POV: Seas
"Hmh ... ." Aku terbangun saat merasakan sesuatu yang keras di daguku.
Hah? Apa ini? Ini bahu?
Oh ... ternyata aku digendong oleh Sky.
"HAH? Tunggu! Kita akan kemana?" tanyaku saat sadar Sky sedang berjalan ke suatu tempat.
"Ka-karena kau tidak bangun-bangun, jadi aku menggendongmu ... kau tidak lupa kan? Hari ini kelas pertamamu ...," ucap Sky dengan gugup.
Oh ... benar, hari ini adalah kelas pertamaku.
Aku memandangi rambut Sky dari belakang. Rambut yang lebat dan lembut. Rambut ini berwarna kuning kebiruan, dan kalau kuingat-ingat warna matanya juga kuning. Aku sedikit lebih tinggi darinya.
"Kau ada di kelas apa?" tanyaku pada Sky. Aku memerhatikan keringat yang mengalir dari lehernya.
"Aku di kelas yang berbeda de-denganmu." jawab Sky. Dia masih gugup. Padahal tadi pagi dia masih bicara leluasa denganku.
"Sudah cukup, turunkan aku. Aku bisa berjalan sendiri." Sky kemudian menurunkanku, aku berjalan di sampingnya.
"Ngomong-ngomong kenapa kau jadi gugup begini?" tanyaku sambil melirik ke arah Sky. Sky melirik mataku lalu melihat ke arah bawah.
"A-aku tidak terbiasa dengan lingkungan luar yang banyak o-orang. Jadi aku lebih suka sen ... diri," jawabnya. Aku mengernyitkan kening ku.
"Bukankah aku juga orang luar? Kenapa tadi kau berbicara leluasa denganku?" Aku menunjuk diriku sendiri dan sedikit membungkuk untuk menatap Sky.
"A-aku juga tidak tau, kau terasa berbeda dari orang lain ... oh iya! Aku sampai di sini saja, kelasmu ada di ujung sana, sekitar 3 km dari sini, be-bersemangatlah!" ucapnya lalu berlari meninggalkanku. Cara larinya yang malu-malu membuatku sedikit tertawa.
Tunggu ... 3 km katanya? Aku harus berjalan sejauh itu?!
Aku menghela napas panjang, ini benar-benar kelas yang paling menyiksa.
90 menit berjalan, akhirnya aku sampai.
Aku tau bahwa iklim di sekolah ini memang selalu suram. Tapi kenapa aku merasa kelas ini lebih suram. Seperti gudang yang ditinggalkan.
Dan apa-apaan bercak merah yang menempel di dinding itu?!
Tep.
"Kalau kau tidak segera masuk, akan gawat loh! Pelatih kita sangat ganas!" ucap seorang siswa dengan seragam sama denganku. Ugh, ternyata begini penampilanku ketika memakai seragam ini.
Tapi menurutku seragam ini lumayan keren, kaos hitam ketat tapi tidak panas, lengan yang panjang dan celana yang terbuat dari bahan mirip karet tapi sangat ringan. Bahkan seragam ini punya rompi sebagai lapisan luarnya.
Aku berjalan masuk melewati pintu yang anak tadi gunakan. Ruangan ini sangat gelap, bau aneh menyeruak masuk ke dalam hidungku.
"Bubuk mesiu?"
Perlahan mataku terbiasa dengan pencahayaan yang sedikit ini. Ada beberapa orang yang berkumpul di tengah ruangan ini. Aku mendekat ke arah mereka dan ikut diam.
"Sst! Untung kau tidak terlambat!" Aku sedikit terkejut saat anak tadi tiba-tiba berbicara denganku.
Dor!
"Suara tembakan!" Aku spontan menunduk begitu juga dengan siswa lainnya. Ada beberapa siswa yang langsung berlari meninggalkan tempat ini.
"Kalian lari, artinya kalian mati. Kalian diam, artinya kalian mati."
Sebuah suara tiba-tiba terdengar. Aku mempunyai firasat buruk tentang ini. Aku segera berdiri dan melihat ke sekelilingku.
..."Pelajaran pertama kelas pembunuh pertarungan jarak dekat! Seleksi alam!"...
Begitu mendengar kalimat terakhirnya, aku menyadari sesuatu. Di bawah kakiku, ada banyak kertas yang berhamburan layaknya pasir di gurun. Aku mulai mencari di antara tumpukan kertas itu, mencari sesuatu untuk selamat dari pelajaran kelas ini.
"Undian ... bukan ... nomor?" Aku menemukan satu kertas yang berbeda dari kertas lainnya. Kertas ini berwarna emas, dan di dalamnya ada nomor.
"Tiga?"
Duar! Duar! Duar!
Seketika ruangan ini terang karena nyala bom yang bergantian. Aku melihat satu-persatu siswa di sini meledak hingga tak tersisa!
Dari cahaya terang, hingga abu yang berterbangan.
"Bubuk mesiu ... oh itu dia!" Aku mencium rompi yang kupakai.
...[Bomnya ada di dalam rompi!]...
Sial! Kenapa aku baru menyadarinya?! Aku melihat ke sekelilingku.
"Lepaskan rompi kalian!" ucapku sambil membuang rompiku. Banyak juga yang mulai mengikuti tindakanku.
Dua menit kemudian, suara bom itu berhenti. Tidak ada gemerlap api di dalam ruangan ini. Mataku terasa panas karena serbuk dan debu yang berterbangan.
"Hahahaha, lumayan banyak murid berbakat tahun ini! Selamat! Kalian sudah lulus seleksi! Silakan keluar dari gedung ini dalam 5 detik! Kalau tidak? Kalian akan ikut jadi abu hahaha!"
Suara itu terdengar lagi! Aku dan siswa lainnya segera keluar dari gedung ini. Tepat setelah kami semua keluar, gedung ini meledak ... tidak meninggalkan bekas sedikitpun.
Aku melihat ke sekelilingku.
"Hanya 7 orang?" ucapku sedikit kaget. Bahkan anak yang tadi berbicara denganku... Rupanya dia tidak selamat.
"Baiklah-baiklah! Coba kita lihat murid tahun ini!" Seorang pria dengan tubuh kekar dan tato di lengan kanannya, berjalan ke arah kami.
Rambutnya berwarna perak dan putih. Tatapannya tajam, lebih dari sebilah pisau.
"Oh! Ada 7 orang! 4 orang lebih banyak dari tahun kemarin!" ucapnya sambil tertawa.
4 orang lebih banyak? Jadi tahun kemarin hanya 3 orang? Padahal sebelum aku masuk tadi ... aku yakin ada sekitar 20 orang.
"Oho! Ada anak yang memegang kertas emas ternyata!" Pria itu berjalan cepat ke arahku. Lalu memegang pundakku.
"Hei nak! Apa kau tau kertas apa ini?" Dia bertanya sambil tersenyum. Senyuman yang licik.
Aku menggelengkan kepalaku.
"Lalu kenapa kau mengambilnya?" tanyanya sekali lagi. Aku diam, memikirkan jawaban apa yang harus ku keluarkan.
"Kupikir ... ini adalah petunjuk tentang pelajaran hari ini," jawabku dengan yakin. Pria itu tersenyum, tersenyum seolah meremehkanku.
"Ya! Kau benar! Itu adalah petunjuk!" ucapnya lalu tertawa.
"Petunjuk untuk menyalakan bom di rompi teman-temanmu!" Pria itu mencengkram pundakku dan menatapku dengan ganas.
Badanku menjadi dingin.
Aku? Yang membunuh mereka?
Badanku gemetaran, pandanganku mulai buram, nafasku mulai tidak teratur. Aku merasakan tatapan tidak mengenakkan dari teman sekelasku yang tersisa.
"Huk!" Aku ingin muntah sekarang, memikirkan mereka semua mati karena diriku.
"Yah tapi ... kalau kau tidak mengambil kertas itu, mungkin hanya kau yang akan hidup," lanjut pria itu. Aku menatapnya dengan tatapan penasaran.
"Kertas itu, adalah kunci untuk mengaktifkan bom lebih awal. Jadi kalau seandainya kau tidak mengambilnya. Maka kalian semua akan meledak bersamaan! Hahahaha!" Pria itu tertawa, seolah berkata aku sudah menyelamatkan banyak nyawa.
Bagaimana dengan orang yang pertama meledak karena diriku? Bagaimana dengan yang kedua? Ketiga? Ke empat? Andai saja aku menyadarinya lebih cepat, pasti akan lebih banyak yang selamat ... .
"Hei nak ... kenapa kalian semua diam? Dan apalagi kau, si kertas emas." Pria itu menatap mataku dengan lekat. Tak melewatkan sedikitpun bagian wajahku.
..."Kalau kau menjadi pembunuh dengan setengah hati, itu tak ada bedanya dengan menelan pisau secara utuh dalam kerongkonganmu."...
..."Ya... Itu tindakan yang bodoh!"...
TBC.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 208 Episodes
Comments
Disa disa
Sadis bgt, baru juga pelajaran pertama
2022-06-07
0
Disa disa
Dih, padahal udh ditolongin
2022-06-07
0
Disa disa
Buset
2022-06-07
0