Angin sepoi-sepoi berhembus mengayun dedaunan. Membuatnya menari seiring seirama dengan hembusan. Ranting-ranting pohon pun seolah turut mengalunkan nada alam memecah keheningan. Menjadi awal pagi yang begitu menggembirakan.
"Wah, kamu benar jadi pergi ke Jakarta Dew?"
Sembari menenteng tas belanjaan, Ine menghentikan langkah kakinya kala melintas di depan rumah Ambarwati. Namun, sesaat kemudian, tetangga Dewi itu kembali memutar tumit dan mengayunkan tungkai untuk mendekat ke arah ibu dan anak yang tengah berdiri di depan serambi.
"Iya Bu, sebentar lagi saya berangkat."
Ine menatap intens tas pakaian dengan motif batik yang sudah teronggok di serambi. Bibir wanita itu sedikit mencebik ketika kesan usang melekat di tas pakaian yang akan dibawa oleh Dewi ini.
"Kamu yakin, ke Jakarta membawa tas buluk seperti ini? Apa tidak malu kamu Dew?"
"Mengapa harus malu Bu? Tas yang saya bawa ini bukan hasil mencuri jadi apa yang menjadi alasan saya untuk malu?"
Kernyitan dalam nampak jelas di kening Dewi. Ia sungguh tidak paham dengan maksud ucapan tetangga bernama lengkap Suminem ini.
"Kamu ini mau pergi ke kota besar tapi memakai tas buluk seperti ini? Ihhh ... bikin malu kota kita saja kamu Dew. Seharusnya kamu itu membawa koper, bukan malah tas seperti ini."
Dengan bibir yang nampak nyinyir, Ine melayangkan aksi protesnya kepada Dewi. Meski sejatinya ini semua bukan menjadi ranahnya untuk berargumentasi. Namun di mata Ine, penampakan tas yang akan dibawa Dewi ini sungguh merusak pandangan dan suasana hati.
"Oh, jadi hanya perihal tas yang saya bawa ini?" ujar Dewi memastikan sekali lagi kepada Ine.
Ine mengangguk mantap. Ia berpikir setelah mendapatkan aksi protes darinya, tetangganya ini akan memakai tas lain yang terlihat jauh lebih berkelas.
"Iya, perihal sepele namun memalukan." Ine memberikan jeda sejenak ucapannya. Wanita paruh baya itu menakutkan pandangannya ke arah Ambarwati yang terdiam sedari tadi. "Lagipula, apa bu Ambarwati ini tidak menyayangi Dewi? Sehingga membiarkan Dewi memakai tas seperti ini? Seberapa berat sih Bu, membelikan koper untuk Dewi? Uang bu Ambarwati itu sebenarnya untuk apa jika tidak untuk membahagiakan anak?"
Kedua bola mata Ambarwati terbelalak sempurna. Ia merasa ucapan tetangganya ini sudah sangat keterlaluan. Kejulidan tetangganya ini sungguh merobek harga dirinya sebagai seorang Ibu. Baru saja Ambarwati berniat membuka mulutnya untuk menimpali perkataan Ine, namun pergelangan tangannya tiba-tiba dicengkeram oleh Dewi. Alhasil wanita paruh baya itu mengurungkan niatnya untuk membalikkan perkataan Ine.
"Bu Ine, Ibu saya ini sudah menawarkan untuk membelikan koper, namun saya tolak. Apakah bu Ine tahu apa alasannya?"
"Memang apa alasan kamu menolak tawaran ibu kamu Dew?"
Dewi hanya menatap jengah wajah julid tetangganya ini. "Karena saya ingin memberi koper dari hasil keringat saya sendiri. Koper besar yang pastinya bisa untuk memasukkan tubuh bu Ine untuk kemudian saya buang ke sungai. Bagaimana? Pasti akan sangat menyenangkan bukan?"
Wajah Ine memerah, menahan api amarah. Bahkan di atas ubun-ubunnya muncul asap seperti sebuah teko yang mengeluarkan jin.
"Dasar anak kurang ajar kamu Dew! Aku sumpahin kam... Aaaahhh.... apa-apaan ini???!!!"
Ine memekik saat sensasi rasa dingin menjalar di tubuhnya. Saat ia berbalik badan betapa terkejutnya ia melihat Seruni menyirami tubuhnya dengan air melalui selang yang ia bawa. Tanpa menunggu banyak waktu, tubuh tetangga julid itu basah kuyup dalam sekejap mata.
"Rasakan, itu akibatnya jika bu Ine merendahkan keluarga saya!"
"Aaarrrgghhh .... sialan kalian semua!!"
****
Hari-hari penuh kepahitan itu telah berlalu. Sedahsyat apapun badai yang kemarin menerjang hidup Dewi dan sempat meluluhlantakkan kekuatan batinnya, pada kenyataannya matahari masih setia memancarkan kilau sinarnya meski nampak malu-malu. Dan di sela pancaran sinar itu pastilah tersimpan nafas-nafas kehidupan baru, memberikan semangat untuk bergerak maju.
Kelopak-kelopak harap yang sempat musnah, kini kembali merekah. Dengan sebuah keyakinan bahwa kasih sayang Tuhan akan selalu ada di dalam jiwa-jiwa yang patah. Kembali menemukan arah. Akan kemana ia melangkah.
Inilah salah satu keadilan dari sang Maha pemilik kehidupan. Dia menurunkan dinginnya air hujan diiringi dengan kehangatan yang tersimpan. Dia menciptakan badai diiringi pelangi yang akan muncul setelahnya. Dia menciptakan tangis diiringi senyum setelahnya. Dan ia menciptakan luka diiringi dengan penawar bahagia yang dapat membalutnya. Semua yang terjadi memang sudah sesuai porsi masing-masing. Kita sebagai makhluk lemah hanya dapat berupaya untuk senantiasa meminta kekuatan kepada Sang maha penggenggam kehidupan.
Dipijakkannya telapak kaki Dewi dengan penuh semangat memasuki kawasan terminal yang berada di kota ini. Nampak terminal ini sudah begitu ramai dengan bus-bus besar yang berjajar rapi. Sesekali Dewi melirik selembar tiket yang ia bawa kemudian ia cocokkan dengan nama bus yang akan ia tumpangi. Setelah bertemu dengan armada bus yang akan mengantarkannya ke ibu kota, gegas ia mencari kursi yang telah berbaris rapi. Dan di bangku nomor dua puluh tiga ini yang akan ia duduki.
"Nak, Ibu tidak memiliki apapun yang bisa ibu berikan sebagai bekal perjalananmu ke Jakarta. Namun, Ibu memiliki ini. Bawalah ini, semoga benda ini bermanfaat untukmu suatu hari nanti."
Ucapan sang ibu kembali terngiang di indera pendengaran milik Dewi. Manik mata wanita itu terpaku pada sebuah kalung emas putih dengan sebuah liontin berbentuk hati. Kalung ini diberikan oleh sang ibu ketika ia akan beranjak pergi.
"Ini adalah pesan yang ditinggalkan oleh ayahmu. Ia seperti memiliki sebuah firasat bahwa suatu hari nanti salah satu dari putrinya akan pergi ke Jakarta. Dan ia meminta kepada Ibu, siapapun yang akan pergi ke Jakarta, harus memakai kalung ini."
Lagi-lagi Dewi hanya bisa mengerutkan dahi. Rasa ingin tahunya seakan diusik oleh keberadaan kalung dan liontin berbentuk hati ini. Selama ini Dewi tidak pernah tahu jika sang ibu menyimpan barang berharga, dan apa lagi maksud sang ayah memintanya untuk memakai kalung ini ketika pergi ke Jakarta? Sungguh, pertanyaan demi pertanyaan perihal kalung dan liontin ini hanya membuat Dewi bingung sendiri.
Helaan napas sedikit kasar keluar dari rongga hidung milik Dewi. Tidak ingin terlalu larut dalam rasa penasaran, ia memilih untuk menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Sembari sesekali mengedarkan pandangannya ke arah luar kaca yang sudah nampak ramai sekali.
Sepasang manik mata milik Dewi terhenti pada sosok seorang kakek tua yang berada di depan agen tiket terminal. Seorang kakek tua yang tidak memiliki kaki dengan dibalut kain sebagai bantalan sembari berjualan cangcimen (kacang, kuaci, permen). Seketika segumpal daging yang berada di rongga dada milik Dewi berdenyut nyeri. Kenyataannya di luar sana masih banyak yang memiliki fisik tidak sempurna namun mereka tetap bersemangat untuk mencari rezeki.
Ya Tuhan, semoga aku bisa belajar dari kakek tua itu. Bahwa sejatinya keterbatasan fisik bukanlah hal yang dapat menghentikan langkah untuk meraih angan dan cita.
Kondisi bus yang sebelumnya masih sedikit sepi kini keramaian mulai merangkak naik. Para penumpang tujuan Jakarta dan sekitarnya sudah nampak memenuhi kursi-kursi yang tersedia. Beruntungnya Dewi saat kursi di sebelahnya tidak berpenghuni. Ia seperti penumpang VVIP yang hanya duduk sendiri.
Bus yang ditumpangi Dewi perlahan mulai bergerak keluar dari terminal. Bergerak maju untuk mengantarkan para penumpang tiba di kota impian. Klakson yang dinyalakan dan terdengar menggema seakan menjadi pacuan semangat untuk dapat meraih apa itu kesuksesan di tanah perantauan. Kini, bus besar itu benar-benar telah keluar dari area dalam terminal.
Sedangkan wanita berusia dua puluh tujuh tahun yang tengah duduk di salah satu kursi penumpang itu, melihat ke arah depan dengan sorot mata tajam. Berkali-kali ia berusaha menguatkan dirinya sendiri untuk selalu bersemangat menjalani masa-masa yang akan datang.
"Semangat Dewi! Semangat!"
Hari Senin datang lagi kakak... jangan lupa untuk vote nya yah... Geratis kok... Terima kasih 🤗🤗🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Sriza Juniarti
bagus...tapi likenya kok sediikit ya
semangat kk💕🥰🥰
2022-11-20
0
Nofi Kahza
Suka dengan keluarga Dewi yang kompak dalam menyikapi tetangga julid..
emang knp sih ke jakarta pakek tas buluk? apa dg pakek koper langsung bs merubah nasib?
Aku inget dlu ke jakarta aku malah pakek sandal jepit swallow🤣
btw itu kalung pasti ada hubungannya dengan seseorang yg berada dijakarta, smoga saja🥰
2022-03-10
0
☠ᵏᵋᶜᶟբɾҽҽKᵝ⃟ᴸMak buaya𒈒⃟ʟʙᴄ
ehhh itu kalung pertanda apakah aa mungkin dewi??????🤔🤔🤔🤔 hmm hanya kak rasti yg tau jawabannya 😁😁😁
2022-03-06
7