"Anak sialan, apa saja yang bisa kau lakukan hah?" bentak Torih.
"Ma-maaf ayah, aku tidak sengaja," cicit Cara.
"Kau memang selalu membuat masalah, mendatangkan kesialan bagi ku. Melihat wajahmu saja aku sudah sangat muak!" lanjut Torih.
Sedangkan seorang gadis remaja sudah terduduk kaku di lantai dingin itu dengan kepala menunduk. Badannya bergetar takut mendengar teriakan murka dari laki-laki paruh baya yang merupakan ayah kandungnya sendiri. Meski sudah biasa Cara mendapatkan perlakuan seperti ini, tetap saja dia akan merasa takut karena tidak jarang Torih melayangkan pukulan kepadanya.
"Memang sekarusnya aku tidak pernah menikahi ibumu itu, wanita rendahan itu malah mati meninggalkan beban untukku … brengsek!" murka Torih.
Hati Cara berdenyut sakit saat mendengar kalimat menusuk yang dilontarkan oleh Torih. Memang sudah sangat biasa dia mendengar kalimat kasar seperti itu, kalimat yang selalu membawa-bawa nama mendiang ibunya. Meski sudah biasa, Cara masih belum bisa terbiasa. Hatinya selalu berdenyut perih mendengar nama ibunya selalu diungkit disetiap kesalahan yang dia buat.
Padahal kesalahan Cara tidaklah fatal, dia tidak sengaja menumpahkan air minum yang akan dia berikan kepada Sasdia ibu tirinya. Air minum itu tumpah di lantai tanpa mengenai siapa pun, lagi pula Cara juga tidak sengaja melakukan itu. Tetapi seakan tidak punya hati, Torih mendorong Cara sehingga jatuh dan terduduk di lantai basah itu kemudian memakinya dengan tidak berperasaan.
Sedangkan dua orang manusia yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu terus melanjutkan kegiatan mereka masing-masing seakan tidak ada yang terjadi. Sasdia, ibu tiri Cara dengan santainya melanjutkan aksi menonton TV tanpa terganggu dengan kemurkaan Torih. Sedangkan Jesy, saudara tiri Cara masih sibuk dengan ponselnya tidak tertarik dengan keributan. "Memang bagus dia mati lebih cepat," sambung Torih.
Hati Cara kembali terkoyak, gadis itu memegang dadanya yang terasa sangat berat dan sakit. Luka di hatinya yang setiap hari digores dan disinggung oleh Torih membuatnya semakin terpuruk tidak mampu bangkit. Setetes air mata jatuh dari pelupuk mata indah gadis itu. 'Cara lelah bunda,' batin Cara.
...*****...
16 tahun yang lalu!
"Aku bisa membantumu."
Tangis Dea berhenti saat mendengar suara seseorang, gadis itu menoleh dan melihat keberadaan seorang wanita dengan pakaian bersih dan penampilan yang sangat anggun. "Anda siapa?" Dea menatap wanita itu dengan wajah bingung.
"Sasdia Gerisam," sahut wanita itu angkuh. "Aku tahu kau sedang membutuhkan banyak uang, bukan?" tutur Sasdia.
Dea masih diam memandang Sasdia tidak mengerti, hal itu membuat Sasdia mendengus kesal. "Kau tidak ingin ibumu itu mati bukan?" sarkas Sasdia.
Dea terkejut saat mendengar kalimat yang cukup kasar dari wanita di depannya. Dea dengan cepat menoleh ke arah ibunya yang sedang terkapar lemah, gadis itu kembali menangis mengingat ibunya sedang butuh pertolongan. "Aku bisa membantumu, aku bahkan mau membayar semua biaya rumah sakitnya." Sasdia menatap sombong ke arah Dea.
"Tolong nyonya, aku akan melakukan semua pekerjaan untuk menebusnya nanti." Dea mendekat sambil memohon ke arah Sasdia.
"Jangan mendekat! cukup di sana saja, badanmu kotor dan bau." Sasdia menjauh saat melihat Dea mencoba menggapainya.
"Dengarkan ini baik-baik! aku akan menolong ibumu, tetapi tentu saja tidak gratis," tutur Sasdia.
"Iya, aku akan melakukan apa pun yang penting anda mau menolong ibuku." Dea mengangguk cepat tanda tidak perduli dengan balasan yang akan diminta oleh Sasdia.
"Bagus! aku akan menelepon seseorang untuk membawa ibumu itu ke rumah sakit terlebih dahulu. Aku takut dia keburu mati, aku juga yang susah." Sasdia mengambil ponsel dari dalam tas miliknya. Sedangkan Dea sempat terkejut mendengar kalimat kasar yang diucapkan oleh Sasdia. Tetapi dia tidak bisa menyerga ucapan itu karena dia sangat membutuhkan bantuan Sasdia.
.
.
.
"Aku sudah membawa ibumu ke rumah sakit, sekarang kau harus membayarnya jika tidak ingin aku menarik semuanya," ucap Sasdia.
Dea menatap Sasdia dengan wajah khawatir, ibunya baru saja di bawa masuk ke dalam sebuah ruangan di salah satu rumah sakit. Dea mengkhawatirkan kondisi ibunya, dia takut ibunya semakin parah. "Katakan lah," balas Dea.
"Menikahlah dengan suamiku." Seakan tersambar petir, Dea melotot tidak percaya menatap Sasdia.
"A-apa? Maaf, sepertinya aku salah dengar," ucap Dea tergagap.
"Kau tidak salah dengar, aku memintamu untuk menikahi suamiku," ulang Sasdia.
Dea terkejut dengan mulut terbuka manatap Sasdia dengan pandangan bingung, dia tidak mengerti. "Apa sebenarnya maksud anda? Kenapa anda menyuruhku menikah dengan suami anda sendiri?" Dea menatap Sasdia dengan bingung.
"Aku sudah menikah selama empat tahun, tetapi tetap tidak dikarunia anak sampai sekarang. Aku baru saja konsul ke salah satu peramal ternama di kota ini. Dia mengatakan kepadaku untuk mencoba berbagi suami, katanya itu akan menjadi umpan atau pemancing kehadiran janin dalam perutku," jelas Sasdia. Dea kembali terkejut saat mendengar penjelasan dari wanita di hadapannya ini.
"Tentu saja tidak mudah bagi wanita untuk membagi suami, karena itu aku mencari sendiri wanita untuk suamiku dan aku memilihmu. Orang yang jelas jauh lebih rendah dari pada aku, sehingga kau jelas tidak akan bisa menyaingiku sebab aku tahu betul bagaimana sifat suamiku." Sasdia tersenyum remeh.
Sedangkan Dea terdiam dengan hati yang berdenyut nyeri merasa begitu terhina, dia akui kalau untuk bersaing dengan Sasdia dia tidak akan menang. Dia hanyalah wanita rendahan yang sangat kucel berbeda dengan Sasdia wanita elegan yang begitu bersih dan menawan. "Kau tidak bisa menolak, kalau kau menolak aku tidak akan melunasi uang administrasi sehingga ibumu itu tidak akan jadi dioperasi." Sasdia menatap Dea dengan senyum miring miliknya.
Dea terdiam merasa begitu bingung, dia tidak ingin menikah dengan suami orang yang mungkin saja akan membawanya ke dalam kesengsaraan melihat sifat sombong dan arogan milik wanita di depannya yang merupakan istri sah laki-laki yang akan dinikahinya. Tetapi Dea juga tidak mungkin membiarkan ibunya terus berada dalam kesengsaraan rasa sakit, dia juga tidak memiliki uang untuk membiayai operasi ibunya. 'Aku harus bagaimana?' batin Dea.
"Baiklah." Dea menjawab sambil menghela nafas berat. Sasdia tersenyum puas saat mendengar jawaban Dea.
"Bagus! sekarang bersihkan dulu badanmu yang kotor dan bau itu, kau harus ikut denganku. Aku sudah membelikanmu baju sebelum datang ke sini, kau pergilah ke kamar mandi! aku akan menunggu di sini." Sasdia melemparkan sebuah kantong plastik ke arah Dea.
.
.
.
Dea menatap bingung ke arah Sasdia, kenapa wanita itu memesan taksi padahal dia memiliki mobil. "Apa? Aku memesan taksi untukmu," tutur Sasdia saat mengetahui Dea sedang menatapnya.
"Jangan kau pikir aku mau memberi tumpangan kepadamu, mobilku bisa bau dan berkuman. Aku juga tidak bisa berada di dekatmu, apalagi satu mobil. Ih …." Sasdia mendengus jijik. Untuk kesekian kalinya hati Dea tergores oleh kata-kata penghinaan yang cukup menusuk dari mulut Sasdia. Dea hanya bisa tersenyum miris dengan nasibnya setelah ini, dia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya nanti bersama dengan orang yang begitu sombong dan arogan seperti Sasdia.
"Aku menyuruhmu mandi dan mengganti baju, supaya nanti rumahku tidak kotor karena badanmu itu. Terus mas Torih tidak suka sama bau busuk, aku rasa dia tidak akan menyukai bau busuk dari badanmu itu jika kau tidak mandi," lanjut Sasdia. Dea hanya diam mendengar hinaan yang dilontarkan oleh Sasdia, dia sadar diri dengan statusnya yang hanya orang rendahan.
.
.
.
"Jangan gila Sasa," desis Torih. Laki-laki itu menatap Dea menilai dari atas sampai bawah, setelahnya dia bergidik jijik.
"Aku tidak akan pernah menikahinya, ada apa denganmu?" Torih menatap istrinya dengan pandangan tidak habis pikir.
"Aku baru saja konsul ke peramal yang teman mas katakan itu. Dia mengatakan kepadaku untuk berbagi suami, tentu saja aku tidak akan semudah itu untuk berbagi suami. Jadi aku yang mencari dan memilihnya sendiri, aku sengaja memilih dia karena aku tahu mas tidak akan tergoda oleh dia." Sasdia tersenyum manis ke arah Torih.
Torih terkejut sambil menoleh dengan pandangan tidak percaya menatap Sasdia, istrinya. "Jangankan tergoda, melihatnya saja aku sudah jijik Sasa. Bawa pergi gembel itu dari sini, aku mual." Torih menunjuk Dea dengan pandangan benci.
Sedangkan Dea sudah menunduk mencoba menguatkan hati mendengar perkataan kasar dan hinaan yang keluar dari mulut sepasang suami istri itu untuk dirinya. "Ayo kita bicara dulu, ada hal penting yang harus aku jelaskan." Sasdia meraih lengan suaminya mengajak Torih pergi dari sana.
"Dan kau, tunggu lah di luar." Sasdia menoleh ke arah Dea yang masih terdiam kaku.
Dea yang mendengar itu tersenyum miris, setelahnya wanita itu melangkah keluar rumah yang cukup megah itu. Dea bergerak ke arah pohon kecil di halaman rumah Gerisam yang cukup luas, kemudian dia duduk bersila di bawah pohon kecil itu. "Sepertinya aku benar-benar akan menderita bersama mereka." Dea bergumam sambil menatap langit yang sedikit mendung.
"Tidak apa-apa, semua ini untuk ibu." Dea tersenyum sendu, setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya.
.
.
.
"Jangan harap aku akan menyukaimu hanya karena kau sedang hamil, aku tidak menginginkan anak darimu," tegas Torih. Dea diam tanpa menyahut perkataan laki-laki itu. Dia tahu kalau Torih tetap tidak akan menyukainya, laki-laki itu akan terus membencinya.
Satu bulan pernikahan Dea dan Torih, sekarang Dea sedang hamil dua minggu. Beberapa hari yang lalu Dea berencana akan pergi dari kehidupan Torih dan Sasdia, karena ancaman Sasdia yang melibatkan ibunya sudah tidak akan berpengaruh lagi sebab ibu Dea sudah meninggal satu minggu yang lalu. Namun, Dea yang merasa ada kejanggalan dengan tubuhnya, mengecek dengan tespeck yang sempat dia beli di apotik terdekat. Saat mengetahui kalau dirinya sedang hamil, Dea merasa bahagia. Dia bahagia karena merasa kalau tuhan mengirimkan keluaraga baru untunya pengganti mendiang ibunya.
Sebelum benar-benar pergi dari kehidupan Torih dan Sasdia, Dea ingin memberi tahukan kabar kehamilannya kepada Torih. Sesuai bayangannya, laki-laki itu masih tidak tergerak Torih masih tidak menyukainya. 'Aku tahu, laki-laki sombong sepertinya tidak akan pernah mengakui aku yang hanya seorang gembel jalanan. Tapi tidakkah dia memikirkan anak kandungnya ini?' batin Dea.
"Aku hanya ingin memberi tahu kabar ini kepada anda. Aku akan pergi dari sini, aku tidak akan meminta apa-apa," balas Dea.
"Baguslah, cepat pergi dari sini. Bawa anak gembelmu itu," sarkas Torih.
Dea menatap tajam Torih merasa tidak terima laki-laki itu mengatai anaknya yang bahkan belum lahir ke dunia. "Dia juga anak anda tuan Gerisam," desis Dea.
"Tidak usah banyak bicara, kau pergi saja. Aku tidak menginginkan anak dari rahimmu." Torih tersenyum miring menatap Dea dengan pandangan remeh.
Dea mengepalkan tangannya menahan amarah. Selama ini dia hidup di antara Torih dan Sasdia seakan hanya sebagai seorang pembantu bukan sebagai istri kedua Torih. Mereka memperlakukan Dea selayaknya pembantu yang tidak digaji. Mereka bahkan dengan sengaja memecat seluruh pembantu di rumah itu dan menumpahkan seluruh kerja rumah kepada Dea.
"Tunggu!"
Dea yang sudah berbalik dan bergerak untuk segera pergi dari sana terhenti saat Sasdia bersuara. Dea dan Torih menatap bingung ke arah Sasdia. "Kamu tidak boleh pergi, tetap di sini," tutur Sasdia.
"Apa maksud kamu Sasa? biarkan gembel ini pergi," sergah Torih.
"Aku akan pergi, ancaman anda yang membawa ibuku sudah tidak ada lagi bukan? Jadi permisi." Dea melanjutkan langkahnya.
"Aku bilang jangan pergi!" teriak Sasdia.
Dea kembali menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke arah Sasdia bingung. "Kau harus lahirkan anak itu dulu, baru boleh pergi," sambung Sasdia.
Dea dan Torih menatap tidak mengerti ke arah Sasdia. "Lahirkan anakmu itu di rumah ini," lanjut Sasdia.
"Apa maksud kamu Sasa?" tanya Torih bingung.
"Biarkan dia di sini sampai melahirkan mas, setelah itu terserah dia kalau ingin pergi dari sini," balas Sasdia.
"Anda tidak berniat mengambil bayiku bukan? Aku tidak akan pernah memberikan bayiku ini untuk kalian," tegas Dea.
Sasdia dan Torih tekejut mendengar nada sedikit tinggi yang di keluarkan oleh Dea, sebab ini pertama kalinya wanita itu bersuara tinggi kepada mereka. "Kamu tidak berfikir apa yang gembel itu ucapkan bukan? Aku tidak sudi memelihara bayi dari seorang gembel Sasa," sentak Torih.
Sasdia terdiam sejenak sambil membatin, 'pintar juga gembel ini memintas pikiranku, sekarang yang jelas dia tidak jadi pergi dari sini. Setelah anak itu lahir aku akan memikirkan cara lain.'
"Tidak, aku hanya ingin kehamilanmu ini sebagai pemancing untukku. Aku dengar kalau ada suara bayi di dalam rumah, itu bisa menjadi umpan untuk rahim yang sulit memiliki anak. Jadi kau tidak perlu khawatir," jelas Sasdia.
Tentu saja itu semua hanya omong kosong, Sasdia berbohong. Wanita itu memang berniat mengambil bayi Dea nantinya. "Hanya sampai dia melahirkan Sasa," tegas Torih.
"Iya mas, sabarlah," sahut Sasdia.
Sedangkan Dea diam seakan sedang berfikir, tidak ada keuntungan untuknya bertahan di rumah itu. "Kau seharusnya masih berhutang kepadaku, meski ibumu itu mati tetapi saja aku orang yang berjasa karena sempat membantumu," tutur Sasdia.
Dea menatap Sasdia dengan raut datar, perkataan kasar wanita itu sudah cukup biasa mengalun di telinga Dea. "Baiklah," sahut Dea. Sasdia tersenyum miring mendengar jawaban Dea.
Satu bulan kehamilan Dea, wanita itu terus menguatkan hati menerima sikap kasar dari Torih dan Sasdia. "Mas, aku pusing." Sasdia mendekat ke arah Torih sambil memegang kepalanya.
"Kenapa? Ayo kita ke dokter." Torih dengan cepat meraih tangan Sasdia.
"Aku ingin dokternya yang ke sini," balas Sasdia.
"Ah … baiklah! Aku akan menelepon dokter Jeje dulu." Torih mengambil ponselnya yang berada di atas meja.
.
.
.
"Bagaimana dengan istriku Dokter, apa ada yang serius?" tanya Torih cemas.
Dokter Jeje tersenyum kecil mendengar pertanyaan dari Torih. "Tidak apa-apa, Tuan Gerisam tidak perlu khawatir. Hal ini biasa bagi perempuan yang sedang hamil muda." Dokter Jeje tersenyum ramah.
Sedangkan Torih dan Sasdia terdiam mendengar penjelasan dari dokter Jeje, begitu pula dengan Dea yang berada tak jauh dari sana. "Ma-maksud Dokter?" Torih bertanya dengan wajah bingung menatap dokter Jeje.
"Istri anda sedang hamil Tuan Gerisam, sepertinya masih sangat baru. Jadi saya sarankan kalian nanti berkonsultasi secara langsung kepada dokter kandungan supaya lebih rinci lagi." Dokter Jeje menjelaskan sambil tersenyum ramah.
Torih dan Sasdia masih terdiam dengan wajah terkejut seakan tidak percaya. "Sa-saya hamil Dokter?" Sasdia kembali bertanya seakan ingin memastikan lagi. Dokter Jeje kembali tersenyum setelahnya dia mengangguk singkat.
"Mas, akhirnya aku hamil!" Sasdia memeluk suaminya yang masih terdiam dengan wajah terkejut.
"I-iya Sayang … terima kasih Dokter." Torih membalas pelukan istrinya kemudian menoleh ke arah dokter Jeje dengan raut bahagia.
Sedangkan Dea terdiam kaku di tempatnya menyaksikan pelukan bahagia yang penuh haru sepasang suami istri di depannya. Dea memegang perut ratanya, merasa kasihan dengan calon anaknya yang masih berada di dalam perutnya itu. Sampai saat ini Torih bahkan tidak pernah menyapa atau pun melakukan hal lainnya untuk calon buah hati mereka.
.
.
.
"Ada apa?" tanya Dea datar.
Dea saat ini berhadapan dengan Torih dan Sasdia yang beberapa menit yang lalu memanggil dirinya. "Karena istriku sudah hamil, jadi kau boleh pergi sekarang," tutur Torih tanpa perasaan.
Dea terkejut mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Torih. Dia sudah menebak mereka akan segera mengusirnya dari sana. Dea tertawa miris mengingat nasib sialnya yang akan terus berlanjut. "Aku tidak akan pergi," sahut Dea.
Torih dan Sasdia terkejut mendengar jawaban dari Dea. "Apa maksudmu, bukankah kau sudah ingin pergi dari sini? Maka pergilah secepat dan sejauh mungkin," desis Torih.
"Aku akan tetap di sini untuk anakku." Dea berucap sambil menatap mereka datar.
"Aku tidak menerimamu di sini, ini rumahku dan aku berhak untuk mengusirmu. Aku juga akan segera menceraikanmu!" bentak Torih.
Dea tertawa sinis mendengar kalimat Torih sehingga membuat Torih dan Sasdia menatap heran ke arah Dea. "Kau sebenarnya tidak perlu menceraikan aku … karena sebenarnya kita bahkan sudah lama bercerai!" seru Dea.
Torih dan Sasdia mengernyit bingung semakin tidak mengerti maksud dari wanita itu. "Secara agama, kata-kata kasar yang kau lontarkan selama ini kepadaku sudah membuat kita bercerai tuan Gerisam. Untungnya kita memang tidak pernah satu ranjang, sehingga kita tidak termasuk melakukan zina." lanjut Dea.
Torih dan Sasdia terdiam membenarkan perkataan Dea, beberapa detik kemudian Torih tertawa mengejek ke arah Dea. "Satu ranjang? Cuih … kalau bukan karena ulah istriku yang membuat aku tidak sadarkan diri waktu itu … aku tidak akan pernah mau satu ranjang denganmu bahkan tidak ingin membuatmu hamil seperti itu. Jika dalam keadaan sadar aku mendekatimu mungkin aku sudah muntah, melihatmu saja sudah membuat aku mual apalagi jika aku menyentuhmu. Gembel!" sarkas Torih.
Sasdia tertawa mendengar kalimat yang dilontarkan oleh suaminya, kemudian menatap remeh ke arah Dea. Sedangkan Dea sudah mengepalkan tangannya mencoba menahan semua gejolak kemarahan atas hinaan yang selalu didapatnya. "Kau masih ingin bertahan dengan semua ini? Ya sudah, biarkan saja Mas, aku jadi ada bahan untuk dipermainkan." Sasdia menatap Dea dengan senyum miringnya.
"Tapi aku selalu ingin marah jika melihat wajahnya Sasa, dia juga membuat aku mual." Protes Torih sambil menatap Sasdia.
"Aku akan sangat bosan kalau tidak ada mainan Mas," sahut Sasdia.
Torih menghela nafas kasar mendengar jawaban istrinya, kemudian laki-laki itu menatap tajam ke arah Dea yang masih terdiam. "Kau boleh tetap di sini, tetapi jangan sampai aku melihat wajah jelekmu itu. Aku jijik," hina Torih.
Dea menekan dadanya mencoba untuk bersabar, kemudian wanita itu mengangguk singkat menyanggupi perkataan Torih. Niat awal Dea yang ingin pergi dari rumah itu menghilang saat satu bulan yang lalu dia berada di sana. Dea memikirkan calon anaknya nanti, jika dia pergi dari rumah Torih maka anaknya akan lahir sebagai anak tanpa seorang ayah.
Dea memikirkan itu semua, hal itu pasti akan membuat anaknya nanti bersedih dan bertanya-tanya siapa ayahnya. Sebab itu Dea menguatkan hati untuk tetap di sana supaya saat anaknya lahir ke dunia nanti, dia mengetahui siapa ayahnya. Tetapi sepertinya pilihan Dea untuk tetap tinggal di sana adalah kesalahan besar. Bahkan saat anaknya lahir, Torih tidak mengizinkan Dea memberi nama putrinya menggunakan nama belakang Torih.
Sehingga pada akhirnya Dea memberi nama putrinya tanpa menggunakan marga ayahnya. "Selamat datang putri bunda … Lavia Cara."
...*****...
"Cepat kau pergi dari hadapanku sebelum kau habis di tanganku!" bentak Torih. Dengan tergesa Cara berdiri dengan air mata yang sudah merembes dari pelupuk matanya. Gadis itu berlari dari hadapan sang ayah yang menatapnya dengan penuh kemarahan.
Brak …
Cara menangis tersedu-sedu di dalam kamar kecil miliknya. Kamar yang ditempatinya merupakan kamar pembantu keluarga Gerisam, akan tetapi sedari kedatangan Dea di kediaman Gerisam kamar itu dihuni oleh Dea yang sekarang beralih kepada Cara. "Bunda … Cara lelah, Cara ingin bertemu bunda." Cara berucap lirih sambil tersedu dengan air mata yang terus berjatuhan.
Hal seperti ini hampir setiap hari terjadi kepada Cara, di mana Torih akan memarahinya dengan kata-kata kasar dan tidak jarang pula ayahnya itu bermain fisik kepadanya. Cara akan melepaskan semua perasaan tertekan dan perasaan sedih miliknya di dalam kamar itu, dengan memanggil nama bundanya yang seakan ikut berada di sana.
"Enam tahun kepergian bunda, tapi aku sudah merasa berpuluh tahun. Aku tidak kuat, aku ingin bertemu bunda." Cara bersuara dengan isak tangis yang terdengar begitu pilu. Sayangnya tidak ada seorang pun yang akan mendengar dan akan bersimpati dengan penderitaan yang dialaminnya.
Suara tangis Cara terhenti saat mendengar alarm dari jam kecil miliknya. Gadis itu menatap jam kecil itu kemudian menghela nafas panjang. "Aku harus siap-siap," gumam Cara.
Dia akan segera bersiap untuk bergerak ke tempat kerjanya. Selama hidupnya Cara tidak pernah mendapatkan uang dari Torih, bahkan untuk makan pun dia harus berusaha sendiri. Sama halnya dengan penderitaan Dea, setelah kelahiran Cara semua kebutuhan ditanggung oleh Dea. Mereka hanya diizinkan tidur di rumah itu tanpa boleh ikut makan atau pun minum. Padahal mereka di suruh untuk membersihkan rumah Gerisam seperti seorang pembantu.
Tetapi mereka seakan menjadi pembantu tanpa dibayar, Torih dan Sasdia berkata kalau apa yang mereka lakukan di rumah itu adalah untuk biaya sewa selama mereka tinggal di sana. Sampai kelulusan Cara dari sekolah dasar, Dea selalu bekerja keras untuk membiayai kebutuhan putrinya itu. Namun tepat saat Cara memasuki SMP, Dea mengalami kecelakaan yang membuatnya kehilangan nyawa. Mulai dari sana lah, Cara yang saat itu berumur 13 tahun harus mencari kerja untuk membiayai hidupnya sendiri.
...*****...
"Semuanya sudah siap?" tanya seorang laki-laki berwajah datar.
"Sudah, mereka sudah menyiapkan semua yang kita minta," sahut seorang laki-laki lagi.
"Bagus," balas laki-laki datar.
"Geo." Suara seseorang mengalihkan perhatian dua laki-laki yang berada di dalam ruangan itu. Mereka dapat melihat kedatangan seorang laki-laki yang juga berwajah datar.
"Huh … aku merasa sedang berada di kutub utara," keluh Alex. Alex Rowin adalah laki-laki manis nan hangat dan bisa dikatakan sebagai manusia normal yang berada di antara dua laki-laki kutub di dalam ruangan itu.
"Pengkhianat," tutur Fare datar. Farel Jhons biasa dipanggil Farel, laki-laki tampan namun datar dan irit bicara.
"Di mana?" tanya Geo. Geo Vetro adalah laki-laki tampan dengan segudang pesona yang mampu membuat para wanita hilang kesadaran saat melihat wajah tampan miliknya. Namun, sayangnya Geo sangatlah dingin, datar dan tak tersentuh bahkan melebihi Farel yang merupakan sepupunya. Mata Geo sangat tajam seakan mampu menusuk segala hal yang ditatapnya.
"Aku sudah menangkapnya," balas Farel.
"Dendrion, anggota bagian barat yang sempat kau ciduk aksi korupsinya itu?" tanya Juan.
"Iya," sahut Farel. Alex mengangguk mengerti, dia sudah menebak ini semua akan terjadi.
"Ingin bermain?" Geo berdesis sambil senyum miring yang terlihat begitu menakutkan. Geo berdiri dari duduknya kemudian pergi diikuti dua laki-laki di belakangnya. Tujuan mereka saat ini adalah ruangan penyekapan Death.
Death adalah nama dari salah satu kumpulan mafia terkejam di negara Indonesia. Death berasal dari bahasa Inggris yang berarti kematian dan Geo merupakan pemimpin dari Death. Geo adalah laki-laki kejam yang terkenal tidak memiliki hati karena dengan tanpa ampun memberi hukuman kepada parasit dalam hidupnya, baik itu musuh atau pun pengkhianat.
Sifat iblis laki-laki itu memang sangat bertolak belakang dengan wajahnya yang seperti malaikat. Sedangkan dua laki-laki di belakang Geo juga merupakan anggota penting di Death. Alex yang merupakan sahabat Geo menjabat sebagai wakil pemimpin Death, sedangkan Farel yang merupakan sepupu Geo menjabat sebagai sang ahli IT Death.
...*****...
Bruk …
Suara benda jatuh begitu keras terdengar di kediaman Gerisam. Setelahnya suara tawa nyaring mengisi kesunyian kediaman itu. "Kau benar-benar seperti sampah." Jesy menatap remeh Cara.
Cara sudah meringis karena merasakan nyeri disekujur tubuhnya, bunyi dentuman keras benda jatuh tadi berasal dari tubuhnya. Cara yang sedang berjalan sedikit terburu-buru tidak melihat keberadaan Jesy sehingga harus berakhir di lantai keras itu karena Jesy dengan sengaja menjulurkan kakinya guna menyandung Cara.
Sebenarnya hal itu sudah sangat sering dilakukan oleh Jesy kepada Cara, akan tetapi karena Cara tidak melihat keberadaan Jesy sehingga membuatnya tidak bisa mengelak. "Ck … membosankan." Jesy berdiri dari duduknya dan bergerak untuk pergi dari sana.
Tetapi sebelum benar-benar pergi Jesy masih menyempatkan diri untuk menginjak kaki Cara yang masih terjulur. "Arghh …," erang Cara merasakan sakit.
"Kaki jelekmu itu menghambat jalanku." Jesy berucap santai sambil berlalu dari sana.
Cara mengusap kakinya sambil terus meringis, sebenarnya ini belum seberapa perlakuan yang diterimanya dari tiga manusia penghuni rumah ini. Dia bahkan pernah mendapatkan hal yang lebih parah dari Torih, ayah kandungnya sendiri. Dengan perlahan Cara berdiri dari duduknya mencoba manahan sakit di sekujur tubuhnya. "Aku bisa terlambat." Cara mencoba berlari sambil menahan rasa sakit ditubuhnya.
.
.
.
"Kemana saja kau, kenapa baru sampai? Lihatlah pelanggan sedang sangat ramai, cepat bersiap!" bentak seorang laki-laki yang merupakan manager kafe di tempat Cara bekerja.
Laki-laki itu mendorong tubuh Cara sehingga membuat gadis itu terhuyung. "Pulang nanti temui aku, jangan kau kira kau bisa datang seenaknya," tutur manager itu saat melihat Cara akan bergerak ke ruangan ganti pelayan.
"Ma-maaf," cicit Cara.
"Cepatlah sialan!" umpat manager. Dengan gerakan cepat Cara bergerak keruangan ganti, meski seluruh badannya terasa sangat sakit gadis itu tetap akan bekerja, jika tidak bekerja maka dia tidak akan mendapatkan uang untuk makan atau pun untuk mencukupi kebutuhan lainnya.
"Ck … aku muak sekali harus satu shift dengan gadis culun itu," kesal seorang pelayan.
"Benar, sayang sekali dengan namanya. Nama bagus begitu malah bertolak belakang dengan wajah orangnya yang sungguh miris."
Sekumpulan pelayan itu tertawa mendengar penuturan dari salah satu temannya. "Iya, aku rasa ibunya pasti menyesal melahirkan anak seperti itu. Tidak berguna sekali."
"Entah apa yang bisa dibanggakan dari dirinya, wajah kucel dan body rata begitu. Siapa yang akan tertarik kepadanya?"
"Lihatlah, wajah kusam dan kucel yang menjijikkan itu. Apa lagi kaca matanya yang membuat aku ingin muntah," sarkas seorang pelayan lagi.
"Sebab itu aku selalu menyuruhnya pergi kalau aku ingin makan, makananku tidak tertelan kalau melihat wajahnya yang menjijikkan itu."
"Aku juga, malas sekali melihat wajah menyeramkannya itu."
"Mau bagaimana lagi, tapi kan ada bagusnya juga. Dia bisa kita perbudak."
"Iya, lagi pula pak Vizi mempertahankan dia hanya karena dia rajin. Kalau bukan karena itu mana mungkin anak seperti dia bisa bekerja sebagai pelayan di kafe ternama seperti ini."
"Iya juga, wajahnya jelas tidak layak dipertontonkan kepada pengunjung. Yang ada kafe ini tutup karena pengunjung tidak ada yang bisa menelan makanannya setelah melihat wajah menyeramkannya itu."
"Benar, apa lagi dengan tubuh yang super kurus itu. Hah … siapa yang akan tergoda?"
Sekumpulan pelayan itu kembali tertawa merasa begitu senang mengolok wajah dan kehidupan Cara. Semua rekan kerja Cara sama sekali tidak menyukai keberadaan gadis itu. Namun, mereka memanfaatkan sifat penurut Cara sehingga tidak jarang Cara mengerjakan semua pekerjaan sendiri. Cara memang gadis yang rajin, itu adalah satu-satunya hal yang membuat pemilik kafe tempatnya bekerja tetap mempertahankan keberadaan Cara di sana. Sebab jika menilai dari segi wajah dan fisik, jelas saja Cara tidak akan diterima.
Sedangkan Cara yang sedari tadi mendengar percakapan sekumpulan teman kerjanya itu sudah menunduk sedih, hal seperti ini memang selalu dia dapatkannya sedari kecil. Jadi sebenarnya itu bukanlah hal baru baginya, namun tetap saja setiap mendengar ujaran kebencian dan pandangan jijik orang lain untuk dirinya membuat Cara semakin begitu terpuruk ke dasar bumi yang terdalam sehingga tidak pernah sanggup untuk bangkit.
"Kau ingin tetap bekerja tidak hah? Dengan seenaknya kau datang terlambat, kau pikir ini milik nenek moyangmu?" bentak manager.
Cara diam sambil menunduk mendengarkan kata-kata yang dilontarkan oleh manager kafe. Dia tidak berani menyahut karena itu akan percuma, sebab dia hanya gadis jelek dan miskin yang tidak akan pernah didengar oleh orang lain. Padahal ini adalah pertama kalinya bagi Cara datang terlambat ke tempat kerja, biasanya dia adalah orang yang selalu tepat waktu. Tetapi kata-kata yang dilontarkan oleh manager kafe seakan Cara selalu datang terlambat.
"Seharusnya kau bersyukur sudah diterima bekerja di sini, aku yakin tidak akan ada orang yang mau menerimamu sebagai pelayan dengan wajah jelek dan penampilan udikmu itu," lanjut manager.
"Tetapi kau malah seenaknya datang semaumu saja? Tidak tahu diuntung, sadar dirilah dengan wajahmu itu. Dasar gadis miskin," sambung manager.
Cara masih diam, dia sudah sangat biasa mendengar kalimat kasar yang ditujukan kepada dirinya. Jangankan orang lain ayah kandungnya saja selalu berkata dan bersikap kasar kepadanya. "Aku minta maaf," cicit Cara.
"Aku tidak butuh maafmu, jika kau masih ingin bekerja di sini maka jangan seenaknya lagi. Gajimu hari ini aku potong, ini …." Dengan gerakan kasar manager kafe memberikan beberapa lembar uang kepada Cara sebagai upah kerjanya hari ini, sebab Cara memang meminta untuk digaji perhari.
"Pergilah dari hadapanku," sarkas manager.
"Terima kasih." Dengan gerakan cepat Cara berlalu dari sana karena tidak ingin semakin menyulut kemarahan manager kafe.
Meski manager kafe selalu bersikap dan berucap kasar kepadanya, Cara masih merasa berterima kasih. Sebab apa yang dikatakan oleh manager itu memang benar, tidak ada orang yang mau menerimanya bekerja karena penampilannya itu. Jadi Cara berterima kasih kepada pemilik kafe dan juga manager kafe itu karena masih mengizinkan dirinya untuk bekerja di sana.
"Hah … tidak apa-apa, yang penting aku masih bisa makan dan sedikit menabung." Cara menatap uang dua puluh lima ribu di tangannya sambil tersenyum tipis. Cara bekerja setiap hari sebagai pelayan kafe, gadis itu bekerja dari jam empat sore sampai jam sebelas malam dengan gaji hanya tiga puluh lima ribu rupiah sehari.
...*****...
"Aku ingin berkuliah di Universitas Alfa Pa, aku tidak ingin tempat lain. Teman-temanku semuanya di sana," rengek Jesy.
"Iya Sayang, tapi nilaimu tidak mencukupi untuk mendaftar di sana. Kita cari kampus lain saja yah, ada kok yang …."
"Tidak," Jesy dengan cepat memotong ucapan Torih.
"Aku tidak ingin tempat yang lain, aku hanya ingin Universitas Alfa. Kalau tidak aku tidak akan kuliah." Jesy menatap tajam kedua orang tuannya.
Sedangkan Torih dan Sasdia sudah menghela nafas berat melihat sifat keras kepala putri kesayangan mereka. "Baiklah, Papa akan usahakan, nanti Papa minta tolong kepada teman Papa untuk menyuap salah satu dosen di sana." Torih mengusap puncak kepala Jesy mencoba membujuk putrinya itu.
"Lakukan apa saja, aku hanya ingin berkuliah di sana. Kalau tidak biarkan aku ke Amerika!" tukas Jesy.
Torih dan Sasdia terkejut dengan wajah takut menatap Jesy. "Jangan Sayang, jangan tinggalkan Mama, kami tidak bisa jauh denganmu nak." Sasdia mendekat ke arah Jesy kemudian memeluk putrinya itu.
"Iya, Papa tidak ingin putri satu-satunya Papa harus pergi jauh dari jangkauan Papa," sambung Torih.
"Heh … papa masih ada satu putri lagi, itu si gembel." Jesy tersenyum sinis mengingat wajah Cara.
"Jangan bawa-bawa dia Sayang, Papa jijik. Dia bukan putri Papa, putri Papa hanya satu. Yaitu kamu." Torih bersuara sambil mendengus jijik.
"Makanya lakukan apa pun supaya aku bisa berkuliah di kampus Alfa, dengan uang semuanya bisa dilakukan," ketus Jesy.
"Pasti, kamu tenang saja. Papa jamin kamu akan berkuliah di sana." Torih kembali mengusap kepala putrinya sambil tersenyum hangat sarat akan kasih sayang.
Sedangkan Cara yang sedari tadi mendengarkan percakapan tiga manusia itu sudah tersenyum miris. Tanpa sadar air mata gadis itu kembali jatuh membasahi pipinya. "Aku juga ingin merasakan Ayah mengusap kepalaku dan melontarkan senyum kasih sayangnya untukku!" Cara menatap sendu Torih yang sedang mengusap kepala Jesy.
"Kapan aku akan merasakan semua itu?" lirih Cara. Cara berjalan menjauh dari belakang pintu utama kediaman Gerisam, Cara tidak sengaja mendengar percakapan tiga orang di dalam sana saat dirinya hendak menuju kamarnya.
Cara memang tidak perlu melewati pintu utama untuk masuk ke dalam kamarnya, karena kamar pembantu keluarga Gerisam memang di letakkan sedikit jauh dan terpisah mengingat bagaimana sombong dan angkuhnya sifat keluarga itu. "Hah … aku tidak boleh mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin kudapatkan," lirih Cara.
Gadis itu menghempaskan tubuhnya ke atas kasur mungil di ruangan itu sambil menertawakan keinginannya yang jelas mustahil akan terjadi. Cara tahu betul betapa benci dan jijiknya Torih kepada dirinya dan juga mendiang bundanya. "Apakah salah terlahir dari keluarga kelas rendah? Sampai sebegitu benci dan jijiknya Ayah kepada Bunda dan juga aku yang merupakan anak kandungnya sendiri." Cara menatap sendu langit-langit kamarnya.
Setelahnya gadis itu memerengkan tubuhnya membelakangi tembok dan menyisakan sedikit ruang kasur di sampingnya. Tiba-tiba saja bayangan Dea hadir dalam imajinasinya, Cara melihat bundanya sedang menatapnya sambil tersenyum hangat. "Bunda …." Cara bergumam lirih sambil menggapai bayangan semu itu.
Setetes air mata kembali jatuh dari pelupuk mata indah gadis itu, Cara begitu merindukan kehadiran bundanya. Setiap hari Cara akan selalu berimajinasi melihat kehadiran Dea yang setia menemaninya bahkan sampai gadis itu terlelap menyelami dunia mimpi. Cara senang, meski itu hanya sebuah halusinasi atau pun imajinasinya dia tidak peduli. Mungkin tanpa kehadiran wajah semu Dea selama ini, Cara tidak akan pernah bisa tertidur dengan tenang.
...*****...
"Apa yang kau lakukan gembel?" Suara seseorang mengejutkan Cara yang sedang membersihkan ruangan makan keluarga Gerisam. Gadis itu membalikkan badannya dan melihat keberadaan Jesy yang sedang menatapnya dengan pandangan benci seperti biasa.
"Aku sedang membersihkan meja makan Jes," sahut Cara.
"Kenapa kau membersihkannya di saat aku akan ke sini, hah? Kau membuat aku tidak selera makan setelah ini." Jesy membentak sambil menatap tajam Cara yang terkesiap di tempatnya karena mendengar suara tinggi Jesy.
"Ada apa Sayang?" Sasdia datang dan mendekat ke arah putrinya, setelah itu wanita paruh baya itu menatap tajam ke arah Cara.
"Gadis kotor itu di sini di saat aku akan ke sini, aku jadi tidak berselera makan setelah ini." Jesy menunjuk Cara dengan tangan kirinya.
"Mas … Mas Torih!" Sasdia berteriak memangggil nama Torih.
Sedangkan Cara sudah berkeringat dingin saat mendengar ibu tirinya itu memanggil ayahnya, jika Torih sudah turun tangan gadis itu bisa berakhir mengenaskan. Cara menelan salivanya kasar saat melihat kedatangan Torih yang sedang menatapnya datar sarat akan rasa benci. "Ada apa?" tanya Torih.
"Dia membuat anak kita tidak nafsu makan Mas," tutur Sasdia.
Torih menatap Cara tajam kemudian menoleh ke arah Jesy. "Kenapa Sayang?"
"Aku jijik melihat wajahnya, dia pasti sengaja ke sini karena tahu aku akan ke sini Pa. Wajah menjijikannya itu membuat aku mual," sahut Jesy.
Dengan wajah marah Torih menoleh ke arah Cara yang sudah terdiam kaku di tempatnya dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Mulut gadis itu tidak mampu bersuara barang sekata pun untuk membela dirinya. Gadis itu terlalu takut dan begitu tertekan dengan atmosfer menyeramkan yang dikeluarkan oleh Torih.
Plak … bruk …
Tanpa menahan kekuatannya Torih menampar pipi Cara dengan tidak berperasaan, sehingga membuat Cara jatuh terduduk sebab tubuh kurusnya tidak mampu menahan kekuatan besar dari Torih. Sudut bibir gadis yang menjadi korban tamparan itu mengeluarkan darah segar, itu cukup untuk membuktikan betapa kerasnya Torih menampar putri kandungnya itu. "Kau berani?" desis Torih tajam.
"Pergi dari sini sialan." Torih menendang kaki Cara kuat sehingga terdengar suara mengaduh dari mulut gadis itu.
"Akhh …." Cara segera menutup mulutnya yang hampir berteriak, dengan tergesa gadis itu berdiri menahan sakit di pipi kiri dan kakinya yang baru saja menjadi korban keganasan Torih.
"Ma-maaf … aku akan pergi." Cara berjalan meninggalkan ruangan makan itu dengan langkah terburu-buru.
Cara berjalan sambil sedikit pincang sebab tulang kaki yang baru saja ditendang oleh Torih begitu ngilu dan sakit. Cara hanya berharap luka kakinya itu tidak parah. Padahal Cara sama sekali tidak salah di sana, dia selalu melakukan kegiatan bersih-bersih setiap hari di jam yang sama. Jam itu adalah beberapa menit sebelum Torih, Sasdia dan Jesy sarapan pagi. Jadi tentang pertemuannya dengan Jesy di ruangan itu bukanlah salah Cara, sebab gadis itu jelas tidak tahu kalau Jesy akan datang.
Lagi pula biasanya Jesy belum akan terlihat berkeliaran di jam itu, kalau seandainya Cara tahu Jesy akan datang ke sana gadis itu pasti akan memilih pergi menghindar dari masalah. Cara memang disuruh untuk mengurus rumah keluarga Gerisam, membersihkan segalanya tetapi tidak boleh sampai terlihat oleh tiga penghuni lain di rumah itu. Apalagi saat membersihkan ruangan makan, mereka beralasan akan kehilangan nafsu makan jika melihat Cara berkeliaran di tempat mereka biasa makan.
Satu hal yang tidak Cara lakukan di rumah itu adalah memasak, tentu saja dengan alasan yang sama. Mereka tidak sudi memakan makanan yang di masak oleh Cara yang merupakan gadis jelek yang cupu, udik, berpenampilan seperti anak jalanan dan menjijikan menurut mereka. Kata-kata mereka memang keterlaluan, penampilan Cara memang sangat biasa-biasa saja dengan baju dan celana lusuh yang dia punya hanya beberapa pasang. Ditambah dengan kaca mata yang dia kenakan membuatnya terlihat seperti gadis cupu. Cara hanya terlihat suram, kata gembel dan anak jalanan terlalu berlebihan untuknya, apa lagi bila disebut menjijikkan.
.
.
.
"Aku kuat," gumam Cara menguatkan dirinya sendiri. Setelah mengobati pipi dan kakinya, gadis itu beralih kepada selembar kertas di atas kasur miliknya yang bertuliskan 'Formulir Pendaftaran Beasiswa Universitas Bangsa'.
"Maaf Bunda, aku terpaksa menentang perkataan Bunda untuk kali ini. Aku ingin berkuliah, semoga dengan ini aku bisa membuat Ayah bangga. Aku berharap Ayah memberikan aku kasih sayangnya setelah aku membuatnya bangga dengan ini," gumam Cara.
Gadis itu memulai menulis di lembaran pendaftaran itu dengan harapan yang begitu besar. Dia berharap ajuan beasiswanya diterima, dia juga berharap dengan ini bisa membuat Torih bangga sehingga dia bisa mendapatkan kasih sayang ayah kandungnya itu. "Aku tidak meminta lebih, aku hanya ingin mendapatkan kasih sayang seorang ayah. Sama seperti Jesy," lirih Cara.
...*****...
"Jesy," panggil seseorang.
"Hai," sahut Jesy.
"Bagaimana, kau jadi satu kampus dengan kami bukan?" tanya seseorang lagi.
"Tentu saja, semuanya bisa dilakukan asal memiliki uang." Jesy tertawa diikuti oleh dua temannya.
"Bagus lah, tidak akan seru jika kita berpisah," balas Hesti yang merupakan salah satu teman Jesy.
"Benar, kita 'kan memang harus selalu bersama. Nanti kita harus cari laki-laki di kampus itu yang memiliki banyak uang dan kalau bisa dia tampan." Sambung Iren sambil tertawa diikuti yang lain.
"Tentu saja, aku cantik jadi jelas pendampingku harus tampan dan ber-uang. Aku tidak butuh laki-laki kere," Jesy berucap dengan angkuh.
"Benar, kau pasti akan menjadi primadona kampus nantinya sama seperti waktu kita di SMA," tutur Hesti. Iren mengangguk setuju sedangkan Jesy sudah tersenyum angkuh.
"Tentu saja." Jesy tersenyum sombong.
"Sampai sekarang aku masih tidak percaya kalau kau memiliki saudara tiri yang sangat bertolak belakang denganmu," seru Iren.
"Benar, melihat wajahmu yang begitu cantik aku tidak percaya kalau si gembel itu adalah saudara se-ayahmu. Iuh …." Hesti bergidik jijik membayangkan wajah Cara.
Jesy tertawa keras saat teman-temannya mengungkit dan menghina Cara. "Jangankan kalian, aku saja tidak sudi dan sangat malu mengakui dia sebagai saudaraku. Sama sekali tidak level, bahkan Papa juga sangat membenci dan jijik kepadanya," desis Jesy.
"Terus kenapa dia masih diizinkan tinggal di rumahmu?" tanya Hesti bingung.
"Benar, kenapa tidak diusir saja lagi pula ibunya juga sudah mati bukan?" tambah Iren.
Tiga sekawan ini memang memiliki sifat yang sama, mereka sama-sama tidak memiliki hati. "Aku tidak tahu, tapi kata mamaku dia bisa mengurangi pengeluaran keluarga Gerisam. Kami tidak memerlukan pembantu karena semuanya dikerjakan oleh gembel itu," jelas Jesy.
Iren dan Hesti mengangguk mengerti mendengar perkataan Jesy. "Benar juga," ucap Hesti.
"Yang paling penting itu, kata mama si gembel bisa membuat aku dan mama memiliki mainan. Sebelumnya mama sudah menjadikan ibunya sebagai mainan, sekarang karena ibunya sudah mati jadi tersisa anaknya saja. Ketika moodku sedang buruk aku akan menumpahkan semuanya kepada gembel itu, jadi dia memang ada gunanya tetap ditampung di rumahku," lanjut Jesy.
Hesti dan Iren tertawa, bukannya bersimpati dua gadis itu malah ikut merasa senang mendengar penderitaan Cara. "Wah … kalau begitu, jika moodku sedang buruk boleh aku ke rumahmu untuk melepaskan kekesalan kepada saudaramu itu?" Hesti bertanya sambil senyum jahat.
"Jangan sebut dia saudaraku, aku jijik … silakan saja, terserahmu ingin melakukan apa kepadanya. Tidak akan ada yang marah." Jesy berucap sambil terus sibuk dengan ponselnya.
Hesti tersenyum merasa begitu senang karena menemukan target untuk melepaskan kekesalan di saat moodnya sedang buruk. "Kalau begitu aku juga ingin," sela Iren.
"Silakan, terserah kalian," balas Jesy santai. Hesti dan Iren saling bertos ria merasa senang karena mendapat mainan baru.
...*****...
"Selamat malam ketua." Suara serentak beberapa orang mengalun mengisi kesunyian di ruangan gelap itu. Seorang laki-laki yang berada di dalam salah satu ruangan menyeramkan itu terkesiap, dia sudah berkeringat dingin saat mendengar panggilan 'ketua' dari para penjaga.
Citt …. Suara besi yang menjadi pintu ruangan itu mengalihkan perhatian laki-laki di dalam sana, seketika sekujur tubuhnya menjadi kaku saat melihat kedatangan orang yang paling ditakutinya selama ini. Dadanya sesak seakan dengan tiba-tiba seluruh oksigen menjauh dari jangkauannya.
"Dendrion." Suara berat nan rendah itu mampu mengusik ketenangan, laki-laki yang bernama Dendrion menunduk tidak berani menatap mata tajam sang laki-laki berjiwa iblis di hadapannya.
"Ada kata-kata terakhir?" sambung Geo.
Dendrion terkejut, laki-laki itu tidak mampu bersuara sebab lidahnya seakan tahu bahwa dirinya sedang dalam bahaya. Juan terkekeh mengejek saat melihat wajah ketakutan milik Dendrion. "Sudah tahu takut, kenapa kau memilih berkhianat?" tutur Juan santai.
"Ma-maaf kan aku, aku terpaksa." Dengan sisa keberanian Dendrion bersuara mencoba melakukan sedikit usaha penyelamatan diri dari sekumpulan iblis di hadapannya.
"Terpaksa … benarkah?" Alex pura-pura tertarik sambil tersenyum mengejek.
"A-aku diancam, tolong lepaskan aku kali ini saja. Aku akan melakukan apa pun untuk menebus kesalahanku ini," cicit Dendrion dengan suara bergetar.
"Kau terlalu banyak omong," sela Geo tajam.
Dendrion terhenyak saat mendengar kalimat yang dilontarkan Geo, orang yang paling ditakuti dan dihindarinya selama ini. Dendrion mengaku salah karena sudah berani berkhianat kepada Death hanya karena tergiur kesenangan sementara, sekarang dia sangat menyesal. Berurusan dengan Geo adalah hal yang paling dia hindari selama ini, tidak ada orang yang tidak takut dengan laki-laki tampan berwajah malaikat itu sebab sifatnya menyamai iblis yang tak punya hati.
Tring … tring … tring …
Suara ponsel Geo bergema di seluruh ruangan menegangkan itu, mengalihkan perhatian empat laki-laki yang berada di sana. Sang pemilik ponsel mengambil benda pipih itu dari dalam saku celana miliknya. Sebelah alis Geo terangkat saat melihat nama orang yang menghubunginya. "Kalian urus dia, aku pergi." Geo berjalan menjauh dari ruangan kematian itu meninggalkan tiga laki-laki di sana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!