Underworld School: Learn To Kill
POV: ???
Di tengah malam aku berjalan lunglai, tanpa alas kaki merasakan dinginnya aspal. Tangan kiriku memegang bahu kananku yang terluka. Perih, sakit, aku hanya bisa menangis tanpa suara. Dalam satu malam, semuanya berubah, kehidupanku yang sempurna, kebahagiaan yang kukira berlangsung cukup lama, nyatanya hancur dalam sekian menit.
"... Aku benci ... AKU MEMBENCIMU BANGSATTT! AARRRGGGHHHH!" Aku tidak tau apakah akan ada yang mendengar suaraku. Tapi aku tidak bisa lagi menahan kesedihan dan kemarahan dalam hati ini.
Ini semua bermula satu jam yang lalu.
###
FLASHBACK
Aku berjalan senang keluar dari kamar, bersenandung lagu favoritku melewati lorong mansion rumahku.
Namaku Seas Veldaveol, putra bungsu keluarga Veldaveol. Seperti yang kalian lihat, aku anak orang kaya, punya mansion, banyak mobil, aku tidak mengharapkan apapun lagi selain semua keluargaku bahagia. Yah, dan hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 17! Kakak bilang akan mengadakan pesta kecil di aula pada pukul 9 malam! Dan aku sedang berjalan ke sana sekarang!
Aku tidak mengharapkan kado atau apapun dari mereka, ucapan selamat saja sudah lebih dari cukup bagiku.
Eh?
Langkah kakiku terhenti.
Itu ... kakek Rudi?
"Kek? Kakek?! Kakek? ... "
Ini bercanda kan? Iya ... mungkin ini semua cuma prank! Kakek terbaring berdarah darah di lantai dan tidak mau bangun! Pasti cuma prank!
Haha ... iya kan?
Tanganku gemetar, aku menyentuh lehernya yang masih hangat, jari-jariku berusaha mencari denyut nadinya.
Tidak ada ...
"..." Lututku terasa lemas, takut, rasanya nafasku menjadi semakin berat. Ini bukan pertama kalinya ada pembunuh yang masuk ke rumah ini, tapi ... Kakek Rudi adalah salah satu pelayan sekaligus bodyguard yang kuat.
Gawat ... aku harus mencari kakak dan Ayah!
Kakiku menjadi semakin ringan, aku terus berlari ke arah aula. Semakin aku berlari, semakin banyak juga tumpukan mayat pelayan keluargaku yang berserakan.
Ini gawat, ini sangat gawat! Aku tidak boleh berhenti! Aku tidak tau dimana pembunuhnya! Aku tidak boleh lengah sekarang!
Aku berhenti di pintu besar di samping kiriku. Nafasku terengah-engah, pandanganku sedikit kabur karena harus berlari sekuat tenaga. Dengan tenaga yang tersisa, tanganku gemetar membuka pintu aula.
"Kakak! Ayah! Ada pembunuh ... di ... sini?"
Apa? Apa yang terjadi?
Apa yang sebenarnya terjadi?
"Ka ... kakak? Apa ... yang kakak lakukan?" Kakiku seperti dipaku ke lantai, berat, sangat berat hingga tidak bisa aku angkat. Pandanganku yang awalnya buram kini berubah menjadi jernih, sangat jernih sampai aku membenci mataku sendiri karena melihat kedua orangtuaku yang sekarat di bawah kaki kakakku.
"Oh ... kau sudah datang." Kakak melirik padaku dengan seringai yang terukir di wajah penuh darahnya.
Takut.
Seram.
Mata ungunya yang tersenyum terlihat seperti iblis yang tertawa. Jas putih yang selalu ia kenakan kini telah dihias oleh darah merah.
"... Ka ... kak?"
SYUT!
BRAAAKK!
Aku memejamkan mataku ketika sebuah cambuk berdiri terbang ke arahku. Berat ... bahkan untuk bernafas saja rasanya sangat sulit! Aku kembali membuka mata, melihat pintu aula yang hancur lebur terkena cambuk kakak.
Kakak hanya tersenyum, ia mengangkat telunjuknya ke arahku sambil tersenyum. "Selanjutnya ... "
Leherku tercekat, seperti ada sebuah kawat yang melilit erat di sana.
..."Kepalamu yang akan hancur." ...
Deg!
Kakak mengangkat cambuknya ke atas, bersiap untuk melayangkannya lagi ke arahku.
Kresh!
Tes ... tes tes.
"... Kau ... menggigit bibirmu sendiri?" tanya kakakku masih dengan senyuman yang mengerikan itu.
Ya ... aku menggigit bibirku sendiri. Aku tidak peduli, darah yang menetes terus itu tidak penting!
Lari! Aku harus lari!
Entah itu karena rasa sakit di bibirku atau otakku yang sudah kembali bekerja ... aku tidak peduli lagi. Aku harus lari!
"Lari?"
SYUT!
SIAL!
CRASSHH!
BRUKK!
Aku terjatuh ke lantai ... sakit! Bahu kiriku sangat sakit! Cambuknya akhirnya mengenaiku! Ukh! Air mataku sudah tidak terbendung lagi, kepalaku rasanya berkunang-kunang.
Tidak boleh ... AYO BANGUN DASAR KAKI TIDAK BERGUNA!
Aku kembali berdiri, berusaha berlari mengabaikan rasa sakit di bahuku yang koyak.
Pintu keluar ... pintu keluar!
Aku langsung keluar lewat pintu depan yang terbuka lebar. Berlari sempoyongan menuju jalan raya yang sepi. Entah kemana aku harus pergi, tapi aku tidak bisa terus di sini.
Untuk sesaat, aku kembali menoleh ke mansion. Di depan pintu, kakakku berdiri dengan wajah datarnya.
..."Benar, larilah. Larilah dan bertahan hidup seperti kecoa." ...
Bangsat! Sial! Sialan!
FLASHBACK END
###
BRUK!
Aku terjatuh berlutut di tengah aspal. Kepalaku sangat sakit. Nafasku mulai berat, apa karena aku kehilangan terlalu banyak darah?
"... Hah ... hah ... AAAAAAAAAAAHHHHHHHH! MATI KAU AAAARRRGGGHHHH!" Aku memukul aspal di depanku, menggaruknya, mendorongnya, apapun itu yang bisa kulakukan untuk menyalurkan rasa marah dalam hati.
Tapi ... bukannya hilang, rasa menjengkelkan ini tetap ada. "Hiks ... aaakkhhh!" Aku kembali meringis saat merasakan bahu dan jari tanganku yang hancur.
Sebenarnya apa yang salah? Apa yang terjadi? Kenapa bisa terjadi? Dimana salahnya? Sejak kapan?
Tes tes ...
BRESSSS!
Tubuhku gemetar seraya hujan deras turun menerpa. Darah di bahu dan tanganku mengalir ke tepi, pandanganku semakin buram dan hawa tubuhku juga semakin dingin.
Apa aku akhirnya juga mati? Seperti ini? Seperti pecundang begini?
Tap ... tap ... tap ...
Samar samar aku mendengar suara langkah kaki yang kuat. Entah kenapa, padahal suara hujan juga cukup deras, tapi langkah kakinya masih begitu jernih ke telingaku.
Apa dia malaikat kematian?
Padahal ... keluargaku dulu begitu bahagia dan indah ... aku ... tidak meminta hal lainnya ...
Andai ... andai saja aku tidak selemah ini. Andai saja ... aku cukup kuat untuk menghentikan semuanya sebelum jadi lebih buruk! Tapi ... tapi apa yang bisa kulakukan sekarang? Aku tidak bisa menghidupkan nyawa orang yang sudah mati ...
Balas dendam? ...
Heh, tidak mungkin. Aku? Akan melawan kakakku yang gila itu? Aku tidak mungkin punya kesempatan.
Tap.
"..." Aku mendongak ke atas, menatap sesosok wanita dengan kulit putih agak pucat. Warnanya berwarna merah keruh, di lehernya ada tato ular dan juga kupu-kupu. Lalu ... rambut hijau muda sepinggang miliknya yang basah diguyur air hujan.
Dia ...
Tampak seperti seorang dewi ... dewi kematian.
"Kau ... Veldaveol?"
Dia bilang ... apa?
Aku tidak mendengarnya dengan jelas, suaranya begitu lirih dan pelan.
Tiba-tiba gadis itu menundukkan wajahnya hingga tepat ada di depan wajahku. Ekspresinya sangat datar, seolah dia bukanlah manusia.
"Aku bertanya ... "
Apa?
..."Apa kau mau balas dendam?" ...
Balas dendam? ... Apa aku bisa? ... Aku? Yang lemah ini ... tidak mungkin ... kan?
Tapi ... jika aku diberi kesempatan ... menjadi kuat ... sangat kuat ...
Aku meraih kerah jas hitam yang dia pakai, meremas jas kulitnya dengan jari-jariku yang hancur.
..."Ya! Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri!" ...
Itu adalah kata-kata terakhir yang bisa aku ucapkan dengan tenagaku yang tersisa. Setelah itu aku tidak tau, pandanganku semakin gelap, satu-satunya hal yang kuingat adalah ...
Wanita itu yang tersenyum tipis padaku.
TBC.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 208 Episodes
Comments
Pecintagepeng01
Setelah aku melihat notif update, aku langsung buka, tapi karena lupa alur, jadinya mau baca ulang dulu/Shhh//Shhh//Shhh/
2024-02-23
1
Tatata
Wow😳 prolognya keren banget!!!
2023-02-28
2
Pecintagepeng01
Halo para reader marathon! Jangan lupa untuk like di setiap bab ya! Sebagai apresiasi untuk authornya!
2022-11-19
4