NovelToon NovelToon

Ending Scene

Bad Reality

Gadis itu duduk termenung sendiri di depan sebuah nisan dengan air mata yang terus mengalir. Tatapannya kosong pada nisan yang bertuliskan nama ibunya, Risayu Ningsih. Ketika prosesi pemakaman itu selesai, gadis itu tidak menghiraukan pelayat atau siapa pun yang akan berpamitan padanya. Ia hanya duduk terdiam, mematung dengan tatapan kososng, masih tampak tak percaya dengan apa yang terjadi. Hingga Lucky, yang menjadi orang kepercayaan orang tua gadis itu, yang mewakili menemui pelayat yang akan berpamitan.

Lucky melihat gadis itu memejamkan mata, kembali menangis tanpa suara. Rasanya, hatinya seperti teriris melihat gadis kecil ini menangis pilu seperti itu.

“Nona Verisa,” panggil Lucky. “Sebaiknya Nona pulang karena sebentar lagi akan turun hujan,” beritahunya sambil mengambil tempat di belakang Verisa.

Gadis itu tidak menjawab.

Lucky merasakan tetesan kecil air jatuh di tangannya. Gerimis. Ia membuka payung yang dibawanya dan segera memayungi Verisa.

“Nona, jika Nona masih ....”

“Kenapa takdir begitu kejam sama aku?” tanya Verisa pelan, memotong kalimat Lucky. “Aku salah apa? Sampai aku diberi takdir kayak gini?” lanjutnya dalam isak.

“Nona ... tenanglah. Nona harus kuat,” Lucky mencoba menguatkannya.

Lucky terkejut ketika Verisa menoleh menatapnya. Terlihat jelas luka yang dalam dari mata cokelat gadis itu yang memerah. Lucky tak sanggup melihat lebih lama lagi mata itu.

Masih sambil memegangi payung di tangan kirinya, Lucky mengangkat tangan kanannya, memegang bahu Verisa dan membantunya berdiri seraya berkata,

“Kita pulang, Nona. Jika Nona Verisa tetap di sini, kita bisa kehujanan.”

“Kenapa aku?” ucap Verisa penuh kekecewaan, mengabaikan ajakan Lucky. “Kenapa aku!?” teriaknya penuh emosi.

Lucky tak mampu menjawab tanya Verisa. Ia tak tahu harus menjawab apa karena ini memang sebuah takdir. Ia sungguh tidak bisa melihat gadis ini tenggelam dalam sedihnya. Verisa kembali berlutut di depan makam, meremas tanah makan itu, dan kembali menangis, lebih keras kini.

“Kenapa Ibu tega pergi ninggalin aku sendiri? Kenapa ibu pergi nyusul Ayah tanpa aku?” luapnya penuh emosi. Verisa benar-benar masih belum bisa percaya dengan semua yang terjadi.

Verisa memeluk nisan ibunya dan berteriak memanggil ibunya. Berkali-kali. Ketika itu pula hujan turun begitu deras. Lucky berusaha memayungi Verisa supaya tidak kehujanan, tapi ketika Verisa semakin emosi, ia menarik payung di tangan Lucky dan membuangnya. Membuat air hujan kini mengguyur tubuh Verisa juga.

“Nona, tenanglah. Jangan seperti ini. Nanti Nona bisa sakit kalau hujan-hujanan begini,” ucap Lucky, tapi masih tidak dihiraukan Verisa.

Lucky tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa berdiri di belakang tubuh Verisa sambil menghalau hujan yang jatuh ke atas kepala Verisa dengan tangannya, menggantikan payung yang dibuang Verisa tadi. Melihat gadis itu terus saja menangis dan memanggil ibunya, Lucky mencoba kembali membujuknya,

“Nona, kumohon jangan seperti ini. Nona bisa sakit, nanti. Saya di sini untuk Nona, saya akan menjaga Nona dengan baik. Saya nggak akan meninggalkan Nona. Saya janji. Jadi, ayo pulang.”

Verisa menoleh menatap Lucky. Tatapannya begitu lemah. “Benarkah?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar jika Lucky tidak ada di belakang Verisa.

Lucky mengangguk mantap dengan senyum kecil, meyakinkannya.

Lalu, Verisa kembali menatap nisan ibunya dan berkata, “Aku sayang Ibu ... sama Ayah.”

Namun, ketika kalimat itu selesai diucapkan, Verisa jatuh tak sadarkan diri di atas makam ibunya.

***

Verisa merasa kepala dan matanya begitu berat ketika ia sadar. Selama beberapa saat ia hanya diam menatap langit-langit ruangan itu. Rumah sakit. Ketika ia mendengar suara pintu terbuka, ia tak perlu menatap siapa yang datang. Karena tidak ada yang lebih diharapkan Verisa lagi saat ini, selain orang tuanya yang sudah pergi meninggalkannya. Sendirian.

“Nona sudah sadar? Gimana kondisi Nona saat ini? Oh, saya panggil dokter sebentar,” rentet Lucky terdengar lega.

Lega? Mendengar itu, Verisa tidak ada niatan untuk menjawab Lucky.

Setelah dokter datang untuk memeriksa dan memberitahu keadaannya yang sudah membaik, dokter itu pergi meninggalkan Verisa dan Lucky. Selama beberapa saat tak ada yang berbicara. Sampai Verisa memanggil Lucky ketika pria itu akan keluar.

Lucky kembali menghampiri tempat tidur Verisa. “Ada apa, Nona?”

“Yang Kak Lucky bilang kemarin ... ke aku, itu ... benar?” Verisa memastikan ucapan Lucky tentang janjinya. Bahkan Verisa menatapnya lekat untuk melihat langsung dari ekspresinya.

Lucky mengangkat alis. “Kenapa Nona menanyakan itu?”

Verisa berusaha duduk, Lucky dengan sigap membantunya dan menyiapkan bantal di belakang Verisa untuk bersandar dan menekan tombol untuk menaikkan brankar ke posisi duduk. Verisa kembali menatap lekat ke mata Lucky.

“Kak Lucky tahu, aku sendirian sekarang. Aku nggak punya orang tua lagi. Aku juga nggak tahu gimana aku bisa hidup tanpa mereka ada di sampingku. Tapi, ketika kemarin Kak Lucky berjanji bakal jagain aku dan ada di sisiku, aku berharap aku benar-benar nggak sendirian lagi.” Mata Verisa terasa panas dan tenggorokannya seperti tercekat mengingat takdirnya yang sebatang kara. Ia menunduk dalam, tak mau memperlihatkan air matanya lagi.

“Saat aku sadar kalau aku udah nggak punya siapa-siapa lagi, rasanya aku nggak mau hidup lagi. Aku nggak bisa hidup sendirian.” Air matanya jatuh di tangannya. Namun, Verisa terkejut ketika Lucky justru menariknya ke pelukannya.

“Nona, jangan sedih terus. Yang Nona tanyakan tadi, itu benar. Saya berjanji pada Nona kemarin di makam kedua orang tua Nona, untuk ada di sisi Nona dan menjaga Nona. Saya bahkan sudah berjanji pada almarhum Pak Veri dua tahun lalu, jika saya akan menjaga perusahaannya untuk Nona, juga keluarganya dengan baik. Jadi, Nona jangan khawatir. Saya di sini untuk Nona,” ucapnya mantap.

Mendengar itu, Verisa merasakan kelegaan di hatinya. Setidaknya ia tidak benar-benar sendiri. Dalam pelukan Lucky, Verisa menyembunyikan tangisnya, hingga sesegukan, dan hingga rasa kantuk datang. Dan setelahnya, Verisa mungkin benar-benar tertidur. Di pelukan Lucky.

***

Entah berapa lama gadis ini menangis hingga tertidur di pelukannya. Lucky ikut merasa sedih melihat gadis kecil ini begitu sedih mendapati dirinya tak memiliki keluarga lagi. Namun, Lucky memang sudah berjanji pada Pak Veri dua tahun lalu, di hari sebelum Pak Veri meninggal, dan kemarin di depan makam kedua orang tua Verisa.

Setelah meletakkan Verisa kembali ke tempat tidurnya, membenarkan letak selimutnya. Lucky duduk di samping tempat tidur Verisa, ia mengamati lekat gadis kecil di depannya ini. Wajahnya yang pucat dan terlihat kurus, tapi tidak menghilangkan kecantikannya. Bahkan di usianya yang masih remaja ini, dia bisa begitu ... cantik. Dan manis.

Lucky seketika mengerjap dan mendengus geli akan pikirannya sendiri. Apa-apaan itu tadi?

Lucky menggelengkan kepalanya, berusaha melenyapkan pikiran tentang Verisa di kepalanya. Jika Verisa tahu, ia pasti akan merasa tidak nyaman. Tapi, Lucky masih tidak bisa mengalihkan tatap dari gadis itu?

Ketika Lucky melihat Verisa mengernyit dalam tidurnya, reflek ia berdiri dan mendekat pada Verisa. Mengangkat tangannya untuk mengusap lembut rambut gadis itu.

“Tenang, Nona Verisa. Tidur yang nyenyak.”

Selama beberapa saat, itu yang dilakukan Lucky, memastikan Verisa tidak mimpi buruk. Hingga ponselnya berbunyi. Pria itu menarik diri dari Verisa dan keluar dari ruang rawat untuk mengangkat teleponnya.

“Ya. Ada apa?” jawab Lucky setelah mengangkat telepon itu.

“Ada beberapa berkas yang harus Pak Lucky tanda tangani. Apa Bapak akan ke kantor atau saya antar berkasnya ke Bapak?” tawar Reni, sekretaris Lucky, dengan formal.

“Sepertinya pilihan kedua lebih baik. Saya ada di rumah sakit karena menunggui Nona Verisa. Kalau bisa, tolong sekalian bawakan baju ganti untuk Nona Verisa. Karena saya nggak bisa pergi ninggalin dia sendiri di sini,” pinta Lucky.

“Baik, Pak,” balas Reni.

Telepon terputus setelah Lucky mengucapkan terima kasih. Lalu, Lucky menghubungi orang lain lagi.

“Putra, bisa bantu aku?” tanya Lucky, ketika teleponnya diangkat oleh Putra, orang yang dipercaya Lucky dan yang sering membantunya di perusahaan.

“Ya, ada apa, Bro?” balas Putra di seberang sana, meninggalkan keformalan.

“Aku butuh informasi tentang kegiatan terakhir Nona Verisa di sekolah, di luar sekolah, atau apa pun sebelum Ibu Risa meninggal. Kabari aku secepatnya. Karena aku nggak bisa ninggalin Nona Verisa sendirian di rumah sakit,” perintahnya.

“Baiklah, Pak Bos. Aku akan melakukan tugasku dengan baik. Sampaikan salamku untuk Nona Verisa, ya. Semoga dia lekas sembuh,” ucap Putra tulus.

“Bakal aku sampaiin nanti kalau Nona Verisa udah bangun. Makasih.”

“Sama-sama, Ky. Toh, ini memang tugasku buat ngebantu kamu, kan? Jaga dirimu baik-baik,” kata Putra dalam dengusan gelinya.

“Aku bukan anak kecil, Kawan. Tapi, makasih.”

Lucky kembali ke dalam ruang rawat Verisa, melihat keadaannya, mengusap lagi rambut Verisa pelan, lalu berjalan ke arah sofa di ruangan itu dan mengambil laptop untuk mengecek pekerjaannya.

Lucky akan menjaga Verisa, juga perusahaan yang ditinggalkan ayahnya untuk dia. Ia berjanji.

***

Setelah mendapatkan kabar dari Putra tentang sekolah Verisa, kegiatan lesnya, bahkan tentang daftar nama teman-teman Verisa. Lucky mulai menjadwal itu semua. Dia harus mulai memerhatikan gadis itu dari setiap kegiatannya. Memastikan semua yang biasa gadis itu lakukan, akan kembali menjadi kegiatan rutinnya.

“Kak Lucky?” Panggilan itu datang dari Verisa.

“Nona butuh sesuatu?” Lucky berdiri dari sofa dan menghampiri Verisa.

“Kapan aku boleh pulang?” tanya Verisa.

“Sore ini Nona sudah boleh pulang, tapi Nona harus tetap istirahat di rumah, nanti,” beritahu Lucky. “Dan, tadi sekretaris kantor sudah membawakan baju ganti untuk Nona.”

Verisa mengangguk-angguk. “Dan ... bisa kan, panggil aku nama aja? Aku mendadak ngerasa kurang nyaman dipanggil kayak gitu, di mana Kakak sekarang yang ngurus semua kebutuhanku.”

Verisa mendengus pada dirinya sendiri.

“Biasain diri Kakak buat manggil aku tanpa kata Nona, hm? Juga, Kakak nggak perlu lagi bicara formal sama aku.” Lagi, Verisa menekankan.

Kini Lucky yang mengangguk. Sambil mengangsurkan tas jinjing berisi baju ganti pada Verisa, Lucky pamit keluar. Memberi ruang pada Verisa untuk mengganti pakaiannya.

Ketika Verisa sudah selesai, ia memanggil Lucky. Lucky merapikan barang-barang  Verisa, memasukkannya ke dalam tas jinjing dan membawanya.

“Nona ... ah maksudku Verisa, apa kamu perlu menggunakan kursi roda untuk turun ke lobby rumah sakit?” tanya Lucky, masih agak canggung.

“Nggak perlu. Aku baik-baik saja.”

Mendengar jawaban Verisa, Lucky membukakan pintu untuk gadis itu dan setelahnya mengikuti Verisa di belakangnya. Berjaga-jaga, takut Verisa masih belum cukup kuat untuk berjalan hingga ke parkiran.

Sampai di samping mobilnya, Verisa tiba-tiba berhenti dan berbalik untuk menatap Lucky.

Lucky hanya mengangkat alisnya sebagai pertanyaan.

“Boleh aku ... mampir sebentar ke makam Ayah dan Ibu?” pintanya pelan.

“Apa ini nggak terlalu sore, Verisa? Kamu masih harus istirahat sampai tubuhmu benar- benar ....”

“Sebentar aja,” pintanya dengan wajah memelas, memotong perkataan Lucky.

Lucky mendesah berat, mau tak mau mengangguk. Ia membukakan pintu mobil untuk Verisa, lalu membuka pintu belakang untuk meletakkan barang-barangnya, sebelum berlari memutari mobil dan duduk di kursi kemudi.

Selama perjalanan tidak ada yang berbicara, tapi Lucky sesekali mencuri pandang pada Verisa yang memandang ke arah jendela dengan tatapan kosong. Gadis ini, kenapa melihatnya seperti ini membuat Lucky merasa sakit?

Melihat air matanya kemarin pun, Lucky seperti tersayat. Menyakitkan.

Ia berjanji, ia akan mengembalikan kebahagiaan gadis kecil ini.

***

Gadis Kecil Pendiam

Sore itu, Verisa tak bisa menahan rindunya ingin kembali menemui ibu dan ayahnya, tepatnya ke makam kedua orang tuanya. Sejujurnya, Verisa masih tidak bisa percaya dengan takdir yang menimpa hidupnya ini, tapi inilah kenyataannya. Verisa tak bisa melawannya.

Ia meminta Lucky untuk tetap menunggunya di parkiran, sementara ia pergi ke dalam area pemakaman. Sendirian. Beralasan ia hanya ingin melepaskan rindunya bertiga saja dengan kedua orang tuanya. Tanpa orang lain. Dan Lucky menurutinya.

“Ayah, Ibu, apa kalian bahagia di sana?” Pertanyaan pilu pertama Verisa saat sudah berada di antara kedua makam orang tuanya. Bahkan ia sendiri bisa mendengar getar dalam suaranya.

Namun, Verisa berusaha tegar dan tidak mau menangis. Ia mendongakkan kepalanya dan mengambil napas dalam

sebelum berkata lagi,

“Jujur ... aku benci keadaan ini, Ayah, Ibu. Aku benci sendirian. Aku masih belum percaya kalau kalian pergi secepat ini ninggalin aku. Setelah Ayah, sekarang Ibu juga. Aku ngerasa ... nggak akan sanggup ngejalanin semuanya sendiri.”

Verisa menatap nisan ibunya. “Kalau aku sedih nanti, siapa yang akan ngehibur aku? Kalau aku punya masalah di sekolah, siapa yang akan jadi tempat ceritaku?” Tatapannya beralih ke makan ayahnya, “Dan ... kalau aku menikah nanti, siapa yang akan mewalikanku?”

Air mata Verisa jatuh juga, bersamaan dengan tubuhnya yang jatuh terduduk. Dalam benaknya, ia tak  pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Bahkan secepat ini, tapi lagi-lagi, inilah takdir. Verisa tidak bisa memilih atau melawannya. Sungguh takdir yang tak pernah Verisa harapkan.

Verisa kembali berdiri dan menatap nisan kedua orang tuanya bergantian. Ia menarik napas dalam sebelum berkata,

“Ayah ... Ibu ... aku udah putusin kalau hari ini adalah hari terakhirku jadi diriku sebelumnya. Aku bakal ngelupain kebiasaanku sama kalian. Aku akan berubah. Aku akan ... ngelupain kalian. Jadi ...” Verisa menarik napas dalam, “maaf.”

Setelah mengatakan itu dengan sangat berusaha menahan sesak di dadanya, ia pergi meninggalkan makam itu. Dengan hati yang berat.

***

“Kamu nggak apa-apa, Verisa?” tanya Lucky setelah melihat Verisa kembali dari makam dan langsung masuk ke dalam mobil tanpa mengatakan apa pun.

Lucky hanya mengikuti Verisa dan ikut masuk ke dalam mobil. Sesaat ia menatap Verisa yang tetap diam menghadap jendela, ia urung bertanya. Gadis itu pasti masih sangat sedih. Ia bisa melihat jejak air mata yang masih membekas di pipinya. Juga, matanya yang memerah. Nanti ia akan mengajaknya bicara ketika gadis itu sudah lebih tenang.

Dengan pikiran itu, Lucky melajukan mobilnya menuju rumah Verisa.

Sesampainya di rumah, gadis itu langsung turun. Masih tidak mengatakan apa pun pada Lucky. Ia menatap Verisa heran, kenapa Verisa menjadi sangat diam seperti itu?

Khawatir gadis itu akan melakukan hal yang tidak terduga, Lucky segera mengikutinya. Ketika gadis itu masuk ke kamarnya, Lucky hampir menyusulnya. Namun, Verisa justru membanting pintunya, tepat di depan wajahnya, membuatnya terkejut.

Lucky ingin memastikan Verisa tidak melakukan hal bodoh di dalam kamarnya. Ia khawatir jika Verisa ... ah tidak, jangan berpikir buruk tentang gadis itu. Ia yakin Verisa tidak akan melakukan hal sebodoh itu, tapi jika sampai sesuatu terjadi di dalam ....

Pikiran tentang Verisa benar-benar membuatnya khawatir. Apa sebaiknya ia menerobos masuk ke dalam? Tidak, Verisa pasti akan sangat marah.

“Verisa,” panggil Lucky akhirnya, sambil mengetuk pintu kamar itu. “Boleh saya masuk?” ijinnya.

Selama beberapa saat tidak ada jawaban dari dalam. Lucky semakin khawatir. Apa ia masuk saja dan ....

Pintu terbuka sedikit. “Aku mau istirahat, Kak,” Verisa berkata datar, lalu menutup pintunya lagi. Namun, Lucky sempat menahan pintu itu.

“Tunggu sebentar!”

Verisa hanya menatap Lucky, datar.

Lucky mendesah pelan. “Oke. Saya akan minta Bibi menyiapkan makan malam. Kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa memanggil saya. Saya akan tetap di rumah ini sampai nanti malam,” beritahu Lucky dengan senyum tenangnya.

Verisa mengangguk pelan, lalu kembali menutup pintunya. Masih tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir gadis itu.

Lucky hanya bisa mendesah berat menanggapinya. Butuh waktu untuknya bisa memahami gadis itu. Selama ini, Lucky hanya sibuk mengurusi perusahaan ayah Verisa. Ia tidak terlalu sering bertemu dengan gadis itu, berbincang pun tidak pernah. Hanya sapaan saja, itu pun jika mereka bertemu. Mungkin, sebaiknya ia bertanya pada Bi Minah tentang keseharian Verisa.

***

Dengan enggan Verisa keluar menuju ruang makan, ketika Lucky memanggilnya untuk makan malam. Jika tidak, pria itu justru akan membawa makan malamnya ke kamar. Dan Verisa tidak suka ada orang lain, terutama pria asing yang masuk ke kamarnya sembarangan.

“Apa kamu sudah ngerasa lebih baik, Verisa?” tanya Lucky ketika Verisa baru duduk di kursi di ruang makan.

“Aku baik-baik saja,” balasnya datar.

Verisa melirik Lucky yang duduk di seberangnya. Tidak ada piring di hadapannya. Apa ini makan malamnya sendiri? Lalu, untuk apa pria itu memanggilnya dan hanya duduk menungguinya di sini?

Ia melihat menu makanan yang Bi Minah siapkan. Semua makanan kesukaannyaa, tapi malam ini ia sama sekali tidak nafsu makan.

“Kenapa? Bukannya ini semua makanan kesukaanmu?” tanya Lucky.

Verisa menggeleng, lalu mengangguk. Enggan menjawab, tapi akhirnya ia mengambil setengah centong nasi dan udang saus tiram kesukaannya.

Ketika ia memasukkan sesuap makanan ke mulutnya, Verisa mengerutkan kening, lalu meletakkan sendoknya. Makanan ini enak, tapi kenapa makanan ini justru terasa hambar di mulutnya?

“Kenapa lagi, Verisa? Ada yang aneh dengan rasa makanannya?” tanya Lucky, cemas.

“Rasanya hambar,” sebutnya.

Lucky mengambil sendok dan mencobanya. “Ini enak. Nggak hambar,” beritahu Lucky.

Verisa melengos, tidak mau menanggapi. Karena memang kenyataannya makanan ini tidak hambar. Lidahnya saja

yang hambar.

“Kamu butuh sesuatu, Ve? Oh maaf, maksudku Verisa,” ralat Lucky.

“Ve? Lebih enak didengar, sih. Aku nggak masalah sama panggilan singkat itu. Dan sekarang, aku mau balik ke kamar,” Verisa berkata, masih datar. Ia berdiri hendak kembali ke kamarnya, tapi Lucky sudah menahan tangannya.

“Apa kita bisa bicara sebentar?”

“Aku lagi nggak mau ngomongin hal apa pun. Jadi ...” Verisa menatap tangan Lucky yang masih menahan tangannya, “lepasin tangan Kak Lucky. Tolong.”

Lucky melepaskannya. “Tapi, seenggaknya habisin makananmu dulu dan minum obatnya. Biar kamu cepat sembuh.”

Verisa menatap Lucky sekilas. Tapi, tidak menuruti perkataan Lucky. Verisa justru pergi ke kamar, meninggalkan  pria itu.

Di atas tempat tidurnya, Verisa duduk bersandar sambil menekuk lutut. Untuk saat ini, Verisa sungguh ingin sendiri. Meski ia tidak ingin benar-benar sendirian, sebenarnya.

Ketika Lucky berjanji untuk ada di sisinya dan bertanggung jawab atas hidupnya sebagai pengganti orang tuanya, Verisa sedikit merasa lega. Tapi, ada rasa aneh yang ia rasakan juga. Dan entah apa. Mungkinkah itu rasa harapnya karena ada Lucky di sini sebagai pengganti orang tuanya?

Ia tahu siapa Lucky. Ayah pernah bercerita tentang bagaimana Lucky bisa menjadi orang kepercayaan ayahnya di perusahaan. Ketika Lucky masih menjadi karyawan biasa di perusahaan Ayah yang masih dirintisnya, Ayah pernah hampir ditipu dan dicurangi oleh rekan kerjanya sendiri. Saat itu Lucky sempat melihat bagaimana rekan kerja Ayah melakukan kecurangan itu di belakang Ayah. Hingga suatu ketika dalam rapat penting para pemegang saham, rekan kerja Ayah memberikan bukti palsu tentang kecurangan Ayah di perusahaan. Sehingga Ayah terancam dipecat dan dipidana.

Namun, tepat sebelum Ayah di seret keluar ruang rapat atau bahkan kantornya sendiri, Lucky datang dengan membawa bukti rekaman jika Ayah tidak bersalah. Dari situlah, Ayah percaya pada Lucky. Dan kini memercayakan perusahaan di tangannya setelah Ayah meninggal.

Mengingat bagaimana Lucky berjanji kemarin, bahkan pria itu mencoba menguatkannya, memeluknya dengan tulus hingga Verisa tertidur. Verisa sedikit merasa bersalah karena bersikap kurang baik pada pria itu sejak sore tadi. Ia hanya ingin tidak terlihat lemah. Mencoba untuk kuat dan menerima semua takdirnya. Meski hatinya hancur.

Ia masih mengingat perkataan Ayahnya ketika ia masih SMP dulu,

“Takdir itu selalu tertulis baik untuk setiap manusia, Ve. Entah itu hal buruk sekalipun, itulah takdir yang Tuhan catat untuk makhluknya. Yang perlu manusia lakukan hanya bersyukur dan jalani. Tanpa penyesalan. Karena hidup hanya sekali. Jadi, jangan pernah sia-siakan hidupmu.”

Dengan pesan itu, Verisa menguatkan diri untuk menerima takdirnya, meski terasa sangat menyakitkan. Tapi, Ayah bilang hidup hanya sekali dan tidak boleh di sia-siakan. Jadi, dengan keputusan Verisa kemarin di depan makam orang tuanya, ia akan menerima hidupnya saat ini. Ia akan menjalaninya dengan cara melupakan semua kenangan bersama keluarganya. Meski itu akan sulit juga baginya, tapi ia tidak sanggup jika terus terbayang ayah dan ibunya ketika ia sudah tidak memiliki mereka lagi.

Itu keputusannya. Ia akan mulai menjalaninya.

***

Lucky sempat terkejut, ketika pagi itu Verisa memintanya untuk melepaskan semua foto keluarga yang terpajang di rumah Verisa. Gadis itu tak mengatakan alasannya kenapa, tapi ia bilang ia hanya ingin melepaskannya dan menyimpannya.

“Apa kamu yakin, nggak apa-apa kalau nggak ada fotomu dan keluargamu di rumah ini?” Lucky masih memastikan.

“Itu justru lebih baik,” ucapnya dingin.

Kening Lucky berkerut, berpikir. Ada apa sebenarnya dengan Verisa? Kenapa sikapnya berubah dingin begini?

Ketika permintaan Verisa sudah selesai dikerjakan, Lucky melihat Verisa yang sedang mengamati sekeliling. Seolah memastikan tidak ada lagi foto, di sudut mana pun. Mendapati semua foto sudah diturunkan, Verisa mendesah berat setelahnya.

Lalu, ia meminta Lucky untuk memberinya kendaraan sendiri.

“Nggak bisa, Ve. Kamu belum cukup umur untuk membawa kendaraan sendiri,” tolak Lucky.

“Aku cuma mau belajar mandiri. Apa salahnya?” Verisa beralasan.

“Tetap nggak bisa apa pun alasannya. Sekarang kamu sudah menjadi tanggung jawab saya. Apa pun yang kamu butuhkan, saya yang akan siapkan. Tapi, nggak untuk kendaraan. Saya sendiri yang akan mengantar dan menjemputmu ke sekolah. Juga dengan ke mana pun kamu pergi, saya yang akan mengantarmu,” putus Lucky tegas, membuat Verisa menatapnya kesal.

“Ini demi kebaikanmu dan janjiku pada orang tuamu, Ve,” Lucky berkata lebih lembut.

“Aku nggak peduli,” dengusnya kasar, lalu pergi ke kamarnya.

Lucky masih harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya, tapi ia khawatir meninggalkan Verisa sendiri dalam keadaan emosi seperti ini. Mau tidak mau, Lucky meminta bantuan Bi Minah untuk menjaga dan mengawasinya.

“Tolong, jangan biarin Verisa keluar rumah dulu ya, Bi. Saya harus kembali ke kantor karena ada pertemuan penting,” beritahu Lucky.

“Baik, Pak Lucky. Saya dan Mang Karso akan menjaga Non Verisa,” balas Bi Minah sopan.

“Pastikan Verisa makan dengan teratur dan hubungi saya jika terjadi sesuatu,” pesan Lucky yang dibalas persetujuan Bi Minah. Lalu, Lucky benar-benar pergi ke kantor.

***

Selama rapat di kantor, Lucky merasa ponselnya bergetar beberapa kali di saku celananya. Ia tidak bisa mengangkatnya sekarang karena sedang mempresentasikan pekerjaannya.

Ketika Lucky selesai dengan presentasinya, ia meminta ijin pada kliennya untuk keluar sebentar. Ia khawatir itu telepon dari Bi Minah. Dan benar saja, ada lima panggilan tak terjawab dari Bi Minah.

“Ada apa, Bi?” ucap Lucky ketika menelepon balik Bi Minah.

Namun, mendengar jawaban dari seberang, Lucky tidak bisa menahan kepanikannya. “Bi Minah tenang dulu, ya. Saya segera pulang.”

Lucky harus kembali ke ruang rapat, meminta ijin untuk meninggalkan rapat, dan mengalihkan rapatnya pada sekretaris dan manajernya. Dengan cepat, Lucky berlari menuju parkiran dan segera memacu mobilnya menuju rumah Verisa. Dalam hati ia berdoa, semoga tidak terjadi apa-apa dengan Verisa.

Sampai di depan rumah Verisa, Lucky turun dari mobil dan berlari ke dalam. Bi Minah sudah menunggu Lucky di depan pintu kamar Verisa.

“Apa yang terjadi, Bi?” Lucky bertanya panik.

“Saya mau mengantar makan siang buat Non Verisa, Pak, tapi waktu saya ketuk pintunya, Non Verisa tidak mau membukakan pintunya. Lalu, saya coba membujuknya. Karena tidak ada jawaban dari dalam, saya khawatir terjadi sesuatu pada Non Verisa. Dan tadi ... saya sempat mendengar Non Verisa menjerit di dalam. Tapi, pintunya di kunci, jadi saya bingung harus bagaimana,” terang Bi Minah.

Lucky mencoba mengetuk pintu kamar Verisa dan memanggilnya, tapi tidak ada jawaban. Apa Lucky harus mendobraknya?

Ya, sebaiknya begitu. Lucky tidak mau terjadi sesuatu yang buruk di dalam sana. Lucky meminta Bi Minah mundur, lalu ia mengambil jarak dari pintu sebelum menerjang pintunya beberapa kali. Di terjangan ke lima, pintu itu berhasil terbuka. Lucky langsung lari ke dalam kamar dan mencari Verisa.

“Verisa!” panggil Lucky, panik.

Setelah mengecek semua ruangan yang ada di kamar itu, Lucky panik ketika tidak menemukan Verisa di sana. Namun, ketika ia akan mencarinya keluar, Lucky sempat mendengar isakan pelan dari dalam lemari besar di kamar Verisa.

Lucky mendekati lemari itu dan membuka pintunya. Ia bisa melihat Verisa duduk dengan menekuk lutut di dalam lemari di bawah bajunya yang digantung. Lucky mencelos melihat air mata Verisa.

“Ada apa, Ve?” tanya Lucky lembut. Sambil perlahan membantu Verisa keluar dari persembunyiannya.

Lucky menuntun Verisa hingga duduk di sisi tempat tidur. Menariknya dalam pelukannya, sambil menepuk pelan punggungnya. Menunggunya lebih tenang.

***

Rindu

“Saya bisa menjadi pendengar yang baik kalau kamu butuh tempat buat cerita, Ve,” tawar Lucky tulus, ketika Verisa masih sesegukan di pelukannya.

Melihat bagaimana Verisa bisa memeluknya erat, bahkan ketika ia dan gadis ini belum terlalu dekat satu sama lain, Lucky merasa Verisa benar-benar mulai percaya padanya. Gadis kecil polos ini sungguh tidak seharusnya mendapatkan takdir sekejam ini.

Lucky merasakan Verisa menarik kemejanya. Ia menunduk menatap Verisa yang sedang membersihkan bekas air matanya dengan kemeja Lucky. Ia tak bisa menahan senyum gelinya melihat tingkah gadis ini, tapi ia tidak melakukan apa pun. Ia hanya terus menenangkan Verisa dengan menepuk dan mengusap punggungnya.

“Kalau kamu sudah siap untuk cerita, cerita saja. Saya siap mendengarkan ceritamu,” sebut Lucky ketika

menarik diri dari pelukannya dan menatap mata gadis itu lekat.

Lucky sempat melihat sedikit keterkejutan di wajah gadis itu.

“Apa kamu ....”

“Aku kengen Ibu, Kak,” aku Verisa, akhirnya.

Lucky mencelos mendengar pengakuan Verisa. Ya, Verisa hanya gadis kecil yang masih labil. Ketika diusianya kini, di mana ia masih membutuhkan kasih sayang orang tuanya, ia justru ditinggalkan. Pasti terasa tidak adil baginya, tapi lagi-lagi, inilah takdir. Siapa pun tidak bisa menolaknya.

“Saya di sini, Verisa. Sekarang saya yang akan menjagamu. Saya yang akan menjadi keluargamu,” ucap Lucky dari hati. Ia bahkan terkejut dengan kata-katanya sendiri. Kenapa mulutnya begitu lancang berkata seenaknya? Verisa pasti tidak akan suka.

Verisa menunduk dalam sambil mengeringkan bekas air matanya.

“Makasih. Karena Kak Lucky ada di sini.”

“Maaf tentang perkataan saya tadi. Saya nggak bermaksud lancang. Kamu masih ingat, saya pernah berjanji sama kamu, kan?” Lucky mengingatkan yang dibalas anggukan pelan Verisa.

Sebelum melanjutkan ucapannya, Lucky mengambil air minum yang ada di nakas dan menyodorkannya pada Verisa.

“Minum dulu, nih. Tenggorokanmu pasti sakit karena menangis sampai sesegukan begitu.”

Verisa menerima gelas itu dan meminum airnya hingga tersisa setengah gelas, membuat Lucky tersenyum kecil.

“Saya tahu, kamu pasti masih sedih karena musibah yang menimpamu ini, tapi saya harap kamu tetap kuat.

Kamu nggak sendirian. Saya sudah berjanji akan menjaga kamu. Jadi, saya akan ada di samping kamu dan melakukan apa pun untuk melindungi kamu.” Lucky tersenyum saat mengatakannya.

Juga dengan kebahagiaanmu. Aku akan kembalikan itu seperti sebelumnya, janji Lucky dalam hati.

***

“Saya di sini, Verisa. Sekarang saya yang akan menjagamu. Saya yang akan menjadi keluargamu.”

“Saya tahu, kamu pasti masih sedih karena musibah yang menimpamu ini, tapi saya harap kamu tetap kuat. Kamu nggak sendirian. Saya sudah berjanji akan menjaga kamu. Jadi, saya akan ada di samping kamu dan melakukan apa pun untuk melindungi kamu.”

Ucapan Lucky terus terngiang di kepala Verisa. Ketika tadi ia begitu frustrasi karena sangat merindukan ibunya. Ada kelegaan di hatinya setiap kali ia mengingat kata-kata pria itu. Tapi, apa yang dikatakannya benar? Apa dia akan benar-benar menjaganya? Seperti keluarganya? Lalu, bagaimana dengan keluarga pria itu?

Verisa tak bisa menutup mata jika memang ia bukan menjadi prioritas pria itu nanti. Karena memang ia bukan keluarga kandung Lucky. Memikirkan itu, Verisa tiba-tiba merasa kecewa. Kenapa dalam sesaat ia bisa merasakan perasaan lega dan kecewa? Hanya karena kenyataan tentang Lucky.

Verisa menghela napas berat.

Ia kembali memikirkan keputusannya. Keputusan untuk berubah dan melupakan semua kenangan bersama kedua orang tuanya. Beberapa hari setelah kepergian ibunya, inilah yang Verisa lakukan untuk mengubah apa yang sudah menjadi kebiasaannya bersama keluarga selama ini. Mulai dari melepas semua jejak yang selalu mengingatkannya pada orang tuanya. Dan Verisa tahu, itu sulit. Juga menyakitkan.

Lagi, ia mendesah berat. Berharap bisa melewati itu.

Verisa menunduk, tangannya menyentuh perutnya, dan mendengar suara dari perutnya. Verisa memang tidak makan dari pagi. Bahkan dari semalam. Tapi, kali ini ia benar-benar merasa lapar.

Sore itu, akhirnya Verisa memutuskan untuk keluar kamarnya dan meminta Bi Minah menyiapkan makanan untuknya. Sambil menunggu Bi Minah memasak makanan, Verisa melihat sekeliling rumahnya. Rumah dua lantai yang lumayan besar jika hanya dihuni oleh Verisa dan Bi Minah -asisten rumah tangganya, juga Mang Karso -supir pribadinya. Ada dua orang satpam juga, tapi mereka tidak tinggal di rumah ini. Mungkin rumah ini terlalu besar untuknya.

Ketika Ayah dan Ibu masih hidup, Verisa memilih kamar di lantai dua karena ia suka duduk di balkon sambil membaca buku. Namun, setelah kepergian ayahnya dua tahun lalu, ia meminta pindah kamar di lantai bawah. Dengan alasan supaya ia bisa lebih dekat dengan ibunya.

Verisa mendesah berat untuk yang kesekian kalinya ketika mengingat kenangan itu. Mengingat ia ingin melupakan kenangan bersama orang tuanya, justru kenangan indah yang kini meninggalkannya sendirian di dunia ini. Entah butuh waktu berapa lama untuknya benar-benar bisa melupakan semuanya.

Seketika Verisa sadar, rumah ini terlalu sepi. Ke mana Lucky?

Verisa menyapu pandang ke sekeliling, tapi tak menemukan siapa pun. Membuatnya tiba-tiba merasa kosong. Untuk apa pria itu berjanji akan selalu ada di sini bersamanya, jika saat ini pria itu bahkan tidak ada di rumah ini. Ketika Verisa masih begitu merasa kehilangan.

Dengan emosi tercekat, Verisa berbalik dan pergi ke taman belakang rumahnya. Lagi-lagi, ia mengingat kenangan bersama ibunya ketika ia ingin sekali piknik dan ibunya mewujudkan keinginannya piknik, meski hanya di halaman belakang rumahnya.

Kenapa setiap ruangan selalu mengingatkannya pada kenangan orang tuanya?

Verisa menunduk dalam. Air matanya jatuh tak tertahan. Dengan cara apa ia bisa dengan cepat melupakan semua

ini?

Verisa tak sanggup jika terus menerus mencoba untuk kuat ketika hatinya hancur berkeping-keping. Rasanya, dalam hidupnya tidak akan ada lagi kebahagiaan. Tidak akan pernah ada.

***

Ketika Lucky sampai di rumah Verisa, ia berpapasan dengan Bi Minah yang sedang menyiapkan makanan.

“Itu makanan untuk siapa, Bi?” tanya Lucky.

“Oh, Pak Lucky sudah pulang. Ini Non Verisa yang minta,” jawab Bi Minah.

“Syukurlah, dia udah mau makan. Di mana Verisa sekarang?”

“Tadi Bibi lihat Non Verisa jalan ke halaman belakang. Mungkin sedang ada di taman, Pak,” beritahu Bi Minah.

Lucky berterima kasih pada Bi Minah dan pergi mencari Verisa. Ketika sampai di pintu belakang, Lucky mematung di tempat ketika melihat Verisa berdiri di tengah-tengah taman sambil menunduk dalam. Lucky tahu, pasti gadis itu menangis. Ia juga jelas melihat getaran di bahunya. Verisa menangis tanpa suara lagi.

Lucky urung mendekat ke Verisa, ia justru berbalik ke dapur dan mengambil segelas air putih. Membayangkan beberapa hari ini Verisa selalu menangis, pasti tenggorokannya sakit.

Dengan gelas berisi air putih di tangannya, Lucky kembali ke taman belakang dan berdiri menjajari Verisa.

“Ini.” Lucky memberikan air minumnya pada Verisa, membuat gadis itu mendongak menatap gelas di tangan Lucky.

“Kamu terlalu sering menangis, tenggorokanmu bisa sakit. Jadi, minumlah dulu.”

Verisa menerima gelas itu dan meminum isinya, bahkan hingga habis. Gadis itu pasti sudah sangat lapar, hingga menghabiskan minumannya secepat itu.

“Bi Minah masih ....”

“Gimana caranya ... ngelupain semua kenangan ini, Kak?” sela Verisa bertanya, tiba-tiba membuat Lucky menoleh dengan kening berkerut.

Apa maksud gadis itu?

“Semua kenangan ini bikin aku tersiksa. Bahkan rumah ini juga. Ada begitu banyak kenangan di rumah ini. Kenangan yang selalu aja buat aku ngerasa takdir udah sukses ngehancurin hidupku.” Verisa menarik napas dalam, menahan sesak di dadanya.

“Kalau ada cara yang cepat buat ngelupain semua kenangan ini, aku mau ngelakuinnya. Meski mungkin hidupku nggak akan sebahagia dulu pas masih ada Ayah sama Ibu, tapi seenggaknya aku nggak sia-siain hidupku. Dengan terus meratapi kesedihan karena mereka pergi ninggalin aku sendiri,” ucap Verisa, penuh harap.

“Saya nggak tahu bagaimana caranya. Yang saya tahu, semua ini akan berlalu,” sebut Lucky. "Kamu tahu, Ve? Setiap orang itu memiliki haknya untuk bahagia. Mungkin kini takdir sedang mengujimu, seberapa kuat kamu, dan seberapa pantas kamu mendapatkan takdir yang lebih baik lagi dari Tuhan.

“Ketika saat itu datang, saya yakin ... semua kesedihan ini akan berlalu dan menjadi kenangan berarti yang

bisa kamu kenang. Kamu nggak perlu berusaha terlalu keras untuk melupakan kenanganmu bersama orang tuamu. Karena itu akan sangat sulit. Yang perlu kamu lakukan adalah jalani hidupmu saat ini. Kembali ke dirimu biasanya. Mereka pasti melihatmu dari atas sana dan mereka akan bangga jika melihatmu hidup dengan baik, juga bahagia,” urai Lucky yang kini sudah menatap Verisa lekat, penuh ketulusan.

***

Verisa pergi meninggalkan taman ketika Bi Minah memanggilnya untuk makan. Tanpa membalas ucapan Lucky, Verisa pergi begitu saja. Entah kenapa, lagi-lagi ada rasa aneh yang tiba-tiba muncul. Dan itu karena ucapan pria itu.

Namun, sepanjang jalannya menuju ruang makan, ia memikirkan kata-kata pria itu, juga perasaan itu. Hingga Verisa nyaris jatuh karena tersandung kakinya sendiri. Jika Lucky tidak sigap menangkap tubuhnya, Verisa pasti sudah mencium lantai dengan keras. Pria itu ternyata mengikutinya.

“Perhatikan jalanmu, Ve,” Lucky mengingatkan.

Verisa mencoba melepas pegangan Lucky di lengan dan pinggangnya, lalu kembali berjalan menuju meja makan.

Selama acara makannya, Verisa merasa canggung karena Lucky hanya duduk sambil menatapnya. Membuatnya tidak nyaman saja.

“Kenapa Kak Lucky nggak ikut makan sekalian?” tanya  Verisa.

“Ini makananmu, kan?”

“Aku nggak makan sebanyak ini, omong-omong,” dengus Verisa seraya mengedik ke jejeran piring berisi makanan kesukaannya. “Bi Minah yang masaknya kebanyakan, kalau dia nyiapin makanan ini cuma buat aku doang,” lanjutnya kesal.

“Oke. Saya akan makan karena kamu sudah dengan baiknya menawariku.” Lucky tersenyum.

Verisa mengangguk, lalu memalingkan wajahnya ketika melihat senyum pria itu. Ada apa dengan jantungnya yang tiba-tiba kaget melihat senyum itu, astaga?

Selesai makan sore itu, Verisa ingin kembali ke kamar, tapi Lucky memanggilnya.

“Kamu ... bisa ikut saya sebentar? Ada yang mau saya bicarakan,” Lucky meminta waktu Verisa.

Verisa mengangguk dan mengikuti Lucky yang berjalan ke ruangan kerja ayah Verisa di rumah itu.

“Apa yang mau Kakak bicarain?” tanya Verisa ketika ia duduk di sofa ruangan itu.

“Saya sudah cek semua kegiatanmu sebelumnya. Sekolah, les, dan kegiatan lainnya. Kamu sudah tingkat akhir SMA dan beberapa minggu ke depan kamu akan menjalani ujian kelulusan. Apa kamu sudah siap untuk mulai sekolah lagi?” tanya Lucky hati-hati.

Verisa belum tahu. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Sejujurnya ia masih ingin sendiri. Ia belum ingin bertemu banyak orang. Tapi ....

“Kamu nggak perlu khawatir, Ve. Saya di sini. Saya sudah pernah bilang kan, kalau saya akan menjagamu seperti keluargamu? Jadi, jangan khawatir. Nanti, setiap berangkat dan pulang sekolah atau ke mana pun, saya yang akan antar kamu. Jadi, kamu jangan diam dan bilang saja, apa yang kamu inginkan, hm?” Lucky tersenyum setelah mengatakannya.

Verisa hanya mengangguk menanggapinya. Verisa memang tidak tahu bagaimana besok ia di sekolah, tapi mendengar janji Lucky padanya, membuat Verisa lagi-lagi, merasa tenang dan lega.

“Kalau begitu, karena besok masih weekend, saya mau ajak kamu ke suatu tempat,” beritahu Lucky.

Verisa sedikit terkejut dengan ajakan Lucky yang tiba-tiba itu. “Mau ke mana?”

“Lihat saja besok. Jadi, jangan mengurung diri di kamar terus, ya. Bersiaplah sejak pagi. Saya akan datang lebih pagi, besok.”

“Jadi, Kakak nggak nginap di sini sejak kemarin?” Verisa kembali terkejut karena baru tahu jika Lucky tidak menginap di rumahnya.

“Saya tinggal di apartemen nggak jauh dari kantor.”

Verisa mengangguk-angguk. Jika dia bilang ingin menjaga Verisa seperti keluarga, harusnya dia tidak tinggal di apartemennya. Apa dia tidak melihat rumah ini yang terlalu besar untuk Verisa?

Ia hanya mendesah berat.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!