Mengubah Takdir : Sang Dewi
Belaian lembut sang bayu menerpa wajah Dewi yang tengah duduk di sebuah kursi kayu yang berada di halaman belakang. Hembusannya terasa begitu segar dan menyejukkan. Diiringi dengan bunyi suara jangkrik yang bersarang di dalam tanah seakan kian menambah syahdu suasana malam yang sarat akan keheningan.
Ia teguk air mineral yang berada di genggaman dan seketika memberikan sensasi rasa segar yang mengaliri kerongkongan. Sembari sesekali ia menghirup napas dalam untuk mengisi rongga-rongga dadanya dengan oksigen yang mana menjadi salah satu bagian terpenting dalam siklus kehidupan.
Sayup-sayup masih terdengar riuh suara alat musik yang memekak telinga. Sebagai pertanda bahwa sajian hiburan musik di halaman depan sana masih belum usai dan masih akan tetap berlanjut hingga tengah malam tiba. Dewi yang sudah selesai dengan tugasnya, lebih memilih untuk menyendiri di tempat yang tidak terlalu ramai seperti ini sembari menunggu sang manajer memberikan hasil keringat dalam menjual suara.
"Ini upahmu!"
Kedatangan tiba-tiba seorang lelaki berusia tiga puluh lima tahun di hadapan Dewi sukses membuatnya terperanjat seketika. Ia terlampau terkejut di saat beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan mengenai wajahnya.
Lima lembar uang seratus ribuan dilempar begitu saja di depan wajah Dewi. Ia sedikit terkesiap dan terhenyak kala melihat uang kertas berwarna merah itu mulai berjatuhan dan berhamburan di atas tanah. Ia bangkit dari posisinya dan kemudian berjongkok untuk memungut lembar demi lembar uang berwarna merah menyala itu.
"Mengapa harus kamu lempar Bang? Apa kamu tidak bisa memberikannya secara baik-baik?"
Dengan perasaan yang sedikit hancur, Dewi memunguti lembaran-lembaran berwarna merah itu. Hatinya seakan tercabik karena dengan cara seperti ini manajer orkes melayu yang menjadi tempatnya bernaung memberikan hasil keringatnya. Sungguh sangat tidak manusiawi. Seakan apa yang telah ia suguhkan secara totalitas, hanya mendapatkan balasan caci maki dan tiada berarti sama sekali.
"Tidak perlu berlebihan Dew. Itu merupakan hal yang sangat biasa untuk aku lakukan. Jadi, kamu tidak perlu terkejut seperti itu."
Dewi menghitung kembali lembaran-lembaran merah yang berhasil ia pungut dari atas tanah. Dahinya mengernyit seiring dengan jumlah upah yang ia terima semakin hari semakin sedikit.
"Lima ratus ribu? I-ini tidak salah Bang? Biasanya aku mendapatkan satu juta untuk sekali manggung bukan? Namun, ini mengapa hanya lima ratus ribu?"
Tidak sedikitpun terbesit dalam pikiran Dewi untuk tidak bersyukur. Namun, apa yang diberikan oleh Langit ini seakan memaksanya untuk menjadi seseorang yang kufur.
"Jangan terlalu banyak protes, Dew. Ini sudah layak untuk aku berikan kepadamu. Daripada tidak sama sekali."
"Tapi Bang, ini sungguh sedikit sekali. Terlebih, aku tadi melihat banyak penonton yang memberikan saweran. Apakah aku juga tidak berhak untuk menerimanya?"
Gelak tawa Langit yang merupakan manajer orkes melayu di mana menjadi tempat Dewi bernaung untuk menyalurkan bakat yang ia miliki ini terdengar membahana.
"Dewi, Dewi ... tadi kamu mengatakan apa? Meminta uang saweran?"
Dewi menganggukkan kepala dengan mantap. Ia merasa berhak untuk mendapatkan saweran itu mengingat saat berada di atas panggung beberapa saat yang lalu, tidak sedikit juga ia menerima saweran dari para pengunjung. Namun pada kenyataannya setelah uang itu ia kumpulkan menjadi satu dengan penyanyi yang lain, ia sama sekali tidak menerimanya kembali.
"Iya Bang, mana hasil uang saweran yang diberikan kepadaku? Mengapa aku sama sekali tidak mendapatkannya?"
Bak seseorang yang sedang menikmati sajian ludruk, Langit semakin mengeraskan gelak tawanya. Perut lelaki itu serasa dikocok habis-habisan oleh sesuatu yang menggelikan hingga membuatnya tidak dapat menghentikan tawa.
"Dewi, Dewi, jangan mimpi kamu. Sampai kapanpun kamu tidak akan pernah mendapatkan saweran itu. Dan apakah kamu ingin tahu apa alasannya?"
Dewi sedikit terperangah. Ia benar-benar tidak paham dengan apa yang dimaksud oleh manajernya ini. "Memang apa alasannya Bang? Mengapa aku tidak bisa ikut menikmati uang saweran itu?"
"Uang saweran yang kamu dapatkan hanya dua ratus ribu. Bahkan itu pecahan dua ribuan semua. Apa kamu tidak malu untuk memintanya? Saweran yang kamu dapatkan itu persis dengan hasil mengamen di pinggir jalan. Orkes Melayu dengan nama besar Magatra, yang sudah terkenal hingga pelosok kecamatan, hanya mendapatkan saweran recehan?Sungguh sangat memalukan."
"Tapi Bang ...."
"Ahhh sudah. Aku tidak ingin berdebat denganmu. Jika kamu ingin mendapatkan uang saweran yang jauh lebih banyak dan tidak recehan seperti ini, contohlah Adelia dan Amara. Dengan postur tubuh yang sempurna seperti mereka, akan sangat menentukan harga tawar orkes melayu ini. Pastinya dengan harga tawar yang tinggi."
Langit mengayunkan tungkai kaki untuk bisa lebih dekat dengan Dewi. Lelaki itu menatap rendah sosok wanita yang ada di hadapannya ini.
"Sadarlah, kamu ini hanya gajah bengkak yang seharusnya bersyukur karena aku berikan tempat untuk bernaung. Juga jangan lupa, nilai jualmu itu tidak tinggi dibandingkan dengan Adelia dan Amara. Sehingga seharusnya kamu bersyukur mendapatkan upah lima ratus ribu itu. Ada atau tidaknya kamu di orkes melayu milikku ini, tidak akan memberikan pengaruh apa-apa. Kamu itu hanya figuran dari gemerlapnya dunia hiburan seperti ini. Dan sampai kapanpun kamu tidak pernah menjadi tokoh utama. Paham?"
Dada Dewi seakan bergemuruh hebat. Ia mengepalkan telapak tangannya erat akibat luapan emosi yang telah memenuhi rongga-rongga dada dan mengalir ke seluruh tubuh hingga membuat tenggorokannya tercekat. Tidak mampu lagi ia berucap untuk membalas lidah tajam pria ini. Tanpa basa basi ia mengayunkan tangan dan....
Plak!!!
Sebuah tamparan keras, sukses mendarat di pipi Langit. Lelaki itu seketika mengaduh seraya memalingkan wajah setelah sensasi rasa nyeri mulai menjalar memenuhi syaraf-syaraf di pipi.
"Jaga mulutmu Bang. Tidak sepantasnya kamu memanggilku dengan sebutan gajah bengkak. Itu sudah sangat keterlaluan."
Sembari memegangi pipi, Langit kembali menatap lekat wajah wanita yang sudah berani menamparnya ini dengan tatapan ganas. Sorot matanya nampak membidik layaknya seekor hewan buas yang tengah mencari mangsa untuk dapat ia santap hingga membuat perutnya terasa puas. Kedua bola matanya membola seiring dengan sebelah pipinya yang terasa semakin panas.
Plak!!!
"Dasar tidak tahu terima kasih. Kamu lupa saat ini kamu mendapatkan uang dan bisa menghidupi ibu dan adikmu itu karena siapa? Karena aku Dew. Aku yang sudah bersedia mengajakmu untuk bergabung dengan orkes melayu yang aku bangun. Apa kamu tidak sadar jika tanpa aku, kamu hanya akan menjadi beban masyarakat dan negara karena tidak memiliki nilai jual tinggi, hah? Jika tidak ada aku, kamu pasti sudah luntang lantung ke sana kemari untuk mencari belas kasih dari orang lain karena tidak ada satupun tempat yang mau menerimamu. Itu semua karena apa? Karena tubuhmu yang persis gajah bengkak ini!"
Plak!!!
"Keterlaluan kamu Bang. Aku juga manusia yang memiliki perasaan. Sungguh ucapanmu itu seperti ucapan seorang laki-laki yang tidak berakhlak dan tidak berpendidikan. Ingat Bang, akan aku buktikan kepadamu bahwa aku bisa menjadi sang Dewi yang bersinar dengan tumpuan kakiku sendiri. Dan pastinya akan membungkam mulut-mulut kotor seperti mulutmu ini."
Langit tersenyum miring. Kata yang keluar dari bibir Dewi ini hanya membuat indera pendengarannya semakin bising. Tidak heran jika berdebat dengan Dewi selalu saja membuat kepalanya terasa pusing.
"Jika mimpi jangan terlalu tinggi. Jatuhnya akan sangat sakit. Mana ada hidupmu akan berubah menjadi sang Dewi jika keadaan fisik kamu seperti ini."
Dewi masih menatap lekat wajah Langit tanpa ingin berpaling. Ucapan dari mulut lelaki ini jelas sudah termasuk ke dalam kategori body shamming. Ia sampai berpikir seandainya saja ia memiliki banyak uang, akan ia seret lelaki ini ke ranah hukum yang akan membuatnya jera dan hanya bisa bergeming. Berhenti mencaci dan menganggap remeh segala bentuk ciptaan Tuhan yang dititipkan ke dalam tubuh manusia.
Langit menjeda ucapannya sembari menatap lekat wajah lelah wanita berusia dua puluh tujuh tahun ini. Lelaki itu kembali melanjutkan ucapannya.
"Oh, sekarang aku percaya jika kamu bisa menjadi seorang Dewi. Yakni Dewi gajah yang memiliki bobot tubuh berat sekali."
Sembari terbahak, Langit segera berlalu meninggalkan Dewi yang hanya bisa berdiri mematung sembari menatap punggung Langit yang lambat laun menghilang di telan oleh malam. Kedua tungkai Dewi terasa bergetar diiringi dengan sedikit guncangan di dalam badan. Hingga pada akhirnya, ia memilih untuk meluruhkan tubuhnya di atas tanah tatkala merasakan tulang-tulang yang membentuk rangka badan sudah tidak mampu lagi menopang bobot tubuhnya.
Netra yang seharusnya berbinar karena telah berhasil menghibur para penikmat orkes melayu, yang terjadi justru sebaliknya. Ia menatap lembaran-lembaran merah yang ada di dalam genggaman tangannya ini dengan tatapan nanar. Hatinya seakan bertambah memar ketika orang-orang di sekelilingnya menganggap rendah layaknya seonggok sampah yang terbakar.
"Tuhan, apakah masih ada yang mengakui keberadaanku?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Maliqa Effendy
Covernya bagus banget,Thor...semoga ceritanya jg bagus..baru mau baca ini....
2022-10-15
1
FILM INDONESIA
Haiiii
2022-10-14
0
Ilham Risa
aku mampir kak 🙏😄
2022-04-27
1