Lucky duduk memandang lemah sosok gadis yang terbaring tak berdaya di depannya. Wajahnya pucat, kepalanya dibebat perban, juga lehernya yang mengunakan penyangga. Sesaat, ia merasa tak sanggup melihat keadaan gadis di depannya ini. Ia menunduk sedih. Seharusnya ia bisa menjaga Verisa lebih baik lagi. Tidak seperti ini. Dan Lucky merutuki kebodohannya karena tidak bisa menjaga Verisa sampai bisa terjadi kejadian seperti ini. Bahkan di saat gadis ini sudah tidak memiliki siapa pun.
Baru kemarin, ia bisa ikut tersenyum karena melihat Verisa tersenyum. Tapi, kenapa takdir membaliknya dengan begitu cepat? Bahkan sebelum waktu membuat Verisa bisa melupakan kesedihan karena kehilangannya. Melihatnya dalam kondisi seperti ini sungguh membunuhnya. Dan, ini adalah salah Lucky.
“Maafin aku, Ve. Aku nggak bisa ngejaga kamu dengan baik,” sesalnya sambil menggenggam tangan Verisa.
Ponsel Lucky berdering. Dari Putra. Dengan berat, Lucky menyingkir dari tempatnya untuk mengangkat telepon dari Putra.
“Ya?” sapa Lucky lemah ketika mengangkat panggilan dari Putra.
“Belum makan, Bro?”
“Ada apa, Put? Ada masalah di kantor?” tanya Lucky masih dengan enggannya. Tatapannya bahkan tidak lepas dari Verisa yang terbaring.
“Aku cuma mau ngasih tahu kamu, kalau aku udah nukar mobilmu sama motor yang kamu pinjam di jalan tadi,” beritahu Putra.
“Oh, makasih.”
“Hey, Ky. Kamu baik-baik aja, kan? Nggak biasanya kamu selesu ini?” Putra terdengar penasaran.
“Aku nggak apa-apa.”
“Aku bukan orang yang baru kenal kamu, ya? Kamu nggak pernah kayak gini sebelumnya, meski kerjaanmu numpuk setinggi gunung sekalipun. Jadi, apa ini ada hubungannya sama Nona Verisa?”
Lucky membuang napas berat. Ya, Lucky akui memang ini seperti bukan dirinya. Mungkin ini memang bukan dirinya lagi. Ia tak pernah sejatuh ini dalam pekerjaannya, meski ia harus mempertaruhkan waktu, tenaga, pikiran, bahkan nyawanya. Namun kali ini, karena kegagalannya menjaga Verisa, ia sungguh merasa tidak becus dan tidak berguna. Mengingat janjinya pada orang tua Verisa, itu membuatnya semakin tidak pantas berada di sisi Verisa. Karena dialah, Verisa terbaring di sini. Ia gagal menjalankan pekerjaannya. Juga, janjinya.
“Aku udah gagal jagain Verisa,” sebut Lucky dalam sesal.
“Apa maksudmu? Jangan bilang kamu nyalahin dirimu sendiri di sini?” Putra berkata.
“Terus, apa? Bahkan aku udah janji sama Pak Veri dan Bu Risa sebelum mereka meninggal, kalau aku bakal jagain Verisa dengan nyawaku sendiri. Tapi, kenyataannya? Belum lama Bu Risa meninggal dan aku udah lalai sama janjiku buat jagain anaknya. Aku udah gagal, Putra.” Lucky mengusap wajahnya frustrasi mengakui kegagalannya.
Lucky mendengar Putra mendengus geli di seberang sana. Apa ini bahkan lucu baginya? Sialan.
“Kayaknya aku emang belum mengenal baik kamu, deh. Meskipun kita udah kerja bareng hampir tujuh tahun.” Putra mendengus. “Lucky, temanku itu, dia tipe orang yang nggak mudah nyerah atau terpuruk dengan mudah, sih. Jadi, ke mana Lucky temanku itu, hm?” lanjutnya, menyindir.
Lucky tak bisa menanggapi ucapan Putra karena Putra berkata kebenaran. Ia hanya menghela napas berat.
“Ah, satu lagi. Orangku udah dapetin informasi tentang jatuhnya Nona Verisa. Ada yang sengaja celakain dia. Sekarang, aku mau ke sekolah buat mastiin ke guru dan pelakunya,” beritahu Putra, seketika membuat Lucky terkejut.
“Aku ikut.”
“Kamu nggak perlu ikut kalau masih mau nemenin Nona Verisa, Pak Bos,” balas Putra masih dengan dengusan gelinya.
“Nggak. Aku tetap ikut. Aku harus kasih pelajaran orang yang udah buat Verisa kayak gini,” geramnya.
“Oke-oke. Aku baru ngedapetin temanku balik kayaknya. Aku tunggu di parkiran.” Putra memang bakat sekali menyindir. Dalam keadaan apa pun.
Segera setelah menutup panggilan dari Putra, Lucky kembali menghampiri Verisa, memandangnya sesaat seraya menggenggam tangannya. Dan entah mendapat keberanian dari mana, Lucky membawa tangan Verisa yang digenggamnya untuk diciumnya. Jika Verisa tahu apa yang dilakukannya, pasti gadis itu akan marah. Namun, justru itu akan lebih baik, dari pada Lucky melihat Verisa terbaring lemah seperti ini.
“Aku pergi dulu, Ve. Cepatlah bangun,” pamit Lucky pada Verisa.
***
Ia mengerjap sebelum membuka mata perlahan. Sejenak ia menyesuaikan pandangannya dengan cahaya. Ia merasa kepalanya masih terasa berkunang-kunang dan tubuhnya terasa lemah, tak mampu bergerak. Ia merasa lehernya ditahan oleh alat entah apa ini.
Verisa melirik ke sebelah kanannya, ia bisa melihat siapa yang duduk bersandar sambil bersedekap dan memejamkan mata. Lucky. Verisa hendak memanggilnya, tapi suaranya tercekat. Tak keluar satu kata pun. Verisa mencoba untuk mengangkat tangannya, menyentuh pria itu, dengan sekuat tenaga ia berusaha, tapi tak ada yang terjadi. Ada apa dengan tubuhnya? Kenapa ia tak bisa bergerak? Kenapa ia seperti tak bisa merasakan tubuhnya sendiri?
Ia mencoba memanggil pria itu lagi.
“Kak?” lirihnya dengan suara serak, tapi tak membuat Lucky membuka matanya. Merasa tak lagi sanggup memanggilnya, ia hanya terdiam menatap wajah Lucky yang tampak kelelahan. Pria itu benar-benar menepati janjinya untuk menjaganya. Di saat Verisa terjatuh karena kehilangan ibunya, pria itu juga ada di sisinya. Di saat Verisa ingin sendiri karena merindukan orang tuanya, pria itu juga menurutinya dan menjaganya dari jauh. Juga ketika, pria itu mengajak Verisa berlibur, ia selalu menggenggam tangannya. Meski Verisa sudah sangat merepotkan untuknya. Pria itu menepati janjinya pada orang tuanya. Juga, padanya.
Pria itu, Lucky, sungguh ....
Tiba-tiba Verisa terbatuk, tenggorokannya perih, dan kepalanya kembali terasa sakit.
“Verisa!” pekik Lucky ketika baru membuka matanya.
Verisa tak bisa menjawab atau mengatakan apa pun karena ia masih terbatuk. Tenggorokannya benar-benar terasa sakit. Tapi, ia sempat mendengar Lucky berteriak memanggil dokter, memencet tombol panggilan dokter. Dan tak lama, ia bisa melihat rombongan orang dengan baju serba putih mendekati Verisa.
Ia melirik Lucky yang diminta dokter untuk keluar. Melihat wajahnya yang cemas, Verisa hendak tersenyum. Verisa percaya jika ia tidak benar-benar sendirian. Ada Lucky di sana. Ya, pria itu akan selalu ada di sisinya. Itu janjinya. Dan Verisa percaya.
Verisa kembali menatap sekeliling orang berbaju putih itu, dokter dan suster. Batuknya sudah mereda, tapi pandangannya juga semakin kabur. Entah obat apa yang disuntikkan ke tubuhnya. Semakin lama satu persatu dari mereka pergi. Hanya tersisa satu orang berbaju putih. Lalu, samar ia melihat Lucky menghampiri orang itu.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Lucky terdengar panik.
“Sebaiknya kita bicarakan ini di ruangan saya. Pasien sudah saya beri obat, sebentar lagi ia akan tertidur,” dokter itu berkata.
“Tapi, Verisa baik-baik aja kan, Dok?” Lucky masih penasaran.
Verisa tersenyum mendengar kecemasan Lucky terhadapnya. Pria itu ....
“Kak?” panggil Verisa, sangat pelan, tapi sepertinya Lucky mendengarnya. Ia merasakan tangannya digenggam pria itu.
“Aku di sini, Ve. Kamu istirahat aja, ya?” ucap Lucky lembut.
Kini Verisa merasakan, kepalanya di usap lembut oleh Lucky, membuatnya semakin mengantuk. Dan akhirnya memejamkan mata. Namun, sebelum ia kehilangan kesadarannya sepenuhnya, samar ia mendengar Lucky berkata,
“Maafin aku, Verisa. Cepatlah sembuh. Aku bakal tetap di sini, jaga kamu.”
***
“Berdasarkan hasil pemeriksaan CT Scan, Nona Verisa memang mengalami cedera pada saraf tulang belakang atasnya. Di saraf tulang belakang bagian sini sarafnya sedikit terkilir karena benturan ketika pasien jatuh,” ucap Dokter sambil menunjukkan foto tulang hasil pemeriksaan Verisa. “Saya bersyukur ini bukan cedera yang menyeluruh. Tapi, saya juga tidak menggampangkan apa yang terjadi. Pada kejadian seperti ini, pasien biasanya akan mengalami sedikit gangguan pada beberapa kemampuan sensorik dan pengendalian geraknya saja.
“Jadi, kemungkinan untuk beberapa hari ke depan, Nona Verisa belum bisa melakukan aktivitas gerak pada tubuhnya. Sementara, ia harus istirahat total. Saya akan melakukan beberapa pemeriksan fisiknya, untuk mengetahui separah apa gangguannya. Saya juga akan memantau perkembangannya sampai kondisi Nona Verisa benar-benar stabil dan bisa menjalankan fisioterapi untuk penyembuhannya,” terang Dokter.
“Apa butuh waktu lama untuknya bisa sembuh, Dok?” Lucky bertanya.
“Tergantung dari cedera yang dialami. Untuk kasus ini, dalam waktu maksimal enam bulan seharusnya Nona Verisa sudah kembali normal. Tapi, bisa saja sembuh lebih cepat, jika ada kemauan dari pasien untuk teratur terapi mandiri,” balas Dokter.
Lucky mengangguk lemah.
“Beberapa pasien kami yang mengalami hal seperti ini, biasanya dia akan berubah menjadi pendiam dan murung karena frustrasi, karena tidak bisa menggerakan tubuhnya. Mereka selalu berpikir, mereka lumpuh, cacat, atau sebagainya. Saya harap, Bapak bisa membuat Nona Verisa tetap memiliki semangat untuk cepat sembuh. Karena itu akan sangat membantu proses pemulihan menjadi lebih cepat,” Dokter berkata.
“Kakak!”
Teriakan itu membuat Lucky seketika jatuh kembali ke dunia nyata.
“Kenapa malah ngelamun sih, Kak?” kesal Verisa.
Lucky yang salah tingkah karena ketahuan melamun, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Kamu butuh sesuatu?” Lucky bertanya.
Verisa menggeleng.
“Atau kamu mau sesuatu?” Lucky bertanya, lagi.
“Kakak sebenarnya kenapa? Kenapa sejak Kakak datang siang tadi, Kakak kelihatan banyak pikiran gitu? Di kantor banyak kerjaan?” duga Verisa.
Lucky tidak bisa menceritakan tentang kondisi gadis ini sekarang. Ia sudah cukup menahan diri untuk tidak memeluk Verisa karena terlalu senang melihat kondisi gadis itu sudah sedikit lebih baik.
Pasalnya, tadi pagi sebelum ia berangkat ke kantor, Verisa masih belum sadar. Dan rasanya, ia enggan pergi ke mana pun sampai Verisa benar-benar sembuh. Setidaknya sampai gadis ini membuka mata, tapi syukurlah, saat ini Verisa sudah sadar dan terlihat jauh lebih baik.
“Kakak ngelamun lagi?” jengah Verisa sambil memutar mata.
Lucky yang sedari tadi duduk di sisi tempat tidur Verisa tak bisa mengenyahkan penjelasan dokter tentang sakit Verisa. Karena itu mengusiknya.
“Kamu udah lebih baik, hm?” tanyanya sambil mengusap lembut kepala Verisa.
Verisa menjawabnya dengan anggukan pelan. Namun, seketika Lucky tersadar dengan apa yang dilakukannya, ia menatap tangannya yang masih dengan santainya mengusap rambut Verisa, lalu dengan cepat menariknya dan menggumamkan maaf.
Lucky melirik Verisa yang ternyata juga sama terkejutnya dengan dirinya. Bodoh. Kenapa bisa Lucky dengan lancang melakukan itu? Ketika kemarin ia bisa melakukannya di saat Verisa masih belum sadar. Tapi, kali ini? Lucky benar-benar bodoh.
“Kak?”
Panggilan Verisa membuat Lucky menatap gadis itu lagi. “Ya, Ve?”
“Ehm, itu ... aku ... makasih,” ucap Verisa terbata.
Lucky menelengkan kepala. “Untuk?”
“Kak Lucky udah ... nepatin janji Kakak sama aku,” ucap Verisa malu.
Gadis ini benar-benar menggemaskan. Jika boleh ia ingin sekali menariknya ke pelukannya. Bahkan ia akan melakukan apa pun untuk gadisnya ini.
Tunggu. Tadi dia sebut Verisa gadisnya? Oh, Lucky benar-benar gila karena perasaannya. Ya, ia memiliki perasaan lebih pada gadis ini. Perasaan yang menurutnya salah. Perasaan yang tidak seharusnya muncul ketika Lucky bahkan lalai pada janjinya. Pantaskan ucapan terima kasih itu untuk Lucky? Bahkan ia merasa tak pantas ada di sisi gadis itu kini.
Menjawab ucapan Verisa, Lucky tersenyum, meski hatinya sakit.
“Kamu tahu kan, aku udah berjanji sama kedua orang tuamu, sama kamu juga. Jadi, aku bakal berusaha nepatin janjiku itu. Aku bakal jagain kamu, Ve, buat tetap di sampingmu.”
Lucky sedikit terhibur dengan sikap tersipu malunya Verisa. Lagi, Lucky mengusap lembut rambut Verisa dengan sayang. Betapa gadis itu sudah membuatnya gila. Betapa Lucky juga ingin menghentikan waktu dengan egoisnya.
***
Jantung Verisa tiba-tiba berdetak kencang ketika Lucky mengusap rambutnya. Hanya mengusap rambutnya, tapi Verisa bisa bereaksi seaneh ini. Pipinya juga memanas karena malu. Namun, ia merasa kelegaan karena tak lagi sendirian di dunia ini. Lucky di sini. Meski yang pria ini lakukan hanya sebatas menepati janji dan pekerjaannya, tapi
setidaknya Verisa tidak sendiri. Hal yang paling ditakutinya.
“Lekas sembuh, Ve. Biar kamu bisa liburan lagi,” ucap Lucky membuat Verisa mendongak dengan cepat, akibatnya
ia merasakan lehernya nyeri.
“Ve, apa yang kamu lakuin? Kamu bisa bikin lehermu makin parah kalau kamu bergerak terlalu cepat gitu,” tegur Lucky, membuat Verisa merengut.
“Aku cuma senang karena tadi Kak Lucky bilang tentang liburan. Benar kita akan liburan lagi?” Verisa bertanya, antusias.
Lucky menggenggam tangan Verisa sambil tersenyum menatapnya. “Iya, kalau kamu sembuh nanti.”
“Aku akan berusaha sembuh dengan cepat, kalau gitu,” balasnya lebih antusias lagi, membuat Lucky tergelak.
“Ya, kamu harus sembuh dengan cepat. Terus, selesaiin ujianmu. Habis itu kita akan berlibur. Ke mana pun kamu mau,” janji Lucky.
Ah, benar juga. Verisa baru ingat jika ia harus menjalani ujian akhir bulan depan, membuatnya mendesah berat. Tapi, mengingat Lucky akan mengajaknya berlibur, ia memang harus sembuh secepatnya. Setidaknya satu hal atau tepatnya seseorang yang membuatnya terusik di sekolah sudah mendapat pelajaran berharganya. Karena Verisa tidak akan membuat dirinya lagi diinjak-injak oleh siapa pun sampai kapan pun.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
yesread
Cepat sembuh Verisa. pasti sakit banget buat gerak itu.
2020-04-29
2