Sepanjang jalan, Verisa mengeluhkan jalanan yang rusak. Tadinya, ia ingin memejamkan mata karena kesal pada Lucky, tapi ketika jalanan yang dilewati menuju tempat tujuan liburan mereka itu rusak, Verisa justru terus-menerus mengomel.
“Kak! Nggak ada jalan lain selain jalan jelek ini apa?” kesal Verisa.
Lucky tersenyum geli. “Sebentar lagi sampai, Ve.”
“Sebentar laginya seberapa lama lagi? Dari tadi Kakak selalu bilang sebentar-sebentar, tapi nggak sampai-sampai juga. Badanku bisa sakit kalau lama-lama lewat jalanan yang ... aduh!” teriak Verisa menghentikan cerocosannya, ketika kepalanya terbentur kaca jendela mobil saat mobil melewati bebatuan yang cukup besar.
“Maaf, maaf,” sesal Lucky, meringis melihat Verisa mengusap kepalanya yang terbentur tadi.
“Harusnya dari awal Kakak bilang sama aku tujuannya mau ke mana. Seenggaknya tanya, aku mau ikut ke sini atau nggak? Bukannya malah nyulik aku kayak gini?” Kekesalan Verisa masih berlanjut.
Gadis itu melengos kasar, tak mau menatap Lucky. Namun tidak lama dari itu, Lucky sudah memarkirkan mobilnya dan turun untuk mengambil tas di kursi belakang, lalu berjalan ke arah Verisa, membukakan pintu untuk gadis itu.
Verisa masih bergeming dengan wajah cemberutnya.
“Kamu nggak mau ikut turun?” tanya Lucky yang tak ditanggapi Verisa.
“Verisa?” panggil Lucky lembut. “Jadi, kamu mau tetap di sini aja? Kamu yakin nggak akan nyesal kalau nggak ikut ke sana?” Lucky meyakinkan Verisa.
Verisa menatap Lucky dengan tatapan tajam. Tapi, gadis itu turun juga dari mobilnya. Membuat Lucky tersenyum geli.
Dalam perjalanan menuju lokasi selanjutnya, Lucky melihat Verisa berjalan lambat di belakangnya, beberapa kali gadis itu nyaris terpeleset batu yang ditumbuhi lumut karena lembab. Maka tanpa aba-aba, Lucky menarik tangan Verisa dan menggandengnya.
“Apa-apaan ini?” Verisa hendak menarik tangannya.
“Biar kamu aman aja,” alasan Lucky santai.
“Aku bukan anak kecil yang bakal jatuh karena tersandung kakiku sendiri.”
Lucky tak menanggapi dan hanya mengangguk sambil tersenyum mendengar kekesalan Verisa itu, tapi tidak melepaskan gandengan tangannya. Gadis itu memang susah ditebak. Terkadang ia akan diam saja, lalu berubah sedih karena teringat kenangannya, lalu bertingkah lucu karena kesal. Verisa sungguh menggemaskan.
***
Verisa kagum dengan apa yang dilihatnya di depan matanya. Air terjun. Bibirnya tak henti menggumamkan kekagumannya karena pemandangan indah itu. Ini pertama kalinya Verisa pergi liburan ke alam seperti ini. Dan ini sungguh indah.
“Kamu suka?” Pertanyaan itu membuat Verisa mengangguk cepat, bahkan tanpa menoleh ke arah orang yang bertanya.
“Aku belum pernah pergi ke tempat kayak gini sebelumnya,” akunya, masih dengan mata yang berbinar kagum.
Verisa menoleh ketika mendengar tawa kecil Lucky.
“Kenapa Kakak ketawa? Ini indah Kak, bukan lucu?” ucap Verisa heran pada sikap pria itu.
“Pemandangannya emang indah, tapi sikapmu yang lucu,” balas Lucky, jelas membuat Verisa menyipitkan mata. Mendadak mood-nya kembali memburuk.
Sebelumnya, ia sudah tidak akan marah pada Lucky lagi karena pemandangan di sini sangat indah, tapi kenapa juga Lucky harus menertawakannya?
Dasar pria menyebalkan.
“Aku nggak lagi ngelawak, jadi jangan ketawain aku, huh!” Verisa pergi dari tempatnya berdiri kini dan mendekat ke arah air terjunnya.
Pria itu benar-benar membuat Verisa kesal dengan ucapannya. Jika tahu akan seperti ini, lebih baik biarkan saja pria itu berbicara dengan kaku seperti sebelumnya. Kalau perlu, biarkan sikapnya kaku seperti robot saja. Huh!
Lucky bilang dia akan menjaganya seperti keluarga, tapi mana? Justru pria itu terus-menerus meledeknya dengan menertawakan sikap kesalnya. Menjengkelkan sekali. Di mana kelucuan kemarahan Verisa?
Daripada ia berdebat terus dengan pria itu, lebih baik Verisa terjun ke air di bawah air terjun itu, pasti akan sangat menyegarkan, juga menyenangkan. Tapi, Verisa tidak membawa baju ganti.
Ah, biarkan saja pria menyebalkan itu yang mengurus tentang baju gantinya. Verisa tidak mau menyia-nyiakan waktu liburan ini hanya untuk kesal pada Lucky. Ia sudah berkorban waktu dan melewati jalanan jelek itu hanya untuk sampai di sini. Jadi, jangan sia-siakan dan bersenang-senanglah Verisa.
Setelah melepas jaket dan sepatunya, Verisa terjun ke air, membuat Lucky bersorak kaget. Meneriakkan namanya.
“Ve, apa yang kamu lakuin?” teriak Lucky ketika Verisa sudah masuk ke dalam air dan bersembunyi di bawah percikan air terjun yang cukup deras.
Verisa tak menanggapi.
“Verisa! Kamu nggak bawa baju ganti, kamu tahu?” Lucky masih berteriak, mengingatkan, tapi Verisa masih tidak menanggapi. Tepatnya sengaja. Ia tetap menikmati tamparan air terjun di punggung dan kepalanya. Serasa dipijat.
Selama beberapa saat, Verisa tidak mendengar lagi teriakan Lucky. Mungkin pria itu sedang mencarikan baju ganti untuknya. Tapi, melihat sekeliling hanya ada pepohonan dan bebatuan, apa ada yang berjualan pakaian di sini?
Oh, Verisa tidak memikirkan itu tadi. Ah, biarkan saja itu jadi urusan Lucky. Verisa hanya ingin menikmati segarnya air pegunungan ini.
***
“Haciiuhh! Haciiiuhh!” Verisa bersin-bersin.
“Aku udah bilang kan, kamu nggak bawa baju ganti. Tapi, kamu malah terjun begitu aja. Untung aja aku nggak ikut terjun, jadi bajuku nggak basah.”
Lucky mendesah berat ketika Verisa terus saja bersin-bersin selama perjalanan kembali ke villa. Ia terpaksa melepaskan kaos yang dipakainya untuk Verisa karena di pegunungan seperti ini tidak ada penjual baju.
Lucky yang hanya menggunakan kaos dalam saja, merasa canggung ketika berada di samping Verisa yang memakai kaosnya, sedangkan celananya masih tetap basah. Tidak mungkin juga Lucky meminjamkan celananya, kan? Ia bisa dikira pria hidung belang. Begini saja sudah membuat Lucky merasa tidak nyaman.
“Kak?” panggil Verisa pelan.
“Kenapa, Ve?”
“Bisa beliin aku teh hangat, nggak? Aku mulai kedinginan. Perutku juga sedikit mual,” ucap Verisa, pelan.
Dengan pakaian seperti ini, tidak mungkin Lucky keluar mobil untuk membeli minuman. Orang akan berpikir aneh-aneh nanti. Lucky curiga, ini hanya akal-akalan Verisa untuk mengerjainya lagi setelah tadi gadis itu sengaja terjun ke air.
“Kamu bisa tahan sebentar lagi kan, Ve? Lima belas menit lagi kita sampai di villa. Nanti aku bakal masakin kamu makanan hangat juga. Kamu bisa istirahat dulu sekarang, ya,” bujuk Lucky masih sambil menyetir.
“Tapi, ini ... dingin banget, Kak?” Suara Verisa mulai bergetar.
Lucky menoleh ke samping dan gadis itu benar-benar menggigil. Wajahnya pun tampak pucat kini. Reflek, Lucky meminggirkan mobilnya untuk mengecek keadaan Verisa. Tangan Lucky terulur ke kening Verisa untuk mengecek suhu badannya. Dan benar saja, badannya panas. Kenapa mendadak Verisa bisa demam seperti ini?
“Kak?” panggil gadis itu, lebih pelan kini.
“Iya, Ve. Aku cari restoran atau warung yang jual minuman dulu. Kamu sabar sebentar, ya,” ucap Lucky sambil mengusap rambut Verisa pelan setelah membenarkan selimut dan jaket untuk menghangatkan tubuh Verisa. Juga, mematikan AC di mobilnya.
Setelah itu, Lucky kembali membawa mobilnya mencari apa pun yang berjualan minuman hangat.
Ketika ada warung makanan di pinggir jalan, Lucky menepikan mobilnya lagi, dan turun untuk membeli teh hangat yang diminta Verisa. Ia bahkan tidak memedulikan tampilannya yang hanya menggunakan kaos dalam yang transparan.
Sekembalinya Lucky dari warung, ia membantu Verisa meminum teh hangatnya, lalu bertanya,
“Gimana? Perutmu udah enakan atau masih mual?”
Verisa hanya mengangguk.
“Kita ke dokter aja, ya?” tawar Lucky seraya memindahkan teh hangat dalam plastik yang dibelinya tadi ke tangan Verisa, supaya bisa sedikit menghangatkan tubuh Verisa.
Verisa menggeleng. “Aku mau pulang aja, Kak. Nanti juga sembuh sendiri.”
Lucky mendesah berat, menuruti kata Verisa. Ia kembali melajukan mobilnya menuju villa. Memang lebih baik ia dan Verisa pulang dulu, supaya gadis itu bisa mengganti pakaiannya yang basah.
***
Verisa mengerjap bingung melihat tempatnya berdiri saat ini. Semua serba hitam dan tidak ada lampu yang menerangi tempat itu. Namun, Verisa sempat melihat satu titik warna putih, tampak begitu jauh di ujung dari kegelapan ini.
Perlahan Verisa melangkahkan kaki ke arah titik putih yang tepatnya cahaya putih itu. Semakin mendekat, Verisa semakin bisa melihat titik itu membesar. Yang tadinya hanya cahaya berbentuk titik, kini sudah terlihat membentuk dua orang yang berdiri membelakangi Verisa. Siapa mereka?
Penasaran, Verisa terus berjalan mendekat ke arah kedua orang itu. Sedang apa mereka di sini? Dan, kenapa juga Verisa bisa ada di sini? Entah tempat apa ini. Ia merasa tak pernah datang ke tempat ini.
Ketika langkah gadis itu hampir sampai ke orang bercahaya putih itu, dari belakang Verisa mendengar ada yang memanggilnya. Ia berbalik mencari siapa yang memanggilnya. Suara itu? Lucky. Namun, Verisa tidak melihat siapa pun di belakang sana. Hanya gelap. Dari mana Lucky memanggilnya?
Verisa kembali berbalik untuk melanjutkan langkahnya, tapi belum satu langkah pun, gadis itu diam terpaku saat melihat siapa kedua orang yang sedang ia tuju itu.
“Ayah ... Ibu ...”
Seketika matanya memanas dan mulai buram tertutupi air mata. Verisa mengerjap untuk menghilangkan keburaman itu, tapi ia merasakan setetes air mata yang jatuh di pipinya, hingga menjadi tetesan deras bersama isakannya. Ia ingin ikut mereka. Ia tidak mau tinggal sendirian di dunia ini.
“Aku ikut, Ayah, Ibu,” ucap Verisa dengan suara bergetar, tercekat.
Ayah dan ibunya hanya tersenyum sambil melambaikan tangan. Dalam pandangan Verisa, kedua orang tuanya seperti melayang menjauh. Verisa berusaha mengejarnya.
“Ayah! Ibu! Tunggu aku! Jangan tinggalin aku lagi!” teriak Verisa sambil terus mengejarnya.
Namun, dari sisi lain kegelapan itu, ia mendengar lagi suara Lucky memanggil namanya. Tapi, tak dilihatnya pria itu di sana.
“Kak Lucky, aku mau ikut Ayah sama Ibu aja!” teriaknya, membalas panggilan Lucky.
Verisa kembali berlari mengejar kedua orang tuanya, tapi mereka semakin menjauh. Verisa terus berusaha memanggil dengan teriakan,
“Tunggu aku, Ayah, Ibu!”
Ketika kedua orang tuanya semakin jauh dan hampir menghilang, Verisa meraung sedih ke arah perginya orang tuanya,
“Ayah! Ibu! Jangan pergi! Jangan tinggalin aku lagi. Aku nggak mau sendirian.”
Detik saat teriakan terakhir Verisa memanggil kedua orang tuanya, ia membuka mata dengan napas terengah-engah. Ia merasakan seseorang menarik tubuhnya ke arah orang itu.
“Verisa, tenanglah. Itu mimpi buruk. Aku di sini,” suara itu terdengar panik. Namun, Verisa tidak peduli. Ia ingin ikut orang tuanya. Ia ingin bersama orang tuanya. Ia tidak mau di sini. Sendirian.
***
Selama beberapa saat Lucky masih bertahan diposisinya, memeluk Verisa sambil menenangkannya. Lucky benar-benar panik melihat Verisa mengigau sampai berteriak-teriak memanggil orang tuanya.
Sepertinya sekarang Verisa sudah lebih tenang. Lucky menarik diri melepaskan pelukannya. Mengecek kondisi suhu badan Verisa, sekaligus membersihkan sisa air mata juga keringat di wajah Verisa.
“Kamu nggak apa-apa, Ve?” tanya Lucky.
Verisa bergeming sambil menatap kosong ke udara.
“Aku bawain kamu makanan sama obat. Kamu makan, ya?” tawar Lucky.
Verisa masih bergeming, membuat Lucky mendesah berat.
“Aku di sini, Ve. Kamu jangan sedih lagi, aku bakal jagain kamu. Aku bakal selalu ada di sisimu,” janji Lucky tulus, membuat Verisa menoleh menatap Lucky lekat dengan mata nanarnya.
“Jangan nangis, Ve. Aku di sini.” Lucky tersenyum, meski hatinya ikut merasakan sakitnya. Benar-benar sakit, bagaimana melihat air mata gadis kecil ini mengalir begitu derasnya.
Seketika Verisa menangis dengan kencang. Tangannya menarik lengan kemeja Lucky dan meremasnya. Lucky tidak sanggup melihat air mata gadis itu. Lagi, Lucky menarik Verisa dalam pelukannya. Mencoba menarik rasa perih dan sedih yang gadis itu rasakan untuk Lucky.
“Aku mau ikut mereka aja, nggak bisa?” ucap Verisa dalam isaknya. “Aku lihat Ayah sama Ibu di sana. Mereka tersenyum ke aku. Mereka ngelambai ke aku. Tapi, kenapa ... mereka pergi tanpa aku?” Verisa sesegukan.
Hati Lucky hancur mendengar kata-kata Verisa. Gadis kecil ini masih belum ikhlas atas kepergian ibunya. Belum benar-benar ikhlas menerima takdirnya.
“Aku lari ngejar mereka. Tapi ... mereka semakin jauh. Ayah sama Ibu nggak mau ngajak aku bareng mereka. Aku ditinggal sendirian di sana. Kenapa ... kenapa mereka tega, Kak? Aku cuma mau ikut,” lanjut Verisa dengan tangis yang semakin terdengar menyesakkan.
Tak ada kata yang mampu keluar dari mulut Lucky. Hanya rasa sesak di dada yang Lucky rasakan ketika melihat Verisa menangis.
“Sekarang ada aku, Ve. Aku di sini sama kamu,” sebut Lucky pelan seraya mengusap lembut kepala Verisa yang masih dalam pelukannya.
Jika bisa, Lucky ingin mengambil kesedihan yang Verisa rasakan untuknya. Ia merasa tak tega melihat gadis belia ini harus mengalami kesedihan karena rasa kehilangan orang tercintanya. Karena sungguh, Lucky tidak sanggup melihat Verisa tersiksa seperti ini.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Naftali Hanania
suka ceritanya....tulus nya lucky
2020-12-02
1
Neynakha Afiya
Suku jadi baper lo kak... Huhuhu...
2020-04-23
2