POV : Venom
"Apa ada misi untukku?" tanyaku pada Remor, perempuan yang mengurus administrasi.
"Hmm, baiklah mari kita lihat!" ucapnya sambil melihat berita-berita yang bermunculan dari layar.
"Ada. Keluarga Veldaveol, bunuh Arma Veldaveol," ucapnya lalu mematikan layar. Aku menganggukkan kepalaku dan berjalan pergi.
Aku tidak menanyakan alasan kenapa harus membunuhnya, karena aku yakin bahwa pihak sekolah pasti mempunyai alasan. Dan alasan itu bukanlah alasan yang baik.
Aku menaiki mobilku dan mulai berkendara. Cahaya segera mengenai mataku saat aku sudah meninggalkan wilayah sekolah.
"Benar-benar tempat yang suram," ucapku pelan.
Aku melirik ke arah lokasi yang ditunjukkan padaku. Butuh waktu setengah hari untuk sampai ke tempat itu. Aku menaikkan kecepatan dan melaju lebih cepat.
Malam pun tiba, aku memarkirkan mobil di sebuah terminal yang sepi, lalu berjalan ke arah tujuanku.
"Mansion Veldaveol."
Drrrr ... drrrr ...
Aku mengangkat telepon dari hpku.
"Ada apa?"
"Misi dibatalkan, dan kau diberi misi baru. Lakukan pengamatan di Mansion Veldaveol."
Tut.
Telepon itu dimatikan begitu dia selesai mengucapkan misi baru. Aku berlari di kegelapan malam, karena sudah dilatih sejak kecil. Aku bisa berlari tanpa suara.
Tak berapa lama aku sudah sampai di mansion. Bau anyir darah langsung menusuk hidungku. Aku melompat dan masuk dari jendela lantai 2 yang terbuka.
"Baunya lebih menyengat!" ucapku lalu menutup hidungku dengan kain. Aku menutupi rambutku dengan tudung yang tersambung dengan jas yang kupakai.
Aku mulai berlari dan menjelajahi seluruh ruangan yang ada di mansion ini. Langkahku terhenti sejenak saat melihat mayat dari pasangan Veldaveol.
Aku mendekat dan berjongkok di depan mayat itu. Tanganku menyentuh wajah yang berlumuran darah.
"Ini masih baru."
Aku berdiri dan berlarian lagi untuk melihat beberapa ruangan yang tersisa.
..."Tidak ada kehidupan lagi di mansion ini."...
Aku mengeluarkan hpku dan mengirim pesan singkat untuk laporan misi.
Tring!
Remor_ad
Bagaimana dengan Veldaveol bersaudara? Ah... Maksudku anak bungsu Veldaveol.
Aku mengernyitkan keningku.
Anak bungsu? Apakah Arma punya adik?
Aku melompat keluar dari jendela lantai satu dan berlari lagi mencari jejak adik Arma.
"Dasar pria gila, dia bahkan tidak memberi ampun pada adiknya," gumamku pelan. Hingga aku sampai di sebuah jalanan. Hujan mulai turun dan aku melihat sosoknya di sana.
Terduduk lemas dan terisak. Rambut hitam lurusnya yang berkilau karena rembulan dan air. Dan ... tubuhnya terlihat lebih rapuh dari ranting yang kering.
"Kurasa dia tidak segila itu untuk membunuh adiknya," ucapku. Kudekati anak itu. Dia tidak bergeming dan tetap menunduk.
"Perempuan?" Dia mendongakkan kepalanya. Ah ... dia tidak bisa membuka mata dengan baik karena hujan. Aku menunduk dan mendekatkan wajahku padanya.
Kini aku bisa melihatnya dengan jelas. Mata berwarna ungu permata yang sangat jernih. Terlihat sayu dan letih, kulitnya pucat dan bibirnya menggigil.
Apakah dia ketakutan?
Kasihan sekali dia.
Tunggu ... kasihan? Barusan aku ... bersimpati? ... padanya?
"Kau ingin balas dendam?"
Kenapa aku mengucapkan kalimat itu? Entahlah ... aku hanya ingin melihat harapan dari mata itu.
Pupil matanya bergetar, sebagai seorang pembunuh profesional. Aku tahu, hawa membunuh yang dikeluarkan olehnya sangat luar biasa.
...[Seperti binatang buas.]...
"Ya! Aku mau!" Dia menarik jasku dengan kasar, tapi tidak bertenaga.
"Ikutlah denganku." Aku mengusap pipinya dengan lembut lalu membantunya berdiri. Ekspresinya sudah sedikit berbeda dengan yang tadi.
"Kemana?" tanyanya. Aku tersenyum pada anak yang tingginya hampir sama denganku itu. Aku membalikkan badanku dan berjalan pelan.
"Ke sekolah. Sekolah untuk para pembunuh." Dalam hatiku, aku bertanya puluhan kali.
Apakah ini keputusan yang tepat? Bagaimana jika cahaya pada matanya redup? Tempat itu terlalu gelap untuk anak yang bercahaya sepertinya.
Aku menatap anak itu sekali lagi.
..."Ah, dia sudah yakin."...
***
POV: Seas
"... as."
"... ngunlah."
"Seas, bangunlah." Aku mengusap mataku perlahan membiasakan diri dengan cahaya yang redup di sini.
"Kita sudah sampai?" tanyaku sambil melihat sebuah gedung. Gedung yang sangat suram, terlihat seperti gedung mati bagiku.
"Dimana sekolahnya? Venom?" tanyaku sambil keluar dari mobil. Kulihat ke kanan dan kiri.
Ack! Kenapa banyak orang aneh di sini?! Ada yang memakai topeng, ada yang membawa katana di pinggangnya, bahkan ... ada yang membawa sabit panjang di punggungnya ... .
Ini bukan alam barzah kan?
Tep.
"Tenanglah, kau aman denganku." Venom menepuk bahuku. Aku sudah menjadi lebih tenang sekarang.
"Kita sudah ada di area sekolah. Ini adalah gedung administrasi, kita akan mengurus datamu lebih dulu di sini. Selebihnya akan kujelaskan di dalam sana," ucapnya lalu menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya.
"Kita akan ke lantai berapa?" Aku memegang ujung jas Venom, rasanya sangat menyesakkan di sini.
"Ke lantai paling atas," ucapnya lalu menekan sebuah tombol. Tiba-tiba lantai tempat kami berpijak terangkat. Kami melaju ke atas dengan cepat.
"Hei ... kau bilang kita ada di area sekolah kan?...," tanyaku sambil menelan ludah kasar.
"Sebenarnya ... sebenarnya seberapa besar sekolah ini?!"
Aku yakin gedung ini punya lebih dari 100 lantai, bahkan saat aku sudah di lantai yang cukup tinggi. Aku belum melihat gerbang tempat kami masuk!
"Sekolah ini ... sebesar sebuah kota. Ada banyak hal di sini, layaknya kehidupan di kota. Di sini ada restoran, tempat hiburan, asrama, bahkan sampai pasar juga ada. Yah... Ini seperti sekolah dengan fasilitas lengkap dengan furniturnya." Venom tersenyum saat mengatakannya.
"Nah kita sudah sampai." Venom menarik tanganku lagi dan menyuruhku duduk di sebuah sofa berwarna hitam.
Aku mendengar langkah kaki yang semakin mendekat ke sini.
"Ada yang ke sini! Venom!" Aku berbisik pada Venom. Venom tampak terkejut.
Apakah aku terlalu dekat dengannya?
"Wah! Siapa yang kau bawa Venom?" Suara pria itu begitu berat di telingaku.
"Kalau kau sudah tau, harusnya kau tak usah bertanya," ucap Venom dengan dingin.
Pria itu tertawa kecil, ada bekas luka di mata kanannya. Rambut kecoklatan dan sedikit warna ... merah di ujungnya. Pria itu tampak gahar dengan jas hitam ketat yang dipakainya.
"Selamat datang di Underworld School. Seas," ucapnya sambil tersenyum padaku. Aku sedikit kikuk, karena ada perasaan tidak nyaman yang masih mengganjal di hatiku.
"Hentikan senyumanmu itu, aku tau Seas bukan tipemu jadi berhentilah melakukannya." Venom masih berkata dengan dingin padanya.
"Hey hentikan itu Venom! Jangan buat aku terlihat seperti bajingan di pertemuan pertama!" Pria itu berdecih pada Venom lalu menatapku.
"Aku Rex Eolax. Kau bisa memanggilku Rex. Jadi langsung saja ke intinya. Apa tujuanmu kemari?" Rex tersenyum hingga menunjukkan gigi taringnya. Aura yang sangat berbeda dari Venom.
Jika Venom itu seperti ular dan buah persik. Maka Rex seperti serigala dan beruang.
"Dia kemari untuk balas dendam-" Venom mencoba membantuku untuk menjawab Rex.
"Jangan membantunya Venom. Kalau dia tidak mampu membuatku mengakuinya, maka dia akan mati esok harinya," jawab Rex dingin. Aku tersentak. Aku? Mati?
"Kau tau di sini ada aturan tak tertulis kan?" Rex menatap mataku sambil tersenyum. Senyum penuh nafsu membunuh.
..."Yang kuatlah yang bertahan hidup."...
...TBC....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 208 Episodes
Comments
RIARDA UNIVERSE
Dasar rex
2022-07-23
1
Disa disa
Dih, ku tandain kamu Rex
2022-05-31
0
Goe Soka Cara Loe
salam kenal thor👍
2022-05-18
1