NovelToon NovelToon

Underworld School: Learn To Kill

PROLOG

POV : ???

Aku berjalan sempoyongan melewati jalanan malam. Sambil memeluk erat diriku, mencoba menenangkan pikiran. Noda darah yang menempel di bahu, membuatku teringat tatapan matanya saat itu.

Aku menggertakkan gigiku kuat, marah, putus asa, benci, sedih. Semua emosi itu berpadu dalam hati.

"HAAAAAA!" Aku berteriak di tengah gelapnya malam. Mencoba melepaskan rasa sakit yang tidak berwujud ini.

"HAH SIAL! SIAL! SIAL! AKU MEMBENCIMU!" Tanganku mencakar aspal jalanan berkali-kali. Tak peduli kuku tanganku yang hancur kali ini. Rasa sakit di hatiku lebih perih.

Aku memejamkan mataku, melihat rentetan kejadian yang berputar kembali seperti film.

#FLASHBACK

Ini adalah malam yang sunyi, tidak ada suara yang terdengar di mansion kami. Bahkan cahaya lampu yang terang ini tak menghidupkan suasana rumah ini.

Aku Seas, umurku 17 tahun. Hari ini adalah hari seharusnya aku mendapatkan hadiah atas ulang tahunku beberapa hari yang lalu.

Iya, itu yang harusnya terjadi ...

Suasana rumah yang sepi ini, kupikir mereka menyiapkan kejutan untukku. Karena aku adalah anak termuda di keluarga ini.

Aku berjalan dengan riang ke arah ruang tengah. Lalu kubuka pintu itu dengan gembira. Hingga seketika ... perasaan itu lenyap.

Tubuhku menjadi kaku, sangat berat rasanya. Bahkan untuk mengedipkan mata saja aku tak sanggup. Pemandangan di depanku.

Genangan darah yang perlahan mencapai ujung sepatuku. Serta Ayah dan Ibuku yang tergeletak di lantai.

'Tunggu ... itu Ayah dan Ibuku? ... '.

Aku melihat ke sekelilingku. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Bahkan para pelayan juga tergeletak di lantai.

Di tengah lautan darah dan manusia itu. Kakakku berdiri di sana, memegang sebuah cambuk dengan duri di sekelilingnya. Rambut hitam lurus yang berwarna merah karena darah. Bola mata ungu permata yang terlihat sayu tetapi penuh nafsu. Serta jas putih yang merah karena darah.

"Ka ... kak?" Suaraku bergetar. Ini tidak lucu untuk sebuah candaan.

Kakakku menoleh padaku dan tersenyum. Saat itu juga tubuhku lemas. Itu bukan senyuman hangat yang biasa dia berikan padaku. Tapi senyuman penuh nafsu seolah mengatakan 'selamat tinggal'.

Kakakku mendekat padaku dan meletakkan tangan kanannya di bahu kiriku. Tubuhku bergetar hebat, kakakku lebih tinggi dariku jadi aku harus mendongak untuk menatapnya.

Saat aku melihat matanya, sebuah suara tiba-tiba terdengar di dalam otakku. Tidak...itu bukan suara...itu insting bertahan hidup.

...[Larilah kalau kau ingin hidup!]...

Aku mencoba menggerakkan tubuhku, tapi tubuhku tak bereaksi sesuai keinginanku!

Air mataku mulai menetes, begitu juga dengan darah yang keluar dari mulutku. Iya, aku menggigit lidahku sendiri. Rasa sakit membawaku kembali ke kenyataan.

Aku berlari meninggalkan rumah yang penuh bau anyir darah. Melewati berbagai lorong dengan tumpukan mayat.

Dari luar rumah, aku bisa melihat kakakku sedang berdiri di depan jendela. Menatapku sambil tersenyum.

Senyuman paling mengerikan yang pernah kulihat. Bibirnya mulai terbuka dan mengatakan sesuatu.

..."Benar, teruslah lari dan bertahan hidup. Seperti kecoa."...

Aku berlari lagi dan tidak menengok ke arah sana. Kalimat yang sama terus kuucapkan di otakku.

"Itu bukan kakakku. Itu bukan kakakku. Itu bukan kakakku."

Tapi tak peduli seberapa lama, seberapa kuat aku menyangkalnya. Itu tetaplah fakta bahwa kakakku sudah membunuh Ayah dan Ibu.

#FLASHBACK END

Aku membuka mataku perlahan, terasa basah. Ah ... ternyata hujan. Aku tertawa kecil sambil menatap air yang mengalir dari jalanan.

"Terduduk lemas di tengah hujan, benar-benar suasana yang pantas untuk seorang pengecut sepertiku," ucapku letih.

Terbesit keinginan balas dendam dalam hatiku, tapi otakku menyadarkanku bahwa aku adalah seorang kecoa. Lemah dan tidak punya apa-apa.

Tap ... tap ... tap ...

Aku terdiam. Kudengar suara langkah kaki yang kian mendekat. Tapi aku terlalu lelah untuk mengangkat kepala. Air hujan yang membasahi rambut hitamku terasa sangat berat.

Aku masih tak bergeming, dan langkah kaki itu semakin mendekat. Aku berpikir, apakah itu kakakku?

Akhirnya dia menemukanku? Apakah dia akan membunuhku sekarang?

Sepasang sepatu berdiri di depanku. Mataku melebar. Ukuran kaki itu terlalu kecil untuk kakakku.

"Perempuan?" Aku mendongakkan kepalaku. Tetesan air hujan menghalangi pandanganku.

Tiba-tiba perempuan itu menunduk dan mendekatkan wajahnya tepat di atas wajahku. Kini aku melihatnya dengan jelas.

Rambut panjang hijau keemasan yang bersinar terkena rembulan. Kulit seputih salju dan bulu mata yang lebat. Matanya berwarna merah seperti darah. Dia memakai jas berwarna hitam lengkap dengan sarung tangan dan sepatu boots.

Perempuan itu tersenyum padaku. Dan mengusap pelan pipi kananku.

..."Kau ingin balas dendam?"...

Satu kalimat itu memancing semua amarah dalam diriku. Aku mengeratkan tanganku dan menatap tajam perempuan itu.

"Ya! Aku mau!" Seperti hewan buas yang putus asa. Aku menarik jas perempuan itu dengan kasar. Tapi perempuan itu tetap berdiri kokoh.

"Ikutlah denganku." Perempuan itu memegang tanganku lembut, lalu membantuku berdiri. Tangan yang sedingin es, terlihat indah seperti boneka porselen, tapi juga menakutkan seperti pedang dalam sarungnya.

"Kemana?" tanyaku sambil menatap perempuan yang tingginya hampir sama denganku itu. Perempuan itu berhenti tersenyum lalu membalikkan badannya.

"Ke sekolah. Sekolah untuk para pembunuh," jawabnya santai. Jantungku berpacu layaknya kuda yang berlari di padang rumput.

"Kau orang yang berbakat, ikutlah denganku dan balaskan dendammu," ucapnya sambil menoleh padaku. Mata semerah darah yang terlihat keruh. Membangkingkan nafsu membunuh dalam diriku.

"Sepertinya kau sudah memutuskan. Ikuti aku." Perempuan itu berjalan di depanku. Aku mengikutinya dengan tenang dari belakang. Hingga kita berhenti di sebuah terminal.

"Ini akan menjadi malam yang panjang, karena itu kita obati dulu." Perempuan itu masuk ke dalam toko yang terlihat sepi dan keluar dengan membawa perban dan alkohol.

"Ulurkan tanganmu," ucapnya dengan datar. Aku mengulurkan tanganku dan dia mulai mengguyur jari-jariku dengan alkohol. Aku tidak tau kenapa, tapi aku tidak merasakan sakit sama sekali. Bahkan aku tidak mampu bersuara, seolah pita suaraku membeku.

"Nah, sekarang masuklah ke dalam mobil hitam di ujung sana. Aku akan mengembalikan ini dulu," ucap perempuan itu. Aku mengangguk dan masuk ke dalam mobil. Tak lama kemudian perempuan itu kembali dan duduk di bangku kemudi.

"Aku ... belum tau namamu...," ucapku lirih. Rasanya tenggorokanku sakit karena terlalu banyak berteriak.

"Panggil saja aku Venom," ucapnya lalu menyalakan mobil. Matanya melihatku dari spion tengah mobil.

"Tidurlah, karena ini akan menjadi perjalanan yang panjang. Aku akan membangunkanmu jika kita sudah sampai." Venom mulai menjalankan mobilnya. Aku masih belum tertidur, menatap barisan pepohonan di pinggir jalan.

Aku tidak tau kemana Venom akan membawaku, tapi itu lebih baik daripada mati ditangan kakakku. Setelah itu, aku tidak mengingat apapun, aku tertidur lelap.

TBC.

[Halo guys! Cuma mau bilang, mungkin bagi sebagian orang juga ada yang tidak suka cerita ini, jadi kalian bebas untuk pergi atau memilih untuk lanjut membaca. Untuk yang pergi, terimakasih sudah mau mampir!<3, dan untuk yang memilih lanjut ...

Welcome to Underworld School! Hati-hati ya! Perjalanan kalian dimulai dari sini!]

Underworld School

POV : Venom

"Apa ada misi untukku?" tanyaku pada Remor, perempuan yang mengurus administrasi.

"Hmm, baiklah mari kita lihat!" ucapnya sambil melihat berita-berita yang bermunculan dari layar.

"Ada. Keluarga Veldaveol, bunuh Arma Veldaveol," ucapnya lalu mematikan layar. Aku menganggukkan kepalaku dan berjalan pergi.

Aku tidak menanyakan alasan kenapa harus membunuhnya, karena aku yakin bahwa pihak sekolah pasti mempunyai alasan. Dan alasan itu bukanlah alasan yang baik.

Aku menaiki mobilku dan mulai berkendara. Cahaya segera mengenai mataku saat aku sudah meninggalkan wilayah sekolah.

"Benar-benar tempat yang suram," ucapku pelan.

Aku melirik ke arah lokasi yang ditunjukkan padaku. Butuh waktu setengah hari untuk sampai ke tempat itu. Aku menaikkan kecepatan dan melaju lebih cepat.

Malam pun tiba, aku memarkirkan mobil di sebuah terminal yang sepi, lalu berjalan ke arah tujuanku.

"Mansion Veldaveol."

Drrrr ... drrrr ...

Aku mengangkat telepon dari hpku.

"Ada apa?"

"Misi dibatalkan, dan kau diberi misi baru. Lakukan pengamatan di Mansion Veldaveol."

Tut.

Telepon itu dimatikan begitu dia selesai mengucapkan misi baru. Aku berlari di kegelapan malam, karena sudah dilatih sejak kecil. Aku bisa berlari tanpa suara.

Tak berapa lama aku sudah sampai di mansion. Bau anyir darah langsung menusuk hidungku. Aku melompat dan masuk dari jendela lantai 2 yang terbuka.

"Baunya lebih menyengat!" ucapku lalu menutup hidungku dengan kain. Aku menutupi rambutku dengan tudung yang tersambung dengan jas yang kupakai.

Aku mulai berlari dan menjelajahi seluruh ruangan yang ada di mansion ini. Langkahku terhenti sejenak saat melihat mayat dari pasangan Veldaveol.

Aku mendekat dan berjongkok di depan mayat itu. Tanganku menyentuh wajah yang berlumuran darah.

"Ini masih baru."

Aku berdiri dan berlarian lagi untuk melihat beberapa ruangan yang tersisa.

..."Tidak ada kehidupan lagi di mansion ini."...

Aku mengeluarkan hpku dan mengirim pesan singkat untuk laporan misi.

Tring!

Remor_ad

Bagaimana dengan Veldaveol bersaudara? Ah... Maksudku anak bungsu Veldaveol.

Aku mengernyitkan keningku.

Anak bungsu? Apakah Arma punya adik?

Aku melompat keluar dari jendela lantai satu dan berlari lagi mencari jejak adik Arma.

"Dasar pria gila, dia bahkan tidak memberi ampun pada adiknya," gumamku pelan. Hingga aku sampai di sebuah jalanan. Hujan mulai turun dan aku melihat sosoknya di sana.

Terduduk lemas dan terisak. Rambut hitam lurusnya yang berkilau karena rembulan dan air. Dan ... tubuhnya terlihat lebih rapuh dari ranting yang kering.

"Kurasa dia tidak segila itu untuk membunuh adiknya," ucapku. Kudekati anak itu. Dia tidak bergeming dan tetap menunduk.

"Perempuan?" Dia mendongakkan kepalanya. Ah ... dia tidak bisa membuka mata dengan baik karena hujan. Aku menunduk dan mendekatkan wajahku padanya.

Kini aku bisa melihatnya dengan jelas. Mata berwarna ungu permata yang sangat jernih. Terlihat sayu dan letih, kulitnya pucat dan bibirnya menggigil.

Apakah dia ketakutan?

Kasihan sekali dia.

Tunggu ... kasihan? Barusan aku ... bersimpati? ... padanya?

"Kau ingin balas dendam?"

Kenapa aku mengucapkan kalimat itu? Entahlah ... aku hanya ingin melihat harapan dari mata itu.

Pupil matanya bergetar, sebagai seorang pembunuh profesional. Aku tahu, hawa membunuh yang dikeluarkan olehnya sangat luar biasa.

...[Seperti binatang buas.]...

"Ya! Aku mau!" Dia menarik jasku dengan kasar, tapi tidak bertenaga.

"Ikutlah denganku." Aku mengusap pipinya dengan lembut lalu membantunya berdiri. Ekspresinya sudah sedikit berbeda dengan yang tadi.

"Kemana?" tanyanya. Aku tersenyum pada anak yang tingginya hampir sama denganku itu. Aku membalikkan badanku dan berjalan pelan.

"Ke sekolah. Sekolah untuk para pembunuh." Dalam hatiku, aku bertanya puluhan kali.

Apakah ini keputusan yang tepat? Bagaimana jika cahaya pada matanya redup? Tempat itu terlalu gelap untuk anak yang bercahaya sepertinya.

Aku menatap anak itu sekali lagi.

..."Ah, dia sudah yakin."...

***

POV: Seas

"... as."

"... ngunlah."

"Seas, bangunlah." Aku mengusap mataku perlahan membiasakan diri dengan cahaya yang redup di sini.

"Kita sudah sampai?" tanyaku sambil melihat sebuah gedung. Gedung yang sangat suram, terlihat seperti gedung mati bagiku.

"Dimana sekolahnya? Venom?" tanyaku sambil keluar dari mobil. Kulihat ke kanan dan kiri.

Ack! Kenapa banyak orang aneh di sini?! Ada yang memakai topeng, ada yang membawa katana di pinggangnya, bahkan ... ada yang membawa sabit panjang di punggungnya ... .

Ini bukan alam barzah kan?

Tep.

"Tenanglah, kau aman denganku." Venom menepuk bahuku. Aku sudah menjadi lebih tenang sekarang.

"Kita sudah ada di area sekolah. Ini adalah gedung administrasi, kita akan mengurus datamu lebih dulu di sini. Selebihnya akan kujelaskan di dalam sana," ucapnya lalu menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya.

"Kita akan ke lantai berapa?" Aku memegang ujung jas Venom, rasanya sangat menyesakkan di sini.

"Ke lantai paling atas," ucapnya lalu menekan sebuah tombol. Tiba-tiba lantai tempat kami berpijak terangkat. Kami melaju ke atas dengan cepat.

"Hei ... kau bilang kita ada di area sekolah kan?...," tanyaku sambil menelan ludah kasar.

"Sebenarnya ... sebenarnya seberapa besar sekolah ini?!"

Aku yakin gedung ini punya lebih dari 100 lantai, bahkan saat aku sudah di lantai yang cukup tinggi. Aku belum melihat gerbang tempat kami masuk!

"Sekolah ini ... sebesar sebuah kota. Ada banyak hal di sini, layaknya kehidupan di kota. Di sini ada restoran, tempat hiburan, asrama, bahkan sampai pasar juga ada. Yah... Ini seperti sekolah dengan fasilitas lengkap dengan furniturnya." Venom tersenyum saat mengatakannya.

"Nah kita sudah sampai." Venom menarik tanganku lagi dan menyuruhku duduk di sebuah sofa berwarna hitam.

Aku mendengar langkah kaki yang semakin mendekat ke sini.

"Ada yang ke sini! Venom!" Aku berbisik pada Venom. Venom tampak terkejut.

Apakah aku terlalu dekat dengannya?

"Wah! Siapa yang kau bawa Venom?" Suara pria itu begitu berat di telingaku.

"Kalau kau sudah tau, harusnya kau tak usah bertanya," ucap Venom dengan dingin.

Pria itu tertawa kecil, ada bekas luka di mata kanannya. Rambut kecoklatan dan sedikit warna ... merah di ujungnya. Pria itu tampak gahar dengan jas hitam ketat yang dipakainya.

"Selamat datang di Underworld School. Seas," ucapnya sambil tersenyum padaku. Aku sedikit kikuk, karena ada perasaan tidak nyaman yang masih mengganjal di hatiku.

"Hentikan senyumanmu itu, aku tau Seas bukan tipemu jadi berhentilah melakukannya." Venom masih berkata dengan dingin padanya.

"Hey hentikan itu Venom! Jangan buat aku terlihat seperti bajingan di pertemuan pertama!" Pria itu berdecih pada Venom lalu menatapku.

"Aku Rex Eolax. Kau bisa memanggilku Rex. Jadi langsung saja ke intinya. Apa tujuanmu kemari?" Rex tersenyum hingga menunjukkan gigi taringnya. Aura yang sangat berbeda dari Venom.

Jika Venom itu seperti ular dan buah persik. Maka Rex seperti serigala dan beruang.

"Dia kemari untuk balas dendam-" Venom mencoba membantuku untuk menjawab Rex.

"Jangan membantunya Venom. Kalau dia tidak mampu membuatku mengakuinya, maka dia akan mati esok harinya," jawab Rex dingin. Aku tersentak. Aku? Mati?

"Kau tau di sini ada aturan tak tertulis kan?" Rex menatap mataku sambil tersenyum. Senyum penuh nafsu membunuh.

..."Yang kuatlah yang bertahan hidup."...

...TBC....

Yang kuatlah yang hidup!

..."Yang kuatlah yang bertahan hidup."...

Aku terdiam, atmosfer di ruangan ini terasa sangat menekan. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku.

"Dia akan hidup."

Suara Venom menyadarkanku. Aku menoleh ke arahnya, dan dia tersenyum padaku.

"Dia akan hidup, karena aku yang akan melindunginya," ucapnya tenang. Rex tertawa dengan keras.

"Baiklah-baiklah. Nah Venom keluarlah dulu." Rex menjentikkan jarinya, lalu beberapa orang datang dengan membawa teh.

"Kau tidak akan melakukan apapun padanya kan?" tanya Venom sambil menatap tajam ke arah Rex. Rex menggelengkan kepalanya, setelah itu Venom keluar dari ruangan.

Saat Venom menutup pintu, barulah aku merasakan tekanan yang menusuk di seluruh kulitku. Rex masih menatapku dengan senyuman di bibirnya. Jujur ... aku sedikit tidak nyaman dengan itu.

"Aku baru pertama kali melihat Venom seperti itu," ucap Rex.

Aku masih menatapnya dan duduk diam dengan tenang. Rex menuangkan teh itu dalam tiga gelas yang berbeda.

"Karena itu, aku tidak ingin kau membuatnya kecewa," ucapnya dengan pelan. Aku menelan ludahku gugup.

Tiga gelas? Bukankah disini hanya ada kita berdua?

"Dan sejujurnya ... kau sedikit menarik perhatianku," ucapnya lalu menyeringai. Seluruh tubuhku merinding saat itu. Dia tidak bergerak dari tempatnya, tapi auranya begitu menekan sampai aku tidak ingin bergerak sedikitpun.

"Nah sekarang. Di depanmu ada 3 gelas. Dua diantaranya beracun, pilihlah satu. Kalau kau berhasil, artinya kau bisa menjadi murid di sekolah ini," jelas Rex.

Aku mengambil satu gelas yang berada tepat di depanku. Dan mulai mencium aromanya. Lalu mengambil sisanya dan mencium aromanya.

...[Tidak ada perbedaannya!]...

Aku berpikir keras. Ketiganya memiliki aroma yang sama. Lantas apa yang membedakannya?

Aku terdiam beberapa menit, sambil mengamati ketiga gelas berisi teh itu.

"Apa kau menyerah?" Rex menopang dagunya dan menatapku. Aku menggelengkan kepalaku.

Kalau aku ingin membunuh seseorang dengan menaruh racun di minumannya. Apa yang akan kulakukan? Menaruh racun di dalam teh? Kalau aku melakukan itu maka semua orang yang meminumnya akan ikut mati.

Menaruh racun di dasar gelas? Tapi itu pasti akan mengubah aromanya dan harusnya aku tau bahwa itu beracun.

...[Di pegangan gelas?]...

Tidak. Kalau ada racun di pegangan gelas, pasti racun itu akan bereaksi ketika terkena kulit. Dan aku sudah menyentuh ketiga gelas itu, tapi aku masih hidup.

...[Jadi dimana?]...

"Ayolah nak, aku mulai mengantuk ... kalau kau menyerah juga tak apa, aku akan memberimu tes yang lebih mudah." Rex mengedipkan matanya padaku. Aku tersenyum kikuk, tapi... Aku masih belum ingin menyerah.

Brak!

Aku terkejut saat Venom tiba-tiba membuka pintu.

Ekspresi Venom terlihat menyeramkan, apa dia marah?

"Sudah kuduga! Aku penasaran kenapa kau menyuruhku keluar sangat lama! Rex! Hentikan tes sialan ini!" Venom berjalan cepat ke arah Rex lalu mencengkram kerahnya.

"Whoa whoa whoa! Tenanglah cantik! Lagipula, kau masih belum menyerah, kan?" Rex melirik ke arahku.

"Ya." Aku tersenyum pada Rex. Aku mengambil salah satu gelas itu lalu meminumnya.

"SEAS!" Venom segera menghempaskan teh yang baru kuminum setengah itu. Wajahnya terlihat panik.

"Cepat muntahkan!" Venom menggoyangkan bahuku. Aku diam selama beberapa menit. Setelah itu aku berdiri dan menatap ke arah Rex.

"Aku berhasil Rex. Aku tidak mati," ucapku dengan bangga padanya. Rex tertawa kecil lalu memungut gelas yang pecah di lantai.

"Sejak kapan kau menyadarinya? Padahal tadi kau masih kebingungan," ucap Rex lalu berjalan ke arahku.

"Aku berpikir, saat ingin membunuh dengan racun pada saat ada banyak orang. Dimana tempat paling efektif aku menaruh racunnya," ucapku sambil mengambil gelas yang masih utuh.

"Daripada menaruhnya di dasar gelas atau di pegangan. Akan lebih meyakinkan kalau aku menaruh racun di tepi gelasnya," ucapku yakin

Rex tertawa keras. "Kau benar-benar pintar, tapi apa yang membuatmu sadar bahwa gelas yang kau minum itu aman?" tanya Rex lagi.

"Saat aku mencium satu persatu aroma tehnya, aku juga memerhatikan detail dari gelasnya. Dan aku sadar... Hanya gelas itu yang memiliki tepi berwarna biru, sedangkan lainnya berwarna ungu. Yah meskipun itu adalah taruhan apakah tebakanku benar atau salah," jawabku dengan tenang lalu menaruh kembali gelas teh yang masih utuh.

Rex tersenyum dengan bangga ke arahku. Rex menjentikkan jarinya, beberapa orang datang dan memberikan Rex sebuah kertas.

"Seas Veldaveol, mulai sekarang kau adalah murid dari Underworld School! Aku akan menjelaskan beberapa hal yang perlu kau ketahui, sebaiknya kau pasang telingamu karena aku tidak akan mengulangi hal yang sama!" Rex mulai menulis sesuatu di kertasnya.

"Seperti yang kau tau, ini adalah sekolah untuk para pembunuh. Banyak pembunuh hebat yang dilahirkan dari sini. Salah satunya adalah kakakmu." Kalimat terakhir Rex membuatku tersentak.

Aku tidak tau bahwa kakakku adalah ... oh benar, kakakku adalah seorang pembunuh.

"Ada lima kelas di sekolah ini, tiga kelas untuk pemula, dan dua kelas untuk profesional. Kelas pemula disebut juga dengan kelas pembunuh, kelas profesional disebut dengan kelas code name dan spy," jelas Rex sambil menunjukkan gambar dari monitor yang ada di belakangnya.

"Venom yang ada di sampingmu, dia berasal dari kelas code name ,"ucap Rex. Aku menoleh kearah Venom. Aku menatapnya dengan tatapan kagum. Aku tidak menyangka dia adalah salah satu pembunuh profesional.

Tunggu ... apakah hal ini pantas untuk dikagumi?... Sepertinya otakku mulai salah dalam membedakan mana yang benar dan salah...

"Nah untuk kelas pembunuh dibagi menjadi tiga jurusan.

Kelas pembunuh: pertarungan jarak dekat.

Mereka dilatih untuk melakukan pertarungan fisik, baik dengan senjata maupun tanpa senjata. Senjata yang mereka gunakan untuk latihan biasanya adalah belati pendek dan sebuah knuckle.

Kelas pembunuh: pertarungan senjata api.

Seperti namanya, kelas ini lebih mengutamakan senjata api dalam seni bela dirinya. Mereka akan dilatih untuk menajamkan insting dan Indra mereka. Dan juga diajarkan melakukan pertahan dengan senjata api itu. Senjata umum yang dipakai adalah pistol dan stun gun.

Kelas pembunuh: ahli obat dan racun.

Di kelas ini kalian lebih dilatih untuk meracik racun dan obat-obatan. Meskipun ini terlihat remeh, tapi banyak juga anak yang lulus dari kelas ini dan menjadi pembunuh tingkat atas. Salah satunya adalah Venom.

Lalu untuk kelas profesional.

Kelas code name: senjata khusus.

Kelas ini menggunakan sebutan untuk menutupi nama asli mereka. Daripada angka dan huruf, mereka menggunakan nama panggilan yang menggambarkan ciri khas mereka. Seperti Venom. Dan tentu saja, mereka yang berada di sini tidak hanya menguasai satu bidang, dan sudah melebihi standar masuk agar bisa masuk ke kelas ini.

Kelas spy: ahli strategi dan pengumpulan informasi.

Yah kelas ini tidak jauh berbeda dengan kelas sebelumnya. Tapi kelas ini hanya menggunakan satu huruf atau satu angka untuk panggilan mereka. Sesuai namanya, mereka yang masuk ke sini harus memiliki kecerdasan yang tinggi dan kemampuan menyusup yang handal," jelas Rex panjang.

Aku mengingat semuanya di dalam kepalaku.

"Nah Seas." Rex mematikan monitornya dan menatapku.

..."Kelas apa yang akan kau pilih?"...

TBC.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!