Sore itu, Verisa tak bisa menahan rindunya ingin kembali menemui ibu dan ayahnya, tepatnya ke makam kedua orang tuanya. Sejujurnya, Verisa masih tidak bisa percaya dengan takdir yang menimpa hidupnya ini, tapi inilah kenyataannya. Verisa tak bisa melawannya.
Ia meminta Lucky untuk tetap menunggunya di parkiran, sementara ia pergi ke dalam area pemakaman. Sendirian. Beralasan ia hanya ingin melepaskan rindunya bertiga saja dengan kedua orang tuanya. Tanpa orang lain. Dan Lucky menurutinya.
“Ayah, Ibu, apa kalian bahagia di sana?” Pertanyaan pilu pertama Verisa saat sudah berada di antara kedua makam orang tuanya. Bahkan ia sendiri bisa mendengar getar dalam suaranya.
Namun, Verisa berusaha tegar dan tidak mau menangis. Ia mendongakkan kepalanya dan mengambil napas dalam
sebelum berkata lagi,
“Jujur ... aku benci keadaan ini, Ayah, Ibu. Aku benci sendirian. Aku masih belum percaya kalau kalian pergi secepat ini ninggalin aku. Setelah Ayah, sekarang Ibu juga. Aku ngerasa ... nggak akan sanggup ngejalanin semuanya sendiri.”
Verisa menatap nisan ibunya. “Kalau aku sedih nanti, siapa yang akan ngehibur aku? Kalau aku punya masalah di sekolah, siapa yang akan jadi tempat ceritaku?” Tatapannya beralih ke makan ayahnya, “Dan ... kalau aku menikah nanti, siapa yang akan mewalikanku?”
Air mata Verisa jatuh juga, bersamaan dengan tubuhnya yang jatuh terduduk. Dalam benaknya, ia tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Bahkan secepat ini, tapi lagi-lagi, inilah takdir. Verisa tidak bisa memilih atau melawannya. Sungguh takdir yang tak pernah Verisa harapkan.
Verisa kembali berdiri dan menatap nisan kedua orang tuanya bergantian. Ia menarik napas dalam sebelum berkata,
“Ayah ... Ibu ... aku udah putusin kalau hari ini adalah hari terakhirku jadi diriku sebelumnya. Aku bakal ngelupain kebiasaanku sama kalian. Aku akan berubah. Aku akan ... ngelupain kalian. Jadi ...” Verisa menarik napas dalam, “maaf.”
Setelah mengatakan itu dengan sangat berusaha menahan sesak di dadanya, ia pergi meninggalkan makam itu. Dengan hati yang berat.
***
“Kamu nggak apa-apa, Verisa?” tanya Lucky setelah melihat Verisa kembali dari makam dan langsung masuk ke dalam mobil tanpa mengatakan apa pun.
Lucky hanya mengikuti Verisa dan ikut masuk ke dalam mobil. Sesaat ia menatap Verisa yang tetap diam menghadap jendela, ia urung bertanya. Gadis itu pasti masih sangat sedih. Ia bisa melihat jejak air mata yang masih membekas di pipinya. Juga, matanya yang memerah. Nanti ia akan mengajaknya bicara ketika gadis itu sudah lebih tenang.
Dengan pikiran itu, Lucky melajukan mobilnya menuju rumah Verisa.
Sesampainya di rumah, gadis itu langsung turun. Masih tidak mengatakan apa pun pada Lucky. Ia menatap Verisa heran, kenapa Verisa menjadi sangat diam seperti itu?
Khawatir gadis itu akan melakukan hal yang tidak terduga, Lucky segera mengikutinya. Ketika gadis itu masuk ke kamarnya, Lucky hampir menyusulnya. Namun, Verisa justru membanting pintunya, tepat di depan wajahnya, membuatnya terkejut.
Lucky ingin memastikan Verisa tidak melakukan hal bodoh di dalam kamarnya. Ia khawatir jika Verisa ... ah tidak, jangan berpikir buruk tentang gadis itu. Ia yakin Verisa tidak akan melakukan hal sebodoh itu, tapi jika sampai sesuatu terjadi di dalam ....
Pikiran tentang Verisa benar-benar membuatnya khawatir. Apa sebaiknya ia menerobos masuk ke dalam? Tidak, Verisa pasti akan sangat marah.
“Verisa,” panggil Lucky akhirnya, sambil mengetuk pintu kamar itu. “Boleh saya masuk?” ijinnya.
Selama beberapa saat tidak ada jawaban dari dalam. Lucky semakin khawatir. Apa ia masuk saja dan ....
Pintu terbuka sedikit. “Aku mau istirahat, Kak,” Verisa berkata datar, lalu menutup pintunya lagi. Namun, Lucky sempat menahan pintu itu.
“Tunggu sebentar!”
Verisa hanya menatap Lucky, datar.
Lucky mendesah pelan. “Oke. Saya akan minta Bibi menyiapkan makan malam. Kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa memanggil saya. Saya akan tetap di rumah ini sampai nanti malam,” beritahu Lucky dengan senyum tenangnya.
Verisa mengangguk pelan, lalu kembali menutup pintunya. Masih tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir gadis itu.
Lucky hanya bisa mendesah berat menanggapinya. Butuh waktu untuknya bisa memahami gadis itu. Selama ini, Lucky hanya sibuk mengurusi perusahaan ayah Verisa. Ia tidak terlalu sering bertemu dengan gadis itu, berbincang pun tidak pernah. Hanya sapaan saja, itu pun jika mereka bertemu. Mungkin, sebaiknya ia bertanya pada Bi Minah tentang keseharian Verisa.
***
Dengan enggan Verisa keluar menuju ruang makan, ketika Lucky memanggilnya untuk makan malam. Jika tidak, pria itu justru akan membawa makan malamnya ke kamar. Dan Verisa tidak suka ada orang lain, terutama pria asing yang masuk ke kamarnya sembarangan.
“Apa kamu sudah ngerasa lebih baik, Verisa?” tanya Lucky ketika Verisa baru duduk di kursi di ruang makan.
“Aku baik-baik saja,” balasnya datar.
Verisa melirik Lucky yang duduk di seberangnya. Tidak ada piring di hadapannya. Apa ini makan malamnya sendiri? Lalu, untuk apa pria itu memanggilnya dan hanya duduk menungguinya di sini?
Ia melihat menu makanan yang Bi Minah siapkan. Semua makanan kesukaannyaa, tapi malam ini ia sama sekali tidak nafsu makan.
“Kenapa? Bukannya ini semua makanan kesukaanmu?” tanya Lucky.
Verisa menggeleng, lalu mengangguk. Enggan menjawab, tapi akhirnya ia mengambil setengah centong nasi dan udang saus tiram kesukaannya.
Ketika ia memasukkan sesuap makanan ke mulutnya, Verisa mengerutkan kening, lalu meletakkan sendoknya. Makanan ini enak, tapi kenapa makanan ini justru terasa hambar di mulutnya?
“Kenapa lagi, Verisa? Ada yang aneh dengan rasa makanannya?” tanya Lucky, cemas.
“Rasanya hambar,” sebutnya.
Lucky mengambil sendok dan mencobanya. “Ini enak. Nggak hambar,” beritahu Lucky.
Verisa melengos, tidak mau menanggapi. Karena memang kenyataannya makanan ini tidak hambar. Lidahnya saja
yang hambar.
“Kamu butuh sesuatu, Ve? Oh maaf, maksudku Verisa,” ralat Lucky.
“Ve? Lebih enak didengar, sih. Aku nggak masalah sama panggilan singkat itu. Dan sekarang, aku mau balik ke kamar,” Verisa berkata, masih datar. Ia berdiri hendak kembali ke kamarnya, tapi Lucky sudah menahan tangannya.
“Apa kita bisa bicara sebentar?”
“Aku lagi nggak mau ngomongin hal apa pun. Jadi ...” Verisa menatap tangan Lucky yang masih menahan tangannya, “lepasin tangan Kak Lucky. Tolong.”
Lucky melepaskannya. “Tapi, seenggaknya habisin makananmu dulu dan minum obatnya. Biar kamu cepat sembuh.”
Verisa menatap Lucky sekilas. Tapi, tidak menuruti perkataan Lucky. Verisa justru pergi ke kamar, meninggalkan pria itu.
Di atas tempat tidurnya, Verisa duduk bersandar sambil menekuk lutut. Untuk saat ini, Verisa sungguh ingin sendiri. Meski ia tidak ingin benar-benar sendirian, sebenarnya.
Ketika Lucky berjanji untuk ada di sisinya dan bertanggung jawab atas hidupnya sebagai pengganti orang tuanya, Verisa sedikit merasa lega. Tapi, ada rasa aneh yang ia rasakan juga. Dan entah apa. Mungkinkah itu rasa harapnya karena ada Lucky di sini sebagai pengganti orang tuanya?
Ia tahu siapa Lucky. Ayah pernah bercerita tentang bagaimana Lucky bisa menjadi orang kepercayaan ayahnya di perusahaan. Ketika Lucky masih menjadi karyawan biasa di perusahaan Ayah yang masih dirintisnya, Ayah pernah hampir ditipu dan dicurangi oleh rekan kerjanya sendiri. Saat itu Lucky sempat melihat bagaimana rekan kerja Ayah melakukan kecurangan itu di belakang Ayah. Hingga suatu ketika dalam rapat penting para pemegang saham, rekan kerja Ayah memberikan bukti palsu tentang kecurangan Ayah di perusahaan. Sehingga Ayah terancam dipecat dan dipidana.
Namun, tepat sebelum Ayah di seret keluar ruang rapat atau bahkan kantornya sendiri, Lucky datang dengan membawa bukti rekaman jika Ayah tidak bersalah. Dari situlah, Ayah percaya pada Lucky. Dan kini memercayakan perusahaan di tangannya setelah Ayah meninggal.
Mengingat bagaimana Lucky berjanji kemarin, bahkan pria itu mencoba menguatkannya, memeluknya dengan tulus hingga Verisa tertidur. Verisa sedikit merasa bersalah karena bersikap kurang baik pada pria itu sejak sore tadi. Ia hanya ingin tidak terlihat lemah. Mencoba untuk kuat dan menerima semua takdirnya. Meski hatinya hancur.
Ia masih mengingat perkataan Ayahnya ketika ia masih SMP dulu,
“Takdir itu selalu tertulis baik untuk setiap manusia, Ve. Entah itu hal buruk sekalipun, itulah takdir yang Tuhan catat untuk makhluknya. Yang perlu manusia lakukan hanya bersyukur dan jalani. Tanpa penyesalan. Karena hidup hanya sekali. Jadi, jangan pernah sia-siakan hidupmu.”
Dengan pesan itu, Verisa menguatkan diri untuk menerima takdirnya, meski terasa sangat menyakitkan. Tapi, Ayah bilang hidup hanya sekali dan tidak boleh di sia-siakan. Jadi, dengan keputusan Verisa kemarin di depan makam orang tuanya, ia akan menerima hidupnya saat ini. Ia akan menjalaninya dengan cara melupakan semua kenangan bersama keluarganya. Meski itu akan sulit juga baginya, tapi ia tidak sanggup jika terus terbayang ayah dan ibunya ketika ia sudah tidak memiliki mereka lagi.
Itu keputusannya. Ia akan mulai menjalaninya.
***
Lucky sempat terkejut, ketika pagi itu Verisa memintanya untuk melepaskan semua foto keluarga yang terpajang di rumah Verisa. Gadis itu tak mengatakan alasannya kenapa, tapi ia bilang ia hanya ingin melepaskannya dan menyimpannya.
“Apa kamu yakin, nggak apa-apa kalau nggak ada fotomu dan keluargamu di rumah ini?” Lucky masih memastikan.
“Itu justru lebih baik,” ucapnya dingin.
Kening Lucky berkerut, berpikir. Ada apa sebenarnya dengan Verisa? Kenapa sikapnya berubah dingin begini?
Ketika permintaan Verisa sudah selesai dikerjakan, Lucky melihat Verisa yang sedang mengamati sekeliling. Seolah memastikan tidak ada lagi foto, di sudut mana pun. Mendapati semua foto sudah diturunkan, Verisa mendesah berat setelahnya.
Lalu, ia meminta Lucky untuk memberinya kendaraan sendiri.
“Nggak bisa, Ve. Kamu belum cukup umur untuk membawa kendaraan sendiri,” tolak Lucky.
“Aku cuma mau belajar mandiri. Apa salahnya?” Verisa beralasan.
“Tetap nggak bisa apa pun alasannya. Sekarang kamu sudah menjadi tanggung jawab saya. Apa pun yang kamu butuhkan, saya yang akan siapkan. Tapi, nggak untuk kendaraan. Saya sendiri yang akan mengantar dan menjemputmu ke sekolah. Juga dengan ke mana pun kamu pergi, saya yang akan mengantarmu,” putus Lucky tegas, membuat Verisa menatapnya kesal.
“Ini demi kebaikanmu dan janjiku pada orang tuamu, Ve,” Lucky berkata lebih lembut.
“Aku nggak peduli,” dengusnya kasar, lalu pergi ke kamarnya.
Lucky masih harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya, tapi ia khawatir meninggalkan Verisa sendiri dalam keadaan emosi seperti ini. Mau tidak mau, Lucky meminta bantuan Bi Minah untuk menjaga dan mengawasinya.
“Tolong, jangan biarin Verisa keluar rumah dulu ya, Bi. Saya harus kembali ke kantor karena ada pertemuan penting,” beritahu Lucky.
“Baik, Pak Lucky. Saya dan Mang Karso akan menjaga Non Verisa,” balas Bi Minah sopan.
“Pastikan Verisa makan dengan teratur dan hubungi saya jika terjadi sesuatu,” pesan Lucky yang dibalas persetujuan Bi Minah. Lalu, Lucky benar-benar pergi ke kantor.
***
Selama rapat di kantor, Lucky merasa ponselnya bergetar beberapa kali di saku celananya. Ia tidak bisa mengangkatnya sekarang karena sedang mempresentasikan pekerjaannya.
Ketika Lucky selesai dengan presentasinya, ia meminta ijin pada kliennya untuk keluar sebentar. Ia khawatir itu telepon dari Bi Minah. Dan benar saja, ada lima panggilan tak terjawab dari Bi Minah.
“Ada apa, Bi?” ucap Lucky ketika menelepon balik Bi Minah.
Namun, mendengar jawaban dari seberang, Lucky tidak bisa menahan kepanikannya. “Bi Minah tenang dulu, ya. Saya segera pulang.”
Lucky harus kembali ke ruang rapat, meminta ijin untuk meninggalkan rapat, dan mengalihkan rapatnya pada sekretaris dan manajernya. Dengan cepat, Lucky berlari menuju parkiran dan segera memacu mobilnya menuju rumah Verisa. Dalam hati ia berdoa, semoga tidak terjadi apa-apa dengan Verisa.
Sampai di depan rumah Verisa, Lucky turun dari mobil dan berlari ke dalam. Bi Minah sudah menunggu Lucky di depan pintu kamar Verisa.
“Apa yang terjadi, Bi?” Lucky bertanya panik.
“Saya mau mengantar makan siang buat Non Verisa, Pak, tapi waktu saya ketuk pintunya, Non Verisa tidak mau membukakan pintunya. Lalu, saya coba membujuknya. Karena tidak ada jawaban dari dalam, saya khawatir terjadi sesuatu pada Non Verisa. Dan tadi ... saya sempat mendengar Non Verisa menjerit di dalam. Tapi, pintunya di kunci, jadi saya bingung harus bagaimana,” terang Bi Minah.
Lucky mencoba mengetuk pintu kamar Verisa dan memanggilnya, tapi tidak ada jawaban. Apa Lucky harus mendobraknya?
Ya, sebaiknya begitu. Lucky tidak mau terjadi sesuatu yang buruk di dalam sana. Lucky meminta Bi Minah mundur, lalu ia mengambil jarak dari pintu sebelum menerjang pintunya beberapa kali. Di terjangan ke lima, pintu itu berhasil terbuka. Lucky langsung lari ke dalam kamar dan mencari Verisa.
“Verisa!” panggil Lucky, panik.
Setelah mengecek semua ruangan yang ada di kamar itu, Lucky panik ketika tidak menemukan Verisa di sana. Namun, ketika ia akan mencarinya keluar, Lucky sempat mendengar isakan pelan dari dalam lemari besar di kamar Verisa.
Lucky mendekati lemari itu dan membuka pintunya. Ia bisa melihat Verisa duduk dengan menekuk lutut di dalam lemari di bawah bajunya yang digantung. Lucky mencelos melihat air mata Verisa.
“Ada apa, Ve?” tanya Lucky lembut. Sambil perlahan membantu Verisa keluar dari persembunyiannya.
Lucky menuntun Verisa hingga duduk di sisi tempat tidur. Menariknya dalam pelukannya, sambil menepuk pelan punggungnya. Menunggunya lebih tenang.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Te el Moncos el
lanjuuut Kya nya seru ni
2020-12-01
3