Dua minggu sudah berlalu sejak kejadian di hotel itu. Setelah seminggu lalu Verisa sudah memulai kegiatannya kembali. Bersekolah. Meski banyak yang berubah, tapi itu justru lebih baik menurutnya. Di sekolah sudah tak ada lagi Jesy dan gengnya yang akan mengganggu, juga ketiga anak itu yang dulu selalu mengekorinya. Kini perlahan menjauh. Mereka ternyata mendengarkan kata-katanya kala itu.
Begitu juga dengan kondisi tubuhnya yang semakin lama semakin membaik, terlebih setelah beberapa kali ia melakukan terapi. Walaupun masih harus menggunakan kursi roda, tapi ia merasa tubuhnya sudah terasa lebih kuat. Hanya terkadang kaki atau tangannya masih suka kesemutan dan lemas.
Sebenarnya lelah juga harus duduk seharian menggunakan kursi roda seperti ini. Ia merasa sudah cukup kuat untuk berjalan atau menggunakan tongkat. Tapi, Lucky terus saja mengocehinya jika ia belum boleh terlalu banyak bergerak.
Verisa hanya bisa menghela napas berat dengan kekeraskepalaan Lucky itu.
Masalahnya tidak sesederhana itu. Kini Verisa sudah harus kembali ke sekolah. Yang lebih merepotkan lagi, kelas Verisa berada di lantai dua. Dan di sekolah tidak ada lift. Jadi, inilah yang dilakukan Lucky setiap hari. Mengantar Verisa berangkat sekolah sampai kelasnya. Ya, sampai ke dalam kelasnya, bahkan sampai ke meja di kelasnya.
Lucky berkeras ingin mengantarnya, bahkan menggendongnya ketika harus melewati tangga, hingga sampai di kelasnya. Saat istirahat, Lucky akan datang hanya untuk membawakannya makan siang. Dan saat pulang, Lucky juga akan melakukan hal yang sama seperti saat mengantarnya.
Pihak sekolah pun tidak melarang Lucky masuk ke dalam kelas karena memang pihak sekolah juga tidak bisa memindahkan kelas Verisa ke lantai bawah.
“Jadi, aku masih belum boleh jalan, Kak? Seenggaknya pakai tongkat, gitu?” pinta Verisa penuh harap, ketika sarapan pagi itu.
“Belum bisa, Ve. Kamu masih masa pemulihan. Dokter bilang, tulang belakangmu masih rawan cedera kalau dipakai buat jalan atau gerak terlalu sering,” tolak Lucky lembut.
Verisa mendengus kesal sambil melahap roti yang sudah tersaji di depannya.
“Kamu mau makan siang pakai apa nanti?” tanya Lucky mengalihkan pembicaraan.
“Makan orang kalau bisa!” ketus Verisa.
Lucky tersenyum geli, lalu mengacak rambut Verisa. “Maaf, Ve. Aku cuma nggak mau ambil resiko tentang kesehatanmu, sampai dokter bilang kalau kamu benar-benar sembuh.”
Verisa mendesah berat, cemberut. Mendengar itu, Verisa tak bisa membantah. Lucky sudah berusaha sangat keras untuk menjaga dan merawatnya. Bahkan menurutnya, ini berlebihan. Terlepas Lucky bukanlah keluarganya. Pria itu hanya berjanji akan menjaganya seperti keluarganya.
Tapi, melihat bagaimana pedulinya pria itu padanya, terkadang membuat Verisa tersentuh juga. Hatinya sering bergolak aneh, bahkan pikirannya juga selalu terbayang pria itu. Ketika tidak melihatnya, rasanya seperti ingin cepat-cepat pulang supaya bisa melihatnya. Dan ketika berada di dekatnya, seolah ada perasaan nyaman. Perasaan yang aneh yang baru pertama Verisa rasakan. Tiba-tiba Verisa mendengus geli karena pemikirannya itu.
“Kamu ... kenapa senyum-senyum sendiri, Ve?” tanya Lucky mengejutkan Verisa.
Oh, tidak. Verisa lupa jika di depannya ada Lucky. Sumber pikirannya tadi. Lalu, ia hanya meringis sambil menggelengkan kepalanya sebagai jawabannya. Tidak mungkin juga Verisa mengatakan pikiran bodohnya tadi. Sangat memalukan.
“Kak,” panggil Verisa yang dibalas deheman oleh Lucky. “Kakak beneran nggak apa-apa tinggal di sini sama aku?”
“Memangnya kenapa?” Lucky balik bertanya.
“Ehm ... itu, keluarga Kakak ... nanti gimana?” singgung Verisa, sedikit ragu.
Selama ini ia memang belum pernah tahu asal usul keluarga Lucky. Pria itu bahkan tahu segalanya tentang Verisa. Lucky selalu ada di sisinya, tak pernah absen merawatnya. Bahkan kapan pun Verisa memintanya datang, pria itu akan datang. Lalu, bagaimana dengan keluarganya?
Verisa ... juga ingin tahu tentangnya.
***
Lucky terkejut ketika mendengar pertanyaan Verisa. Kenapa gadis itu tiba-tiba menanyakan tentang keluarganya?
“Kalau Kakak belum mau cerita tentang keluarga Kakak, nggak apa-apa kok. Aku nggak maksa,” putus Verisa.
Lucky menatap Verisa yang tampak sedikit gelisah. Gadis itu benar-benar menggemaskan. Bagaimana Lucky tidak jatuh cinta pada gadis itu?
Ya, Lucky sudah yakin dengan perasaannya kini, ia memang mencintai Verisa. Gadis kecil itu. Meski ini salah menurutnya karena ia tak mau merusak kedekatannya dengan Verisa. Lucky hanya perlu mencintai gadis itu dalam diam sampai Verisa bisa menemukan cintanya dan pergi bersama cintanya. Itu akan lebih baik untuk Lucky. Dengan begitu, tugasnya untuk menjaga Verisa telah selesai. Juga dengan janjinya.
“Ayo, berangkat,” ucap Lucky seraya berdiri dan menghampiri Verisa untuk membantunya mendorong kursi roda.
Di dalam mobilnya, Lucky sempat melirik Verisa yang masih tampak canggung dan gelisah. Apa Verisa masih merasa tidak enak karena pertanyaannya tadi?
Lucky masuk ke sisi kemudi dan melajukan mobilnya. Ketika mobil memasuki jalan utama, Lucky berdehem. Meminta perhatian Verisa.
“Aku nggak punya keluarga,” sebut Lucky sambil melirik Verisa sekilas.
Ia sempat melihat keterkejutan Verisa ketika gadis itu juga menoleh menatapnya.
“Sejak kecil, aku tinggal di panti asuhan karena aku nggak punya keluarga. Ibu panti bilang, waktu usiaku baru dua tahun, aku ditinggalin begitu aja di pinggir jalan. Kalau bukan Ibu panti yang nemuin aku, pasti aku nggak akan hidup sampai sekarang. Atau mungkin aku udah ....”
“Jangan ngomongin apa yang nggak terjadi, Kak,” sela Verisa.
Lucky tersenyum pada Verisa. “Ya, aku bersyukur karena aku bisa jadi kayak sekarang ini. Kamu tahu, apa impianku waktu kecil dulu?” tanya Lucky.
“Apa emangnya?” Verisa terdengar penasaran.
“Kamu tebak, dong?”
“Ehm ... Polisi? Dokter? Tentara? Atau artis?” Verisa menyebutkan semuanya, membuat Lucky tersenyum geli.
“Photografer,” sebut Lucky.
“Eh, kenapa?”
“Sejak kecil, aku pengen banget pergi ke berbagai tempat yang indah. Ngabadiin semua hal yang bisa aku lihat. Tapi, kesempatan itu nggak pernah ada buat aku. Aku nggak pernah hidup berkecukupan. Bahkan waktu SMP, aku udah jualan demi bisa ngelanjutin sekolahku. Selama aku ngejalanin hidup yang berat itu, aku sadar kalau mau ngedapetin apa yang kita inginkan, kita harus bekerja keras lebih dulu.
“Aku memulai tekadku saat itu. Aku belajar setiap hari, aku juga bekerja setiap hari. Aku coba ngelakuin apa pun yang aku bisa. Sampai aku bisa ngelanjutin sekolah ke SMA. Ada beberapa teman-temanku di panti yang nggak bisa ngelanjutin karena emang keuangan panti nggak mencukupi, juga mereka lebih memilih bekerja daripada sekolah.” Lucky menoleh menatap Verisa sekilas yang sedang lekat menatapnya.
Lucky tersenyum geli. “Kamu tahu, gimana aku ketemu ayahmu?” tanya Lucky.
Verisa menggeleng cepat.
“Waktu itu, aku masih SMA tingkat terakhir. Mungkin waktu itu, kamu masih SD?” Lucky mendengus geli, membandingkan usia mereka.
“Apa aku harus manggil Kakak dengan sebutan Om, biar kelihatan seberapa tuanya Kakak, hm?” ancam Verisa, meledek.
“Aku nggak setua itu, kan?” Lucky masih bisa menggoda Verisa.
“Lanjutin, Kak?” pinta Verisa masih dengan rasa penasarannya.
“Waktu itu hampir menjelang sore, aku baru aja pulang dari tempat kerja part time-ku. Di salah satu gang arah panti asuhan, aku sempat ngelihat sebuah mobil dicegat sama beberapa orang jahat. Karena keadaan jalan di sana emang lumayan sepi, aku susah cari bantuan. Makanya, aku berinisiatif buat nolongin orang itu sendiri. Dengan sok beraninya.” Lucky mendengus mengingat itu.
“Orang yang Kakak tolong itu ... ayahku?” Verisa memastikan.
Lucky mengangguk sebelum melanjutkan ceritanya,
“Aku cari benda apa aja buat aku jadiin senjata. Aku ngelihat ada bambu. Dengan keberanian penuh, aku ngehampirin mereka sambil berteriak buat ngusir mereka. Tapi, emang aku yang bodoh. Aku sendirian cuma bersenjata bambu yang nggak begitu gede, sedangkan orang jahatnya pakai senjata tajam.
“Tapi, aku tetap nggak gentar waktu ngelihat mereka nodongin pisaunya ke arahku. Ayahmu sama supirnya bisa bebas dari orang-orang jahat itu, dan aku dengan brutalnya maju meringsek mereka dengan membabi buta.”
Lucky tertawa mengingat kejadian bodoh itu.
“Apa yang lucu sih, Kak?” Verisa mengerutkan kening heran.
“Aku,” akunya sendiri. “Karena dengan sok beraninya ngelawan orang-orang jahat itu sendirian. Apa namanya kalau bukan cari mati, kan?”
“Terus, terus. Apa Kakak berhasil ngelawan mereka?” tanya Verisa.
“Tentu aja ... aku yang babak belur, Ve,” balas Lucky dengan geli, membuat Verisa mendengus tak percaya.
“Aku cuma terus aja ngayunin bambu itu buat ngehalau mereka. Dan mungkin sekitar sepuluh menit, polisi akhirnya
datang. Pikirku, ayahmu yang telepon polisinya. Karena aku terlalu senang waktu dengar suara sirine polisi, aku lengah. Di situlah salah satu dari perampok itu justru nusuk perutku pakai pisaunya.” Lucky menoleh menatap Verisa yang terkesiap kaget.
“Aku baik-baik aja. Karena ayahmu juga dengan cepat bawa aku ke rumah sakit. Dan saat itulah, aku kenal ayahmu. Orang yang sangat berjasa di hidupku dan udah buat aku jadi kayak gini,” tutup Lucky dengan rasa bangga pada ayah Verisa.
Tepat ketika ceritanya berakhir, Lucky memarkirkan mobilnya di depan gerbang sekolah dan turun untuk menyiapkan kursi roda. Ketika ia membuka pintu penumpang dan hendak menggendong Verisa, ia sempat terkejut ketika Verisa sudah berkaca-kaca sambil menatapnya.
“Kamu kenapa, Ve?” tanya Lucky, panik.
Verisa menghambur memeluk Lucky dan menangis dalam pelukannya. Entah karena apa gadis ini menangis. Lucky membalas pelukannya, menenangkan Verisa. Yang jelas, Lucky tidak akan pernah meninggalkan Verisa sampai saatnya tiba nanti.
“Makasih ... karena Kakak udah nolongin Ayah, dulu,” ucapnya dalam isak.
“Sama-sama, Ve. Aku pun berterima kasih buat ayahmu yang juga udah nyelametin nyawaku,” balas Lucky tulus.
Lucky merasakan pelukan Verisa semakin erat. Ia menunduk menatap gadis itu yang kini tersenyum, tapi dengan mata basahnya.
Gadis kecilnya yang menggemaskan.
***
Verisa benar-benar tak sanggup menahan tangisnya lagi. Ia menghambur memeluk Lucky yang ada di depannya,
menyembunyikan tangis yang sudah terlihat jelas. Ia tak tahu, jika saat itu tidak ada Lucky, pasti ayahnya sudah lebih dulu meninggalkan Verisa. Bahkan pria yang dipeluknya kini adalah pria yang sama yang menyelamatkan dirinya dari kesendirian.
Verisa mengeratkan pelukannya. Meyakinkan diri jika Lucky benar-benar ada di sisinya, di hadapannya, di pelukannya.
“Ve?” panggil Lucky. “Kamu ada ujian kan, hari ini?” ucap Lucky seketika membuat Verisa terkesiap kaget.
“Ah, iya!”
Lucky tersenyum sambil menggendong Verisa turun dari mobil dan mendudukkannya di kursi roda sebelum membawanya ke dalam sekolah.
“Tunggu, Kak,” tahan Verisa, menghentikan laju kursi rodanya.
“Ada apa?” Lucky memutar, berjongkok di depan Verisa.
Melirik kantung jas Lucky, ia menarik sapu tangan yang memang menghiasi kantung jas pria itu dan menggunakannya untuk membersihkan air matanya.
“Hey!” protes Lucky.
“Gara-gara siapa aku nangis gini?” Verisa tak mau kalah, tapi ia tersenyum juga ketika Lucky juga tersenyum padanya.
“Makasih udah nangis buat aku,” kata Lucky tulus.
Verisa sungguh tak tahu apa yang dirasakannya sekarang. Semakin lama ia bersama Lucky, rasanya ia tak mau lagi berpisah darinya. Jantungnya selalu berdetak tak karuan, perutnya selalu bergolak aneh seolah sesuatu menggelitik di dalamnya, dan hatinya selalu mengembang hangat. Ini pertama kali untuknya.
“Jangan nangis lagi ya, Ve. Nanti matamu bengkak.”
Verisa mendengus kesal serasa memukul lengan Lucky, ketika tangan pria itu justru terulur untuk mengusap bekas air matanya. Sekejap kehangatan menyeruak di hati Verisa. Ya, Verisa bahagia karena Lucky ada di sini. Tak peduli akan perbedaan atau apa pun yang ada pada mereka. Meski mungkin, perasaan Lucky tak sama dengan perasaannya.
Namun tiba-tiba, Verisa terkejut ketika tak merasakan sentuhan tangan Lucky di pipinya. Ia melihat tangan Lucky masih mengusap bekas air matanya, tapi kenapa ia tidak merasakan sentuhan tangan pria itu? Apa yang terjadi?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
yesread
gemesiin, semoga cinta mereka berbalas.
2020-05-02
2