan rambut Verisa gemas. Lalu, benar-benar memulai kegiatan memasaknya dengan lebih fokus. Entah mengapa, melihat Verisa fokusnya menjadi sedikit terganggu. Benar-benar pemikiran yang bodoh.

Selesai memasak dan menyandingkan beberapa menu di meja makan, Lucky menawari Verisa,

“Makanlah dulu, ya. Aku mau beresin dapurnya dulu,” pamit Lucky. Namun, Lucky urung berbalik saat Verisa memanggilnya.

 “Hmm?” gumam Lucky, menoleh pada Verisa.

“Apa Kak Lucky nggak mau makan bareng sama aku?” tanya Verisa pelan.

“Kamu mau aku juga makan sama kamu?” Lucky bertanya balik.

“Apa Kak Lucky nggak bisa jawab aja dan bukannya nanya balik?” dengus Verisa sambil mengerucutkan bibir.

Verisa benar-benar polos dan lucu. Di saat hatinya masih diselimuti kesedihan, dia masih bisa memikirkan orang lain juga. Lucky baru sadar, jika Verisa menuruni sifat Pak Veri, ayah gadis itu.

Dan ternyata, Verisa pun tidak sependiam sebelumnya. Lucky tidak bisa berhenti berharap agar gadis kecil itu bisa kembali bahagia, kembali dengan kehidupan normalnya tanpa kesedihannya. Lucky berjanji, senyum gadis itu akan terus tersungging di wajah cantiknya.

***

“Sebenarnya Kakak mau bawa aku ke mana lagi, sih?” tanya Verisa, penasaran.

“Nanti juga kamu bakal tahu.”

Dari setiap Verisa menanyakan tujuan kepergian mereka itu, Lucky hanya menjawab ‘nanti juga kamu bakal tahu’. Bagaimana Verisa bisa tahu, jika Lucky tidak mengatakannya? Apa pria itu sedang menculiknya?

Oh, yang benar saja. Memang apa susahnya menjawab tempat tujuannya dan membuat Verisa tidak banyak bertanya karena penasaran? Pria di sampingnya itu benar-benar membingungkan?

Dengan tangan bersilang di depan dada, Verisa melengos kesal, menatap jendela mobil sambil melihat pemandangan yang dilewatinya. Terserah pria itu saja. Verisa sudah tidak peduli mau dibawa ke mana pun olehnya. Toh, pria itu bilang Verisa akan segera tahu. Ya, ia akan tahu jika sudah sampai lokasinya. Dan Verisa tidak tahu berapa lama lagi ia akan tahu lokasinya karena Lucky dengan seenaknya tidak mau memberitahukannya.

Kesal, Verisa memilih untuk memejamkan mata. Malas menatap pria yang sedang mengemudi mobil ini, juga malas jika nanti Lucky banyak bertanya padanya. Membuat mood Verisa memburuk saja.

Ah, bahkan ini sudah sangat buruk baginya. Ketika tadi pagi ia kesal dengan cara bicara Lucky yang terlalu kaku, kini pria itu semakin seenaknya saja. Terima kasih pada masakan Lucky yang lumayan enak dan membuat Verisa menghabiskan semuanya. Ya, benar-benar semuanya. Hingga kini rasanya, ia mulai mengantuk lagi.

Sepertinya karena kekenyangan membuatnya ingin memejamkan mata lagi. Itu ide yang lebih baik dari pada harus berbincang dengan pria membingungkan di sebelahnya itu.

Verisa mengembuskan napas berat, sebelum akhirnya ia memejamkan mata.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!