Wajah rembulan membulat penuh di dalam kanvas langit menjelang subuh. Suasana gaduh yang sebelumnya terdengar begitu riuh kini perlahan meluruh. Tergantikan oleh lantunan suara ayat-ayat cinta dari balik surau yang terdengar begitu menyentuh.
Melalui jendela, Dewi menikmati segala pesona malam yang tercipta dengan segenap jiwa yang dipenuhi oleh keikhlasan, layaknya rembulan. Sang rembulan nampak ikhlas meski ditakdirkan memiliki beberapa bentuk dalam fase hidupnya. Kadang menyabit, kadang membulat utuh menampilkan keindahan purnamanya dan kadang menghilang, sedikitpun tidak terlihat layaknya ditelan oleh Batara Kala.
Begitu pula dengan dirinya. Sebagai pemeran dalam sebuah panggung sandiwara dunia, ia menerima akan segala ketetapan yang telah dituliskan untuknya. Menerima dengan segenap hati yang lapang meski terkadang terasa begitu menyesakkan dada. Di cemooh, di hina, di pandang rendah seakan menjadi makanan sehari-hari yang harus ia telan mentah-mentah. Namun, ia tetap mencoba untuk kuat dan bertahan sampai Tuhan mengatakan waktunya pulang.
Dihirupnya udara menjelang pagi yang terasa menyejukkan ini. Mengalirkan kesejukan, kesegaran dan kenyamanan hingga menembus ulu hati. Menjadikan suplai energi baru untuk mengawali hari yang ia yakini akan mempertemukannya dengan kebahagiaan yang selama ini ia cari.
Diedarkannya manik matanya untuk meyapu barisan tanaman padi yang nampak menghijau di sebrang sana. Berpadu dengan kabut putih tebal yang membuat suasana dramatis kian terasa. Dengan iringan suara rintik gerimis kecil yang mengundang ketentraman dalam jiwa.
"Dew, mengapa kamu sudah bangun? Apakah semalam kamu tidak tertidur?"
Suara lembut wanita paruh baya yang masih terlihat begitu cantik mengalun pelan masuk ke dalam indera pendengaran. Di dekatinya tubuh sang anak yang masih saja berdiri terpaku di balik jendela kayu dengan warna pelitur yang sudah nampak usang.
"Dewi tidur, Bu. Namun hanya beberapa jam saja. Rasa-rasanya Dewi tidak nyenyak dalam tidur sehingga membuat Dewi terbangun di waktu menjelang subuh seperti ini."
Seakan memiliki beban pikiran, wanita berusia dua puluh tujuh tahun yang masih melajang itu selalu saja tidak pernah merasakan apa itu tidur berkualitas. Tiga bulan terakhir, tidurnya tiada pernah nyenyak seakan dihimpit oleh beban yang terlalu banyak sehingga menjadikan batinnya sedikit terkoyak dan merasakan kecemasan tiada berbatas.
Tidak memiliki pekerjaan tetap. Kondisi fisik yang nampak berbeda dari wanita-wanita sempurna di luar sana. Dan sampai pada saat ini belum ada seorang pun laki-laki yang mengajaknya untuk menjalani biduk rumah tangga seakan membuat hidupnya kian merana. Namun apa hendak dikata, jika semua sudah merupakan takdir Yang Maha Kuasa.
"Ibu tahu akan apa yang menjadi keresahan hatimu Dew. Namun Ibu hanya berpesan, jangan terlalu cemas akan apa yang terjadi di depan nanti. Tuhan telah menakar kebahagiaan yang akan kita dapatkan sesuai dengan takaran kita. Jadi, kamu jangan terlalu tenggelam dalam ketakutan dan kecemasan itu."
Sama-sama sebagai seorang wanita, Ambarwati yang merupakan sang ibu begitu memahami apa yang dirasa membelenggu hati sang putri. Di saat teman-teman seusia Dewi sudah banyak yang berkeluarga, putrinya ini masih tetap sendiri. Ia tidak menampik bahwa di zaman sekarang ini, para lelaki yang mencari seorang istri lebih mengutamakan penampilan fisik. Postur tubuh tambun, wajah yang tidak terlalu cantik, kulit yang tidak pernah mencium body lotion sehingga terkesan bersisik, itulah yang membuat keberadaan Dewi sama sekali tidak dilirik. Dan sudah dapat dipastikan bahwa tidak ada lelaki yang tertarik.
"Apakah Ibu tidak malu, setiap hari menjadi bahan gunjingan tetangga? Memiliki anak perawan tua yang sampai saat ini belum juga berkeluarga? Dewi seakan menjadi anak durhaka karena hanya bisa membuat Ibu merasakan duka dan sama sekali tidak bisa membuat Ibu bahagia."
Jatuh sudah bulir bening yang sebelumnya menggenang di pelupuk mata. Menetes perlahan, menghantarkan luka tak kasat mata terasa menyiksa hingga ke dasar jiwa. Dewi mencoba untuk mengabaikan, namun sedikitpun ia tidak dapat menyembunyikan keadaan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.
Tubuh bagaikan dihujam oleh beban hidup yang menyesakkan, itulah yang Dewi rasakan. Sebuah beban yang seiring berjalannya waktu tidak terkikis habis, namun justru membuat jiwa rapuhnya semakin teriris dan menangis. Ingin rasanya ia menyerah dan mengaku kalah. Namun sosok ibunda dan adik tercinta lah yang membuat tubuhnya tetap berdiri tegak dan gagah. Memantik kobaran api semangat untuk tidak menyerah akan keadaan yang sudah seperti penjajah. Yang terus bertubi-tubi menggerus hatinya yang kian melemah.
Direngkuhnya tubuh putri sulungnya ini ke dalam dekapan. Dengan lembut, Ambarwati mengusap punggung sang putri untuk sedikit membuatnya jauh lebih tenang.
"Ibu sama sekali tidak malu mendapatkan anugerah sepertimu, Dew. Menikah bukanlah ajang lomba lari yang mana siapa cepat, ia adalah pemenangnya. Menikah adalah suatu keputusan besar yang harus dipikirkan secara matang karena kehidupan pernikahan bukan untuk satu ataupun dua tahun saja namun untuk selamanya."
Raga yang dipaksa untuk tegar, pada kenyataannya tetap bergetar di kala luka di hati yang ia rasakan semakin melebar. Menyisakan sayatan dalam yang mungkin tidak akan pernah bisa tertukar dengan kebahagiaan yang membebatnya hingga ke akar. Namun, satu hal yang ia yakini bahwa sisa kekuatan dalam diri yang masih ia miliki tidak akan pernah memudar.
Bibir wanita itu masih saja terkatup. Diiringi dengan jantung yang semakin kencang berdegup. Hanya di dalam dekapan sang ibu seperti inilah ia bisa kembali merasakan apa itu makna hidup di saat cahaya kekuatan yang ada di dalam dirinya mulai meredup.
"Tuhan menciptakan manusia dengan bentuk yang paling sempurna, dan itu semua ada di dalam dirimu. Meski kamu dipandang rendah dan sebelah mata oleh orang-orang di luar sana, namun kamu masih memiliki satu kelebihan yang mungkin tidak dimiliki oleh orang lain, Dew."
"Kelebihan apa yang Ibu maksud? Bahkan Dewi merasakan tidak memiliki apa yang dimiliki oleh orang-orang di luar sana."
Perlahan, Dewi mengurai tubuhnya dari pelukan Ambarwati. Kening sedikit mengerut dengan kedua pangkal alis yang bertaut seakan meminta jawaban yang semakin menuntut.
"Kamu memiliki suara khas yang begitu candu ketika masuk ke dalam indera pendengaran. Itulah yang kamu miliki dan tidak dimiliki oleh siapapun. Ibu percaya jika suatu saat, suara yang kamu miliki inilah yang akan membawamu untuk menggenggam apa itu kebahagiaan."
Senyum penuh ironi membingkai bibir tipis wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu. Jika saja setiap orang memiliki pemahaman seperti sang ibu, pastilah saat ini ia tidak akan pernah merasakan apa itu hari-hari yang diwarnai oleh awan kelabu.
"Namun Dewi tidak merasa seperti itu Bu, karena pada kenyataannya, tampilan fisik yang masih menjadi nomor satu. Tidak hanya di dunia musik, di keseharian yang Dewi jalani pun juga begitu. Kelebihan yang Dewi miliki tenggelam dengan pesona orang-orang yang memiliki nilai jual tinggi dan pastinya yang bisa menarik banyak perhatian."
Senyum tipis membingkai bibir Ambarwati. Diusapnya pucuk kepala Dewi dengan kasih dan sayang yang tiada akan pernah terhenti.
"Percayalah, suatu saat nanti kamu akan bertemu dengan apa itu kebahagiaan yang hakiki, Dewi."
Kegamangan kian terasa membelenggu kala indera pendengarannya mencoba untuk memahami setiap kata yang diucap oleh sang ibu. Namun, untuk saat ini tidak ada yang dapat ia lakukan selain percaya akan semua yang terlisan dari bibir wanita paruh baya itu. Karena sejatinya saat ini hanya ada Ambarwati yang kehadirannya dapat menguatkan kalbu.
Seperti inilah dunia yang penuh tipu daya. Di mana orang-orang yang berpenampilan menarik mendapatkan sebuah peluang yang jauh lebih terbuka. Sedangkan orang-orang yang memiliki penampilan biasa-biasa saja, keberadaan mereka semakin tertinggal. Meski kelebihan yang dimiliki, sejatinya juga layak untuk menjadi sebuah nilai jual.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
smgt
2022-03-22
0
ঞ t̶i̶a̶r̶a̶☠ᵏᵋᶜᶟ
semangat berkarya kak
2022-03-22
0
Mak Aul
keren banget si thor diksinya...aku mah apa atuh.
sukses yaaa...🥰
2022-03-09
1