Langit bertudung sinar mentari pagi kala Dewi membuka tirai jendela. Sinar keemasannya menyusup masuk, memenuhi sudut-sudut kamar miliknya. Seketika membuat rasa hangat semakin terasa. Setelah semalaman hawa dingin terasa begitu erat memeluk tubuhnya.
Kicau burung gereja menyambut datangnya sang mentari yang cantik memesona. Menggantikan rembulan yang telah lelah berjaga semalaman. Memberikan penerangan untuk bumi manusia yang berwajah muram.
"Ada urusan apa lagi kamu ingin bertemu dengan anakku? Bukankah kamu yang sudah membuat Dewi malu seperti ditelanjangi di depan umum?"
Suara bernada tinggi yang berasal dari teras, membuat dahi Dewi mengernyit seketika. Sangat jelas bahwa itu merupakan suara sang ibu. Namun Dewi begitu keheranan, mengapa sang ibu seperti berteriak lantang? Tidak ingin larut dalam segala pertanyaan yang memenuhi otaknya, Dewi mengambil langkah untuk menyusul sang ibu di beranda.
"Bang Langit!"
Dewi menyebut nama sosok laki-laki yang saat ini sedang berdiri berhadapan dengan sang ibu. Ia pun mendekat ke arah dua orang yang sepertinya sedang terlibat dalam perdebatan itu.
"Dew, lebih baik jangan kamu gubris kedatangan lelaki ini. Dia pasti hanya akan mencari masalah denganmu."
Tidak ingin melihat sang anak kembali diusik ketentraman jiwanya oleh Langit, Ambarwati meminta Dewi untuk mengacuhkan saja kedatangan lelaki ini. Ambarwati tidak rela jika Langit hanya akan membuat hati Dewi semakin tersakiti. Setelah beberapa saat sang anak mencoba untuk kembali berdiri.
Seutas senyum tipis tersungging di bibir Dewi. Ia menggelengkan kepala lirih di hadapan Ambarwati. "Ibu tidak perlu khawatir, Dewi akan baik-baik saja. Mungkin memang ada yang harus Dewi bicarakan dengan bang Langit sebelum Dewi pergi ke Jakarta."
Ambarwati mengalah. Dengan langkah gontai, wanita paruh baya itu meninggalkan teras dan hanya menyisakan Dewi dan Langit seorang.
"Ahhhh ... akhirnya muncul juga kamu!" ucap Langit saat melihat orang yang ia cari menampakkan batang hidungnya.
"Ada apa Bang? Ada keperluan apa Abang datang kemari pagi-pagi seperti ini?"
Senyum sinis terbit di bibir Langit. Lelaki itu kemudian mendaratkan bokongnya di kursi bambu yang berada di teras rumah milik Dewi.
"Aku dengar, kamu akan pergi ke Jakarta. Apakah kepergianmu ke Jakarta itu merupakan upaya untuk lari dari tanggung jawab?"
Langit menjejali Dewi dengan pertanyaan yang dipenuhi oleh prasangka buruk yang merajai. Rencana kepergian Dewi rupanya sudah sampai di telinga lelaki angkuh ini. Oleh karena itu, Langit bergegas pergi ke kediaman Dewi untuk mendapatkan kejelasan. Ternyata ia diliputi oleh kekhawatiran jika sampai Dewi pergi ke Jakarta karena sengaja untuk menghindar dari hutang yang ia limpahkan.
"Bang Langit tidak perlu khawatir, aku tidak akan pernah lari dari tanggung jawabku. Justru aku pergi ke Jakarta ingin mengadu nasib agar bisa segera melunasi hutangku."
Penuh percaya diri, Dewi memberikan penjelasan kepada Langit. Semakin hari entah mengapa hatinya dipenuhi oleh keyakinan bahwa Jakarta merupakan kota yang akan membuat jiwa yang sebelumnya rapuh kembali bangkit. Sedikit demi sedikit mencoba untuk mengurai segala rasa sakit layaknya sebuah benang yang terasa begitu melilit, yang mana membuat batinnya selalu menjerit.
"Kamu akan melakukan apa di ibu kota nanti? Apakah di sana kamu akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga?"
Langit benar-benar dibuat penasaran dengan apa yang menjadi rencana Dewi ini. Meski sebenarnya hal ini bukanlah menjadi urusannya, namun ia sungguh ingin tahu Dewi akan bekerja di bidang apa ketika sampai di Jakarta nanti. Padahal ia tahu, tidak ada skill yang dimiliki oleh Dewi selain bernyanyi.
"Tentu tidak Bang ... aku akan mewujudkan mimpiku untuk menjadi seorang penyanyi. Sama seperti apa yang aku mimpikan selama ini."
Sorot mata yang tidak lepas dari bunga dandelion yang tumbuh di halaman rumah, Dewi semakin percaya diri dengan jawaban yang ia beri. Dari dandelion itu ia belajar untuk menjadi wanita kuat dan pemberani untuk menantang badai kehidupan yang menghampiri. Ia akan menjadi dandelion yang bisa tumbuh di mana pun angin membawanya pergi. Dan akan tumbuh kembali dengan berani. Meski angin memberikan tekanan dari segala sisi, namun dandelion tetap kuat menjaga diri.
Jawaban yang terlontar dari bibir Dewi pada kenyataannya hanya membuat Langit terperangah sembari menahan tawa. Dirasa sudah tidak lagi mampu untuk menahan tawa, lelaki itu terbahak di depan wanita ini.
"Hahahaha ... apa kamu bilang? Di Jakarta, kamu ingin menjadi seorang penyanyi? Kamu pikir untuk menjadi seorang penyanyi di ibu kota itu perkara mudah? Terlebih dengan kondisi fisikmu yang seperti ini. Jangan bermimpi kamu Dew!"
Dewi hanya menanggapi ucapan Langit dengan sinis. Kali ini tidak akan ia biarkan lelaki ini menginjak-injak harga dirinya lagi setelah beberapa waktu yang lalu ia dibuat menangis. Dan rasa cinta yang mungkin sebelumnya pernah ada untuk lelaki ini, akan ia pastikan saat ini telah terkikis habis. Ia berpikir tiada guna ia mempertahankan rasa cinta ataukah hanya sekedar mengagumi yang hanya membuat hatinya teriris.
"Kita lihat saja Bang. Akan aku buktikan bahwa kelak aku bisa menjadi seorang penyanyi terkenal. Dan setelah itu akan aku buat mulut Abang ini terbungkam karena telah merendahkanku."
"Hahahaha Dewi, Dewi .... aku peringatkan kepadamu sekali lagi, jangan bermimpi terlalu tinggi. Apakah kamu tidak sadar siapa dirimu? Selamanya kamu itu hanyalah rumput liar yang berada di bawah dan diinjak-injak. Selamanya kamu tidak akan pernah bisa untuk meraih bintang. Paham?"
Dewi semakin terbawa oleh arus yang diciptakan oleh Langit. Untuk kali ini ia tidak akan pernah menunjukkan sisi lemahnya di hadapan lelaki yang tidak berhati ini.
"Tapi kamu lupa bahwa rumput liar bisa tumbuh di manapun ia ingin tumbuh. Bahkan di puncak pegunungan yang tidak bisa dijangkau oleh kaki manusia, ia bisa tumbuh subur. Dan apakah kamu tahu artinya?"
Dewi sejenak memberikan jeda pada ucapannya. Ia memindai ekspresi wajah Langit yang sudah dipenuhi oleh tanda tanya. Dahi lelaki itu berkerut dalam seakan ingin segera mendengar jawabannya.
Sudut bibir Dewi sedikit terangkat. Dengan jengah, ia menatap wajah manajer Magatra ini. "Itu artinya aku bisa berada di tempat yang jauh lebih tinggi daripada kamu. Suatu saat nanti akan aku buat kamu dan semua yang pernah berbuat jahat kepadaku menyesali apa yang telah kalian perbuat."
Langit terperangah. Perkataan Dewi kali ini sedikit mengusik hatinya. "Apa maksud ucapanmu? Siapa yang sudah berbuat jahat kepadamu? Bukankah kamu sendiri yang sudah melakukan kejahatan karena mempermalukan aku di depan haji Amir atas kacaunya penampilanmu?"
Lagi-lagi Dewi hanya tersenyum miring. Ia ayunkan kakinya ke arah Langit yang sedang duduk di kursi bambu. Dan sedikit ia bungkukkan tubuhnya. Ia tatap lekat manik mata milik lelaki berusia tiga puluh lima tahun ini.
"Aku sudah mengetahui semuanya bahwa kamu, Adelia dan Amara lah yang menjadi penyebab aku kehilangan suara. Aku memang tidak memiliki bukti apapun sehingga tidak mungkin bisa menyeretmu ke dalam penjara. Namun, suatu saat nanti akan aku balas semua kejahatan yang pernah kalian lakukan terhadapku." Dewi mencengkeram kerah pakaian yang dikenakan oleh Langit dan kembali ia lanjutkan ucapannya. "Seekor singa tidak akan menampakkan keberingasannya jika ketenangannya tidak diusik. Camkan itu baik-baik tuan Langit yang terhormat!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Wanda Harahap
bersyukur suaranya Dewi sudah kembali lagi
2022-05-02
1
Wanda Harahap
betul tuh Dewi
buktikan aja ama langit
2022-05-02
0
noviaryani5
camkan tuh langit apa kata dwi kelak dewi akan membeli mulutmu yg sombong 😒😒😒
2022-03-11
0