Belaian lembut sang bayu menerpa wajah Dewi yang tengah duduk di sebuah kursi kayu yang berada di halaman belakang. Hembusannya terasa begitu segar dan menyejukkan. Diiringi dengan bunyi suara jangkrik yang bersarang di dalam tanah seakan kian menambah syahdu suasana malam yang sarat akan keheningan.
Ia teguk air mineral yang berada di genggaman dan seketika memberikan sensasi rasa segar yang mengaliri kerongkongan. Sembari sesekali ia menghirup napas dalam untuk mengisi rongga-rongga dadanya dengan oksigen yang mana menjadi salah satu bagian terpenting dalam siklus kehidupan.
Sayup-sayup masih terdengar riuh suara alat musik yang memekak telinga. Sebagai pertanda bahwa sajian hiburan musik di halaman depan sana masih belum usai dan masih akan tetap berlanjut hingga tengah malam tiba. Dewi yang sudah selesai dengan tugasnya, lebih memilih untuk menyendiri di tempat yang tidak terlalu ramai seperti ini sembari menunggu sang manajer memberikan hasil keringat dalam menjual suara.
"Ini upahmu!"
Kedatangan tiba-tiba seorang lelaki berusia tiga puluh lima tahun di hadapan Dewi sukses membuatnya terperanjat seketika. Ia terlampau terkejut di saat beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan mengenai wajahnya.
Lima lembar uang seratus ribuan dilempar begitu saja di depan wajah Dewi. Ia sedikit terkesiap dan terhenyak kala melihat uang kertas berwarna merah itu mulai berjatuhan dan berhamburan di atas tanah. Ia bangkit dari posisinya dan kemudian berjongkok untuk memungut lembar demi lembar uang berwarna merah menyala itu.
"Mengapa harus kamu lempar Bang? Apa kamu tidak bisa memberikannya secara baik-baik?"
Dengan perasaan yang sedikit hancur, Dewi memunguti lembaran-lembaran berwarna merah itu. Hatinya seakan tercabik karena dengan cara seperti ini manajer orkes melayu yang menjadi tempatnya bernaung memberikan hasil keringatnya. Sungguh sangat tidak manusiawi. Seakan apa yang telah ia suguhkan secara totalitas, hanya mendapatkan balasan caci maki dan tiada berarti sama sekali.
"Tidak perlu berlebihan Dew. Itu merupakan hal yang sangat biasa untuk aku lakukan. Jadi, kamu tidak perlu terkejut seperti itu."
Dewi menghitung kembali lembaran-lembaran merah yang berhasil ia pungut dari atas tanah. Dahinya mengernyit seiring dengan jumlah upah yang ia terima semakin hari semakin sedikit.
"Lima ratus ribu? I-ini tidak salah Bang? Biasanya aku mendapatkan satu juta untuk sekali manggung bukan? Namun, ini mengapa hanya lima ratus ribu?"
Tidak sedikitpun terbesit dalam pikiran Dewi untuk tidak bersyukur. Namun, apa yang diberikan oleh Langit ini seakan memaksanya untuk menjadi seseorang yang kufur.
"Jangan terlalu banyak protes, Dew. Ini sudah layak untuk aku berikan kepadamu. Daripada tidak sama sekali."
"Tapi Bang, ini sungguh sedikit sekali. Terlebih, aku tadi melihat banyak penonton yang memberikan saweran. Apakah aku juga tidak berhak untuk menerimanya?"
Gelak tawa Langit yang merupakan manajer orkes melayu di mana menjadi tempat Dewi bernaung untuk menyalurkan bakat yang ia miliki ini terdengar membahana.
"Dewi, Dewi ... tadi kamu mengatakan apa? Meminta uang saweran?"
Dewi menganggukkan kepala dengan mantap. Ia merasa berhak untuk mendapatkan saweran itu mengingat saat berada di atas panggung beberapa saat yang lalu, tidak sedikit juga ia menerima saweran dari para pengunjung. Namun pada kenyataannya setelah uang itu ia kumpulkan menjadi satu dengan penyanyi yang lain, ia sama sekali tidak menerimanya kembali.
"Iya Bang, mana hasil uang saweran yang diberikan kepadaku? Mengapa aku sama sekali tidak mendapatkannya?"
Bak seseorang yang sedang menikmati sajian ludruk, Langit semakin mengeraskan gelak tawanya. Perut lelaki itu serasa dikocok habis-habisan oleh sesuatu yang menggelikan hingga membuatnya tidak dapat menghentikan tawa.
"Dewi, Dewi, jangan mimpi kamu. Sampai kapanpun kamu tidak akan pernah mendapatkan saweran itu. Dan apakah kamu ingin tahu apa alasannya?"
Dewi sedikit terperangah. Ia benar-benar tidak paham dengan apa yang dimaksud oleh manajernya ini. "Memang apa alasannya Bang? Mengapa aku tidak bisa ikut menikmati uang saweran itu?"
"Uang saweran yang kamu dapatkan hanya dua ratus ribu. Bahkan itu pecahan dua ribuan semua. Apa kamu tidak malu untuk memintanya? Saweran yang kamu dapatkan itu persis dengan hasil mengamen di pinggir jalan. Orkes Melayu dengan nama besar Magatra, yang sudah terkenal hingga pelosok kecamatan, hanya mendapatkan saweran recehan?Sungguh sangat memalukan."
"Tapi Bang ...."
"Ahhh sudah. Aku tidak ingin berdebat denganmu. Jika kamu ingin mendapatkan uang saweran yang jauh lebih banyak dan tidak recehan seperti ini, contohlah Adelia dan Amara. Dengan postur tubuh yang sempurna seperti mereka, akan sangat menentukan harga tawar orkes melayu ini. Pastinya dengan harga tawar yang tinggi."
Langit mengayunkan tungkai kaki untuk bisa lebih dekat dengan Dewi. Lelaki itu menatap rendah sosok wanita yang ada di hadapannya ini.
"Sadarlah, kamu ini hanya gajah bengkak yang seharusnya bersyukur karena aku berikan tempat untuk bernaung. Juga jangan lupa, nilai jualmu itu tidak tinggi dibandingkan dengan Adelia dan Amara. Sehingga seharusnya kamu bersyukur mendapatkan upah lima ratus ribu itu. Ada atau tidaknya kamu di orkes melayu milikku ini, tidak akan memberikan pengaruh apa-apa. Kamu itu hanya figuran dari gemerlapnya dunia hiburan seperti ini. Dan sampai kapanpun kamu tidak pernah menjadi tokoh utama. Paham?"
Dada Dewi seakan bergemuruh hebat. Ia mengepalkan telapak tangannya erat akibat luapan emosi yang telah memenuhi rongga-rongga dada dan mengalir ke seluruh tubuh hingga membuat tenggorokannya tercekat. Tidak mampu lagi ia berucap untuk membalas lidah tajam pria ini. Tanpa basa basi ia mengayunkan tangan dan....
Plak!!!
Sebuah tamparan keras, sukses mendarat di pipi Langit. Lelaki itu seketika mengaduh seraya memalingkan wajah setelah sensasi rasa nyeri mulai menjalar memenuhi syaraf-syaraf di pipi.
"Jaga mulutmu Bang. Tidak sepantasnya kamu memanggilku dengan sebutan gajah bengkak. Itu sudah sangat keterlaluan."
Sembari memegangi pipi, Langit kembali menatap lekat wajah wanita yang sudah berani menamparnya ini dengan tatapan ganas. Sorot matanya nampak membidik layaknya seekor hewan buas yang tengah mencari mangsa untuk dapat ia santap hingga membuat perutnya terasa puas. Kedua bola matanya membola seiring dengan sebelah pipinya yang terasa semakin panas.
Plak!!!
"Dasar tidak tahu terima kasih. Kamu lupa saat ini kamu mendapatkan uang dan bisa menghidupi ibu dan adikmu itu karena siapa? Karena aku Dew. Aku yang sudah bersedia mengajakmu untuk bergabung dengan orkes melayu yang aku bangun. Apa kamu tidak sadar jika tanpa aku, kamu hanya akan menjadi beban masyarakat dan negara karena tidak memiliki nilai jual tinggi, hah? Jika tidak ada aku, kamu pasti sudah luntang lantung ke sana kemari untuk mencari belas kasih dari orang lain karena tidak ada satupun tempat yang mau menerimamu. Itu semua karena apa? Karena tubuhmu yang persis gajah bengkak ini!"
Plak!!!
"Keterlaluan kamu Bang. Aku juga manusia yang memiliki perasaan. Sungguh ucapanmu itu seperti ucapan seorang laki-laki yang tidak berakhlak dan tidak berpendidikan. Ingat Bang, akan aku buktikan kepadamu bahwa aku bisa menjadi sang Dewi yang bersinar dengan tumpuan kakiku sendiri. Dan pastinya akan membungkam mulut-mulut kotor seperti mulutmu ini."
Langit tersenyum miring. Kata yang keluar dari bibir Dewi ini hanya membuat indera pendengarannya semakin bising. Tidak heran jika berdebat dengan Dewi selalu saja membuat kepalanya terasa pusing.
"Jika mimpi jangan terlalu tinggi. Jatuhnya akan sangat sakit. Mana ada hidupmu akan berubah menjadi sang Dewi jika keadaan fisik kamu seperti ini."
Dewi masih menatap lekat wajah Langit tanpa ingin berpaling. Ucapan dari mulut lelaki ini jelas sudah termasuk ke dalam kategori body shamming. Ia sampai berpikir seandainya saja ia memiliki banyak uang, akan ia seret lelaki ini ke ranah hukum yang akan membuatnya jera dan hanya bisa bergeming. Berhenti mencaci dan menganggap remeh segala bentuk ciptaan Tuhan yang dititipkan ke dalam tubuh manusia.
Langit menjeda ucapannya sembari menatap lekat wajah lelah wanita berusia dua puluh tujuh tahun ini. Lelaki itu kembali melanjutkan ucapannya.
"Oh, sekarang aku percaya jika kamu bisa menjadi seorang Dewi. Yakni Dewi gajah yang memiliki bobot tubuh berat sekali."
Sembari terbahak, Langit segera berlalu meninggalkan Dewi yang hanya bisa berdiri mematung sembari menatap punggung Langit yang lambat laun menghilang di telan oleh malam. Kedua tungkai Dewi terasa bergetar diiringi dengan sedikit guncangan di dalam badan. Hingga pada akhirnya, ia memilih untuk meluruhkan tubuhnya di atas tanah tatkala merasakan tulang-tulang yang membentuk rangka badan sudah tidak mampu lagi menopang bobot tubuhnya.
Netra yang seharusnya berbinar karena telah berhasil menghibur para penikmat orkes melayu, yang terjadi justru sebaliknya. Ia menatap lembaran-lembaran merah yang ada di dalam genggaman tangannya ini dengan tatapan nanar. Hatinya seakan bertambah memar ketika orang-orang di sekelilingnya menganggap rendah layaknya seonggok sampah yang terbakar.
"Tuhan, apakah masih ada yang mengakui keberadaanku?"
Wajah rembulan membulat penuh di dalam kanvas langit menjelang subuh. Suasana gaduh yang sebelumnya terdengar begitu riuh kini perlahan meluruh. Tergantikan oleh lantunan suara ayat-ayat cinta dari balik surau yang terdengar begitu menyentuh.
Melalui jendela, Dewi menikmati segala pesona malam yang tercipta dengan segenap jiwa yang dipenuhi oleh keikhlasan, layaknya rembulan. Sang rembulan nampak ikhlas meski ditakdirkan memiliki beberapa bentuk dalam fase hidupnya. Kadang menyabit, kadang membulat utuh menampilkan keindahan purnamanya dan kadang menghilang, sedikitpun tidak terlihat layaknya ditelan oleh Batara Kala.
Begitu pula dengan dirinya. Sebagai pemeran dalam sebuah panggung sandiwara dunia, ia menerima akan segala ketetapan yang telah dituliskan untuknya. Menerima dengan segenap hati yang lapang meski terkadang terasa begitu menyesakkan dada. Di cemooh, di hina, di pandang rendah seakan menjadi makanan sehari-hari yang harus ia telan mentah-mentah. Namun, ia tetap mencoba untuk kuat dan bertahan sampai Tuhan mengatakan waktunya pulang.
Dihirupnya udara menjelang pagi yang terasa menyejukkan ini. Mengalirkan kesejukan, kesegaran dan kenyamanan hingga menembus ulu hati. Menjadikan suplai energi baru untuk mengawali hari yang ia yakini akan mempertemukannya dengan kebahagiaan yang selama ini ia cari.
Diedarkannya manik matanya untuk meyapu barisan tanaman padi yang nampak menghijau di sebrang sana. Berpadu dengan kabut putih tebal yang membuat suasana dramatis kian terasa. Dengan iringan suara rintik gerimis kecil yang mengundang ketentraman dalam jiwa.
"Dew, mengapa kamu sudah bangun? Apakah semalam kamu tidak tertidur?"
Suara lembut wanita paruh baya yang masih terlihat begitu cantik mengalun pelan masuk ke dalam indera pendengaran. Di dekatinya tubuh sang anak yang masih saja berdiri terpaku di balik jendela kayu dengan warna pelitur yang sudah nampak usang.
"Dewi tidur, Bu. Namun hanya beberapa jam saja. Rasa-rasanya Dewi tidak nyenyak dalam tidur sehingga membuat Dewi terbangun di waktu menjelang subuh seperti ini."
Seakan memiliki beban pikiran, wanita berusia dua puluh tujuh tahun yang masih melajang itu selalu saja tidak pernah merasakan apa itu tidur berkualitas. Tiga bulan terakhir, tidurnya tiada pernah nyenyak seakan dihimpit oleh beban yang terlalu banyak sehingga menjadikan batinnya sedikit terkoyak dan merasakan kecemasan tiada berbatas.
Tidak memiliki pekerjaan tetap. Kondisi fisik yang nampak berbeda dari wanita-wanita sempurna di luar sana. Dan sampai pada saat ini belum ada seorang pun laki-laki yang mengajaknya untuk menjalani biduk rumah tangga seakan membuat hidupnya kian merana. Namun apa hendak dikata, jika semua sudah merupakan takdir Yang Maha Kuasa.
"Ibu tahu akan apa yang menjadi keresahan hatimu Dew. Namun Ibu hanya berpesan, jangan terlalu cemas akan apa yang terjadi di depan nanti. Tuhan telah menakar kebahagiaan yang akan kita dapatkan sesuai dengan takaran kita. Jadi, kamu jangan terlalu tenggelam dalam ketakutan dan kecemasan itu."
Sama-sama sebagai seorang wanita, Ambarwati yang merupakan sang ibu begitu memahami apa yang dirasa membelenggu hati sang putri. Di saat teman-teman seusia Dewi sudah banyak yang berkeluarga, putrinya ini masih tetap sendiri. Ia tidak menampik bahwa di zaman sekarang ini, para lelaki yang mencari seorang istri lebih mengutamakan penampilan fisik. Postur tubuh tambun, wajah yang tidak terlalu cantik, kulit yang tidak pernah mencium body lotion sehingga terkesan bersisik, itulah yang membuat keberadaan Dewi sama sekali tidak dilirik. Dan sudah dapat dipastikan bahwa tidak ada lelaki yang tertarik.
"Apakah Ibu tidak malu, setiap hari menjadi bahan gunjingan tetangga? Memiliki anak perawan tua yang sampai saat ini belum juga berkeluarga? Dewi seakan menjadi anak durhaka karena hanya bisa membuat Ibu merasakan duka dan sama sekali tidak bisa membuat Ibu bahagia."
Jatuh sudah bulir bening yang sebelumnya menggenang di pelupuk mata. Menetes perlahan, menghantarkan luka tak kasat mata terasa menyiksa hingga ke dasar jiwa. Dewi mencoba untuk mengabaikan, namun sedikitpun ia tidak dapat menyembunyikan keadaan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.
Tubuh bagaikan dihujam oleh beban hidup yang menyesakkan, itulah yang Dewi rasakan. Sebuah beban yang seiring berjalannya waktu tidak terkikis habis, namun justru membuat jiwa rapuhnya semakin teriris dan menangis. Ingin rasanya ia menyerah dan mengaku kalah. Namun sosok ibunda dan adik tercinta lah yang membuat tubuhnya tetap berdiri tegak dan gagah. Memantik kobaran api semangat untuk tidak menyerah akan keadaan yang sudah seperti penjajah. Yang terus bertubi-tubi menggerus hatinya yang kian melemah.
Direngkuhnya tubuh putri sulungnya ini ke dalam dekapan. Dengan lembut, Ambarwati mengusap punggung sang putri untuk sedikit membuatnya jauh lebih tenang.
"Ibu sama sekali tidak malu mendapatkan anugerah sepertimu, Dew. Menikah bukanlah ajang lomba lari yang mana siapa cepat, ia adalah pemenangnya. Menikah adalah suatu keputusan besar yang harus dipikirkan secara matang karena kehidupan pernikahan bukan untuk satu ataupun dua tahun saja namun untuk selamanya."
Raga yang dipaksa untuk tegar, pada kenyataannya tetap bergetar di kala luka di hati yang ia rasakan semakin melebar. Menyisakan sayatan dalam yang mungkin tidak akan pernah bisa tertukar dengan kebahagiaan yang membebatnya hingga ke akar. Namun, satu hal yang ia yakini bahwa sisa kekuatan dalam diri yang masih ia miliki tidak akan pernah memudar.
Bibir wanita itu masih saja terkatup. Diiringi dengan jantung yang semakin kencang berdegup. Hanya di dalam dekapan sang ibu seperti inilah ia bisa kembali merasakan apa itu makna hidup di saat cahaya kekuatan yang ada di dalam dirinya mulai meredup.
"Tuhan menciptakan manusia dengan bentuk yang paling sempurna, dan itu semua ada di dalam dirimu. Meski kamu dipandang rendah dan sebelah mata oleh orang-orang di luar sana, namun kamu masih memiliki satu kelebihan yang mungkin tidak dimiliki oleh orang lain, Dew."
"Kelebihan apa yang Ibu maksud? Bahkan Dewi merasakan tidak memiliki apa yang dimiliki oleh orang-orang di luar sana."
Perlahan, Dewi mengurai tubuhnya dari pelukan Ambarwati. Kening sedikit mengerut dengan kedua pangkal alis yang bertaut seakan meminta jawaban yang semakin menuntut.
"Kamu memiliki suara khas yang begitu candu ketika masuk ke dalam indera pendengaran. Itulah yang kamu miliki dan tidak dimiliki oleh siapapun. Ibu percaya jika suatu saat, suara yang kamu miliki inilah yang akan membawamu untuk menggenggam apa itu kebahagiaan."
Senyum penuh ironi membingkai bibir tipis wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu. Jika saja setiap orang memiliki pemahaman seperti sang ibu, pastilah saat ini ia tidak akan pernah merasakan apa itu hari-hari yang diwarnai oleh awan kelabu.
"Namun Dewi tidak merasa seperti itu Bu, karena pada kenyataannya, tampilan fisik yang masih menjadi nomor satu. Tidak hanya di dunia musik, di keseharian yang Dewi jalani pun juga begitu. Kelebihan yang Dewi miliki tenggelam dengan pesona orang-orang yang memiliki nilai jual tinggi dan pastinya yang bisa menarik banyak perhatian."
Senyum tipis membingkai bibir Ambarwati. Diusapnya pucuk kepala Dewi dengan kasih dan sayang yang tiada akan pernah terhenti.
"Percayalah, suatu saat nanti kamu akan bertemu dengan apa itu kebahagiaan yang hakiki, Dewi."
Kegamangan kian terasa membelenggu kala indera pendengarannya mencoba untuk memahami setiap kata yang diucap oleh sang ibu. Namun, untuk saat ini tidak ada yang dapat ia lakukan selain percaya akan semua yang terlisan dari bibir wanita paruh baya itu. Karena sejatinya saat ini hanya ada Ambarwati yang kehadirannya dapat menguatkan kalbu.
Seperti inilah dunia yang penuh tipu daya. Di mana orang-orang yang berpenampilan menarik mendapatkan sebuah peluang yang jauh lebih terbuka. Sedangkan orang-orang yang memiliki penampilan biasa-biasa saja, keberadaan mereka semakin tertinggal. Meski kelebihan yang dimiliki, sejatinya juga layak untuk menjadi sebuah nilai jual.
Hingar bingar suara alat musik perkusi terdengar mengiringi lenggak-lenggok tubuh para penyanyi yang sedang tampil di atas panggung. Dengan pakaian yang menampakkan punggung, membuat jiwa muda para penonton semakin tak terbendung. Sesekali mereka mengarahkan microphone ke arah penonton, yang menjadi isyarat untuk mengajak bersenandung.
Mereka menghentakkan tubuh sesuai dengan irama musik yang ada. Melepaskan penat yang seharian melanda. Menggantinya dengan semangat yang membara, mengikuti instruksi dari sang biduan yang tengah menunjukkan pesonanya.
Meski suara yang terdengar jauh dari kata bagus, namun bentuk tubuh sang biduan lah yang menjadi nilai plus. Tidak ada rasa lelah maupun rasa haus. Mereka nampak begitu larut dalam alunan musik yang bergema terus menerus. Meski napas juga nampak terputus-putus namun sama sekali tidak membuat semangat mereka memupus.
"Bagaimana? Apakah kamu iri melihat penampilan Amara dan Adelia? Mereka begitu piawai dalam memanjakan penonton. Lihatlah, para penonton begitu antusias dalam mengikuti gerak tubuh mereka."
Langit merapatkan tubuhnya ke arah Dewi yang saat ini tengah menatap penampilan Amara dan Adelia di atas panggung. Kedua sudut bibirnya dipaksa untuk tetap melengkung meski rendah diri terasa semakin menggunung.
"Iya, Amara dan Adelia memang tampil begitu memukau. Keduanya sungguh sangat piawai dalam menghibur penonton."
Tidak ingin lagi berdebat dengan Langit perkara semua kekurangan yang ada dalam dirinya, pada akhirnya Dewi mengikuti ke mana arah pembicaraan manajer orkes melayu Magatra ini. Ia bahkan berniat tidak akan bersuara ataupun membela diri jika sang manajer akan tetap meremehkan ataupun merendahkannya lagi. Berada di titik jenuh lah yang saat ini Dewi alami. Diolok, direndahkan, dicaci maki, akan ia coba untuk menerima dengan lapang hati. Dan untuk saat ini ia memilih bungkam, tidak perduli sama sekali.
"Akhirnya kamu mengakui juga. Jika sudah seperti itu, kamu akan terima bukan jika aku memberhentikanmu saat ini juga?"
Tubuh Dewi yang sebelumnya mematung, menatap intens aksi panggung Adelia dan Amara seketika terperanjat. Bahkan gadis itu sampai berjingkat tatkala rasa terkejut dalam dada terasa begitu kuat. Membebat erat tubuh dan pikirannya yang sebelumnya dilanda oleh penat.
"Apa, bang Langit akan memberhentikanku dari orkes melayu ini? Apakah aku tidak salah mendengar?"
Dewi mencoba untuk memastikan sekali lagi akan apa yang ia dengar. Gadis itu berharap bahwa yang ia dengar adalah salah besar, namun anggukan kepala yang di isyaratkan oleh Langit semakin menegaskan bahwa apa yang terdengar di dalam indera pendengarannya itu memang benar.
"Aku memutuskan untuk memberhentikanmu Dew. Karena aku merasa keberadaanmu tidaklah menguntungkan bagi orkes melayu ini. Aku hanya membutuhkan orang-orang yang bisa membuat orkes melayu ini bernilai jual tinggi. Dan aku rasa, keberadaan Adelia dan Amara sudah cukup mewakili. Sehingga, mulai hari ini kamu bisa hengkang dari sini."
"Apakah pertimbangan bang Langit hanyalah perkara fisik saja? Apakah suara khas yang aku miliki sama sekali tidak berpengaruh apa-apa? Jika seperti itu, apakah adil untuk orang-orang yang memiliki bentuk fisik seperti aku ini? Di mana seharusnya memiliki peluang yang sama di dunia musik seperti ini?"
Kecewa, itulah yang Dewi rasakan. Rasa itulah yang semakin hari semakin bertunas dalam jiwa. Meski sekuat tenaga ia mencoba untuk memangkas tunas kecewa itu namun tetap saja tumbuh tiada terkendali. Memenuhi relung-relung hati yang mungkin tidak akan pernah bisa dibabat habis oleh apapun.
Langit memandang jengah tubuh Dewi yang berdiri di hadapannya ini. Meski ia mencoba untuk mengakui akan kelebihan yang Dewi miliki namun tetap saja, tidak ada yang dapat menguntungkan dari apa yang dimilikinya. Ia berpikir, dengan mengajak Dewi bergabung, akan ada produser musik yang melirik keberadaan Dewi. Namun pada kenyataannya sampai sekarang tidak ada satupun produser musik yang tertarik oleh suara yang dimiliki oleh Dewi.
"Jangan berbicara tentang keadilan, Dew. Tidak pernah ada keadilan untuk orang-orang yang penuh dengan kekurangan seperti kamu ini. Ingat, kamu tidak memiliki nilai jual tinggi. Nilai jualmu hanya sebatas pecahan uang dua ribuan yang sering kamu dapatkan dari penonton itu, paham?"
Ucapan Langit sukses menohok seonggok daging yang bersemayam di dalam dada. Kali ini perkataan Langit benar-benar bisa membuat kedua matanya terbuka. Menyadari jika ia hanyalah butiran pasir yang berada di lautan mutiara. Sampai kapanpun keberadaannya tidak akan pernah tertangkap oleh kornea mata. Dengan atau tanpa keberadaannya, tidak akan berpengaruh apa-apa untuk orang-orang di sekelilingnya.
"Tapi Bang, apakah itu ber...."
"Bang Langit!"
Ucapan Dewi terpangkas di kala suara seseorang merembet masuk ke dalam indera pendengaran Dewi dan juga Langit. Mereka menoleh ke arah sumber suara dan terlihat, Satya dengan tergopoh-gopoh menyusul keduanya.
"Satya, ada apa? Mengapa kamu terlihat begitu tergesa-gesa seperti ini?"
"Itu Bang, pak haji Amir ingin bertemu dengan Abang. Sepertinya ada hal yang sangat penting."
Satya yang menyampaikan kabar berita perihal kedatangan haji Amir, berhasil membuat Langit terkesiap. Siapa yang tidak mengenal haji Amir? Orang paling kaya se kecamatan dengan harta yang tidak akan pernah habis tujuh turunan, lima tanjakan serta tiga tikungan. Rumah, mobil, sawah, pekarangan, toko kelontong semua ada di mana-mana.
"Haji Amir mencariku? Ada perlu apa dia? Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba mencariku?"
"Aku tidak tahu pasti, Bang. Namun tadi beliau mengatakan jika beliau ingin mengundang Magatra untuk mengisi acara yang ia selenggarakan. Lebih baik, Abang segera menemui haji Amir. Abang paham bukan, jika haji Amir tidak suka dibuat menunggu terlalu lama?"
Langit mengangguk, membenarkan apa yang dituturkan oleh Satya. Tidak ingin melewatkan kesempatan, ia mengambil langkah kaki lebar untuk menemui sang tamu. Pastinya sembari mengajak Amara dan Adelia yang saat ini merupakan penyanyi di orkes melayu miliknya ini.
Namun baru beberapa langkah ia meninggalkan Dewi, Langit kembali berbalik badan. Didekatinya wanita yang saat ini tengah terpaku ini.
"Ini pesangon untukmu. Aku rasa itu cukup sebagai uang transport untuk mencari pekerjaan baru."
Diulurkannya lima belas lembar pecahan seratus ribuan ke arah Dewi. Untuk kali ini, Langit jauh lebih sopan dalam memberikan pesangon itu daripada tempo hari. Setelah itu, Langit bergegas untuk meninggalkan Dewi.
Sedangkan Dewi, setelah menerima lembaran uang itu, tubuhnya hanya mematung dan tertegun melihat punggung Langit yang semakin lama menghilang dari pandangan. Untuk kali ini, ia benar-benar kalah oleh keadaan.
Diambilnya sebuah cermin kecil dari dalam saku celana yang ia kenakan. Ia tatap lekat bayang wajahnya yang terpantul melalui cermin itu.
"Aku bersumpah, akan mengubah penampilanku hingga tidak ada lagi yang bisa merendahkanku. Untuk langkah pertama, akan aku mulai dari perawatan wajahku."
***
"Jadi, pak Haji ingin mengadakan acara syukuran dan ingin diisi dengan lagu-lagu religi?"
Ditemani oleh Amara dan Adelia, Langit duduk di sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu dan berhadapan langsung dengan Amir. Dadanya berdesir karena ternyata maksud kedatangan Amir ini menjadi peluang pundi-pundi rupiah yang akan ia kumpulkan semakin mengalir.
"Iya, aku ingin mengundang Magatra untuk mengisi acara syukuran yang akan aku adakan. Bagaimana? Apakah kamu menyetujui?"
"Saya setuju-setuju saja Pak. Namun, biasanya lagu-lagu yang kami bawakan itu lagu dangdut dan lagu-lagu bertemakan patah hati seperti yang sedang naik daun saat ini..."
"Apakah itu artinya kamu menolak undangan dariku? Padahal, aku bermaksud membayar mahal jika sampai kalian tampil di acaraku."
Amir yang tiba-tiba memberikan sebuah kesimpulan, sontak membuat Langit menggelengkan kepala. Ia tidak ingin kesempatan seperti ini hilang begitu saja. Karena kesempatan langka seperti ini pasti tidak akan datang untuk kedua kalinya.
"Bukan, bukan begitu maksud saya Pak." Langit menggiring manik matanya ke arah Amara dan Adelia yang saat ini tengah memoles bedak di wajah masing-masing. "Bagaimana Ra, Lia? Apakah kalian bisa untuk membawakan lagu-lagu religi?"
Dua penyanyi yang sedang berkutat dengan make-up di tangannya itu seketika tersentak. Amara dan Adelia saling melempar pandangan. Sejenak kemudian keduanya mengangguk bersamaan.
"Bisa Bang, kami bisa membawakan lagu religi."
Senyum merekah terbit di bibir tipis Langit. Ia bisa sedikit lebih tenang karena dua vokalis yang ia miliki ini sanggup untuk mengisi acara milik Amir.
"Baik pak Haji, saya dan tim sanggup mengisi acara yang pak Haji adakan. Namun harus dengan pembayaran di muka. Bagaimana?"
Amir hanya tersenyum remeh. Bagi lelaki berusia enam puluh lima tahun itu tidak menjadi masalah berapapun yang harus ia bayar.
"Kamu tenang saja, aku akan membayar sehari sebelum Magatra tampil. Namun aku minta, di acara nanti diisi oleh Dewi. Salah seorang vokalis yang kamu miliki."
"Dewi?"
Kini bukan hanya Langit yang terkejut setengah mati. Adelia dan Amara pun juga turut merasakan apa yang dirasakan oleh Langit. Ketiganya sama-sama terperangah karena nama Dewi lah yang diminta oleh Amir.
"Tapi Pak, Dewi sudah tidak ikut dengan saya lagi. Bagaimana kalau saya ganti dengan Amara dan Adelia? Mereka jauh lebih baik dari Dewi."
Langit berupaya untuk melakukan proses negosiasi. Sungguh di luar ekspektasi bahwa sosok Dewi lah yang diinginkan oleh Amir sebagai penyanyi di acara yang ia miliki. Sosok penyanyi yang sebelumnya ia caci maki, hari ini justru menjadi penyanyi yang memiliki harga jual tinggi. Bahkan si pemilik acara berani menggelontorkan biaya lebih asalkan acara yang akan ia adakan diisi oleh Dewi.
Amir tetap menggelengkan kepala. Sebagai pertanda, tidak menyetujui tawaran yang diberikan oleh Langit. "Tidak, aku tidak mau diisi oleh siapapun kecuali Dewi. Karena Dewi lah yang aku cari, bukan dua orang yang kamu tawarkan ini."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!