POV: ???
Di tengah malam aku berjalan lunglai, tanpa alas kaki merasakan dinginnya aspal. Tangan kiriku memegang bahu kananku yang terluka. Perih, sakit, aku hanya bisa menangis tanpa suara. Dalam satu malam, semuanya berubah, kehidupanku yang sempurna, kebahagiaan yang kukira berlangsung cukup lama, nyatanya hancur dalam sekian menit.
"... Aku benci ... AKU MEMBENCIMU BANGSATTT! AARRRGGGHHHH!" Aku tidak tau apakah akan ada yang mendengar suaraku. Tapi aku tidak bisa lagi menahan kesedihan dan kemarahan dalam hati ini.
Ini semua bermula satu jam yang lalu.
###
FLASHBACK
Aku berjalan senang keluar dari kamar, bersenandung lagu favoritku melewati lorong mansion rumahku.
Namaku Seas Veldaveol, putra bungsu keluarga Veldaveol. Seperti yang kalian lihat, aku anak orang kaya, punya mansion, banyak mobil, aku tidak mengharapkan apapun lagi selain semua keluargaku bahagia. Yah, dan hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 17! Kakak bilang akan mengadakan pesta kecil di aula pada pukul 9 malam! Dan aku sedang berjalan ke sana sekarang!
Aku tidak mengharapkan kado atau apapun dari mereka, ucapan selamat saja sudah lebih dari cukup bagiku.
Eh?
Langkah kakiku terhenti.
Itu ... kakek Rudi?
"Kek? Kakek?! Kakek? ... "
Ini bercanda kan? Iya ... mungkin ini semua cuma prank! Kakek terbaring berdarah darah di lantai dan tidak mau bangun! Pasti cuma prank!
Haha ... iya kan?
Tanganku gemetar, aku menyentuh lehernya yang masih hangat, jari-jariku berusaha mencari denyut nadinya.
Tidak ada ...
"..." Lututku terasa lemas, takut, rasanya nafasku menjadi semakin berat. Ini bukan pertama kalinya ada pembunuh yang masuk ke rumah ini, tapi ... Kakek Rudi adalah salah satu pelayan sekaligus bodyguard yang kuat.
Gawat ... aku harus mencari kakak dan Ayah!
Kakiku menjadi semakin ringan, aku terus berlari ke arah aula. Semakin aku berlari, semakin banyak juga tumpukan mayat pelayan keluargaku yang berserakan.
Ini gawat, ini sangat gawat! Aku tidak boleh berhenti! Aku tidak tau dimana pembunuhnya! Aku tidak boleh lengah sekarang!
Aku berhenti di pintu besar di samping kiriku. Nafasku terengah-engah, pandanganku sedikit kabur karena harus berlari sekuat tenaga. Dengan tenaga yang tersisa, tanganku gemetar membuka pintu aula.
"Kakak! Ayah! Ada pembunuh ... di ... sini?"
Apa? Apa yang terjadi?
Apa yang sebenarnya terjadi?
"Ka ... kakak? Apa ... yang kakak lakukan?" Kakiku seperti dipaku ke lantai, berat, sangat berat hingga tidak bisa aku angkat. Pandanganku yang awalnya buram kini berubah menjadi jernih, sangat jernih sampai aku membenci mataku sendiri karena melihat kedua orangtuaku yang sekarat di bawah kaki kakakku.
"Oh ... kau sudah datang." Kakak melirik padaku dengan seringai yang terukir di wajah penuh darahnya.
Takut.
Seram.
Mata ungunya yang tersenyum terlihat seperti iblis yang tertawa. Jas putih yang selalu ia kenakan kini telah dihias oleh darah merah.
"... Ka ... kak?"
SYUT!
BRAAAKK!
Aku memejamkan mataku ketika sebuah cambuk berdiri terbang ke arahku. Berat ... bahkan untuk bernafas saja rasanya sangat sulit! Aku kembali membuka mata, melihat pintu aula yang hancur lebur terkena cambuk kakak.
Kakak hanya tersenyum, ia mengangkat telunjuknya ke arahku sambil tersenyum. "Selanjutnya ... "
Leherku tercekat, seperti ada sebuah kawat yang melilit erat di sana.
..."Kepalamu yang akan hancur." ...
Deg!
Kakak mengangkat cambuknya ke atas, bersiap untuk melayangkannya lagi ke arahku.
Kresh!
Tes ... tes tes.
"... Kau ... menggigit bibirmu sendiri?" tanya kakakku masih dengan senyuman yang mengerikan itu.
Ya ... aku menggigit bibirku sendiri. Aku tidak peduli, darah yang menetes terus itu tidak penting!
Lari! Aku harus lari!
Entah itu karena rasa sakit di bibirku atau otakku yang sudah kembali bekerja ... aku tidak peduli lagi. Aku harus lari!
"Lari?"
SYUT!
SIAL!
CRASSHH!
BRUKK!
Aku terjatuh ke lantai ... sakit! Bahu kiriku sangat sakit! Cambuknya akhirnya mengenaiku! Ukh! Air mataku sudah tidak terbendung lagi, kepalaku rasanya berkunang-kunang.
Tidak boleh ... AYO BANGUN DASAR KAKI TIDAK BERGUNA!
Aku kembali berdiri, berusaha berlari mengabaikan rasa sakit di bahuku yang koyak.
Pintu keluar ... pintu keluar!
Aku langsung keluar lewat pintu depan yang terbuka lebar. Berlari sempoyongan menuju jalan raya yang sepi. Entah kemana aku harus pergi, tapi aku tidak bisa terus di sini.
Untuk sesaat, aku kembali menoleh ke mansion. Di depan pintu, kakakku berdiri dengan wajah datarnya.
..."Benar, larilah. Larilah dan bertahan hidup seperti kecoa." ...
Bangsat! Sial! Sialan!
FLASHBACK END
###
BRUK!
Aku terjatuh berlutut di tengah aspal. Kepalaku sangat sakit. Nafasku mulai berat, apa karena aku kehilangan terlalu banyak darah?
"... Hah ... hah ... AAAAAAAAAAAHHHHHHHH! MATI KAU AAAARRRGGGHHHH!" Aku memukul aspal di depanku, menggaruknya, mendorongnya, apapun itu yang bisa kulakukan untuk menyalurkan rasa marah dalam hati.
Tapi ... bukannya hilang, rasa menjengkelkan ini tetap ada. "Hiks ... aaakkhhh!" Aku kembali meringis saat merasakan bahu dan jari tanganku yang hancur.
Sebenarnya apa yang salah? Apa yang terjadi? Kenapa bisa terjadi? Dimana salahnya? Sejak kapan?
Tes tes ...
BRESSSS!
Tubuhku gemetar seraya hujan deras turun menerpa. Darah di bahu dan tanganku mengalir ke tepi, pandanganku semakin buram dan hawa tubuhku juga semakin dingin.
Apa aku akhirnya juga mati? Seperti ini? Seperti pecundang begini?
Tap ... tap ... tap ...
Samar samar aku mendengar suara langkah kaki yang kuat. Entah kenapa, padahal suara hujan juga cukup deras, tapi langkah kakinya masih begitu jernih ke telingaku.
Apa dia malaikat kematian?
Padahal ... keluargaku dulu begitu bahagia dan indah ... aku ... tidak meminta hal lainnya ...
Andai ... andai saja aku tidak selemah ini. Andai saja ... aku cukup kuat untuk menghentikan semuanya sebelum jadi lebih buruk! Tapi ... tapi apa yang bisa kulakukan sekarang? Aku tidak bisa menghidupkan nyawa orang yang sudah mati ...
Balas dendam? ...
Heh, tidak mungkin. Aku? Akan melawan kakakku yang gila itu? Aku tidak mungkin punya kesempatan.
Tap.
"..." Aku mendongak ke atas, menatap sesosok wanita dengan kulit putih agak pucat. Warnanya berwarna merah keruh, di lehernya ada tato ular dan juga kupu-kupu. Lalu ... rambut hijau muda sepinggang miliknya yang basah diguyur air hujan.
Dia ...
Tampak seperti seorang dewi ... dewi kematian.
"Kau ... Veldaveol?"
Dia bilang ... apa?
Aku tidak mendengarnya dengan jelas, suaranya begitu lirih dan pelan.
Tiba-tiba gadis itu menundukkan wajahnya hingga tepat ada di depan wajahku. Ekspresinya sangat datar, seolah dia bukanlah manusia.
"Aku bertanya ... "
Apa?
..."Apa kau mau balas dendam?" ...
Balas dendam? ... Apa aku bisa? ... Aku? Yang lemah ini ... tidak mungkin ... kan?
Tapi ... jika aku diberi kesempatan ... menjadi kuat ... sangat kuat ...
Aku meraih kerah jas hitam yang dia pakai, meremas jas kulitnya dengan jari-jariku yang hancur.
..."Ya! Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri!" ...
Itu adalah kata-kata terakhir yang bisa aku ucapkan dengan tenagaku yang tersisa. Setelah itu aku tidak tau, pandanganku semakin gelap, satu-satunya hal yang kuingat adalah ...
Wanita itu yang tersenyum tipis padaku.
TBC.
POV: Venom
Pukul 7 malam di Underworld School.
.
.
.
.
.
"Jadi maksudmu, misiku kali ini adalah mengejar ... Arma Veldaveol? Rein?" tanyaku pada wanita dengan kacamata bulat di depanku. Namanya Rein, wanita yang mengurus segala administrasi dari Underworld School.
"Hmm benar. Dia sudah menyebabkan banyak masalah. Dan ... sebenarnya aku khawatir ... " ujarnya yang membuatku melirik padanya.
"Kenapa?"
"Aku dengar dia berniat untuk membunuh semua keluarganya sekarang. Kalau bisa, tolong jangan biarkan ia membunuh keluarganya. Dia punya satu adik laki-laki yang kudengar ... adiknya itu sangat mengaguminya."
Oh, itu bukan urusanku. Kenapa aku harus peduli pada anak kecil itu?
"Dia seumuran denganmu, jadi aku yakin kalian pasti akan akrab," ucapnya yang tidak masuk akal.
Yah, apapun itu, aku hanya akan berusaha menyelamatkan mereka saja ... dan kalau bisa ... aku akan membunuh Arma.
Meskipun aku tidak yakin apakah aku mampu.
.
.
.
.
.
Setelah berkendara 5 jam lamanya, akhirnya aku sampai di kediaman Veldaveol. Seperti biasa, rumah ini selalu megah dan bersinar.
Tapi ...
Bau darah.
Apa aku terlambat?
Aku melompat masuk melalui salah satu jendela yang terbuka. Dengan langkah tanpa suara, aku berjalan menyusuri lorong gelap dan bau anyir ini. Semakin ke sini, semakin banyak mayat dengan seragam pelayan yang berserakan. Aku berhenti ketika melihat sebuah pintu yang hancur lebur.
Aku masuk ke dalam, melihat kolam darah yang membasahi lantai, dan ...
Jenazah kedua orangtua Veldaveol.
Aku sudah terlambat, ya?
Aku berjalan masuk, memeriksa identitas yang bisa aku pastikan memang mereka berdua sudah terbunuh. Aku segera mengeluarkan ponselku untuk menghubungi Rein dan meminta bantuan dalam menguburkan mereka semua.
Bagus, sekarang aku tinggal kembali ke Underworld School.
"..."
Tunggu dulu ...
Adik laki-laki ... ?
Aku tidak melihat jenazah adik laki-laki Arma.
"... Apa dia masih hidup?"
Aku segera berlari keluar, langit sudah mendung, kalau tidak cepat-cepat, jejak anak itu akan hilang tersapu air hujan. Aku terus berlari mengikuti bau darah yang bisa aku cium. Hingga akhirnya aku menemukannya ...
Tes tes ...
BRESSSS!
Hujan deras ... setidaknya aku sudah berhasil menemukannya. Lalu ... apa yang harus aku katakan? Maaf aku telat? Selamat karena jadi yatim piatu?
"..."
Aku sungguh buruk dalam menghibur orang.
"Hei-"
Ah ... mata ungunya ... sama dengan milik Arma. Dan lagi ... matanya penuh dengan dendam dan amarah. Dia sangat indah.
Tapi ... rasanya dia sedikit putus asa.
Kalau begitu ...
Aku berjalan mendekatinya, berjalan dengan tenang lalu berdiri di depannya.
"Apa kau benar adik Arma Veldaveol?"
Dia mendongak, tapi pandangan matanya sudah sangat buram. Bahunya sudah koyak, apa Arma yang menyerangnya? Selain itu ... aku melirik ke bawah, melihat jari-jarinya yang terluka berdarah-darah.
"..." Sepertinya aku tidak perlu memastikannya lagi.
Anak ini ... dari wajah, rambut, dan juga mata. Semuanya sangat mirip dengan Arma. Tapi mungkin ... dia ... punya bakat yang lebih besar daripada kakaknya.
Aku berjongkok ke depan supaya dia bisa mendengarku lebih jelas.
"Apa kau mau balas dendam?" tanyaku.
Aku juga bingung, kenapa aku sangat perhatian pada anak yang bahkan tidak aku kenal? Ini aneh, aku tidak seperti diriku. Tapi mungkin ... aku suka dengan iblis di dalam hatinya.
Anak itu meraih kerah bajuku dengan kasar. Sorot matanya tiba-tiba kembali terang, gigi taringnya terlihat seperti harimau yang menggeram.
"Ya! Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri!"
Ya ... itu yang ingin aku dengar.
Setelah mengatakan itu, ia pingsan. Yah, wajar saja, dia kehilangan banyak darah dan hormon adrenalinnya pasti sudah berkurang sekarang.
Sebaiknya aku mengobatinya lebih dulu sebelum membawanya ke Underworld School.
###
POV: Seas
Gelap ... tapi ... rasanya nyaman ... aku seperti melayang ...
GLUDAK!
BRUK!
JDUG!
"..." Aku langsung membuka mata.
"A-a ... aduh ..." Aku berusaha berdiri. Mataku mengamati keadaan sekitar ... sepertinya ini di dalam mobil. Tunggu ... jadi aku barusan ... jatuh dari tempat duduk?
Aku melihat ke depan, menatap seorang gadis dengan rambut hijau muda keemasan yang menyetir.
"... Kau jatuh ya?" tanyanya yang jelas jawabannya iya.
"Maaf, aku baru belajar menyetir. Tadi hampir saja jatuh ke jurang."
"??????!!!"
HAH?!
Aku langsung duduk di lagi di kursi, memasang sabuk pengaman. Mataku melihat ke sisi kiri.
"..."
Beneran jurang. I-ini yakin gapapa? Dia baru belajar nyetir k-kan?
"Gapapa, tenang aja. Nanti kalau jatuh juga kita tetep bakal selamat."
GIMANA CARANYA TETEP SELAMAT?!!
"Ah iya! Ngomong-ngomong namamu ... siapa ... ya?" Aku baru ingat aku belum menanyakan namanya. Gadis itu diam, dia melirikku dari spion tengah mobil.
"... Panggil saja aku Venom."
Venom? ... Nama yang unik ... tunggu, memangnya itu nama? Tapi kalau dia memang tidak mau memberitahu nama aslinya ya ... sudahlah.
Oh iya, ini kita mau kemana? Aku belum pernah lewat sini ... memangnya jalan ini ada di maps? Aku bahkan baru tau ada jalan seperti ini di dekat jurang ...
"Kita ... mau kemana?" tanyaku lagi.
"Kau mau balas dendam, kan?"
Aku mengangguk singkat.
..."Underworld School."...
"Underworld ... School? Apa itu?" tanyaku bingung. Sekolah? Sekolah apa? Sekolah di bawah tanah? Aku baru pertama kali mendengar nama sekolah itu.
"Itu sekolah untuk para pembunuh."
"Ohh," jawabku.
"..." Aku terdiam sejenak.
Lah?
Sekolah untuk pembunuh ... ?
AKU TIDAK SALAH DENGAR, KAN??!!
"T-tunggu? ... Sekolah ... untuk pembunuh?!" tanyaku bingung.
FYUSH!
Cahaya matahari tiba-tiba menghilang, hawa dingin dan bau udara yang tidak nyaman perlahan menyeruak masuk. Aku mengintip keluar jendela, menatap langit gelap dengan awan abu abu-abu gelap yang menghiasinya.
Tunggu, sekarang jam berapa? Tadi ada matahari, kan?
Aku mengambil ponselku, menatap jam digital yang terpampang di layar.
9 pagi ... aku pingsan berapa lama memangnya? Tunggu, tidak, bukan itu yang penting! Di sini ... kenapa malam?!
Ckit.
Mobil yang kami kendarai berhenti, Venom pergi keluar dan aku hendak mengikutinya.
"Tunggu." Pintu mobilnya ditahan oleh Venom.
"Kenapa?"
"... Lebih baik kau di dalam saja. Tunggu sampai aku memanggilmu lagi." Begitulah ucapnya lalu dia meninggalkanku di mobil sendirian. Aku menurut, jadi yang kulakukan sekarang hanya duduk diam dan menunggu.
Mataku melihat kesana kemari, menatap pemandangan yang hitam dan sepi. Memang ada beberapa orang yang lewat, dan kebanyakan dari mereka terlihat ... unik? Tato, bekas luka, bekas jahitan, atau beberapa atribut aneh lagi yang mereka pakai.
Mereka semua ... adalah pembunuh, kan?
BRAK!
DEGG!
Aku menoleh ke samping, menatap sebuah tangan yang memukul kaca mobil ini. Di tangannya terlilit perban yang terlihat kotor dan kacau.
Dia siapa?!
Aku menatap sorot matanya dari dalam mobil. Sorot mata yang penuh amarah dan kebencian?
BRAK!
Mobil ini berguncang, memangnya seberapa kuat tenaganya?!
"ARMAAA! AKU AKAN MEMBUNUHMU!!"
Hah?! Kenapa dia menyebut nama kakak?!
TBC.
POV: Seas
BRAKK!
GILA!
Mobil yang ku naiki terbalik dan berguling beberapa kali. Untung saja aku berpegangan pada kursi dan atap mobil. Aku keluar dari mobil, menatap pria berbadan besar dengan perban di kedua tangannya.
Aku menarik nafas panjang.
"WOIII! MATAMU BUTA?!" Aku sudah kehabisan rasa sabar. Bayangkan kalian sedang bersantai di mobil lalu tiba-tiba mobil kalian digulingkan? Ingin sangat mengesalkan.
"GRAAAAHHHH!" Pria itu terlihat tidak memedulikan teriakanku. Dia berlari maju ke sini. Lalu dia tiba-tiba melompat, kedua tangannya menyatu di udara.
Anjir?! DIA MAU MUKUL MOBIL INI?!
Aku menghindar ke samping tepat sebelum pria besar itu menghantam mobil dengan kepalan tangannya.
BRAAAKK!
DUAARR!
Mobilnya dihantam sampai penyet dan tiba-tiba meledak. Aku terdiam, sekarang di pikiranku bukan kenapa bisa pria itu sangat kuat ... tapi bagaimana caranya membayar mobil yang meledak.
Aduh Venom ... dia kelihatan miskin. Aku juga udah miskin, ga punya uang lagi.
"Woi! Kau yang menghancurkan mobilnya ya! Aku tidak mau ganti rugi!" ucapku pada pria itu. Ia menoleh, matanya masih menatapku dengan tajam dan berapi-api.
"Arma ... kau ... benar Arma?"
Bukan blok.
"Kau tambah kecil," ucapnya sembari menarik tangan dari mobil itu. Ledakan keras tadi seolah tak berasa, bahkan kulitnya tidak ada luka bakar sedikitpun.
Ternyata tempat ini memang sarang para monster ya? Baguslah ...
Tanpa sadar senyuman mengembang di wajahku. Darahku berdesir cepat, jantungku berdetak keras seraya melihat pria itu yang menerjang ke sini.
Ayo, buat aku jadi monster seperti kalian!
DUAR!
WHOSSSHH!
Sebuah ledakan keras muncul di depanku, angin kencang berhembus menerbangkan debu dan apapun yang ringan di sana. Aku menutup mata, berusaha menjaga pandanganku agar tidak terkena benda asing.
Apa tadi?
Angin yang kencang itu mulai menipis, sedikit demi sedikit aku bisa melihat ke depan. Mataku terpaku melihat sosok yang ada di sana. Venom kini berdiri di atas tubuh pria besar tadi yang sekarang tampak tak sadarkan diri.
"... Hebat ...," gumamku tanpa sadar. Venom melirik ke arahku, mata merah keruhnya sangat datar seperti biasanya.
"... Untunglah kau masih hidup. Aku lupa mengucapkan satu hal." Venom berbalik ke arahku lalu ia melompat turun dari tubuh pria tadi.
"Sekarang ... semua orang di Underworld School sangat membenci kakakmu."
"... Lalu kenapa mereka menyerangku?" tanyaku.
"Karena kau sangat mirip dengannya. Orang yang sudah dibutakan oleh dendam, akan sering salah melihat. Bahkan untuk melihat kenyataan yang ada di depannya." Venom berdiri di depanku. Tingginya sama denganku, sorot matanya menatap lurus ke milikku.
"Ngomong-ngomong ... " Venom berbalik badan.
"Selamat datang di Underworld School."
Angin tipis datang berhembus, rambut hijau keemasan sepinggang miliknya yang dipotong rata terlihat bergerak dengan ringan sesuai arah angin. Tempat ini gelap, menyeramkan, mengerikan, dan juga ... mendebarkan.
.
.
.
.
.
"... A-anu ... sekarang kita mau kemana ya?" tanyaku yang sudah mulai merasa lelah menaiki tangga bangunan yang tidak kunjung sampai. Rasanya aku sudah naik sampai 15 atau 19 lantai ... tapi kenapa tidak sampai juga?
"Aku harus membawamu bertemu Rex."
"Siapa itu Rex?" tanyaku.
"Kepala sekolah Underworld School sekaligus ... orang terkuat di sini."
Orang ... terkuat?
.
.
.
.
.
Tok tok tok!
"Masuklah."
Venom membuka pintu hitam di depannya. Dengan hanya bermodalkan satu lampu di tengah ruangan yang juga remang-remang, aku bisa melihat seorang pria yang duduk di kursi dengan bersandar pada siku di meja kerjanya.
"Aku dengar kau membawa tamu yang menarik, Venom," ucap pria itu dengan senyuman tipis.
Suaranya terdengar begitu berkharisma namun juga seperti mencekik leher. Berada dalam satu ruangan dengan orang ini ... benar-benar tidak nyaman.
"Ya, aku membawanya, adik dari Arma. Namanya ... " Venom terdiam sejenak, kemudian dia menatapku.
"... Namamu siapa tadi?"
"..."
Apa dia serius? Aku baru saja memberitahunya tadi di jalan, sekarang dia sudah lupa?
Aku menghela nafas pendek. "Namaku Seas, aku tidak perlu menyebutkan nama keluargaku, kan?" tanyaku berusaha santai sebisa mungkin. Rex- pria dengan rambut coklat kemerahan, dia punya bekas luka di mata kanannya dan punya tubuh yang kekar dan tinggi. Kepala sekolah Underworld School sekaligus ... pembunuh terkuat di sini.
Pria itu menyeringai, menatapku dari atas hingga ke bawah. "Kau benar-benar mirip Arma saat masih remaja."
"Ya, berkat itu tadi aku diserbu beruang gila," ucapku sarkas mengingat kejadian tidak menyenangkan itu. Rex tertawa, dia mematikan cerutu yang daritadi belum dia hisap.
"Duduklah, sepertinya banyak yang akan kita bicarakan." Ia menunjuk dua sofa panjang yang berhadapan di pojok kiri ruangannya. Aku pergi ke sana bersama Venom, setelah kami duduk, Rex ikut duduk di depan kami.
Aku sedikit merinding, karena tadi dia duduk di belakang meja besar, aku tidak bisa menebak ukuran tubuhnya yang sebenarnya. Tapi sekarang setelah dia berdiri dan duduk di depanku.
Gila, tinggi orang ini 2 meter lebih?! Selain itu tubuhnya sangat besar dan kekar, apa dia benar keturunan manusia?!
"Yang kau pikirkan terlihat jelas di wajahmu, dasar bocah." Rex tersenyum miring sambil menatapku tajam. Aku menelan ludah gugup, menghindari pandangan matanya.
"Hahaha. Jadi, apa yang membawamu ke sini?" tanyanya setelah tertawa.
Aku diam sejenak, tanganku meremas erat celana yang kotor. Dari darah dan jantungku, perasaan kotor ini terus meluap naik.
"Aku ... akan membunuh Kakakku!" ucapku yakin. Rex diam, dia hanya menatapku dengan senyuman tipis dan mata yang ... menatapku tajam.
"... Hee?" Hanya itu yang Rex ucapkan dengan senyuman yang mengerikan.
"Venom, keluarlah," kata Rex. Aku melirik ke arah Venom yang ... menurutku dia tampak sedikit terkejut?
"... Rex, dia belum-'
"Aku tau, aku punya batasanku sendiri. Keluarlah, sekarang." Dingin, begitulah yang aku dengar dari Rex. Dia tersenyum, tapi ... sorot matanya seperti binatang buas yang melihat buruan kecilnya yang ingin melawan.
Dia ... tampak terhibur.
"... Baiklah." Venom berdiri lalu berjalan keluar. Pintu hitam itu kini ditutup, sekarang, hanya ada aku dan Rex di ruangan ini.
Tuk tuk tuk.
Jari Rex mengetuk-ngetuk meja di depan kami. Entah ini hanya perasaanku saja ... tapi ... atmosfer di sini semakin sesak sejak Venom keluar ruangan.
Leherku ... seakan diperas!
Tapi ... tapi!
Kalau hanya segini ... kalau hanya segini saja aku tumbang ... aku tidak bisa mengalahkan kakakku!
"Ho ... menarik. Tekad di matamu ... menyala seperti lilin di tengah malam."
"UHUK UHUK! HAH HAH HAH!" Aku menarik nafas panjang ketika tekanan yang kurasakan semakin berkurang. Mengambil oksigen sebanyak apapun yang aku bisa.
Mataku melihat ke depan, menatap Rex yang mulai menyalakan cerutunya lagi.
"Baiklah ... pertanyaan pertama."
Pertanyaan ... pertama?
..."Apa yang kau tau tentang Underworld School?"...
TBC.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!