Angin tidak berhembus untuk menggoyangkan pepohonan tetapi untuk menguji kekuatan akarnya. Layaknya manusia dalam menghadapi badai kehidupan. Apakah ia mampu bertahan dengan segala keyakinan? Ataukah menyerah dalam keputusasaan?
Sepasang jendela hati yang sedari tadi meneteskan embun, kini terpejam. Tubuh lemah yang sedari tadi ia paksa untuk kuat kini meluruh dalam ketidaksadaran kala tancapan belati tajam itu terasa perih menghujam. Raga yang sebelumnya berdiri tangguh kini bak berdiri di atas ranting yang rapuh. Tinggal menunggu waktu kapan ia akan patah dan membuatnya terjatuh.
Terlalu lama berada di bawah deras air hujan yang membuat tubuh Dewi basah kuyup, kini tubuh wanita itu mendadak demam. Belum sempat berganti pakaian, tiba-tiba saja Dewi hilang kesadaran. Di dalam dekapan sang ibu, ia pingsan. Gegas Ambarwati meminta Seruni untuk mengambil baju ganti agar tubuh Dewi tidak semakin kedinginan. Setelah itu, dengan susah payah Ambarwati dan Seruni memindahkan Dewi ke atas pembaringan.
"Apakah badan kakak masih demam, Bu?"
Raut penuh kecemasan juga nampak membingkai wajah Seruni. Gadis Remaja itu hanya bisa bertanya-tanya di dalam hati mengapa sang kakak pulang ke rumah dalam keadaan hancur seperti ini. Padahal saat akan berangkat, wajah sang kakak dipenuhi oleh binar bahagia yang kentara sekali.
Ambarwati mengangguk pelan sembari mengganti kain kompres yang menghiasi kening Dewi. Wanita paruh baya itu nampak begitu telaten dalam merawat sang putri. Meski rasa kantuk juga sulit untuk ia hindari.
"Iya Run, panas badan kakakmu masih tinggi. Ibu sampai bingung harus bagaimana. Dalam keadaan pingsan seperti ini pasti akan sulit untuk memasukkan obat demam ke dalam mulut kakakmu bukan?"
Seruni hanya bisa mengulas sedikit senyum yang ia miliki. Ia berdiri di sisi ranjang Dewi dan perlahan mengambil alih baskom kecil yang dipegang oleh Ambarwati.
"Ibu segeralah beristirahat di kamar. Malam sudah semakin larut. Runi hanya khawatir jika ibu juga ikut sakit."
"Tapi bagaimana dengan kakakmu Run? Dia masih demam."
"Biarkan Runi yang menggantikan Ibu untuk mengompres kakak. Sekarang Ibu istirahat saja di kamar."
"Tapi besok kamu harus ke sekolah kan Nak?"
"Tidak masalah Bu. Begadang untuk menjaga kakak tidak akan membuat Runi kesiangan."
Ambarwati nampak menimbang-nimbang perkataan Seruni. Ingin rasanya ia menolak tawaran putrinya namun bagaimana lagi rasa kantuk juga sudah menyerangnya sedari tadi. Hanya dengan memejamkan mata lah yang dapat membebaskannya dari rasa kantuk ini.
Ambarwati bangkit dari posisi duduknya. "Ibu titip kakakmu ya Run. Semisal suhu tubuh kakakmu sudah turun kamu juga segeralah beristirahat. Ibu hanya khawatir jika esok, kamu bangun kesiangan."
"Iya Bu, Runi akan segera beristirahat jika suhu badan kak Dewi sudah turun."
Dengan langkah perlahan, Ambarwati meninggalkan kamar milik Dewi. Sedangkan Seruni begitu telaten mengganti kain kompres kakaknya ini. Dengan intens, gadis remaja itu menatap wajah kakak semata wayangnya yang tengah larut di alam mimpi.
"Kakak sudah sejak lama menderita. Semoga setelah ini hanya akan ada kebahagiaan yang menghampiri hidup kak Dewi. Runi juga berjanji akan belajar lebih keras lagi sehingga kelak bisa mengangkat derajat ibu dan juga kak Dewi."
Runi sibuk bermonolog lirih. Perlahan, ia mengecup kening Dewi sebagai wujud kasih sayang sang adik terhadap satu-satunya kakak yang ia miliki. Ia tahu betul bagaimana kerja keras yang dilakukan oleh Dewi untuk menopang kelangsungan hidup keluarganya setelah sang ayah pergi. Sosok lelaki yang sudah lama tiada untuk menjadi sandaran dari segala kepahitan hidup yang mereka jalani. Runi hanya meyakini jika kehidupan keluarganya dapat berubah suatu saat nanti.
***
Semburat warna oranye mulai nampak di ufuk timur. Membangunkan jiwa-jiwa yang semalaman nyenyak dalam tidur. Mengawali hari baru mereka dengan penuh rasa syukur.
Embun jatuh perlahan seiring fajar menyapa. Di atas dedaunan mereka bergelayut manja. Enggan untuk melepaskan diri dari pelukannya. Seakan mendapatkan tempat ternyamannya. Dunia kecil mulai terbangun, menyambut hari baru yang dipenuhi oleh suka cita.
Bola mata wanita yang sedang terbaring lemah di atas ranjang itu sedikit bergerak meski kelopak matanya masih terpejam. Tidak terasa ia sudah tertidur semalaman. Membenamkan sukma ke dalam dunia mimpi yang terasa sedikit temaram.
Perlahan kelopak mata wanita itu mulai terbuka. Ia sedikit memincing, berusaha menahan silau sinar mentari yang begitu terasa menusuk kornea mata. Jemari tangannya juga bergerak seakan mengeluarkan sinyal jika ia telah bangun dari tidurnya.
Dewi menggeser posisi tubuhnya untuk bersandar di head board ranjang. Sesekali wanita itu masih nampak menguap seperti rasa kantuk yang masih saja datang menyerang. Dan dengan hati-hati ia meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku tidak karuan.
Rasa pening masih saja terasa menyerang area kepala. Sehingga membuat malas untuk sekedar beranjak dari tempatnya. Dan rasanya hanya ingin bersantai-santai saja.
Sorot mata Dewi mengedar ke sekeliling. Keadaan rumah terasa sepi seperti tidak berpenghuni. Biasanya di jam seperti ini, sayup-sayup terdengar suara sang ibu yang tengah berbincang dengan tetangga di belakang rumah, namun untuk hari ini entah mengapa tidak terdengar sama sekali.
Dewi meraih gelas berisikan air putih yang terletak di atas meja. Ia teguk perlahan, dan seketika kesegaran itu terasa membasahi dan mengaliri kerongkongannya.
Apakah semalam aku pingsan? Rasa-rasanya aku tidak ingat tentang apa yang terjadi. Yang aku ingat hanya saat ibu memelukku dan setelah itu aku sudah tidak ingat apapun.
Hanya menyisakan rasa sesak dalam dada di saat teringat akan kejadian apa yang menimpanya kemarin. Rasa malu terasa begitu menyeruak ketika penampilannya di atas panggung hanya menyisakan kekacauan semata. Bahkan berkali-kali Dewi menyalahkan dirinya sendiri pada saat ia gagal menyajikan penampilan yang sempurna. Sekali lagi, ia membuang napas kasar, berupaya untuk membunuh rasa sesak yang masih saja memenuhi rongga-rongga dada.
Mengapa wajahku tiba-tiba terasa gatal dan panas? Ada apa ini?
Dewi kembali bermonolog dalam hati. Ia sedikit keheranan ketika rasa gatal dan panas terasa memenuhi syaraf-syaraf di pipi. Tidak ingin terlalu larut dalam rasa heran, wanita itu mulai menyibak selimut yang menutupi. Bergegas menuju cermin yang menggantung di salah satu sisi dinding.
Ya Tuhan ... ada apa dengan wajahku? Mengapa terlihat memerah dan mengelupas seperti ini? Sebenarnya apa yang terjadi?
Kedua bola mata Dewi membulat sempurna pada saat melihat pantulan wajahnya di dalam kaca. Wajahnya nampak memerah dan kulitnya seperti mengelupas pastinya dengan sensasi rasa terbakar dan panas.
Tidak, tidak, tidak! Saat ini aku pasti hanya sedang bermimpi. Kemarin wajahku sudah nampak putih berseri. Tidak mungkin jika berubah menjadi seperti ini.
Dewi menepuk-nepuk pipi. Berharap apa yang ia lihat di dalam cermin ini hanyalah sebuah mimpi. Namun sia-sia saja, ini semua nyata di depan mata, seakan menegaskan jika ujian hidup kembali datang menyapanya sekali lagi.
Sudah jatuh tertimpa tangga ditambah menginjak tahi ayam lagi. Nampaknya ungkapan itu yang pantas disematkan untuk Dewi kala menerima ujian hidup yang bertubi-tubi seperti ini. Belum selesai perihal kejadian di atas panggung, uang ganti rugi yang harus ia berikan kepada Langit, dan kini ditambah wajahnya yang mengelupas karena krim abal-abal yang ia beli. Sungguh sempurna Tuhan memberikannya ujian kesabaran seperti ini.
"Dewi! Kamu kenapa Nak?"
Ambarwati memekik keheranan di kala melihat putri sulungnya duduk di pojok kamar dengan memeluk kedua lututnya. Ia menenggelamkan wajah di sela-sela paha dengan nafas yang terlihat tiada beraturan. Hal itulah yang semakin menegaskan jika ia sedang mencoba untuk menahan isak tangisnya.
Dibawanya tubuh miliknya ini untuk lebih dekat dengan Dewi. Ia sejajarkan tinggi badannya dengan cara berjongkok di hadapan sang putri. Perlahan, ia mengangkat dagi Dewi dan betapa terkejutnya Ambarwati melihat wajah anak sulungnya ini.
"Ya Tuhan, ujian apa lagi yang menimpamu, Nak?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Wanda Harahap
aduh, kalau kayak gini pengen cepat Dewi bahagia dan mengubah takdir hidupnya
2022-05-02
0
novi⁷
sabar wi ini ujian
2022-03-20
0
noviaryani5
yg sabar ya wi semua akan indah pada waktunya 🤗🤗🤗🤗
2022-03-11
0