Dewi berjalan gontai menyusuri salah satu ruas jalan beraspal kota Jakarta. Hiruk pikuk keramaian kota pada kenyataannya tidak dapat meredam duka yang ia rasa. Pemandangan elok nan rupawan barisan gedung-gedung pencakar langit yang berada di sisi kanan kirinya pun juga tidak mampu untuk mengalihkan lara yang bercokol di dalam hatinya.
Dipandanginya langit ibu kota Jakarta siang hari ini. Terlihat terik dan terasa panas sekali. Bahkan burung-burung pun enggan untuk menampakkan diri. Memilih untuk berlindung di bawah rindangnya pohon yang hampir tidak dapat ia temui keberadaannya di kota ini.
Peluh yang menetes, ia seka perlahan. Tidak terasa bahwa sudah hampir dua jam kepalanya tertunduk menekuri jalanan. Sembari memutar otak akan apa yang harus ia lakukan setelah apa yang ia bawa dan ia punya terlepas dari genggaman tangan.
Keadaan terasa jauh menyedihkan tatkala bukan hanya tas selempang dan ponsel miliknya saja yang hilang. Tas yang berisikan pakaian pun turut menjadi cerita yang hanya patut untuk ia kenang. Terlalu fokus mengejar dua penjambret yang sudah bisa ia pastikan hanya akan menjadi kesia-siaan, membuat Dewi lupa bahwa masih ada sebuah tas yang seharusnya ia pegang. Saat tersadar bahwa tas itu masih berada di dalam terminal dan coba untuk ia datangi kembali, tanpa terduga, seonggok tas pakaian itu sudah menghilang.
Tanpa arah, Dewi terus saja melangkahkan kaki. Baru tiba di kota ini ternyata baru ia sadari bahwa Jakarta tidak semanis dan seindah seperti apa yang ada di dalam angannya selama ini. Benar apa yang dikatakan oleh sang ibu, bahwasannya Jakarta memang keras, bagi seseorang yang tidak memiliki keteguhan hati mungkin ia akan memilih jalan untuk bunnuh diri. Beruntung hal itu tidak dilakukan oleh Dewi. Kewarasannya masih utuh dan penuh hingga ia tetap memilih untuk tegar berdiri.
Langkah kaki Dewi terasa begitu berat, mungkin sama beratnya dengan beban hidup yang saat ini ia rasa. Sejatinya, jiwa itu terlalu rapuh untuk menerima kejadian penjambretan yang sama sekali tidak pernah ia duga. Namun apalah daya jika ini semua sudah menjadi salah satu bagian dari sang penulis skenario cerita. Mau tidak mau, suka tidak suka ia harus dapat menerima dengan lapang dada.
Dewi membelokkan langkah kakinya ke arah permukiman kumuh yang berada di bawah jembatan sudut kota Jakarta. Permukiman yang dihiasi oleh sampah-sampah di sisi kanan kirinya. Bangunan dari triplek dan kardus-kardus bekas pun juga turut menyambut kedatangannya. Hingga pada akhirnya, ia memilih untuk mendaratkan bokongnya di salah satu tempat yang nampak terlihat lebih sepi dari sudut yang lainnya.
Dewi menatap keadaan sekeliling dengan tatapan sendu. Suasana dalam hati serasa kian mengharu biru. Tanpa terasa tetes air mata dari kedua jendela hatinya mulai menetes satu persatu. Jika sudah seperti ini, ingin rasanya ia memeluk tubuh sang ibu, untuk menjadi penawar segala rasa sakit yang terasa kian membelenggu.
Ia memegang kalung emas putih dengan liontin berbentuk hati yang masih ia miliki. Sembari menatap lekat benda ini, ia pun bermonolog di dalam hati.
Hanya kalung ini satu-satunya benda yang aku miliki. Haruskah aku jual kalung ini untuk menyambung hidupku di kota Jakarta? Ibu mengatakan apapun yang terjadi, aku tidak boleh untuk menjual kalung ini. Namun, jika tidak aku jual, bagaimana mungkin aku bisa bertahan hidup di Jakarta? Ya Tuhan... Bantu aku untuk keluar dari kerumitan ini.
Pikiran kalut dan jiwa yang larut dalam monolog diri seketika terhenti kala tiba-tiba manik matanya menangkap sesosok bayangan wanita berusia senja yang diturunkan secara paksa dari sebuah mobil berwarna merah. Dari kejauhan wanita paruh baya itu nampak terhuyung dan terjatuh di hamparan rumput liar yang dipenuhi dengan sampah. Dan tanpa menunggu banyak waktu mobil merah itu melaju kencang hingga bayangannya musnah.
Dewi bangkit dari posisi duduknya. Tanpa perduli bahwa saat ini jiwanya tengah berduka namun naluri sebagai sesama manusia tergerak untuk menghampiri wanita berusia senja itu.
"Astaga Nek .... Nenek kenapa? Mengapa keadaan Nenek seperti ini?"
Tubuh Dewi terkejut setengah mati di kala menemukan seorang wanita berusia senja terkapar di atas rerumputan dengan nafas terengah-engah sambil memegangi dada sebelah kiri. Gegas, Dewi membungkukkan tubuh untuk bisa menjangkau wanita berusia senja ini. Ia ikut duduk di hamparan rumput yang dipenuhi oleh sampah dan meletakkan kepala wanita itu di atas paha yang ia miliki.
"Tolong .... tolong Nenek, Nak. Bawa Nenek ke rumah sakit Sayap Rajawali. Nenek sudah tidak kuat."
"Tapi Nek ... saya ...."
Dewi terkesiap di kala melihat wanita berusia senja ini tiba-tiba memejamkan mata dan hilang kesadaran. Seakan berpacu dengan waktu dan keadaan, Dewi mulai bangkit dari posisinya. Ia mengalungkan lengan tangan sang nenek di lehernya, kemudian ia papah dengan penuh kehati-hatian.
Di saat seperti ini, mungkin Dewi harus bersyukur karena memiliki tubuh berisi. Dengan fisiknya yang seperti ini, ia bisa memapah tubuh wanita berusia senja ini tanpa merasa berat sama sekali. Namun, rasa kalut kembali menyergap pikiran Dewi. Saat ini ia harus memutar otak bagaimana caranya agar ia bisa membawa wanita ini ke rumah sakit Sayap Rajawali.
Bukan Dewi namanya jika ia menyerah oleh keadaan. Ia terus berjalan sambil memapah tubuh wanita berusia senja ini tanpa merasa kelelahan. Hingga pada akhirnya, ia bertemu dengan sopir bajaj, yang sedang mangkal di pinggir jalan.
"Pak, boleh saya minta tolong?"
Sopir bajaj yang tengah mencoba beristirahat siang itu sedikit terkejut dengan kehadiran Dewi. Meski terasa mengantuk, ia memaksakan diri untuk menanggapi keberadaan Dewi dan wanita berusia senja yang dibawanya ini.
"Minta tolong apa?"
"Tolong bawa saya ke rumah sakit Sayap Rajawali, Pak. Nenek ini kondisinya sedang tidak baik-baik saja."
Sejenak, sopir bajaj itu menatap lekat tubuh Dewi dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Ia bisa menebak bahwa Dewi ini tidak memiliki uang sama sekali. Entah bagaimana sopir bajaj itu bisa mengetahui kondisi keuangan Dewi. Mungkin sama persis saat dirinya juga sedang tidak memegang uang sama sekali.
"Minta tolong? Memang kalau aku bisa menolongmu, kamu mau membayarku dengan apa? Ingat ya, zaman sekarang tidak ada yang geratis. Aku tidak mau menolongmu dengan cuma-cuma. Harus ada imbalannya."
Sang sopir bajaj mencoba untuk melakukan proses negosiasi dengan Dewi yang seketika membuat Dewi kelimpungan setengah mati. Sejenak ia memutar otak untuk mencoba untuk mencari jalan keluar dan pikirannya langsung tertuju pada uang seratus ribu yang masih ia miliki. Perlahan, ia merogoh saku celana yang ia kenakan dan ia dapatkan lembaran merah yang seketika membuat wajahnya berseri.
"Saya punya seratus ribu Pak. Saya rasa cukup untuk membayar ongkos sampai ke rumah sakit Sayap Rajawali."
Kedua bola mata sopir bajaj itu seketika membulat sempurna. Meski nampak terkejut, binar kebahagiaan itu tercetak jelas di raut wajahnya. Gegas ia turun dari bajaj, kemudian ia membantu Dewi untuk memapah wanita berusia senja ini masuk ke dalam bajaj miliknya.
"Kalau begitu, ayo Bapak antar!"
Sungguh kontras rona wajah sang sopir bajaj dari detik pertama ia bertemu Dewi dengan rona wajah setelah Dewi mengeluarkan satu lembar uang seratus ribuan. Saat ini sopir bajaj itu nampak bersemangat untuk mengantarkan Dewi kemanapun, yang ia inginkan. Sungguh sangat membagongkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
noviaryani5
bapak bajaj km ga mikir nyawa oran uh iujun tanduk msh sempet²nya mikirin uang😒😒 klo bpk ikhlas insya Allah ada ajh kok rezeki nya😔😔😔
2022-03-11
0
Nofi Kahza
miris sekali.. dijaman semakin tua ini, rasa kemanusian hanya bisa dbeli dengan uang😢
padahl rasa itu berasal dari hati, dan hati itu mereka dapatkan gratis dari Tuhan..🤦♀️
2022-03-11
1
☠ᵏᵋᶜᶟբɾҽҽKᵝ⃟ᴸMak buaya𒈒⃟ʟʙᴄ
miris sekali nyawa seseorang bener² ga berharga tanpa ada nya cuan🥺🥺🥺 semoga ini smu wal kebahagiaan mu dew
2022-03-07
9