Pagi itu, ia dibangunkan oleh Lucky dengan manisnya. Meski kemarin Verisa sempat marah pada Lucky, tapi sepertinya ia tidak bisa benar-benar marah pada pria itu. Apalagi setelah apa yang dikatakan Lucky padanya kemarin.
“Kamu nggak perlu takut aku bakal pergi karena aku nggak akan pergi ke mana pun tanpa kamu. Aku udah janji sama kamu, kan? Jadi, itu yang aku lakuin.”
“Memang. Seharusnya aku pergi malam ini, tapi kalau kamu nggak ngijinin aku buat pergi, aku nggak akan pergi.”
Verisa tersenyum mengingat kata-kata Lucky itu. Kini ia menatap punggung Lucky yang sedang mengangkat teleponnya di pintu kamar Verisa. Verisa benar-benar gila dengan perasaannya. Ia seperti tidak mengenal dirinya sendiri, bahkan tubuhnya tidak mau mendengarkan perintah otaknya untuk segera pergi ke kamar mandi, dan malahan tetap duduk di sini dan menatap Lucky lekat seperti ini.
“Kenapa masih di situ? Ayo bersiap, sebelum kita terlambat.”
Verisa terkejut mendengar ucapan Lucky. Sejak kapan pria itu selesai dengan teleponnya?
“Ah, iya, Kak.”
Tanpa bertanya, Verisa melakukan perintah pria itu dengan patuh. Ia tidak tahu akan dibawa ke mana dirinya oleh pria itu. Ke mana pun Verisa dibawa pergi jika itu bersama Lucky, ia akan ikut.
Setelah tiga puluh menit Verisa bersiap, ia keluar dari kamar dan mencari di mana Lucky. Di dalam rumah, ia tak menemukan pria itu. Ketika melihat Bi Minah sedang menyiapkan makanan dalam beberapa kotak makan, ia menghampiri wanita itu.
“Bi, lihat Kak Lucky nggak?” tanya Verisa.
“Oh, Pak Lucky di luar, Non. Sepertinya masih merapikan kopernya,” beritahu Bi Minah, seketika membuat Verisa tersentak.
“Hah! Koper?”
Bi Minah mengangguk.
Lalu, dengan cepat Verisa berlari untuk menemui Lucky, tapi sebelum sampai di pintu depan ia merasakan kaki kanannya seperti tak bertenaga. Seketika itu ia jatuh terduduk di lantai. Ada apa dengan kakinya kini? Kenapa tiba- tiba ia tak merasakan kakinya menapak di lantai?
Verisa mencoba memijat kakinya sendiri selama kurang lebih lima menit, hingga ia bisa merasakan lagi kakinya dan berusaha untuk berdiri. Namun, sebelum ia berdiri dengan sempuna, ia sempat melihat Lucky berlari ke arahnya dengan panik.
“Kamu kenapa, Ve?” panik Lucky.
“Ah, aku ... kepeleset, Kak,” dusta Verisa, meringis.
“Astaga, kamu bikin aku panik, Ve. Hati-hati lagi lain kali, ya,” tegur Lucky seraya membantu Verisa berdiri. “Ada yang sakit?”
Verisa menggeleng. “Oh, tadi Bi Minah bilang Kakak lagi ngerapihin koper, Kakak akhirnya mau pergi juga?” Verisa memastikan.
Lucky tersenyum, mengangguk.
Pria ini sesenang ini akan pergi meninggalkannya? Apa dia meminta Verisa untuk bersiap hanya untuk mengantarkannya ke bandara? Yang benar saja pria ini.
Verisa sedikit menjauh dari Lucky dan duduk di sofa dekat tempat ia terjatuh tadi.
“Kalau Kakak emang tetap mau pergi, ya udah, pergi aja sana. Kenapa juga Kakak minta aku buat cepat-cepat bersiap?” dengus Verisa kesal.
“Kamu marah karena kita mau pergi?”
Apa pria ini sedang meledeknya? Ya jelas, Verisa marah. Pria itu bahkan sudah mendengar alasan Verisa tidak ingin Lucky pergi darinya, tapi .... Tunggu?
Verisa menoleh menatap Lucky yang masih tersenyum menatapnya.
“Tadi, kakak bilang apa?”
Lucky mengangguk. “Kita bakal pergi bareng. Jadi, kamu nggak marah lagi, kan?
“Apa?” Verisa terbelalak tak percaya.
Lucky mengangguk pasti.
“Ya. Kamu ikut,” ulang Lucky.
Kini Verisa bisa merasakan sudut bibirnya tertarik ke atas, tersenyum. “Beneran, Kak? Kakak nggak bohong, kan?”
Lucky mengangguk lagi. “Sebaiknya kita sarapan dulu sebelum berangkat,” Lucky berkata setelah melihat jam tangannya.
“Kita langsung berangkat aja, Kak. Nanti juga dikasih sarapan di pesawat, kan?” antusias Verisa sambil menarik-narik lengan kemeja Lucky.
“Siapa bilang kita mau naik pesawat?” Lucky menaikkan sebelah alisnya.
“Terus, naik apa, dong?”
Lagi-lagi pria itu hanya tersenyum, tanpa menjawab tanya Verisa. Terserah pada pria itu saja. Verisa bahkan tidak peduli akan membawa baju ganti atau tidak. Ia sudah terlalu senang karena Lucky mengajaknya pergi ke luar kota, meski untuk urusan pekerjaan. Dan pikiran bahagia itu yang menemaninya sarapan dengan lahap.
***
Setelah ia memutuskan untuk mengajak Verisa ikut bersamanya dalam perjalanan dinasnya ke luar kota, akhirnya ia bisa melihat gadis ini kembali tersenyum. Bahkan senyumnya seperti menular. Lucky tak bisa menghilangkan senyum pada wajahnya ketika melihat Verisa tersenyum, bahkan antusias karena keikutsertaannya ini.
Ada alasan kenapa akhirnya Lucky memutuskan mengajak Verisa. Sesaat setelah melihat bagaimana Verisa ketakutan karena mengetahui Lucky akan pergi beberapa lama dari Verisa, ia tahu jika gadis ini sangat kesepian. Dan di sini, Luckylah yang sudah memberikan janjinya untuk tetap ada di sisinya. Juga, bertanggung jawab atasnya.
Namun terlepas dari itu, sebenarnya ia juga merasa berat dan tidak sanggup pergi jauh-jauh darinya. Lucky bahkan sudah merindukannya saat ia tidak melihatnya beberapa jam saja. Lucky sudah sangat gila dengan perasaannya pada gadis kecil itu.
Dan alasan lainnya adalah karena surat yang berisi keinginan Verisa itu. Keinginan yang ditulisnya terakhir adalah naik kereta ke Surabaya. Lucky tidak tahu kenapa Verisa menginginkan hal itu, tapi apa pun yang gadis itu inginkan, Lucky akan berusaha mewujudkannya. Meski itu nanti keinginan untuk Lucky pergi darinya sekalipun. Itulah hal terakhir yang Lucky inginkan dari Verisa, jika nanti gadis itu bertemu dengan seseorang yang dicintainya.
Lucky menerima koper yang di turunkan oleh Mang Karso ketika sudah sampai di stasiun. Ia hendak memberikan satu koper berwarna biru muda milik Verisa, tapi gadis itu justru sedang sibuk dengan keterpanaannya melihat pintu masuk stasiun. Seolah ia belum pernah menginjakkan kakinya di tempat ini.
“Hei, kenapa ngelamun?” senggol Lucky.
Verisa tersenyum menatap Lucky sebagai jawaban.
“Ayo, masuk,” ajak Lucky setelah memberikan koper Verisa pada pemiliknya.
Sambil membawa koper masing-masing, mereka melakukan boarding, lalu masuk ke dalam stasiun, dan menunggu kereta yang akan dinaikinya. Lucky tidak bisa mengalihkan tatap dari Verisa yang masih terkagum-kagum pada suasana stasiun. Membuat Lucky penasaran.
“Kamu setakjub itu ngelihat stasiun, hm?”
“Aku belum pernah naik kereta, Kak,” jawab Verisa.
“Beneran?” Lucky tidak percaya.
“Ayah nggak pernah ngajak aku pergi-pergi ke luar kota pakai kendaraan umum kayak gini, kecuali pesawat. Kalau jaraknya nggak terlalu jauh, Ayah lebih memilih pakai mobil sendiri. Kalau sama Ibu, aku nggak pernah pergi ke mana pun, selain ke sekolah atau tempat-tempat favoritku di kota ini,” cerita Verisa.
Lucky tertegun mendengarnya. Gadis ini sungguh polos. Jadi, ini juga alasannya menuliskan keinginan sederhana itu.
“Terus, kalau udah sampai di Surabaya, apa yang mau kamu lakuin?” tanya Lucky masih penasaran.
Verisa tampak berpikir. Gadis itu mengerutkan kening sambil mengetuk-ketukan jari ke pipinya. Gaya berpikir yang lucu.
“Ehm ... aku bakal cari di internet nanti,” jawabnya.
“Apa?” Lucky tak percaya dengan jawaban Verisa. “Kamu bahkan nggak punya tujuan liburan setelah sampai di sana nanti?”
Verisa menggeleng cepat.
Lucky tak dapat menahan senyumnya karena sikap polos Verisa ini. Gadis ini benar-benar membuatnya gila dengan segala sikap yang dimilikinya. Bahkan dia tak perlu melakukan apa pun hingga bisa membuat hati Lucky sekacau ini. Gadis kecilnya yang menakjubkan.
***
Verisa sungguh merasa takjub melihat pemandangan dari dalam kereta. Ia bisa melihat rumah-rumah yang berjejer, jalanan yang terlihat tidak terputus, sawah yang hijau, sungai yang luas, bahkan gunung yang begitu tinggi hingga mencapai awan.
“Wah, ini benar-benar indah,” takjubnya sambil sesekali mengambil gambar dengan ponselnya.
“Kak, Kak,” panggil Verisa tanpa mengalihkan tatap dari pemandangan di luar jendela kereta.
“Hm?”
“Apa Kakak tahu, seberapa cepat kereta ini melaju?”
“Apa? Kamu serius nanya tentang itu?” Lucky terdengar tak percaya.
“Hu’um.” Verisa menoleh ke arah Lucky dan mengangguk. “Kakak lihat pemandangan itu, kan?” Verisa menunjuk ke arah pemandangan sawah dan bukit-bukit gunung yang menghijau.
Lucky mengangguk. “Terus?”
“Aku suka lihat pemandangan hijau kayak gitu, Kak. Sejuk dipandang mata. Rasanya aku nggak mau kereta ini jalan terlalu cepat, deh. Soalnya, bakal buat pemandangan itu cepat berlalu, kan?” harapnya.
Lucky mengusap kepala Verisa lembut sambil tersenyum. “Kita masih punya waktu sembilan jam untuk sampai di Surabaya, Ve. Bakalan ada lebih banyak pemandangan sepanjang perjalanan ini nanti. Kamu bisa nikmatin itu sepuas kamu.”
“Selama itu?” Verisa memastikan.
“Iya. Karena kereta kan, bukan pesawat,” dengus Lucky, geli.
Verisa cemberut menanggapinya, tapi ia tersenyum juga setelahnya. “Tapi, aku suka,” gumamnya pelan sambil memandang ke luar jendela lagi.
Jadi, seperti ini rasanya naik kereta api. Andai ia bisa menaiki kereta api ini bersama Ayah dan Ibu, pasti akan sangat menyenangkan. Verisa bisa menanyakan banyak hal pada mereka. Ia juga bisa mengambil foto bersama dengan latar pemandangan yang dilihatnya dari jendela ini.
Verisa tersenyum sendu, lalu menunduk karena teringat orang tuanya.
“Aku ada di sini, Ve. Jangan sedih lagi, ya,” ucap Lucky tiba-tiba.
Ia tahu Lucky pasti kasihan melihat dirinya ini. Selain Verisa hanya seorang anak dari bos Lucky, ia juga gadis yang tak bisa melakukan banyak hal. Bahkan naik kereta api saja belum pernah.
“Ini pengalaman pertamamu naik kereta api, kan? Kamu nggak akan sia-siain waktumu buat nikmatin pemandangan itu dengan terus bersedih, kan?” Lucky berkata seraya menepuk pundaknya pelan.
Verisa berputar menatap Lucky dengan mata berkaca.
“Kamu cuma perlu jalanin hidupmu sekarang, Ve. Jangan ingat-ingat lagi kesedihanmu. Jangan ingat-ingat lagi rasa kehilanganmu atau apa pun yang bakal bikin kamu makin sedih. Karena itu cuma akan matahin semangat hidupmu. Kamu lihat, aku tetap ada di sini buat kamu, kan. Kamu nggak sendirian sekarang. Ada aku yang akan ngejagain kamu kapan pun. Jadi, jangan sia-siain hidupmu. Hiduplah bahagia, hm?” Lucky menangkup wajah Verisa.
Verisa hanya bisa mengangguk sambil menatap lekat mata lembut pria di hadapannya ini. Karena memang benar yang dikatakan Lucky. Verisa hanya perlu menjalaninya saja takdir yang sudah ditetapkan Tuhan untuknya. Dan, ia berharap Lucky akan tetap ada bersamanya, selamanya.
“Ve?” Panggilan Lucky membuat Verisa mengerjap sadar.
Verisa menarik diri dan berbalik menghadap jendela kaca untuk menutupi kecanggungannya, lalu bertanya ketika sadar keretanya berhenti, “Kenapa keretanya berhenti?”
“Oh, mungkin ada ....”
Verisa berteriak kaget ketika kereta lain dari arah berlawanan melintas dengan sangat cepat dan dengan sirine kereta yang kencang. Matanya membelalak, jantungnya berdetak sangat kencang, dan tangannya reflek sudah berada di telinganya. Benar-benar mengagetkan.
Namun, kekagetannya teralihkan ketika mendengar tawa dari pria di sebelahnya. Verisa sempat melihat penumpang lain yang meliriknya juga tersenyum geli. Apa mereka juga menertawainya? Jadi, Lucky juga sedang menertawainya?
Pria ini ....
“Kakak!” Verisa memukul lengan Lucky dengan wajah memerah malu. Bisa-bisanya pria ini menertawakan kekagetannya.
“Ini benar-benar pengalaman pertamamu naik kereta api, hm?” dengus Lucky, geli seraya menarik Verisa dalam pelukannya.
Menggunakan kesempatan itu, ia menyembunyikan wajahnya yang pasti sudah memerah karena malu, ke dada Lucky. Ini memang pengalaman Verisa yang pertama dan ini sangat menyenangkan. Meski tidak ada orang tuanya, tapi karena ada Lucky di sini, ia bahagia. Ia menyukainya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
yesread
Nice!
2020-05-05
2
Neynakha Afiya
Suatu saat aku mau nyoba naik kereta juga deh. Soalnya belum pernah naik 😂
2020-05-05
2