Pagi ini gerobak sayur milik mang Ujang, yang berhenti di depan rumah Ambarwati nampak begitu ramai dikerumuni oleh kaum ibu-ibu yang masih terlihat cantik di usia paruh bayanya. Meski mereka hanya nampak memakai daster rumahan namun tidak mengurangi aura bersinar yang terpancar. Aura itu nampak terpancar dari emas-emas yang menghiasi badan mereka.
"Bu, Ibu lihatlah! Saya baru saja dibelikan kalung rantai oleh suami saya. Bagaimana? Bagus bukan?"
Ibu paruh baya bernama Mia (nama panjang Sumiati) itu memilih sayuran sembari memamerkan kalung rantai di lehernya. Sebuah kalung yang cukup besar sampai menjuntai ke bawah hingga ke bagian dada.
"Wah iya Bu, ini kalungnya besar sekali. Pasti harganya mahal. Tapi saya juga baru saja dibelikan gelang keroncong oleh anak saya lho Bu, Ibu .... lihatlah, bagus kan?"
Seorang Ibu bernama Mini (nama lengkap Sumini) yang tengah memilih sayuran itu juga ikut memamerkan sepuluh gelang keroncong yang menghiasi pergelangan tangan kanan dan pergelangan tangan kirinya. Saking banyaknya gelang keroncong yang dipakai oleh Mini itu sampai-sampai hampir memenuhi lengan hastanya. Dan seketika menimbulkan suara gemerincing di saat gelang-gelang itu saling bergesekan.
Untuk menambah suasana menjadi ramai, Mini sengaja mengibas-ibaskan sayuran yang ada di dalam genggaman tangan. Bermaksud agar gelang yang ia pakai dapat berbunyi nyaring sehingga menyita perhatian.
"Iya Bu, bagus sekali gelang bu Mini ini. Eh tapi saya juga baru saja dibelikan perhiasan oleh suami saya lho Bu. Kalau bu Mia dan bu Mini dibelikan kalung juga gelang, kalau saya di belikan cincin bermata berlian. Lihatlah, berliannya bersinar bukan?"
Kali ini giliran Ine (nama lengkap Suminem) juga turut memperlihatkan kesepuluh jarinya di mana masing-masing jari sudah dihiasi cincin bermata berlian. Tidak tanggung-tanggung, setiap jari berisikan tiga buah cincin, jadi bisa dipastikan berapa banyak cincin yang ia pakai.
"Hmmmm ... ini sih bukan bagus lagi tapi sangat-sangat bagus Bu. Bulan depan saya juga akan meminta suami saya untuk membelikan cincin seperti milik bu Ine ini. Jadi kita bisa kembaran Bu," timpal Mia yang nampak terkesima dengan cincin bermata berlian milik Ine.
"Wah, ide yang bagus itu Bu. Belinya di toko emas yang ada di kota ya Bu. Pastinya dua puluh empat karat. Kalau yang ada di sini kan hanya emas-emas muda. Saya kalau memakai emas muda rasa-rasanya gatal semua."
Dengan penuh kesombongan, Ine memberikan masukan kepada Mia di mana sebaiknya ia harus membeli emas. Pastinya di kota, bukan di perkampungan seperti tempat tinggalnya ini.
"Bu, Ibu... kita itu beruntung ya mempunyai suami dan anak yang bisa menyenangkan kita. Karena kerja keras merekalah yang membuat kita hidup dalam gelimang harta seperti ini."
Mini mencoba untuk membuka obrolan dengan Mia dan juga Ine. Sejatinya ia memberikan pancingan untuk menghujat Ambarwati yang saat ini juga tengah berada di hadapannya.
"Bu Ambar, kalau bu Ambar sendiri di rumah memiliki perhiasan apa? Selama saya menjadi tetangga bu Ambar, mengapa saya belum pernah melihat bu Ambar memakai perhiasan?"
Sambil memasukkan daging sapi ke dalam keranjang belanja, Mini melemparkan sebuah pertanyaan kepada Ambar. Meski sejatinya ia sudah tahu bahwa Ambar tidak memiliki perhiasan, namun rasanya ia ingin sekali mengolok-olok tetangganya ini.
Ambar hanya mengulas sedikit senyum di bibir. "Saya tidak memiliki perhiasan sama sekali Bu. Karena saya memang tidak se-kaya Ibu-ibu di sini."
"Ah, bu Ambar jangan merendah seperti ini. Siapa tahu di dalam almari pakaian milik bu Ambar penuh dengan perhiasan," timpal Ine dengan nada remeh.
Lagi, lagi Ambar hanya tersenyum simpul. "Tidak Bu, saya tidak memiliki perhiasan apapun. Karena penghasilan saya dan anak saya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan sekolah Runi."
"Ckckckck.... Hidup bu Ambar ini ternyata menyedihkan sekali ya. Untung saja hidup kita tidak seperti kehidupan bu Ambar ini ya Bu, Ibu. Amit-amit, sudah tidak memiliki suami, anak sulungnya tidak memiliki pekerjaan tetap dan anak bungsunya masih bersekolah."
Sembari berdecak lirih dan menatap sinis, Mia mengucapkan kalimat yang terdengar sedikit menyinggung perasaan Ambar, namun wanita itu hanya bisa tersenyum samar.
"Namun bagi saya kehidupan saya ini tidak menyedihkan kok Bu. Karena saya yakin bahwa takdir kehidupan seperti inilah takdir terbaik yang dipilihkan oleh Tuhan untuk keluarga saya."
"Bu Ambar, mengapa bu Ambar tidak segera menikahkan Dewi dengan seorang laki-laki saja sih? Lihatlah anak saya yang sepantaran Dewi, sebentar lagi dia akan memiliki anak yang kedua. Eh, si Dewi pacaran pun tidak. Apa anak bu Ambar itu memang tidak laku?"
"Hahaha, bu Ine, bu Ine, ya jelas saja tidak ada laki-laki yang mau memperistri Dewi. Lihat saja bada Dewi yang super jumbo itu. Pastinya para lelaki di luar sana berpikir ulang karena bisa jadi beban hidup mereka bertambah karena memiliki istri yang juga bobot tubuhnya berlebih."
"Hahahaha .... benar juga ya!"
"Stop! Hentikan semua omong kosong Ibu-ibu ini. Sungguh, ucapan kalian ini telah melukai hati saya sebagai ibu dari Dewi!"
Ambarwati yang sedari tadi memilih untuk bungkam, tidak bersuara sama sekali, kini ia berteriak lantang di depan ketiga ibu sosialita ini. Kesabarannya seperti terkikis habis oleh ucapan-ucapan yang terdengar tajam menusuk telinga. Ia bisa sabar jika hanya dirinya lah yang menjadi bahan cemoohan. Namun jika sudah menyangkut kedua anaknya, ia akan memberikan sebuah perlawanan.
"Hahahaha bu Ambar, bu Ambar ... memang benar kan apa yang saya katakan? Bahwa sejatinya Dewi itu tidak laku. Nyatanya sampai sekarang dia masih melajang, bukan?" timpal Mini dengan sinis.
"Perlu Anda ingat baik-baik ya Bu, Ibu .... Dewi bukan tidak laku, dia hanya belum bertemu dengan jodohnya, paham!"
Dengan sorot mata tajam Ambarwati menatap wajah ketiga ibu sosialita ini secara bergantian. Sorot mata Ambar inilah yang membuat tiga orang itu sedikit bergidik ngeri.
"Mang Ujang, berapa total belanja saya? Saya takut jika terlalu lama di tempat ini membuat tekanan darah tinggi saya naik."
Ambarwati mencoba untuk mengakhiri obrolannya dengan cara bersegera pergi dari tempat ini. Ia membuka dompet dan menyerahkan satu lembar uang lima puluh ribuan ke arah Ujang.
"Totalnya tiga puluh lima ribu ya Bu. Ini, saya berikan bonus tahu untuk neng Dewi yang sedang sakit. Semoga lekas sembuh ya Bu."
Ambarwati mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Ia mengayunkan tungkai kakinya, bermaksud untuk segera meninggalkan lapak sayur ini. Namun baru beberapa langkah, Ambarwati menghentikan langkahnya dan berbalik badan.
"Asal Anda semua tahu ya Bu, Ibu ... kehidupan di dunia ini ibarat sebuah roda yang sedang berputar. Ada masanya kita berada di atas dan ada masanya pula kita berada di bawah. Saat ini mungkin Ibu-ibu bisa merendahkan saya karena posisi Anda semua sedang berada di atas. Namun suatu saat nanti, jika saya berada di posisi puncak, saya pastikan bisa membeli mulut-mulut Anda semua ini. Camkan itu baik-baik!"
Merasa sudah puas dengan amarah yang membakar habis rasa sabarnya, Ambarwati kembali mengambil langkah kaki lebar untuk bisa menjangkau teras rumah. Dengan gerak cepat, wanita paruh baya itu masuk ke dalam rumah dengan sedikit membanting daun pintu. Sedangkan ketiga ibu sosialita itu hanya bisa terperangah dibuatnya.
"Iseh... isssh... ish.... garang juga ya bu Ambar itu? Apa itu efek dari terlalu lama menjanda ya? Sehingga uring-uringan sendiri?" ucap Ine dengan nada mengolok-olok.
"Hahahaha.... bisa jadi seperti itu Bu."
"Eh mang Ujang, tadi Mamang mengatakan kalau Dewi sedang sakit? Memang sakit apa?"
Dipenuhi oleh rasa ingin tahu, Mia mencoba untuk bertanya kepada Ujang yang sempat mengatakan bahwa Dewi sedang sakit. Tidak ingin ikut campur, Ujang hanya mengangkat kedua bahunya.
"Saya tidak tahu, Bu."
"Ckckckck .... masa bu Mia tidak tahu? Dewi itu terkena iritasi pada wajah yang membuat kulitnya mengelupas. Dengar-dengar sih karena krim kecantikan yang ia beli melalui situs online," ucap Ine memberikan penjelasan.
"Ihhhh ... sampai seperti itu ya Bu? Ngeri sekali ya? Maksud hati ingin mengubah wajahnya menjadi cantik, eh malah iritasi."
"Maka dari itu Bu, jika membeli produk kecantikan itu jangan yang murahan. Lihatlah hasil produk skincare yang saya pakai ini. Ini harga per paketnya dua juta rupiah tapi hasilnya memuaskan bukan?"
Kini giliran Mini yang memperlihatkan wajah glowing nya. Dan diangguki oleh Ine dan Mia yang mengisyaratkan setuju dengan ucapan Mini.
"Lagipula Dewi itu juga sok-sokan memakai skincare, sudah tahu hidupnya miskin masih saja nekad memakai produk kecantikan," seloroh Mia dengan lantang.
Ujang yang mendengar bahan gunjingan ibu-ibu sosialita ini hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Sedari tadi ketiga ibu ini hanya membuat berantakan sayurnya saja.
"Ibu-ibu ini sebenarnya niat berbelanja atau ingin menggibah? Jika ingin menggibah jangan di lapak saya. Nanti ikut terkena dosa!"
"Yeeee .... mang Ujang ini tidak asyik. Mau dilarisi kok malah protes. Bu Ibu, ayo kita berbelanja di kios besar pinggir jalan raya saja. Di sana pasti jauh lebih fresh."
Mia mengembalikan sayuran yang sebelumnya sudah masuk ke dalam keranjang ke gerobak milik Ujang. Ine dan Mini pun juga melakukan hal yang sama. Setelah itu mereka meninggalkan lapak mang Ujang dan hanya membuat penjual sayur itu terperangah tiada percaya.
"Dasar ibu-ibu biang gosip! Apa mereka tidak jijik memakan bangkai saudaranya sendiri karena telah bergosip?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
noviaryani5
tetangga gak ada akhlak orang sakit bukannya dikunjungi bawain buh kek malah di buat bahan ghibah
2022-03-11
0
Nofi Kahza
ini nih alasannya kenapa aku lebih suka di rumah aja dari pada ikut nongkrong bersama tertangga.. ya begitu itu mulutnya..
mang belum pernah di jejeli tumis petasan mereka itu.. hadeh.. bikin dosa aja😤
2022-03-09
1
Nofi Kahza
hahaha.. aku pernah mlihat orng yg kayak gini di real life😩
2022-03-09
0