Pembalasan Istri Mafia
"Anak sialan, apa saja yang bisa kau lakukan hah?" bentak Torih.
"Ma-maaf ayah, aku tidak sengaja," cicit Cara.
"Kau memang selalu membuat masalah, mendatangkan kesialan bagi ku. Melihat wajahmu saja aku sudah sangat muak!" lanjut Torih.
Sedangkan seorang gadis remaja sudah terduduk kaku di lantai dingin itu dengan kepala menunduk. Badannya bergetar takut mendengar teriakan murka dari laki-laki paruh baya yang merupakan ayah kandungnya sendiri. Meski sudah biasa Cara mendapatkan perlakuan seperti ini, tetap saja dia akan merasa takut karena tidak jarang Torih melayangkan pukulan kepadanya.
"Memang sekarusnya aku tidak pernah menikahi ibumu itu, wanita rendahan itu malah mati meninggalkan beban untukku … brengsek!" murka Torih.
Hati Cara berdenyut sakit saat mendengar kalimat menusuk yang dilontarkan oleh Torih. Memang sudah sangat biasa dia mendengar kalimat kasar seperti itu, kalimat yang selalu membawa-bawa nama mendiang ibunya. Meski sudah biasa, Cara masih belum bisa terbiasa. Hatinya selalu berdenyut perih mendengar nama ibunya selalu diungkit disetiap kesalahan yang dia buat.
Padahal kesalahan Cara tidaklah fatal, dia tidak sengaja menumpahkan air minum yang akan dia berikan kepada Sasdia ibu tirinya. Air minum itu tumpah di lantai tanpa mengenai siapa pun, lagi pula Cara juga tidak sengaja melakukan itu. Tetapi seakan tidak punya hati, Torih mendorong Cara sehingga jatuh dan terduduk di lantai basah itu kemudian memakinya dengan tidak berperasaan.
Sedangkan dua orang manusia yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu terus melanjutkan kegiatan mereka masing-masing seakan tidak ada yang terjadi. Sasdia, ibu tiri Cara dengan santainya melanjutkan aksi menonton TV tanpa terganggu dengan kemurkaan Torih. Sedangkan Jesy, saudara tiri Cara masih sibuk dengan ponselnya tidak tertarik dengan keributan. "Memang bagus dia mati lebih cepat," sambung Torih.
Hati Cara kembali terkoyak, gadis itu memegang dadanya yang terasa sangat berat dan sakit. Luka di hatinya yang setiap hari digores dan disinggung oleh Torih membuatnya semakin terpuruk tidak mampu bangkit. Setetes air mata jatuh dari pelupuk mata indah gadis itu. 'Cara lelah bunda,' batin Cara.
...*****...
16 tahun yang lalu!
"Aku bisa membantumu."
Tangis Dea berhenti saat mendengar suara seseorang, gadis itu menoleh dan melihat keberadaan seorang wanita dengan pakaian bersih dan penampilan yang sangat anggun. "Anda siapa?" Dea menatap wanita itu dengan wajah bingung.
"Sasdia Gerisam," sahut wanita itu angkuh. "Aku tahu kau sedang membutuhkan banyak uang, bukan?" tutur Sasdia.
Dea masih diam memandang Sasdia tidak mengerti, hal itu membuat Sasdia mendengus kesal. "Kau tidak ingin ibumu itu mati bukan?" sarkas Sasdia.
Dea terkejut saat mendengar kalimat yang cukup kasar dari wanita di depannya. Dea dengan cepat menoleh ke arah ibunya yang sedang terkapar lemah, gadis itu kembali menangis mengingat ibunya sedang butuh pertolongan. "Aku bisa membantumu, aku bahkan mau membayar semua biaya rumah sakitnya." Sasdia menatap sombong ke arah Dea.
"Tolong nyonya, aku akan melakukan semua pekerjaan untuk menebusnya nanti." Dea mendekat sambil memohon ke arah Sasdia.
"Jangan mendekat! cukup di sana saja, badanmu kotor dan bau." Sasdia menjauh saat melihat Dea mencoba menggapainya.
"Dengarkan ini baik-baik! aku akan menolong ibumu, tetapi tentu saja tidak gratis," tutur Sasdia.
"Iya, aku akan melakukan apa pun yang penting anda mau menolong ibuku." Dea mengangguk cepat tanda tidak perduli dengan balasan yang akan diminta oleh Sasdia.
"Bagus! aku akan menelepon seseorang untuk membawa ibumu itu ke rumah sakit terlebih dahulu. Aku takut dia keburu mati, aku juga yang susah." Sasdia mengambil ponsel dari dalam tas miliknya. Sedangkan Dea sempat terkejut mendengar kalimat kasar yang diucapkan oleh Sasdia. Tetapi dia tidak bisa menyerga ucapan itu karena dia sangat membutuhkan bantuan Sasdia.
.
.
.
"Aku sudah membawa ibumu ke rumah sakit, sekarang kau harus membayarnya jika tidak ingin aku menarik semuanya," ucap Sasdia.
Dea menatap Sasdia dengan wajah khawatir, ibunya baru saja di bawa masuk ke dalam sebuah ruangan di salah satu rumah sakit. Dea mengkhawatirkan kondisi ibunya, dia takut ibunya semakin parah. "Katakan lah," balas Dea.
"Menikahlah dengan suamiku." Seakan tersambar petir, Dea melotot tidak percaya menatap Sasdia.
"A-apa? Maaf, sepertinya aku salah dengar," ucap Dea tergagap.
"Kau tidak salah dengar, aku memintamu untuk menikahi suamiku," ulang Sasdia.
Dea terkejut dengan mulut terbuka manatap Sasdia dengan pandangan bingung, dia tidak mengerti. "Apa sebenarnya maksud anda? Kenapa anda menyuruhku menikah dengan suami anda sendiri?" Dea menatap Sasdia dengan bingung.
"Aku sudah menikah selama empat tahun, tetapi tetap tidak dikarunia anak sampai sekarang. Aku baru saja konsul ke salah satu peramal ternama di kota ini. Dia mengatakan kepadaku untuk mencoba berbagi suami, katanya itu akan menjadi umpan atau pemancing kehadiran janin dalam perutku," jelas Sasdia. Dea kembali terkejut saat mendengar penjelasan dari wanita di hadapannya ini.
"Tentu saja tidak mudah bagi wanita untuk membagi suami, karena itu aku mencari sendiri wanita untuk suamiku dan aku memilihmu. Orang yang jelas jauh lebih rendah dari pada aku, sehingga kau jelas tidak akan bisa menyaingiku sebab aku tahu betul bagaimana sifat suamiku." Sasdia tersenyum remeh.
Sedangkan Dea terdiam dengan hati yang berdenyut nyeri merasa begitu terhina, dia akui kalau untuk bersaing dengan Sasdia dia tidak akan menang. Dia hanyalah wanita rendahan yang sangat kucel berbeda dengan Sasdia wanita elegan yang begitu bersih dan menawan. "Kau tidak bisa menolak, kalau kau menolak aku tidak akan melunasi uang administrasi sehingga ibumu itu tidak akan jadi dioperasi." Sasdia menatap Dea dengan senyum miring miliknya.
Dea terdiam merasa begitu bingung, dia tidak ingin menikah dengan suami orang yang mungkin saja akan membawanya ke dalam kesengsaraan melihat sifat sombong dan arogan milik wanita di depannya yang merupakan istri sah laki-laki yang akan dinikahinya. Tetapi Dea juga tidak mungkin membiarkan ibunya terus berada dalam kesengsaraan rasa sakit, dia juga tidak memiliki uang untuk membiayai operasi ibunya. 'Aku harus bagaimana?' batin Dea.
"Baiklah." Dea menjawab sambil menghela nafas berat. Sasdia tersenyum puas saat mendengar jawaban Dea.
"Bagus! sekarang bersihkan dulu badanmu yang kotor dan bau itu, kau harus ikut denganku. Aku sudah membelikanmu baju sebelum datang ke sini, kau pergilah ke kamar mandi! aku akan menunggu di sini." Sasdia melemparkan sebuah kantong plastik ke arah Dea.
.
.
.
Dea menatap bingung ke arah Sasdia, kenapa wanita itu memesan taksi padahal dia memiliki mobil. "Apa? Aku memesan taksi untukmu," tutur Sasdia saat mengetahui Dea sedang menatapnya.
"Jangan kau pikir aku mau memberi tumpangan kepadamu, mobilku bisa bau dan berkuman. Aku juga tidak bisa berada di dekatmu, apalagi satu mobil. Ih …." Sasdia mendengus jijik. Untuk kesekian kalinya hati Dea tergores oleh kata-kata penghinaan yang cukup menusuk dari mulut Sasdia. Dea hanya bisa tersenyum miris dengan nasibnya setelah ini, dia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya nanti bersama dengan orang yang begitu sombong dan arogan seperti Sasdia.
"Aku menyuruhmu mandi dan mengganti baju, supaya nanti rumahku tidak kotor karena badanmu itu. Terus mas Torih tidak suka sama bau busuk, aku rasa dia tidak akan menyukai bau busuk dari badanmu itu jika kau tidak mandi," lanjut Sasdia. Dea hanya diam mendengar hinaan yang dilontarkan oleh Sasdia, dia sadar diri dengan statusnya yang hanya orang rendahan.
.
.
.
"Jangan gila Sasa," desis Torih. Laki-laki itu menatap Dea menilai dari atas sampai bawah, setelahnya dia bergidik jijik.
"Aku tidak akan pernah menikahinya, ada apa denganmu?" Torih menatap istrinya dengan pandangan tidak habis pikir.
"Aku baru saja konsul ke peramal yang teman mas katakan itu. Dia mengatakan kepadaku untuk berbagi suami, tentu saja aku tidak akan semudah itu untuk berbagi suami. Jadi aku yang mencari dan memilihnya sendiri, aku sengaja memilih dia karena aku tahu mas tidak akan tergoda oleh dia." Sasdia tersenyum manis ke arah Torih.
Torih terkejut sambil menoleh dengan pandangan tidak percaya menatap Sasdia, istrinya. "Jangankan tergoda, melihatnya saja aku sudah jijik Sasa. Bawa pergi gembel itu dari sini, aku mual." Torih menunjuk Dea dengan pandangan benci.
Sedangkan Dea sudah menunduk mencoba menguatkan hati mendengar perkataan kasar dan hinaan yang keluar dari mulut sepasang suami istri itu untuk dirinya. "Ayo kita bicara dulu, ada hal penting yang harus aku jelaskan." Sasdia meraih lengan suaminya mengajak Torih pergi dari sana.
"Dan kau, tunggu lah di luar." Sasdia menoleh ke arah Dea yang masih terdiam kaku.
Dea yang mendengar itu tersenyum miris, setelahnya wanita itu melangkah keluar rumah yang cukup megah itu. Dea bergerak ke arah pohon kecil di halaman rumah Gerisam yang cukup luas, kemudian dia duduk bersila di bawah pohon kecil itu. "Sepertinya aku benar-benar akan menderita bersama mereka." Dea bergumam sambil menatap langit yang sedikit mendung.
"Tidak apa-apa, semua ini untuk ibu." Dea tersenyum sendu, setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya.
.
.
.
"Jangan harap aku akan menyukaimu hanya karena kau sedang hamil, aku tidak menginginkan anak darimu," tegas Torih. Dea diam tanpa menyahut perkataan laki-laki itu. Dia tahu kalau Torih tetap tidak akan menyukainya, laki-laki itu akan terus membencinya.
Satu bulan pernikahan Dea dan Torih, sekarang Dea sedang hamil dua minggu. Beberapa hari yang lalu Dea berencana akan pergi dari kehidupan Torih dan Sasdia, karena ancaman Sasdia yang melibatkan ibunya sudah tidak akan berpengaruh lagi sebab ibu Dea sudah meninggal satu minggu yang lalu. Namun, Dea yang merasa ada kejanggalan dengan tubuhnya, mengecek dengan tespeck yang sempat dia beli di apotik terdekat. Saat mengetahui kalau dirinya sedang hamil, Dea merasa bahagia. Dia bahagia karena merasa kalau tuhan mengirimkan keluaraga baru untunya pengganti mendiang ibunya.
Sebelum benar-benar pergi dari kehidupan Torih dan Sasdia, Dea ingin memberi tahukan kabar kehamilannya kepada Torih. Sesuai bayangannya, laki-laki itu masih tidak tergerak Torih masih tidak menyukainya. 'Aku tahu, laki-laki sombong sepertinya tidak akan pernah mengakui aku yang hanya seorang gembel jalanan. Tapi tidakkah dia memikirkan anak kandungnya ini?' batin Dea.
"Aku hanya ingin memberi tahu kabar ini kepada anda. Aku akan pergi dari sini, aku tidak akan meminta apa-apa," balas Dea.
"Baguslah, cepat pergi dari sini. Bawa anak gembelmu itu," sarkas Torih.
Dea menatap tajam Torih merasa tidak terima laki-laki itu mengatai anaknya yang bahkan belum lahir ke dunia. "Dia juga anak anda tuan Gerisam," desis Dea.
"Tidak usah banyak bicara, kau pergi saja. Aku tidak menginginkan anak dari rahimmu." Torih tersenyum miring menatap Dea dengan pandangan remeh.
Dea mengepalkan tangannya menahan amarah. Selama ini dia hidup di antara Torih dan Sasdia seakan hanya sebagai seorang pembantu bukan sebagai istri kedua Torih. Mereka memperlakukan Dea selayaknya pembantu yang tidak digaji. Mereka bahkan dengan sengaja memecat seluruh pembantu di rumah itu dan menumpahkan seluruh kerja rumah kepada Dea.
"Tunggu!"
Dea yang sudah berbalik dan bergerak untuk segera pergi dari sana terhenti saat Sasdia bersuara. Dea dan Torih menatap bingung ke arah Sasdia. "Kamu tidak boleh pergi, tetap di sini," tutur Sasdia.
"Apa maksud kamu Sasa? biarkan gembel ini pergi," sergah Torih.
"Aku akan pergi, ancaman anda yang membawa ibuku sudah tidak ada lagi bukan? Jadi permisi." Dea melanjutkan langkahnya.
"Aku bilang jangan pergi!" teriak Sasdia.
Dea kembali menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke arah Sasdia bingung. "Kau harus lahirkan anak itu dulu, baru boleh pergi," sambung Sasdia.
Dea dan Torih menatap tidak mengerti ke arah Sasdia. "Lahirkan anakmu itu di rumah ini," lanjut Sasdia.
"Apa maksud kamu Sasa?" tanya Torih bingung.
"Biarkan dia di sini sampai melahirkan mas, setelah itu terserah dia kalau ingin pergi dari sini," balas Sasdia.
"Anda tidak berniat mengambil bayiku bukan? Aku tidak akan pernah memberikan bayiku ini untuk kalian," tegas Dea.
Sasdia dan Torih tekejut mendengar nada sedikit tinggi yang di keluarkan oleh Dea, sebab ini pertama kalinya wanita itu bersuara tinggi kepada mereka. "Kamu tidak berfikir apa yang gembel itu ucapkan bukan? Aku tidak sudi memelihara bayi dari seorang gembel Sasa," sentak Torih.
Sasdia terdiam sejenak sambil membatin, 'pintar juga gembel ini memintas pikiranku, sekarang yang jelas dia tidak jadi pergi dari sini. Setelah anak itu lahir aku akan memikirkan cara lain.'
"Tidak, aku hanya ingin kehamilanmu ini sebagai pemancing untukku. Aku dengar kalau ada suara bayi di dalam rumah, itu bisa menjadi umpan untuk rahim yang sulit memiliki anak. Jadi kau tidak perlu khawatir," jelas Sasdia.
Tentu saja itu semua hanya omong kosong, Sasdia berbohong. Wanita itu memang berniat mengambil bayi Dea nantinya. "Hanya sampai dia melahirkan Sasa," tegas Torih.
"Iya mas, sabarlah," sahut Sasdia.
Sedangkan Dea diam seakan sedang berfikir, tidak ada keuntungan untuknya bertahan di rumah itu. "Kau seharusnya masih berhutang kepadaku, meski ibumu itu mati tetapi saja aku orang yang berjasa karena sempat membantumu," tutur Sasdia.
Dea menatap Sasdia dengan raut datar, perkataan kasar wanita itu sudah cukup biasa mengalun di telinga Dea. "Baiklah," sahut Dea. Sasdia tersenyum miring mendengar jawaban Dea.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 265 Episodes
Comments
Essa Widhi
biang nya alkana🤭✨
2024-06-05
0
pitia
hallo kk baru salam kenal
2024-05-09
0
Ryuto
datang disini gara gara pengen lihat kisah cinta nya reo sma cyra eee malah bingung
2024-04-10
0